Sabtu, 10 Juni 2017

WIWIN RASMAWATI


#TugasIndividu


 Novel Ronggeng Dukuh Paruk : Pendekatan Struktural
(Buku Pertama dari Trilogi Karangan Ahmad Tohari)


A.    Materi Pendekatan Struktural
Dalam penelitian karya sastra, analisis atau pendekatan obyektif terhadap unsur-unsur intrinsik atau struktur karya sastra merupakan tahap awal untuk meneliti karya sastra sebelum memasuki penelitian lebih lanjut (Damono, 1984:2). Pendekatan struktural merupakan pendekatan intrinsik,
yakni membicarakan karya tersebut pada unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Pendekatan tersebut meneliti karya sastra sebagai karya yang otonom dan terlepas dari latar belakang sosial, sejarah, biografi pengarang dan segala hal yang ada di luar karya sastra (Satoto, 1993: 32). Pendekatan struktural mencoba menguraikan keterkaitan dan fungsi masing-masing unsur karya sastra sebagai kesatuan struktural yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984: 135). Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa pendekatan struktural adalah suatu pendekatan dalam ilmu sastra yang cara kerjanya menganalisis unsur-unsur struktur yang membangun karya sastra dari dalam, serta mencari relevansi atau keterkaiatan unsur-unsur tersebut dalam rangka mencapai kebulatan makna.
Mengenai struktur, Wellek dan Warren (1992: 56) memberi batasan bahwa struktur pengertiannya dimasukkan kedalam isi dan bentuk, sejauh keduanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan estetik. Jadi struktur karya sastra (fiksi) itu terdiri dari bentuk dan isi. Bentuk adalah cara pengarang menulis, sedangkan isi adalah gagasan yang diekspresiakan pengarang dalam tulisannya (Zeltom, 1984: 99). Menurut Jan Van Luxemburg (1986: 38) struktur yang dimaksudkan, mengandung pengertian relasi timbal balik antara bagian-bagiannya dan antara keseluruhannya. Struktur karya sastra (fiksi) terdiri atas unsur unsur alur, penokohan, tema, latar dan amanat sebagai unsur yang paling menunjang dan paling dominan dalam membangun karya sastra (fiksi) (Sumardjo, 1991:54).

1.      Alur (plot)
       Dalam sebuah karya sastra (fiksi) berbagai peristiwa disajikan dalam urutan tertentu (Sudjiman, 1992: 19). Peristiwa yang diurutkan dalam menbangun cerita itu disebut dengan alur (plot). Plot merupakan unsur fiksi yang paling penting karena kejelasan plot merupakan kejelasan tentang keterkaitan antara peristiwa yang dikisahkan secara linier dan kronologis akan mempermudah pemahaman kita terhadap cerita yang ditampilkan. Atar Semi (1993: 43) mengatakan bahwa alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dlam keseluruhan karya fiksi. Lebih lanjut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2000: 113) mengemukakan bahwa alur atau plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain.
Dalam merumuskan jalan cerita, pembaca dapat membuat atau menafsirkan alur cerita melalui rangkaiannya. Luxemburg memberikan kebebasan penuh dalam menafsirkan atau membangun pemahaman dari jalannya cerita. Alur bisa dilihat sebagai konstruksi yang dibuat oleh pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa atau kejadian yang saling berkaitan secara logis dan kronologis, serta aderetan peristiwa itu diakibatkan dan dialami oleh para tokoh (1986: 112). Karena alur berusaha menguraikan jalannya cerita mulai awal sampai akhir cerita, maka secara linier bentuk alur atau struktur cerita seperti dikemukakan Nurgiyantoro yaitu dari tahapan-tahapan sebagai berikut:
a.       Tahap penyuntingan, tahap ini pengarang memperkenalkan tokoh-cerita melukiskan situasi latar, sebagai tahap pembukaan cerita, pembagian informasi awal dan teruptama untuk melandasi cerita yang akan dilkisahkan pada tahap berikutnya.
b.      Tahap pemunculan konflik yang berkembang atau merupakan awal munculnya konflik yang berkembang atau dikembangkan menjadi komflik pada peningkatan konflik, pada tahap ini konflik berkembang atau dikembangkan tahap berikutnya.
c.       Tahap kadar intensitasnya. Konflik-konflik yang terjadi baik itu internal, eksternal ataupun kedua-duanya.
d.      Tahap klimaks, pada tahap ini pertentangan yang terjadi dialami atau ditampilkan pada tokoh mencapai titik intensitas puncak klimaks cerita akan dialami tokoh utama sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik, pada tahap ini merupakan tahap penentuan nasip tokoh.
e.       Tahap penyelesaian, pada tahap ini keteganangan dikendorkan diberi penyelesaian dan jalan keluar untuk kemudian diakhiri (2000: 150).
Masih mengenai alur (plot), secara estern Mursal (1990: 26) merumuskan bahwa alur bisa bermacam-macam, seperti berikut ini:
a.       Alur maju (konvensional Progresif ) adalah teknik pengaluran dimana jalan peristriwanta dimulai dari melukiskan keadaan hingga penyelesaian.
b.      Alur mundur (Flash back, sorot balik, regresif), adalah teknik pengaluran dan menetapkan peristiwa dimulai dari penyelesaian kemudian ke titik puncak sampai melukiskan keeadaan.
c.       Alur tarik balik (back tracking), yaitu teknik pengaluran di mana jalan cerita peristiwanya tetap maju, hanya pada tahap-tahap tertentu peristiwa ditarik ke belakang (1990: 26)
2.      Tokoh
Dalam pembicaraan sebuah fiksi ada istilah tokoh, penokohan, dan perwatakan. Kehadiran tokoh dalam cerita fiksi merupakan unsur yang sangat penting bahkan menentukan. Hal ini karena tidak mungkin ada cerita tanpa kehadiran tokoh yang diceritakan dan tanpa adanya gerak tokoh yang akhirnya menbentuk alur cerita. Rangkaian alur cerita merupakan hubungan yang logis yang terkait oleh waktu.

Pendefinisian istilah tokoh, penokohan dan perwatakan banyak diberikan oleh para ahli, berikut ini beberapa definisi tersebut:
a.       Tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita (Nurgiyantoro, 2000: 165)
b.      Penokohan adalah bagaimana pengarang menampilkana tokoh-tokoh dalam ceritanya dan bagaimana tokoh-tokoh tersebut, ini berarti ada dua hal penting, yang pertama berhubungan dengan teknik penyampaian sedangkan yang kedua berhubungan dengan watak atau kepribadian tokot-tokoh tersebut (Suroto, 1989: 92-93).
c.       Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas peribadi seorang tokoh (Nurgiyantoro, 2000: 165).
d.      Penokohan atau karakter atau disebut juga perwatakan merupakan cara penggambaran tentang tokoh melalui perilaku dan pencitraan. Panuti Sudjiman mencerikan definisi penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh (1992: 23).
e.       Menurut Hasim dalam (Fanani, 1997: 5) bahwa penokohan adalah cara pengarang untuk menampilkan watak para tokoh di dalam sebuah cerita karena tanpa adanya tokoh, sebuah cerita tidak akan terbentuk.

Untuk mengenal watak tokoh dan penciptaan citra tokoh terdapat beberapa cara, yaitu:
a.       Melalui apa yang diperbuat oleh tokoh dan tindakan-tindakannya, terutama sekali bagaimana ia bersikap dalam situasi kritis.
b.      Melalui ucapan-ucapan yang dilontarkan yokoh.
c.       Melalui penggambaran fisik tokoh. Penggambaran bentuk tubuh, wajah dan cara berpakaian, dari sini dapat ditarik sebuah pendiskripsian penulis tentang tokoh cerita.
d.      Melalui jalan pikirannya, terutama untuk mengetahui alasan-alasan tindakannya.
e.       Melalui penerangan langsung dari penulis tentyang watak tokoh ceritanya. Hal itu tentu berbeda dengan cara tidak langsung yang mengungkap watak tokoh lewat perbuatan, ucapan, atau menurut jalan pikirannya (Sumardja, 1997: 65-66).
Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh, tokoh cerita dibedakan menjadi dua yaitu tokoh utama (central character, main character)dan tokoh tambahan (pheripheral character) (Nurgiyantoro, 2000: 176-178).
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya. Tokoh ini tergolong penting. Karena ditampilkan terus menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita. Karena tokoh utama paling banyak ditampilkan ada selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan.
Tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita dan itu bersifat gradasi, keutamaannya bertingkat maka perbedaan antara tokoh utama dan tambahan tidak dapat dilakukan secara pasti.
Karena tokoh berkepribaduian dan berwatak, maka dia memiliki sifat-sifat karakteristik yang dapat dirumuskan dalam tiga dimensi, yaitu ;
a.       Dimensi fisiologis, adalag ciri-ciri badan, misalnya usia (tingkat kedewasaan), jenis kelamin, keadaaan tubuh, ciri-ciri muka, dan lain sebagainya.
b.      Dimensi sosiologis, adalah ciri kehidupan masyarakat, misalnya status sosial, pekerjaan, peranan dalan masyarakat, tingkat pendidikan, dan sebagainya.
c.       Dimensi psikologis, adalah latar belakang kejiwaan, misalnya mentalitas, tingkat kecerdasan dan keahliannkhusus dalam bidang tertentu (satoto, 1993: 44-45).

3.      Latar (setting)
Kehadiran latar dalam sebuah cerita fiksi sangat penting. Karya fiksi sebagai sebuah dunia dalam kemungkinan adalah dunia yang dilengkapi dengan tokoh penghuni dan segala permasalahannya. Kehadiran tokoh ini mutlak memerlukan ruang dan waktu.
Lartar atau setting adalah sesuiatu yang menggambarkan situasi atau keadaan dalam penceriteraan. Panuti Sudjiman mengatakan bahawa latar adalah segala keterangan, petunjut, pengacuan yang berkaiatan dengan waktu, ruang dan suasana (1992: 46). Sumardjo dan Saini K.M. (1997: 76) mendefinisikan latar bukan bukan hanya menunjuk tempat, atau waktu tertentu, tetapi juga hal-hal yang hakiki dari suatu wilayah, sampai pada pemikiran rakyatnya, kegiatannya dan lain sebagianya.
Latar atau setting tidak hanya menyaran pada tempat, hubungan waktu maupun juga menyaran pada lingkungan sosial yang berwujud tatacara, adat istiadat dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutan.

a.       Latar tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar tempat berupa tempat-tempat yang dapat dijumpai dalam dunia nyata ataupun tempat-tempat tertentu yang tidak disebut dengan jelas tetapi pembaca harus memperkirakan sendiri. Latar tempat tanpa nama biasanya hanya berupa penyebutan jenis dan sifat umum tempat-tempat tertentu misalnya desa, sungai, jalan dan sebagainya. Dalam karya fiksi latar tempat bisa meliputi berbagai lokasi.

b.      Latar waktu
Latar waktu menyaran pada kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan sejarah. Pengetahuan dan persepsi pembaca terhadap sejarah itu sangat diperlukan agar pembaca dapat masuk dalam suasana cerita.

c.       Latar sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalan karya fiksi. Perilaku itu dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, pandangan hidup, pola pikir dan bersikap. Penandaan latar sosial dapat dilihat dari penggunaan bahasa daerah dan penamaan terhadap diri tokoh.

4.      Tema dan amanat
Secara etimologis kata tema berasal dari istilah meaning, yang berhubungan arti, yaitu sesuatu yang lugas, khusus, dan objektif. Sedangkan amanat berasal dari kata significance, yang berurusan dengan makna, yaitu sesuatu yang kias, umun dan subjektif, sehingga harus dilakukan penafsiran. Melalui penafsiran itulah yang memungkinkan adanya perbedaan pendapat (Juhl dalam Teeuw, 1984: 27). Baik pengertian tentang “arti” maupun “makna” keduanya memiliki fungsi yang sama sebagai penyampai gagasan atau ide kepengarangan.
Lebih jauh Sudjiman memberikan pengertian bahwa tema merupakan gagasan, ide atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra (1992:52). Dari sebuah karya sastra adakalanya dapat diangkat suatu ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan pengarang, itulah yang disebut amanat. Jika permasalahan yang diajukan juga diberi jalan keluarnya oleh pengarang, makan jalan keluarnya itulah yang disebut amanat. Amanat yang terdapat pada sebuah karya sastra, bisa secara inplisit ataupun secara eksplisit. Implisit jika jalan keluar atau ajaran moral diisyaratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir. Eksplisit jika pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasehat, dan sebagainya. (Sudjiman, 1992: 57-58).

B. Sinopsis Ronggeng Dukuh Paruk ( Trilogi 1)
Dukuh Paruk adalah sebuah desa kecil yang terpencil dan miskin. Namun, warganya memiliki suatu kebanggaan tersendiri karena mewarisi kesenian ronggeng yang senantiasa menggairahkan hidupnya. Tradisi itu nyaris musnah setelah terjadi musibah keracunan tempe bongkrek yang mematikan belasan warga Dukuh Paruk sehingga lenyaplah gairah dan semangat kehidupan masyarakat setempat. Untunglah mereka menemukan kembali semangat kehidupan setelah gadis cilik pada umur belasan tahun secara alamiah memperlihatkan bakatnya sebagai calon ronggeng ketika bermain-main bersama Rasus, Warta, Darsun.
Permainan menari itu terlihat oleh kakek Srintil, Sakarya, yang kemudian mereka sadar bahwa cucunya sungguh berbakat menjadi seorang ronggeng. Berbekal keyakinan itulah, Sakarya menyerahkan Srintil kepada dukun ronggeng Kartareja. Dengan harapan kelak Srintil menjadi seorang ronggeng yang diakui oleh masyarakat. Dalam waktu singkat, Srintil pun membuktikan kebolehannya menari disaksikan orang-orang Dukuh Paruk sendiri dan selanjutnya dia pun berstatus gadis pilihan yang menjadi milik masyarakat.
Sebagai seorang ronggeng yang sah, Srintil harus menjalani serangkaian upacara tradisional yang puncaknya adalah menjalani upacara bukak klambu, yaitu menyerahkan keperawanannya kepada siapa pun lelaki yang mampu memberikan imbalan paling mahal. Meskipun Srintil sendiri merasa ngeri, tak ada kekuatan dan keberanian untuk menolaknya. Srintil telah terlibat atau larut dalam kekuasaan sebuah tradisi, di sisi lain, Rasus yang mencintai gadis itu tidak bisa berbuat banyak setelah Srintil resmi menjadi ronggeng yang dianggap milik orang banyak. Oleh karena itu, Rasus memilih pergi meninggalkan Srintil sendirian di Dukuh Paruk.
Kepergian Rasus ternyata meninggalkan luka yang mendalam di hati Srintil dan kelak besar sekali pengaruhnya terhadap perjalanan hidupnya. Rasus yang terluka hatinya memilih meninggalkan Dukuh Paruk menuju pasar Dawuan,dan tempat itulah Rasus mengalami perubahan garis perjalanan hidupnya dari seorang remaja dusun yang miskin dan buta huruf menjadi seorang prajurit atau tentara yang gagah setelah terlebih dahulu menjadi tobang. Dengan ketentaraannya itulah kemudian Rasus memperoleh penghormatan dan penghargaan seluruh orang Dukuh Paruk, lebih-lebih setelah berhasil menembak dua orang perampok yang berniat menjarah rumah Kartareja yang menyimpan harta kekayaan ronggeng Srintil.
Beberapa hari singgah di Dukuh Paruk Rasus sempat menikmati kemanjaan dan keperempuanan Srintil sepenuhnya. Tapi itu semua tidak menggoyahkan tekadnya yang bulat untuk menjauhi Srintil dan dukuhnya yang miskin. Pada saat fajar, Rasus melangkah gagah tanpa berpamitan pada Srintil yang masih pulas tidurnya. Kepergian Rasus tanpa pamit sangat mengejutkan dan menyadarkan Srintil bahwa ternyata tidak semua lelaki dapat ditundukkan oleh seorang ronggeng. Setelah kejadian itu Srintil setiap hari tampak murung dan sikap Srintil menimbulkan keheranan orang-orang disekitarnya. Kebanyakan mereka tidak senang menyaksikan kemurungan Srintil, sebab mereka tetap percaya ronggeng Srintil telah menjadi simbol kehidupan Dukuh Paruk.







C.    Analisis Struktural Novel Ronggeng Dukuh Paruk

Tema
Dari berbagai masalah, novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) dapat dikelompokkan menjadi dua masalah pokok, yaitu masalah budaya, adat istiadat dan keterbelakangan. Masalah adat dalam RDP diperjelas seperti dalam kutipan berikut.
Adat Dukuk Paruk mengajarkan, kerja sama antara ketiga laki-laki itu harus berhenti di sini. Rasus, Warta, dan Darsun kini harus saling adu tenaga memperebutkan umbi singkong yang baru mereka cabut (RDP: 11)
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa kerja sama yang dilakukan bersama untuk memperoleh suatu tujuan, harus berakhir ketika tujuan tersebut telah dicapai. Hal itu dilakuakan untuk menemukan pemenang, siapa yang layak memperoleh bagian yang lebih banyak dari apa yang diperoleh, dan ketika pemenang ditentukan maka tidak ada protes diantara mereka, karena sudah merupakan adat dari daerah Dukuh Paruk. Menanggapi hal itu dapat disimpilkan bahwa tidak ada budaya gotong royong di RDP, yang ada hanyalah kerja sama kemudian kemudian bersaing untuk menjadi pemenang.
Dari masalah adat ini dapat diangkat tema mayor, yaitu bahwa adat masyarakat Dukuh Paruk merupakan aturan yang harus dilestarikan oleh orang-orang seketurunan Ki Secamenggala yang menjadi nenek moyang masyarakat Dukuh Paruk.
Masalah keterbelakangan daerah dalam RDP terlihat dari kutipan berikut ini.
Entah sampai kapan pemukiman sempit dan terpencil itu bernama Dukuh Paruk. Kemelaratannya, keterbelakangannya, penghuninya yang kurus dan sakit, serta sumpah serapah cabul menjadi bagiannya yang sah (RDP: 79)
Dari uraian tersebut diketahui bahwa tema pokok dalam RDP, yaitu pertentangan antara keramat Ki Secamenggala dengan kaum terpelajar. Masyarakat Dukuh Paruk yang karena kebodohannya tidak pernah menolak nasib yang diberikan alam, meraka selalu memuja Kubur Ki Secamenggala yang terletak di punggung bukit kecil di Tengah Dukuh Paruk. Kubur Ki Secamenggala tersebut menjadi kiblat kehidupan kebatinan mereka. Gumpalan abu kemenyan pada nisan kubur Ki Secamenggala membuktikan pola tingkah kebatinan orang Dukuh Paruk berpusat di sana. Hal itu menggambarkan bahwa masyarakat Dukuh Paruk tidak mengalami perkembangan dalam keilmuan, mereka hanya meneruskan tradisi yang diciptakan oleh nenek moyang, yaitu Ki Secamenggala. Budaya tersebut digambarkan pengarang dalam novel ini dengan mengangkat tema budaya ronggeng yang tidak dapat terpisahkan dari dukuh paruk.
Pengarang menjadikan Dukuh Paruk pendukuhan yang terkenal dengan dunia peronggengan. Dukuh paruk tanpa ronggeng bukanlah Dukuh Paruk karena ronggeng merupakan ciri khas dari pendukuhan Dukuh paruk. Ronggeng yang diceritakan dalam novel tersebut bernama srintil. Dari awal Bab di Novel menceritakan dari srintil masih kecil hingga dia menjadi Ronggeng Dukuh Paruk, dia dipercaya sebagai seorang ronggeng sejati yang kemasukan indang ronggeng. Indang adalah semacam wangsit yang dimuliakan di dunia peronggengan. Selain itu ada kepercayaan bahwa srintil dilahirkan di Dukuh Paruk atas restu arwah Ki Secemenggala dengan tugas menjadi Ronggeng. Sehingga dapat disimpulkan Dukuh Paruk hanya lengkap ketika ada keramat ki Secamenggala, ada seloroh cabul, ada sumpah serapah, dan khusunya ada ronggeng bersama perangkat calungnya.

Latar
1.      Latar Tempat
Novel RDP berlatar utama di pendukuhan yang bernama Dukuh Paruk. Latar tempat ini terlihat dalam kutipan berikut.
Dua pululuh tiga rumah berada di pendukuhan itu, di huni oleh orang-orang seketurunan. Di Dukuh Paruk inilah akhirnya Ki Secamenggala menitipkan darah dagingnya (RDP: 10)
Dari kutipan diatas dapat diketahui bahwa latar tempat di dalam rumah novel RDP terjadi di Dukuh Paruk sedangkan latar tempat di luar rumah tidak ditemukan dalam novel. Adanya dua puluh tiga rumah di pendukuhan menggambarkan bahwa Dukuh Paruk merupakan pemukiman kecil yang keberadaannya ditempat terpencil. Dari kutipan diatas juga terlihat jelas bahwa masyarakat Dukuh Paruk dihuni oleh masyarakat seketurunan, yang mana Ki Secamenggala adalah orang pertama yang tinggal di Dukuh Paruk menjadi nenek moyang mereka. Latar utama yang terjadi di Dukuh paruk memunculkan latar pendukung. Hal ini terdapat dalam latar berikut.
a.       Di tepi kampung
Di tepi kampung ini menjadi latar rasus dan temannya Darsun dan Warta mencabut batang singkong yang menjadi cerita pertama yang terdapat dalam novel (RDP: 10).
b.      Di pelataran yang membatu di bawah pohon nangka
Tempat tersebut merupakan tempat srintil sering bermain dengan mendedangkan lagu kebanggan para ronggeng. Selain itu di bawah pohon nangka srintil sering menari dan bertembang (RDP: 13).
c.       Di halaman rumah Kartareja
Tempat ini menjadi bagian dari upacara sacral yang dipersembahkan kepada leluhur Dukuh Paruk sebelum menuju pekuburan dukuh paruk (RDP: 45)
d.      Di Perkuburan Ki Secamenggala
Latar ini syarat srintil untuk menjadi seorang ronggeng yaitu srintil melakukan upacara pemandian di pekuburan ki secamenggala (RDP: 46)
e.       Pasar Dawuan
Tempat ini adalah tempat yang dituju rasus ketika meninggalkan Dukuh paruk. Hal ini secara implicit terdapat dalam kutipan berikut.

“Sampai hari-hari pertama aku menghuni pasar Dawuan, aku menganggap nilai-nilai yang kubawa dari Dukuh Paruk secara umum berlaku pula di semua tempat (RDP: 84).”

Kutipan diatas menggambarkan bahwa ketika rasus meninggalkan Dukuh Paruk, dia menghabiskan hari-harinya di pasar Dawuan sebagai pengupas singkong. Dengan pekerjaan itu rasus dapat bertahan hidup dari mendapatkan upah pedagang singkong. Tapi tak kemudian dia menjadi seorang tobang.

f.       Di Hutan
Tempat ini menjadi tempat berburu Rasus, Sersan slamet dan Kopral Pujo (RDP: 95)

g.      Di Rumah Sakarya
Latar ini menjadi tempat pertama yang di datangi oleh perampok ketika ingin merampok harta milik srintil, tapi saat itu srinti sedang berada di rumah kartareja, hingga akhirnya perampok berbelok ke rumah kartareja (RDP: 101)
h.      Di Beranda Rumah Nenek Rasus
Tempat ini menggambarkan ketika rasus pulang kerumah neneknya ketika dia selesai menangkap perampok yang ada di Dukuh Paruk, tapi kemudian di kembali menjadi tobang(RDP: 103)

2.      Latar Waktu
Dukuh Paruk adalah pemukiman di tengah hamparan sawah yang luas terdapat dua puluh tiga rumah, dihuni oleh orang-orang seketurunan. Cerita dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk tidak punya tanggal tapi novel trilogi ini terjadi tahun 1965. Hal ini tercermin ketika srintil terlibat dalam kekalutan politik pada tahun 1965. Sedang latar terjadinya peristiwa kematian sebagian warga Dukuh Paruk akibat keracunan tempe bongkrek terjadi tahun 1946. Hal ini secara eksplisit disampaikan pengarang sebagaimana tampak pada kutipan berikut.

Seandainya ada seorang di Dukuh Paruk yang pernah bersekolah, dia dapat mengira-ngira saai itu hampir pukul dua belas tengah malam, tahun 1964. Semua penghuni pendukuhan itu telah tidur pulas, kecuali santayib, ayah srintil (RDP: 21).
Kutipan diatas mengambarkan bahwa kematian sebagian masyarakat Dukuh paruk terjadi pada 1946 yang mana saat saat itu srintil masih kecil. Dalam novel ini seseorang yang disalahkan atas terjadinya kematian masyarakat Dukuh paruk akibat tempe bongkrek ada santayib. Latar waktu dalam novel RDP juga terjadi tahun 1960. Hal ini tergambar pada kutipan berikut.

“Tahun 1960 wilayah kecamatan Dawuan tidak aman. Perampok dengan kekerasan senjata sering terjadi. Tidak jarang perampok membakar rumah korbannya (RDP: 90).”

Kutipan di atas menggambarkan peristiwa fenomenal yang terjadi dalam novel RDP tidak hanya kematian akibat tempe bongkrek, tapi peristiwa perampokan yang terjadi di Dawuan. Peristiwa tersebut masyarakat Dawuan khususnya dan rasus tokoh pendatang dari Dukuh Paruk.
Adapun Latar waktu yang tergambar dari novel Ronggeng Dukuh paruk diantaranya sebagai berikut.
a.       Sore hari
Waktu ini tergambar dari kutipan berikut.

“Ketiganya patuh. Ceria di bawah pohon nagnka itu belanjut sampai matahari menyentuh garis cakrawala (RDP: 14).”

Kutipan diatas menceritakan tentang Rasus, Darsun, dan warta ketika mengiringi srintil menari hingga sore hari. Pengarang menggambarkan waktu ini dengan bahasa yang sederhana yaitu “matahari menyentuh garis cakrawala”.

b.      Tengah malam
Waktu tengah malam tergambar dari kutipan berikut.
“Seandainya ada seorang di Dukuh Paruk yang pernah bersekolah, dia dapat mengira-ngira saat itu hampir pukul dua belas tengah malam, tahun 1946 (RDP:21).”
Kutipan diatas mengambarkan malam sebelum terjadinya keracunan tempe bongkrek yang dialami masyarakat Dukuh Paruk. Waktu yang ditegaskan dalam kutipan di atas adalah tengah malam, yang mana waktu tersebut menjadi latar waktu dalam novel ini.
c.       Tengah hari (Siang)
Latar waktu tengah hari terlihat dalam kutipan berikut.
“Namun semuanya berubah menjelang tengah hari. Seorang anak berlari-lari dari sawah sambil memegangi perut (RDP: 24)”
Kutipan di atas menegaskan bahwa racun dalam tempe bongkrek mulai bereaksi ketika tengah hari dimana setelah masyarakat Dukuh Paruk selesai melakukan aktivitas di sawah. Dalam kutipan tersebut latar waktu yang terjadi tengah hari.

d.      Pagi
Latar waktu pagi digambarkan dalam kutipan berikut.

Matahari mulai kembali pada lintasannya di garis khatulistiwa. Angin tenggara tidak lagi bertiup (RDP:44)

Kutipan di atas merupakan salah satu latar dalam novel RDP ketika waktu pagi, yang menggambarkan waktu pagi telah terasa.

e.       Malam hari
Waktu malam hari tergambar dari kutipan berikut.
Karena gelap aku tak dapat melihat dengan jelas.
Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa waktu terjadinya ketika malam hari. Dengan adanya kata gelap yang memperjelas latar waktu tersebut.

Tokoh dan Penokohan
Novel Ronggeng Dukuh Paruk menyajikan gaya penokohan naratif, yaitu cara mendeskripsikan watak tokoh cerita yang diambil alih oleh seorang pencerita tunggal, yaitu Rasus. Dalam novel RDP, pencerita memaparkan watak tokoh-tokoh cerita dan menambahkan komentar tentang watak tersebut.
1.      Tokoh utama
Tokoh utama dalam novel RDP adalah Rasus, pengarang menampilkan rasus sebagai narrator dalam peristiwa novel RDP sedang srintil ditampilkan sebagai tokoh yang diceritakan Rasus. Tokoh Rasus merupakan tokoh yang serba tahu akan segala peristiwa dalam cerita itu. Rasus dilukiskan sebagai seorang pemuda rakyat biasa yang tidak mempunyai status kebangsaan, tinggal di daerah terpencil yang mempunayi status rendah, kurang pengetahuan serta mudah rapuh. Hal ini secara eksplisit disampaikan pengarang sebagaimana tampak pada kutipan berikut.

“Aku tidak rela hal semacam itu terjadi. Tetapi lagi-lagi terbukti seorang anak dari Dukuh Paruk bernama Rasus terlalu lemah untuk menolak hal buruk yang amat dibencinya. Jadiaku hanya bisa mengumpat dalam hati dan meludah. Asu buntung!.” (RDP: 53)

Dalam kutipan di atas watak rapuh Rasus tampak jelas dalam pengakuannya bahwa kejadian tersebut disebabkan oleh ketidakmampuannya melawan hukum pasti di Dukuh Paruk yang harus dilakukan seorang ronggeng yaitu malam bukak-klambu. Rasus harus merelakan orang yang dicintainya yaitu srintil untuk menyelesaikan persyaratan terakhir menjadi seorang ronggeng yang bernama bukak-klambu. Menghadapi hal itu rarus tidak dapat berbuat apa-apa, dia hanya dapat pasrah pada apa yang akan terjadi pada srintil.

2.      Tokoh Pembantu Utama
Tokoh pembantu utama dalam novel RDP adalah srintil, pengarang menggambarkan srintil sebagai seorang ronggeng yang cantik berperawakan menarik serta perempuan yang sempurna fisiknya yang dianggap sebagai titisan dari Ki Secamanggala. Kutipan berikut memperlihatkan kecantikan srintil serta kesempurnaan fisik yang dimilikinya.

“Mulutnya mungil. Cambang tipis di pipinya menjadi nyata setelah Srintil dibedaki. Alis yang diperjelas dengan jelaga bercampur getah pepaya membuatnya kelihatan seperti boneka.”(RDP: 18)

Pengarang dalam kutipan di atas menampilkan tokoh utama Srintil sebagai seorang ronggeng yang sempurna, yaitu dengan kecantikan dan fisik yang dimilikinya. Srintil yang sebelumnya hanya anak Dukuh Paruk biasa yang tidak mempunyai status kebangsaan dijadikan pengarang sebagai perempuan mempunyai status yang tinggi ketika menjadi ronggeng. Hal tersebut menimbulkan perubahan watak yang dimiliki Srintil. Dulu srintil yang sering bermain bersama Rasus, Warta dan Darsun tapi setelah menjadi seorang ronggeng dia sudah tidak ada waktu untuk bermain bersama mereka. Dari situ sangat terlihat perubahan sifat srintil.

3.      Tokoh Bawahan
Tokoh bawahan menurut Grimes (dalam panuti Sudjiman, 1988: 19), merupakan tokoh yang tidak sentral kedudukannya di dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama. Dalam novel RDP memiliki sembilan tokoh bawahan dari analisis novel yang dilakukan. Tokoh bawahan dalam novel RDP diantaranya:

a.       Warta              : bersahabat, perhatian dan penghibur
Bukti bahwa Warta bersahabat “ Di tepi kampung, tiga orang anak laki-laki sedang bersusah payah mencabut sebatang singkong.”

Bukti bahwa Warta perhatian dan penghibur “Rasus, kau boleh sakit hati. Kau boleh cemburu. Tetapi selagi kau tak mempunyai sebuah ringgit emas, semuanya menjadi sia-sia.”

“Tidak apa-apa Warta. Percayalah sahabatku, tak ada yang salah pada diriku. Aku terharu. Suaramu memang bisa membuat siapa pun merasa begitu terharu.”

b.      Dursun                        : bersahabat
Bukti bahwa Dursun bersahabat Di tepi kampung, tiga orang anak laki-laki sedang bersusah payah mencabut sebatang singkong.”

c.       Sakarya (Kakek Srintil): Penyayang, tega
Bukti bahwa Sakarya penyayang “dibawah lampu minyak yang bersinar redup. Sakarya, kamitua di pedukuhan kecil itu masih merenungi ulah cucunya sore tadi.”
Bukti bahwa Sakarya tega “Jangkrik!” sahutku dalam hati. “kamu si tua bangka dengan cara memperdagangkan Srintil.”
d.      Kartareja dan Nayi Kartareja : mistis, egois
Bukti bahwa Kartareja dan Nyai Karateja mistis “Satu hal disembunykan oleh Nyai Kartareja terhadap siapa pun. Itu ketika dia meniuokan mantra pekasih ke ubun-ubun Srintil.”
“Tiba giliran bagi Kartareja. Setelah komat-kamit sebentar, laki-laki itu memberi aba-aba....”
e.       Sakum             : hebat
Bukti bahwa Sakum hebat “ Sakum, dengan mata buta mampu mengikuti secata seksama pagelaran ronggeng.”
f.       Nenek Rasus   : linglung
Bukti bahwa Nenek Rasus pikun “ Ah, semakin tua nenekku. Kurus dan makin bungkuk. Kasian, Nenek tidak bisa banyak bertanya kepadaku. Linglung dia.”
g.      Dower             : mengusahakan segala macam cara
Bukti bahwa Dower mengusahakan “ pada saja baru ada dua buah perak. Saya bermaksud menyerahkannya kepadamu sebagai panjar. Masih ada waktu satu hari lagi. Barangkali besok bisa kuperoleh seringgit emas.”
“Aku datang lagi kek. Meski bukan sekeping ringgit emas yang kubawa, kuharap engkau mau menerimanya.” (Tohari,Ahmad, 2008:41)

h.      Sulam              : penjudi dan berandal, sombong
Bukti bahwa Sulam penjudi dan berandal “ Dia juga kenal siapa Sulam adanya; anak seorang lurah kaya dari seberang kampung. Meski sangat muda, Sulam dikenal sebagai penjudi dan berandal.”

Bukti bahwa Sulam sombong “ Sebuah pertanyaan yang menghina, kecuali engkau belum mengenalku. Tentu saja aku membawa sebuah ringgit emas. Bukan rupiah perak, apalagi kerbau seperti anak pecikalan ini.”

i.        Siti                   : alim
Bukti bahwa Siti alim “hw, jangan samakan Siti dengan gadis-gadis di Dukuh Paruk. Dia marah karena kau memperlakukannya secara tidak senonoh.” (Siti meleparkan singkong ke arah Rasus)”
j.        Sersan Slamet  : penyuruh, tegas

Bukti bahwa Sersan Slamet penyuruh “Pekerjaan dimulai.peti-prti logam serta barang lainnya diangkat ke atas pundak dan kubawa ke sebuah rumah....”

Bukti bahwa Sersan Slamet tegas “Katakan; ya! Kami tentara. Kami memerlukan ketegasan dalam setiap sikap,” kata Sersan Slamet tegas

k.      Kopral Pujo : penakut
Bukti bahwa Kopral Pujo penakut “ mengecewakan












Alur Cerita
Bagian pertama novel RDP diawali dengan peristiwa yang menunjukkan alur mundur, yaitu peristiwa malapetaka yang terjadi di Dukuh paruk akibat keracunan tempe bongkrek. Hal ini tergambar dari kutipan berikut.

Sebelas tahun yang lalu ketika srintil masih bayi. Dukuh Paruk yang kecil basah kuyup tersiram hujan lebat. Dalam kegelapan yang pekat, pemukiman yang kecil itu lengang, amat lengang. (RDP: 21)

Kutipan di atas memberi gambaran bahwa kejadian malapetaka yang membunuh sebagian masyarakat Dukuh Paruk akibat keracunan tempe bongkrek terjadi sebelas tahun yang lalu yaitu ketika srintil masih kecil. Kutipan di atas juga menjadi paragraf awal novel dalam penceritaan tentang malapetaka tempe bongkrek. Sehingga dapat diketahui bahwa penceritaan tentang malapetaka tempe bongkrek dalam novel menggunakan alur mundur. Sedangkan pada bagian kedua dan seterusnya menggunakan alur maju yang menceritakan tentang inti dari cerita novel RDP, yaitu kisah Srintil dengan Rasus dan kisah Srintil yang menjadi Ronggeng baru setelah tidak adanya Ronggeng selama 11 tahun serta kebingungan rasus akan asal-usul ibunya yang menghilang sejak ia kecil. Adanya alur maju terlihat dari kutipan berikut.

Sudah dua bulan Srintil menjadi ronggeng. Namun adat Dukuh Paruk mengatakan masih ada dua tahapan yang harus dilaluinya sebelum Srintil berhak menyebut dirinya seorang ronggeng yang sebenarnya. (RDP: 43)

Kutipan di atas menjelaskan tentang srintil yang sudah menjadi ronggeng. Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa alur begerak maju sampai akhir cerita, yaitu dari srintil yang dulunya masih kecil saat malapetaka tempe bongkrek dan sekarang sudah berusia 11 tahun menjadi seorang ronggeng.

Tahap-tahap alur perkembangan alur secara rinci terdiri dari lima bagian sebagai berikut.
1.      Perkenalan
Dalam bab pertama Rasus, srintil, santayib, dan sakarya diperkenalkan, bab pertama menceritakan tentang kehidupan rasus dan srintil ketika masih kecil yang harus di tinggal oleh kedua orang tua mereka karena peristiwa keracunan tempe bongkrek yang menimpa warga Dukuh Paruk. Kemudian pada bab kedua menceritakan perihal kematian Emak rasus dan kehidupan Ki Secamenggala, dalam bab dua emak rasus, nenek rasus, kartareja, Nyai kartareja diperkenalkan. Dalam bab ketiga membicarakan tentang sayembara bukak klambu, bab ini Dower dan Sulam diperkenalkan. Pada bab keempat tokoh utama dibicarakan, dalam bab ini Sersan slamet dan Kopral Pujo diperkenlakan.
2.      Timbulnya Konflik
Konflik utama Ronggeng Dukuh Paruk, yaitu malapetaka keracunan tempe bongkrek yang membunuh sebagian masyarakat Dukuh Paruk termasuk kematian ronggeng Dukuh paruk yang terakhir serta penabuh gendang. Rasus sebagai tokoh utama yang juga mengalami malapetaka tersebut. Munculnya konflik lain ditandai ketika srintil mulai menjadi ronggeng baru, saat itu kehidupan srintil mulai berubah. Dari yang dulunya sering bermain bersama Rasus, Warta, Darsun, tapi setelah menjadi ronggeng dia sudah tidak ada waktu untuk bermain. Menanggapi hal itu Rasus mulai renggang dengan srintil, wanita yang disukainya.

3.      Peningkatan konflik
Konflik meningkat pada bab dua dan tiga. Konflik utama dikembangkan dengan kuat pada bab tiga, yaitu ketika srintil harus menyelesaikan syarat terakhir menjadi seorang ronggeng, syarat terakhir yang harus dipenuhi itu bernama bukak-klambu. Sebuah syarat yang akan menggoyahkan hubungan Rasus dan Srintil. Hal itu memunculkan kebencian yang mendalam bagi rasus atas semua kebudayaan yang ada di Dukuh paruk.




4.      Klimaks
Puncak permasalahan terjadi ketika srintil telah menjadi seorang ronggeng Dukuh Paruk. Itu tandanya srintil menjadi milik orang banyak dan rasus sebagai seorang laki-laki yang menyukainya harus merelakan.

5.      Pemecahan masalah atau Penyelesaian
Penyelesaian bagian pertama novel RDP yaitu ketika Rasus pergi meninggalkan Dukuh. Rasus merasa dukuh paruk bertindak semena-mena dan hanya menciptakan kesengsaraan baginya. Sebagai seorang anak yang menghubungkan diri emaknya dengan diri srintil, Dukuh Paruk membuat noda dalam hidupnya. Kepergian Rasus untuk menentukan pilihan-pilihan. Pilihan-pilihan itulah yang nantinya akan mengubah segalanya, tentang Srintil, asal-usul ibunya, dan juga tujuan hidupnya.
Berdasarkan tahap-tahap alur yang diuraikan di atas dapat disimpulkan alur yang terdapat dalam novel RDP yaitu alur campuran

Sudut Pandang
        Berdasarkan beberapa pandangan tentang pusat pengisahan, dapat diperoleh gambaran bahwa ada beberapa kemungkinan yang dapat dipergunakan oleh pengarang dalam menceritakan ceritanya melalui pusat pengisahan, seperti halnya dalam novel RDP pada bagian pertama menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut.
        Ia merasa srintil telah menjadi milik semua orang Dukuh Paruk. Rasus cemas tidak bisa lagi bermain sepuasnya dengan Srintil di bawah pohon nangka. Tetapi Rasus tak berkata apapun. (RDP: 20)
        Pengarang dalam kutipan di atas ikut terlibat dalam cerita sekaligus sebagai pengamat. Penggunaan orang ketiga dalam novel ini dapat dikatakan logis, dalam gaya penceritaan orang ketiga serta serba tahu karena pengarang berada di luar cerita, pengarang mengetahui batin tokoh utama, seperti tokoh Rasus ketika menyaksikan pentas menari srintil. Pengarang seperti ikut merasakan apa yang dirasakan Rasus, yaitu perasaan hati Rasus Sedangkan pada bagian kedua sampai seterusnya ditampilkan dengan Sudut pandang orang pertama pelaku utama, yaitu Rasus yang di sebut “aku”. “Aku” yang bercerita dalam novel RDP mempunyai dua kemungkinan. Pertama, “aku” pencerita yang berkedudukan sebagai pengarang yang menyusun cerita. Kedua, “aku” tokoh utama yang mempunyai kedudukan yang dominan pada cerita.Penggunaan sudut pandang orang pertama pelaku utama terlihat jelas dalam kutipan berikut.
        Aku mengenal dengan sempurna setiap sudut tersembunyi di Dukuh paruk. Ketika kartareja bercakap-cakap dengan Dower, aku mendengarnya dari balik rumpun pisang di luar rumah. (RDP: 59-60)
        Pada kutipan di atas ditunjukkan dengan tidak adanya komentar pengarang dalam cerita. Tokoh utama bercerita tentang dirinya sendiri melalui tingkah laku yang diperankannya. Disamping itu, dari pemahaman tokoh aku tentang Dukuh Paruk memperkuat dugaan sedut pandang pada bab dua sampai empat menggunakan orang pertama pelaku utama.
Gaya bahasa
Gaya Bahasa yang terlihat dalam novel ini kadang membingungkan, karena terdapat bahasa jawa dan mantra-mantra jawa.
Uluk-uluk perkutut manggung
Teka saka negndi,
Teka saba tanah sabrang
Pakanmu apa
Pakanku madu tawon
Manis madu tawon,
Ora manis kaya putuku, Srintil
Amanat
Jangan melihat dan menilai dari luarnya saja, kita harus mengenal seseoag lebih dekat agar dapat menilai seseorang dari hati. Selain itu kita juga harus mempunyai rasa simpati dan mau memikirkan masalah kemanusiaan yang terjadi di sekeliling kita.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUH. RIDHO S

#TugasIndividu ANALISIS NOVEL RADEN MANDASIA SI PENCURI DAGING SAPI BERDASARKAN PENDEKATAN RESEPSI SASTRA Landasan Teori Secara d...