#TugasIndividu
Novel Ronggeng Dukuh Paruk : Pendekatan
Struktural
(Buku Pertama dari Trilogi Karangan
Ahmad Tohari)
A.
Materi
Pendekatan Struktural
Dalam
penelitian karya sastra, analisis atau pendekatan obyektif terhadap unsur-unsur
intrinsik atau struktur karya sastra merupakan tahap awal untuk meneliti karya
sastra sebelum memasuki penelitian lebih lanjut (Damono, 1984:2). Pendekatan
struktural merupakan pendekatan intrinsik,
yakni membicarakan karya tersebut
pada unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Pendekatan tersebut
meneliti karya sastra sebagai karya yang otonom dan terlepas dari latar
belakang sosial, sejarah, biografi pengarang dan segala hal yang ada di luar
karya sastra (Satoto, 1993: 32). Pendekatan struktural mencoba menguraikan
keterkaitan dan fungsi masing-masing unsur karya sastra sebagai kesatuan
struktural yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984: 135).
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa pendekatan struktural adalah suatu
pendekatan dalam ilmu sastra yang cara kerjanya menganalisis unsur-unsur
struktur yang membangun karya sastra dari dalam, serta mencari relevansi atau
keterkaiatan unsur-unsur tersebut dalam rangka mencapai kebulatan makna.
Mengenai
struktur, Wellek dan Warren (1992: 56) memberi batasan bahwa struktur
pengertiannya dimasukkan kedalam isi dan bentuk, sejauh keduanya dimaksudkan
untuk mencapai tujuan estetik. Jadi struktur karya sastra (fiksi) itu terdiri
dari bentuk dan isi. Bentuk adalah cara pengarang menulis, sedangkan isi adalah
gagasan yang diekspresiakan pengarang dalam tulisannya (Zeltom, 1984: 99).
Menurut Jan Van Luxemburg (1986: 38) struktur yang dimaksudkan, mengandung
pengertian relasi timbal balik antara bagian-bagiannya dan antara
keseluruhannya. Struktur karya sastra (fiksi) terdiri atas unsur unsur alur,
penokohan, tema, latar dan amanat sebagai unsur yang paling menunjang dan
paling dominan dalam membangun karya sastra (fiksi) (Sumardjo, 1991:54).
1. Alur
(plot)
Dalam sebuah karya sastra (fiksi)
berbagai peristiwa disajikan dalam urutan tertentu (Sudjiman, 1992: 19).
Peristiwa yang diurutkan dalam menbangun cerita itu disebut dengan alur (plot).
Plot merupakan unsur fiksi yang paling penting karena kejelasan plot merupakan
kejelasan tentang keterkaitan antara peristiwa yang dikisahkan secara linier
dan kronologis akan mempermudah pemahaman kita terhadap cerita yang
ditampilkan. Atar Semi (1993: 43) mengatakan bahwa alur atau plot adalah
struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai interrelasi
fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dlam keseluruhan karya
fiksi. Lebih lanjut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2000: 113) mengemukakan bahwa
alur atau plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian
itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau
menyebabkan peristiwa yang lain.
Dalam merumuskan jalan cerita, pembaca dapat membuat
atau menafsirkan alur cerita melalui rangkaiannya. Luxemburg memberikan
kebebasan penuh dalam menafsirkan atau membangun pemahaman dari jalannya
cerita. Alur bisa dilihat sebagai konstruksi yang dibuat oleh pembaca mengenai
sebuah deretan peristiwa atau kejadian yang saling berkaitan secara logis dan
kronologis, serta aderetan peristiwa itu diakibatkan dan dialami oleh para
tokoh (1986: 112). Karena alur berusaha menguraikan jalannya cerita mulai awal
sampai akhir cerita, maka secara linier bentuk alur atau struktur cerita
seperti dikemukakan Nurgiyantoro yaitu dari tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Tahap
penyuntingan, tahap ini pengarang memperkenalkan tokoh-cerita melukiskan
situasi latar, sebagai tahap pembukaan cerita, pembagian informasi awal dan
teruptama untuk melandasi cerita yang akan dilkisahkan pada tahap berikutnya.
b. Tahap
pemunculan konflik yang berkembang atau merupakan awal munculnya konflik yang
berkembang atau dikembangkan menjadi komflik pada peningkatan konflik, pada
tahap ini konflik berkembang atau dikembangkan tahap berikutnya.
c. Tahap
kadar intensitasnya. Konflik-konflik yang terjadi baik itu internal, eksternal
ataupun kedua-duanya.
d. Tahap
klimaks, pada tahap ini pertentangan yang terjadi dialami atau ditampilkan pada
tokoh mencapai titik intensitas puncak klimaks cerita akan dialami tokoh utama
sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik, pada tahap ini merupakan tahap
penentuan nasip tokoh.
e. Tahap
penyelesaian, pada tahap ini keteganangan dikendorkan diberi penyelesaian dan
jalan keluar untuk kemudian diakhiri (2000: 150).
Masih
mengenai alur (plot), secara estern Mursal (1990: 26) merumuskan bahwa alur
bisa bermacam-macam, seperti berikut ini:
a. Alur
maju (konvensional Progresif ) adalah teknik pengaluran dimana jalan
peristriwanta dimulai dari melukiskan keadaan hingga penyelesaian.
b. Alur
mundur (Flash back, sorot balik, regresif), adalah teknik pengaluran dan
menetapkan peristiwa dimulai dari penyelesaian kemudian ke titik puncak sampai
melukiskan keeadaan.
c. Alur
tarik balik (back tracking), yaitu teknik pengaluran di mana jalan cerita
peristiwanya tetap maju, hanya pada tahap-tahap tertentu peristiwa ditarik ke
belakang (1990: 26)
2. Tokoh
Dalam
pembicaraan sebuah fiksi ada istilah tokoh, penokohan, dan perwatakan.
Kehadiran tokoh dalam cerita fiksi merupakan unsur yang sangat penting bahkan
menentukan. Hal ini karena tidak mungkin ada cerita tanpa kehadiran tokoh yang
diceritakan dan tanpa adanya gerak tokoh yang akhirnya menbentuk alur cerita.
Rangkaian alur cerita merupakan hubungan yang logis yang terkait oleh waktu.
Pendefinisian
istilah tokoh, penokohan dan perwatakan banyak diberikan oleh para ahli,
berikut ini beberapa definisi tersebut:
a. Tokoh
menunjuk pada orangnya, pelaku cerita (Nurgiyantoro, 2000: 165)
b. Penokohan
adalah bagaimana pengarang menampilkana tokoh-tokoh dalam ceritanya dan
bagaimana tokoh-tokoh tersebut, ini berarti ada dua hal penting, yang pertama
berhubungan dengan teknik penyampaian sedangkan yang kedua berhubungan dengan
watak atau kepribadian tokot-tokoh tersebut (Suroto, 1989: 92-93).
c. Watak,
perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti
ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas peribadi seorang tokoh
(Nurgiyantoro, 2000: 165).
d. Penokohan
atau karakter atau disebut juga perwatakan merupakan cara penggambaran tentang
tokoh melalui perilaku dan pencitraan. Panuti Sudjiman mencerikan definisi
penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh (1992: 23).
e. Menurut
Hasim dalam (Fanani, 1997: 5) bahwa penokohan adalah cara pengarang untuk
menampilkan watak para tokoh di dalam sebuah cerita karena tanpa adanya tokoh,
sebuah cerita tidak akan terbentuk.
Untuk
mengenal watak tokoh dan penciptaan citra tokoh terdapat beberapa cara, yaitu:
a. Melalui
apa yang diperbuat oleh tokoh dan tindakan-tindakannya, terutama sekali
bagaimana ia bersikap dalam situasi kritis.
b. Melalui
ucapan-ucapan yang dilontarkan yokoh.
c. Melalui
penggambaran fisik tokoh. Penggambaran bentuk tubuh, wajah dan cara berpakaian,
dari sini dapat ditarik sebuah pendiskripsian penulis tentang tokoh cerita.
d. Melalui
jalan pikirannya, terutama untuk mengetahui alasan-alasan tindakannya.
e. Melalui
penerangan langsung dari penulis tentyang watak tokoh ceritanya. Hal itu tentu
berbeda dengan cara tidak langsung yang mengungkap watak tokoh lewat perbuatan,
ucapan, atau menurut jalan pikirannya (Sumardja, 1997: 65-66).
Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya
tokoh, tokoh cerita dibedakan menjadi dua yaitu tokoh utama (central character,
main character)dan tokoh tambahan (pheripheral character) (Nurgiyantoro, 2000:
176-178).
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan
penceritaannya. Tokoh ini tergolong penting. Karena ditampilkan terus menerus
sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita. Karena tokoh utama paling
banyak ditampilkan ada selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat
menentukan perkembangan plot secara keseluruhan.
Tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya dimunculkan
sekali atau beberapa kali dalam cerita dan itu bersifat gradasi, keutamaannya
bertingkat maka perbedaan antara tokoh utama dan tambahan tidak dapat dilakukan
secara pasti.
Karena tokoh berkepribaduian dan berwatak, maka dia
memiliki sifat-sifat karakteristik yang dapat dirumuskan dalam tiga dimensi,
yaitu ;
a. Dimensi
fisiologis, adalag ciri-ciri badan, misalnya usia (tingkat kedewasaan), jenis
kelamin, keadaaan tubuh, ciri-ciri muka, dan lain sebagainya.
b. Dimensi
sosiologis, adalah ciri kehidupan masyarakat, misalnya status sosial,
pekerjaan, peranan dalan masyarakat, tingkat pendidikan, dan sebagainya.
c. Dimensi
psikologis, adalah latar belakang kejiwaan, misalnya mentalitas, tingkat
kecerdasan dan keahliannkhusus dalam bidang tertentu (satoto, 1993: 44-45).
3. Latar
(setting)
Kehadiran latar dalam sebuah cerita fiksi sangat
penting. Karya fiksi sebagai sebuah dunia dalam kemungkinan adalah dunia yang
dilengkapi dengan tokoh penghuni dan segala permasalahannya. Kehadiran tokoh
ini mutlak memerlukan ruang dan waktu.
Lartar atau setting adalah sesuiatu yang
menggambarkan situasi atau keadaan dalam penceriteraan. Panuti Sudjiman
mengatakan bahawa latar adalah segala keterangan, petunjut, pengacuan yang
berkaiatan dengan waktu, ruang dan suasana (1992: 46). Sumardjo dan Saini K.M.
(1997: 76) mendefinisikan latar bukan bukan hanya menunjuk tempat, atau waktu
tertentu, tetapi juga hal-hal yang hakiki dari suatu wilayah, sampai pada
pemikiran rakyatnya, kegiatannya dan lain sebagianya.
Latar atau setting tidak hanya menyaran pada tempat,
hubungan waktu maupun juga menyaran pada lingkungan sosial yang berwujud
tatacara, adat istiadat dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang
bersangkutan.
a. Latar
tempat
Latar tempat menyaran
pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
Latar tempat berupa tempat-tempat yang dapat dijumpai dalam dunia nyata ataupun
tempat-tempat tertentu yang tidak disebut dengan jelas tetapi pembaca harus
memperkirakan sendiri. Latar tempat tanpa nama biasanya hanya berupa penyebutan
jenis dan sifat umum tempat-tempat tertentu misalnya desa, sungai, jalan dan
sebagainya. Dalam karya fiksi latar tempat bisa meliputi berbagai lokasi.
b. Latar
waktu
Latar waktu menyaran
pada kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya
fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual,
waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan sejarah. Pengetahuan dan
persepsi pembaca terhadap sejarah itu sangat diperlukan agar pembaca dapat
masuk dalam suasana cerita.
c. Latar
sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal
yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat
yang diceritakan dalan karya fiksi. Perilaku itu dapat berupa kebiasaan hidup,
adat istiadat, tradisi, pandangan hidup, pola pikir dan bersikap. Penandaan
latar sosial dapat dilihat dari penggunaan bahasa daerah dan penamaan terhadap
diri tokoh.
4. Tema
dan amanat
Secara etimologis kata tema berasal dari istilah
meaning, yang berhubungan arti, yaitu sesuatu yang lugas, khusus, dan objektif.
Sedangkan amanat berasal dari kata significance, yang berurusan dengan makna,
yaitu sesuatu yang kias, umun dan subjektif, sehingga harus dilakukan
penafsiran. Melalui penafsiran itulah yang memungkinkan adanya perbedaan
pendapat (Juhl dalam Teeuw, 1984: 27). Baik pengertian tentang “arti” maupun
“makna” keduanya memiliki fungsi yang sama sebagai penyampai gagasan atau ide
kepengarangan.
Lebih jauh Sudjiman memberikan pengertian bahwa tema
merupakan gagasan, ide atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra
(1992:52). Dari sebuah karya sastra adakalanya dapat diangkat suatu ajaran
moral atau pesan yang ingin disampaikan pengarang, itulah yang disebut amanat.
Jika permasalahan yang diajukan juga diberi jalan keluarnya oleh pengarang,
makan jalan keluarnya itulah yang disebut amanat. Amanat yang terdapat pada
sebuah karya sastra, bisa secara inplisit ataupun secara eksplisit. Implisit
jika jalan keluar atau ajaran moral diisyaratkan dalam tingkah laku tokoh
menjelang cerita berakhir. Eksplisit jika pengarang pada tengah atau akhir
cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasehat, dan sebagainya.
(Sudjiman, 1992: 57-58).
B. Sinopsis Ronggeng Dukuh Paruk (
Trilogi 1)
Dukuh
Paruk adalah sebuah desa kecil yang terpencil dan miskin. Namun, warganya
memiliki suatu kebanggaan tersendiri karena mewarisi kesenian ronggeng yang
senantiasa menggairahkan hidupnya. Tradisi itu nyaris musnah setelah terjadi
musibah keracunan tempe bongkrek yang mematikan belasan warga Dukuh Paruk
sehingga lenyaplah gairah dan semangat kehidupan masyarakat setempat. Untunglah
mereka menemukan kembali semangat kehidupan setelah gadis cilik pada umur belasan
tahun secara alamiah memperlihatkan bakatnya sebagai calon ronggeng ketika
bermain-main bersama Rasus, Warta, Darsun.
Permainan
menari itu terlihat oleh kakek Srintil, Sakarya, yang kemudian mereka sadar
bahwa cucunya sungguh berbakat menjadi seorang ronggeng. Berbekal keyakinan
itulah, Sakarya menyerahkan Srintil kepada dukun ronggeng Kartareja. Dengan
harapan kelak Srintil menjadi seorang ronggeng yang diakui oleh masyarakat.
Dalam waktu singkat, Srintil pun membuktikan kebolehannya menari disaksikan
orang-orang Dukuh Paruk sendiri dan selanjutnya dia pun berstatus gadis pilihan
yang menjadi milik masyarakat.
Sebagai
seorang ronggeng yang sah, Srintil harus menjalani serangkaian upacara
tradisional yang puncaknya adalah menjalani upacara bukak klambu, yaitu
menyerahkan keperawanannya kepada siapa pun lelaki yang mampu memberikan
imbalan paling mahal. Meskipun Srintil sendiri merasa ngeri, tak ada kekuatan
dan keberanian untuk menolaknya. Srintil telah terlibat atau larut dalam
kekuasaan sebuah tradisi, di sisi lain, Rasus yang mencintai gadis itu tidak
bisa berbuat banyak setelah Srintil resmi menjadi ronggeng yang dianggap milik
orang banyak. Oleh karena itu, Rasus memilih pergi meninggalkan Srintil
sendirian di Dukuh Paruk.
Kepergian
Rasus ternyata meninggalkan luka yang mendalam di hati Srintil dan kelak besar
sekali pengaruhnya terhadap perjalanan hidupnya. Rasus yang terluka hatinya
memilih meninggalkan Dukuh Paruk menuju pasar Dawuan,dan tempat itulah Rasus
mengalami perubahan garis perjalanan hidupnya dari seorang remaja dusun yang
miskin dan buta huruf menjadi seorang prajurit atau tentara yang gagah setelah
terlebih dahulu menjadi tobang. Dengan ketentaraannya itulah kemudian Rasus
memperoleh penghormatan dan penghargaan seluruh orang Dukuh Paruk, lebih-lebih
setelah berhasil menembak dua orang perampok yang berniat menjarah rumah
Kartareja yang menyimpan harta kekayaan ronggeng Srintil.
Beberapa
hari singgah di Dukuh Paruk Rasus sempat menikmati kemanjaan dan keperempuanan
Srintil sepenuhnya. Tapi itu semua tidak menggoyahkan tekadnya yang bulat untuk
menjauhi Srintil dan dukuhnya yang miskin. Pada saat fajar, Rasus melangkah
gagah tanpa berpamitan pada Srintil yang masih pulas tidurnya. Kepergian Rasus
tanpa pamit sangat mengejutkan dan menyadarkan Srintil bahwa ternyata tidak
semua lelaki dapat ditundukkan oleh seorang ronggeng. Setelah kejadian itu
Srintil setiap hari tampak murung dan sikap Srintil menimbulkan keheranan
orang-orang disekitarnya. Kebanyakan mereka tidak senang menyaksikan kemurungan
Srintil, sebab mereka tetap percaya ronggeng Srintil telah menjadi simbol
kehidupan Dukuh Paruk.
C.
Analisis
Struktural Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Tema
Dari
berbagai masalah, novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) dapat
dikelompokkan menjadi dua masalah pokok, yaitu masalah budaya, adat istiadat
dan keterbelakangan. Masalah adat dalam RDP diperjelas seperti dalam kutipan
berikut.
Adat
Dukuk Paruk mengajarkan, kerja sama antara ketiga laki-laki itu harus berhenti
di sini. Rasus, Warta, dan Darsun kini harus saling adu tenaga memperebutkan
umbi singkong yang baru mereka cabut (RDP: 11)
Dari
uraian diatas dapat diketahui bahwa kerja sama yang dilakukan bersama untuk
memperoleh suatu tujuan, harus berakhir ketika tujuan tersebut telah dicapai.
Hal itu dilakuakan untuk menemukan pemenang, siapa yang layak memperoleh bagian
yang lebih banyak dari apa yang diperoleh, dan ketika pemenang ditentukan maka
tidak ada protes diantara mereka, karena sudah merupakan adat dari daerah Dukuh
Paruk. Menanggapi hal itu dapat disimpilkan bahwa tidak ada budaya gotong
royong di RDP, yang ada hanyalah kerja sama kemudian kemudian bersaing untuk
menjadi pemenang.
Dari
masalah adat ini dapat diangkat tema mayor, yaitu bahwa adat masyarakat Dukuh
Paruk merupakan aturan yang harus dilestarikan oleh orang-orang seketurunan Ki
Secamenggala yang menjadi nenek moyang masyarakat Dukuh Paruk.
Masalah
keterbelakangan daerah dalam RDP terlihat dari kutipan berikut ini.
Entah
sampai kapan pemukiman sempit dan terpencil itu bernama Dukuh Paruk.
Kemelaratannya, keterbelakangannya, penghuninya yang kurus dan sakit, serta
sumpah serapah cabul menjadi bagiannya yang sah (RDP: 79)
Dari
uraian tersebut diketahui bahwa tema pokok dalam RDP, yaitu pertentangan antara
keramat Ki Secamenggala dengan kaum terpelajar. Masyarakat Dukuh Paruk yang
karena kebodohannya tidak pernah menolak nasib yang diberikan alam, meraka
selalu memuja Kubur Ki Secamenggala yang terletak di punggung bukit kecil di
Tengah Dukuh Paruk. Kubur Ki Secamenggala tersebut menjadi kiblat kehidupan
kebatinan mereka. Gumpalan abu kemenyan pada nisan kubur Ki Secamenggala
membuktikan pola tingkah kebatinan orang Dukuh Paruk berpusat di sana. Hal itu
menggambarkan bahwa masyarakat Dukuh Paruk tidak mengalami perkembangan dalam
keilmuan, mereka hanya meneruskan tradisi yang diciptakan oleh nenek moyang,
yaitu Ki Secamenggala. Budaya tersebut digambarkan pengarang dalam novel ini
dengan mengangkat tema budaya ronggeng yang tidak dapat terpisahkan dari dukuh
paruk.
Pengarang
menjadikan Dukuh Paruk pendukuhan yang terkenal dengan dunia peronggengan.
Dukuh paruk tanpa ronggeng bukanlah Dukuh Paruk karena ronggeng merupakan ciri
khas dari pendukuhan Dukuh paruk. Ronggeng yang diceritakan dalam novel
tersebut bernama srintil. Dari awal Bab di Novel menceritakan dari srintil
masih kecil hingga dia menjadi Ronggeng Dukuh Paruk, dia dipercaya sebagai
seorang ronggeng sejati yang kemasukan indang ronggeng. Indang adalah
semacam wangsit yang dimuliakan di dunia peronggengan. Selain itu ada kepercayaan
bahwa srintil dilahirkan di Dukuh Paruk atas restu arwah Ki Secemenggala dengan
tugas menjadi Ronggeng. Sehingga dapat disimpulkan Dukuh Paruk hanya lengkap
ketika ada keramat ki Secamenggala, ada seloroh cabul, ada sumpah serapah, dan
khusunya ada ronggeng bersama perangkat calungnya.
Latar
1. Latar
Tempat
Novel
RDP berlatar utama di pendukuhan yang bernama Dukuh Paruk. Latar tempat ini
terlihat dalam kutipan berikut.
Dua
pululuh tiga rumah berada di pendukuhan itu, di huni oleh orang-orang
seketurunan. Di Dukuh Paruk inilah akhirnya Ki Secamenggala menitipkan darah
dagingnya (RDP: 10)
Dari kutipan diatas dapat diketahui
bahwa latar tempat di dalam rumah novel RDP terjadi di Dukuh Paruk sedangkan
latar tempat di luar rumah tidak ditemukan dalam novel. Adanya dua puluh tiga
rumah di pendukuhan menggambarkan bahwa Dukuh Paruk merupakan pemukiman kecil
yang keberadaannya ditempat terpencil. Dari kutipan diatas juga terlihat jelas
bahwa masyarakat Dukuh Paruk dihuni oleh masyarakat seketurunan, yang mana Ki Secamenggala
adalah orang pertama yang tinggal di Dukuh Paruk menjadi nenek moyang mereka.
Latar utama yang terjadi di Dukuh paruk memunculkan latar pendukung. Hal ini
terdapat dalam latar berikut.
a. Di
tepi kampung
Di
tepi kampung ini menjadi latar rasus dan temannya Darsun dan Warta mencabut
batang singkong yang menjadi cerita pertama yang terdapat dalam novel (RDP:
10).
b. Di
pelataran yang membatu di bawah pohon nangka
Tempat
tersebut merupakan tempat srintil sering bermain dengan mendedangkan lagu
kebanggan para ronggeng. Selain itu di bawah pohon nangka srintil sering menari
dan bertembang (RDP: 13).
c. Di
halaman rumah Kartareja
Tempat
ini menjadi bagian dari upacara sacral yang dipersembahkan kepada leluhur Dukuh
Paruk sebelum menuju pekuburan dukuh paruk (RDP: 45)
d. Di
Perkuburan Ki Secamenggala
Latar
ini syarat srintil untuk menjadi seorang ronggeng yaitu srintil melakukan
upacara pemandian di pekuburan ki secamenggala (RDP: 46)
e. Pasar
Dawuan
Tempat
ini adalah tempat yang dituju rasus ketika meninggalkan Dukuh paruk. Hal ini
secara implicit terdapat dalam kutipan berikut.
“Sampai
hari-hari pertama aku menghuni pasar Dawuan, aku menganggap nilai-nilai yang
kubawa dari Dukuh Paruk secara umum berlaku pula di semua tempat (RDP: 84).”
Kutipan diatas menggambarkan bahwa ketika rasus
meninggalkan Dukuh Paruk, dia menghabiskan hari-harinya di pasar Dawuan sebagai
pengupas singkong. Dengan pekerjaan itu rasus dapat bertahan hidup dari
mendapatkan upah pedagang singkong. Tapi tak kemudian dia menjadi
seorang tobang.
f. Di
Hutan
Tempat
ini menjadi tempat berburu Rasus, Sersan slamet dan Kopral Pujo (RDP: 95)
g. Di
Rumah Sakarya
Latar
ini menjadi tempat pertama yang di datangi oleh perampok ketika ingin merampok
harta milik srintil, tapi saat itu srinti sedang berada di rumah kartareja,
hingga akhirnya perampok berbelok ke rumah kartareja (RDP: 101)
h. Di
Beranda Rumah Nenek Rasus
Tempat
ini menggambarkan ketika rasus pulang kerumah neneknya ketika dia selesai
menangkap perampok yang ada di Dukuh Paruk, tapi kemudian di kembali menjadi tobang(RDP:
103)
2. Latar
Waktu
Dukuh Paruk adalah pemukiman di tengah hamparan
sawah yang luas terdapat dua puluh tiga rumah, dihuni oleh orang-orang
seketurunan. Cerita dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk tidak punya tanggal tapi
novel trilogi ini terjadi tahun 1965. Hal ini tercermin ketika srintil terlibat
dalam kekalutan politik pada tahun 1965. Sedang latar terjadinya peristiwa
kematian sebagian warga Dukuh Paruk akibat keracunan tempe bongkrek terjadi
tahun 1946. Hal ini secara eksplisit disampaikan pengarang sebagaimana
tampak pada kutipan berikut.
Seandainya
ada seorang di Dukuh Paruk yang pernah bersekolah, dia dapat mengira-ngira saai
itu hampir pukul dua belas tengah malam, tahun 1964. Semua penghuni pendukuhan
itu telah tidur pulas, kecuali santayib, ayah srintil (RDP: 21).
Kutipan diatas mengambarkan bahwa kematian sebagian
masyarakat Dukuh paruk terjadi pada 1946 yang mana saat saat itu srintil masih
kecil. Dalam novel ini seseorang yang disalahkan atas terjadinya kematian
masyarakat Dukuh paruk akibat tempe bongkrek ada santayib. Latar waktu dalam
novel RDP juga terjadi tahun 1960. Hal ini tergambar pada kutipan berikut.
“Tahun
1960 wilayah kecamatan Dawuan tidak aman. Perampok dengan kekerasan senjata
sering terjadi. Tidak jarang perampok membakar rumah korbannya (RDP: 90).”
Kutipan di atas menggambarkan peristiwa fenomenal
yang terjadi dalam novel RDP tidak hanya kematian akibat tempe bongkrek, tapi
peristiwa perampokan yang terjadi di Dawuan. Peristiwa tersebut masyarakat
Dawuan khususnya dan rasus tokoh pendatang dari Dukuh Paruk.
Adapun Latar waktu yang tergambar dari novel
Ronggeng Dukuh paruk diantaranya sebagai berikut.
a. Sore
hari
Waktu ini tergambar
dari kutipan berikut.
“Ketiganya patuh. Ceria
di bawah pohon nagnka itu belanjut sampai matahari menyentuh garis cakrawala
(RDP: 14).”
Kutipan
diatas menceritakan tentang Rasus, Darsun, dan warta ketika mengiringi srintil
menari hingga sore hari. Pengarang menggambarkan waktu ini dengan bahasa yang
sederhana yaitu “matahari menyentuh garis cakrawala”.
b. Tengah
malam
Waktu tengah malam tergambar dari
kutipan berikut.
“Seandainya
ada seorang di Dukuh Paruk yang pernah bersekolah, dia dapat mengira-ngira saat
itu hampir pukul dua belas tengah malam, tahun 1946 (RDP:21).”
Kutipan
diatas mengambarkan malam sebelum terjadinya keracunan tempe bongkrek yang
dialami masyarakat Dukuh Paruk. Waktu yang ditegaskan dalam kutipan di atas
adalah tengah malam, yang mana waktu tersebut menjadi latar waktu dalam novel
ini.
c. Tengah
hari (Siang)
Latar waktu tengah hari
terlihat dalam kutipan berikut.
“Namun semuanya berubah
menjelang tengah hari. Seorang anak berlari-lari dari sawah sambil memegangi
perut (RDP: 24)”
Kutipan di atas
menegaskan bahwa racun dalam tempe bongkrek mulai bereaksi ketika tengah hari
dimana setelah masyarakat Dukuh Paruk selesai melakukan aktivitas di sawah.
Dalam kutipan tersebut latar waktu yang terjadi tengah hari.
d. Pagi
Latar waktu pagi
digambarkan dalam kutipan berikut.
Matahari mulai kembali
pada lintasannya di garis khatulistiwa. Angin tenggara tidak lagi bertiup
(RDP:44)
Kutipan di atas
merupakan salah satu latar dalam novel RDP ketika waktu pagi, yang
menggambarkan waktu pagi telah terasa.
e. Malam
hari
Waktu malam hari tergambar dari
kutipan berikut.
Karena gelap aku tak dapat melihat
dengan jelas.
Dari kutipan di atas dapat diketahui
bahwa waktu terjadinya ketika malam hari. Dengan adanya kata gelap yang memperjelas
latar waktu tersebut.
Tokoh dan Penokohan
Novel Ronggeng Dukuh Paruk menyajikan
gaya penokohan naratif, yaitu cara mendeskripsikan watak tokoh cerita yang
diambil alih oleh seorang pencerita tunggal, yaitu Rasus. Dalam novel RDP,
pencerita memaparkan watak tokoh-tokoh cerita dan menambahkan komentar tentang
watak tersebut.
1. Tokoh
utama
Tokoh utama dalam novel RDP adalah Rasus, pengarang
menampilkan rasus sebagai narrator dalam peristiwa novel RDP sedang srintil
ditampilkan sebagai tokoh yang diceritakan Rasus. Tokoh Rasus merupakan
tokoh yang serba tahu akan segala peristiwa dalam cerita itu. Rasus dilukiskan
sebagai seorang pemuda rakyat biasa yang tidak mempunyai status kebangsaan,
tinggal di daerah terpencil yang mempunayi status rendah, kurang pengetahuan
serta mudah rapuh. Hal ini secara eksplisit disampaikan pengarang sebagaimana
tampak pada kutipan berikut.
“Aku
tidak rela hal semacam itu terjadi. Tetapi lagi-lagi terbukti seorang anak dari
Dukuh Paruk bernama Rasus terlalu lemah untuk menolak hal buruk yang amat
dibencinya. Jadiaku hanya bisa mengumpat dalam hati dan meludah. Asu
buntung!.” (RDP: 53)
Dalam kutipan di atas watak rapuh Rasus tampak jelas
dalam pengakuannya bahwa kejadian tersebut disebabkan oleh ketidakmampuannya
melawan hukum pasti di Dukuh Paruk yang harus dilakukan seorang ronggeng yaitu
malam bukak-klambu. Rasus harus merelakan orang yang dicintainya
yaitu srintil untuk menyelesaikan persyaratan terakhir menjadi seorang ronggeng
yang bernama bukak-klambu. Menghadapi hal itu rarus tidak dapat
berbuat apa-apa, dia hanya dapat pasrah pada apa yang akan terjadi pada
srintil.
2. Tokoh
Pembantu Utama
Tokoh pembantu utama dalam novel RDP adalah srintil,
pengarang menggambarkan srintil sebagai seorang ronggeng yang cantik
berperawakan menarik serta perempuan yang sempurna fisiknya yang dianggap
sebagai titisan dari Ki Secamanggala. Kutipan berikut memperlihatkan kecantikan
srintil serta kesempurnaan fisik yang dimilikinya.
“Mulutnya
mungil. Cambang tipis di pipinya menjadi nyata setelah Srintil dibedaki. Alis
yang diperjelas dengan jelaga bercampur getah pepaya membuatnya kelihatan seperti
boneka.”(RDP: 18)
Pengarang dalam kutipan di atas menampilkan tokoh
utama Srintil sebagai seorang ronggeng yang sempurna, yaitu dengan kecantikan
dan fisik yang dimilikinya. Srintil yang sebelumnya hanya anak Dukuh Paruk
biasa yang tidak mempunyai status kebangsaan dijadikan pengarang sebagai
perempuan mempunyai status yang tinggi ketika menjadi ronggeng. Hal tersebut
menimbulkan perubahan watak yang dimiliki Srintil. Dulu srintil yang sering
bermain bersama Rasus, Warta dan Darsun tapi setelah menjadi seorang ronggeng
dia sudah tidak ada waktu untuk bermain bersama mereka. Dari situ sangat
terlihat perubahan sifat srintil.
3. Tokoh
Bawahan
Tokoh
bawahan menurut Grimes (dalam panuti Sudjiman, 1988: 19), merupakan tokoh yang
tidak sentral kedudukannya di dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat
diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama. Dalam novel RDP memiliki
sembilan tokoh bawahan dari analisis novel yang dilakukan. Tokoh bawahan dalam
novel RDP diantaranya:
a. Warta :
bersahabat, perhatian dan penghibur
Bukti bahwa Warta bersahabat “ Di tepi
kampung, tiga orang anak laki-laki sedang bersusah payah mencabut sebatang
singkong.”
Bukti bahwa Warta perhatian dan
penghibur “Rasus, kau boleh sakit hati. Kau boleh cemburu. Tetapi selagi kau
tak mempunyai sebuah ringgit emas, semuanya menjadi sia-sia.”
“Tidak apa-apa Warta. Percayalah
sahabatku, tak ada yang salah pada diriku. Aku terharu. Suaramu memang bisa
membuat siapa pun merasa begitu terharu.”
b. Dursun :
bersahabat
Bukti bahwa Dursun bersahabat Di tepi
kampung, tiga orang anak laki-laki sedang bersusah payah mencabut sebatang
singkong.”
c. Sakarya
(Kakek Srintil): Penyayang, tega
Bukti
bahwa Sakarya penyayang “dibawah lampu minyak yang bersinar redup. Sakarya,
kamitua di pedukuhan kecil itu masih merenungi ulah cucunya sore tadi.”
Bukti
bahwa Sakarya tega “Jangkrik!” sahutku dalam hati. “kamu si tua bangka dengan
cara memperdagangkan Srintil.”
d. Kartareja
dan Nayi Kartareja : mistis, egois
Bukti
bahwa Kartareja dan Nyai Karateja mistis “Satu hal disembunykan oleh Nyai
Kartareja terhadap siapa pun. Itu ketika dia meniuokan mantra pekasih ke
ubun-ubun Srintil.”
“Tiba
giliran bagi Kartareja. Setelah komat-kamit sebentar, laki-laki itu memberi
aba-aba....”
e. Sakum :
hebat
Bukti
bahwa Sakum hebat “ Sakum, dengan mata buta mampu mengikuti secata seksama
pagelaran ronggeng.”
f. Nenek
Rasus : linglung
Bukti
bahwa Nenek Rasus pikun “ Ah, semakin tua nenekku. Kurus dan makin bungkuk.
Kasian, Nenek tidak bisa banyak bertanya kepadaku. Linglung dia.”
g. Dower :
mengusahakan segala macam cara
Bukti bahwa Dower mengusahakan “ pada
saja baru ada dua buah perak. Saya bermaksud menyerahkannya kepadamu sebagai
panjar. Masih ada waktu satu hari lagi. Barangkali besok bisa kuperoleh
seringgit emas.”
“Aku datang lagi kek. Meski bukan
sekeping ringgit emas yang kubawa, kuharap engkau mau menerimanya.”
(Tohari,Ahmad, 2008:41)
h. Sulam :
penjudi dan berandal, sombong
Bukti bahwa Sulam penjudi dan berandal “
Dia juga kenal siapa Sulam adanya; anak seorang lurah kaya dari seberang
kampung. Meski sangat muda, Sulam dikenal sebagai penjudi dan berandal.”
Bukti bahwa Sulam sombong “ Sebuah
pertanyaan yang menghina, kecuali engkau belum mengenalku. Tentu saja aku
membawa sebuah ringgit emas. Bukan rupiah perak, apalagi kerbau seperti anak
pecikalan ini.”
i.
Siti :
alim
Bukti
bahwa Siti alim “hw, jangan samakan Siti dengan gadis-gadis di Dukuh Paruk. Dia
marah karena kau memperlakukannya secara tidak senonoh.” (Siti meleparkan
singkong ke arah Rasus)”
j.
Sersan Slamet : penyuruh,
tegas
Bukti bahwa Sersan Slamet penyuruh
“Pekerjaan dimulai.peti-prti logam serta barang lainnya diangkat ke atas pundak
dan kubawa ke sebuah rumah....”
Bukti bahwa Sersan Slamet tegas
“Katakan; ya! Kami tentara. Kami memerlukan ketegasan dalam setiap sikap,” kata
Sersan Slamet tegas
k. Kopral
Pujo : penakut
Bukti bahwa Kopral Pujo
penakut “ mengecewakan
Alur
Cerita
Bagian pertama novel RDP diawali dengan peristiwa
yang menunjukkan alur mundur, yaitu peristiwa malapetaka yang terjadi di Dukuh
paruk akibat keracunan tempe bongkrek. Hal ini tergambar dari kutipan berikut.
Sebelas
tahun yang lalu ketika srintil masih bayi. Dukuh Paruk yang kecil basah kuyup
tersiram hujan lebat. Dalam kegelapan yang pekat, pemukiman yang kecil itu
lengang, amat lengang. (RDP: 21)
Kutipan di atas memberi gambaran bahwa kejadian
malapetaka yang membunuh sebagian masyarakat Dukuh Paruk akibat keracunan tempe
bongkrek terjadi sebelas tahun yang lalu yaitu ketika srintil masih kecil.
Kutipan di atas juga menjadi paragraf awal novel dalam penceritaan tentang
malapetaka tempe bongkrek. Sehingga dapat diketahui bahwa penceritaan tentang
malapetaka tempe bongkrek dalam novel menggunakan alur mundur. Sedangkan pada
bagian kedua dan seterusnya menggunakan alur maju yang menceritakan tentang
inti dari cerita novel RDP, yaitu kisah Srintil dengan Rasus dan kisah Srintil
yang menjadi Ronggeng baru setelah tidak adanya Ronggeng selama 11 tahun serta
kebingungan rasus akan asal-usul ibunya yang menghilang sejak ia kecil. Adanya
alur maju terlihat dari kutipan berikut.
Sudah
dua bulan Srintil menjadi ronggeng. Namun adat Dukuh Paruk mengatakan masih ada
dua tahapan yang harus dilaluinya sebelum Srintil berhak menyebut dirinya
seorang ronggeng yang sebenarnya. (RDP: 43)
Kutipan di atas menjelaskan tentang srintil yang
sudah menjadi ronggeng. Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa alur
begerak maju sampai akhir cerita, yaitu dari srintil yang dulunya masih kecil
saat malapetaka tempe bongkrek dan sekarang sudah berusia 11 tahun menjadi
seorang ronggeng.
Tahap-tahap alur perkembangan alur secara rinci
terdiri dari lima bagian sebagai berikut.
1. Perkenalan
Dalam bab pertama Rasus, srintil,
santayib, dan sakarya diperkenalkan, bab pertama menceritakan tentang kehidupan
rasus dan srintil ketika masih kecil yang harus di tinggal oleh kedua orang tua
mereka karena peristiwa keracunan tempe bongkrek yang menimpa warga Dukuh
Paruk. Kemudian pada bab kedua menceritakan perihal kematian Emak rasus dan
kehidupan Ki Secamenggala, dalam bab dua emak rasus, nenek rasus, kartareja,
Nyai kartareja diperkenalkan. Dalam bab ketiga membicarakan tentang
sayembara bukak klambu, bab ini Dower dan Sulam diperkenalkan. Pada
bab keempat tokoh utama dibicarakan, dalam bab ini Sersan slamet dan Kopral
Pujo diperkenlakan.
2. Timbulnya
Konflik
Konflik
utama Ronggeng Dukuh Paruk, yaitu malapetaka keracunan tempe bongkrek yang
membunuh sebagian masyarakat Dukuh Paruk termasuk kematian ronggeng Dukuh paruk
yang terakhir serta penabuh gendang. Rasus sebagai tokoh utama yang juga
mengalami malapetaka tersebut. Munculnya konflik lain ditandai ketika srintil
mulai menjadi ronggeng baru, saat itu kehidupan srintil mulai berubah. Dari
yang dulunya sering bermain bersama Rasus, Warta, Darsun, tapi setelah menjadi
ronggeng dia sudah tidak ada waktu untuk bermain. Menanggapi hal itu Rasus
mulai renggang dengan srintil, wanita yang disukainya.
3. Peningkatan
konflik
Konflik
meningkat pada bab dua dan tiga. Konflik utama dikembangkan dengan kuat pada
bab tiga, yaitu ketika srintil harus menyelesaikan syarat terakhir menjadi
seorang ronggeng, syarat terakhir yang harus dipenuhi itu
bernama bukak-klambu. Sebuah syarat yang akan menggoyahkan hubungan
Rasus dan Srintil. Hal itu memunculkan kebencian yang mendalam bagi rasus atas
semua kebudayaan yang ada di Dukuh paruk.
4. Klimaks
Puncak
permasalahan terjadi ketika srintil telah menjadi seorang ronggeng Dukuh Paruk.
Itu tandanya srintil menjadi milik orang banyak dan rasus sebagai seorang
laki-laki yang menyukainya harus merelakan.
5. Pemecahan
masalah atau Penyelesaian
Penyelesaian
bagian pertama novel RDP yaitu ketika Rasus pergi meninggalkan Dukuh. Rasus
merasa dukuh paruk bertindak semena-mena dan hanya menciptakan kesengsaraan
baginya. Sebagai seorang anak yang menghubungkan diri emaknya dengan diri
srintil, Dukuh Paruk membuat noda dalam hidupnya. Kepergian Rasus untuk
menentukan pilihan-pilihan. Pilihan-pilihan itulah yang nantinya akan mengubah
segalanya, tentang Srintil, asal-usul ibunya, dan juga tujuan hidupnya.
Berdasarkan tahap-tahap alur yang
diuraikan di atas dapat disimpulkan alur yang terdapat dalam novel RDP yaitu
alur campuran
Sudut
Pandang
Berdasarkan
beberapa pandangan tentang pusat pengisahan, dapat diperoleh gambaran bahwa ada
beberapa kemungkinan yang dapat dipergunakan oleh pengarang dalam menceritakan
ceritanya melalui pusat pengisahan, seperti halnya dalam novel RDP pada bagian
pertama menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu. Hal ini terdapat
dalam kutipan berikut.
Ia
merasa srintil telah menjadi milik semua orang Dukuh Paruk. Rasus cemas tidak
bisa lagi bermain sepuasnya dengan Srintil di bawah pohon nangka. Tetapi Rasus
tak berkata apapun. (RDP: 20)
Pengarang
dalam kutipan di atas ikut terlibat dalam cerita sekaligus sebagai pengamat.
Penggunaan orang ketiga dalam novel ini dapat dikatakan logis, dalam gaya
penceritaan orang ketiga serta serba tahu karena pengarang berada di luar
cerita, pengarang mengetahui batin tokoh utama, seperti tokoh Rasus ketika
menyaksikan pentas menari srintil. Pengarang seperti ikut merasakan apa yang
dirasakan Rasus, yaitu perasaan hati Rasus Sedangkan pada bagian kedua sampai
seterusnya ditampilkan dengan Sudut pandang orang pertama pelaku utama, yaitu
Rasus yang di sebut “aku”. “Aku” yang bercerita dalam novel RDP mempunyai dua
kemungkinan. Pertama, “aku” pencerita yang berkedudukan sebagai pengarang yang
menyusun cerita. Kedua, “aku” tokoh utama yang mempunyai kedudukan yang dominan
pada cerita.Penggunaan sudut pandang orang pertama pelaku utama terlihat jelas
dalam kutipan berikut.
Aku
mengenal dengan sempurna setiap sudut tersembunyi di Dukuh paruk. Ketika
kartareja bercakap-cakap dengan Dower, aku mendengarnya dari balik rumpun
pisang di luar rumah. (RDP: 59-60)
Pada
kutipan di atas ditunjukkan dengan tidak adanya komentar pengarang dalam
cerita. Tokoh utama bercerita tentang dirinya sendiri melalui tingkah laku yang
diperankannya. Disamping itu, dari pemahaman tokoh aku tentang Dukuh Paruk
memperkuat dugaan sedut pandang pada bab dua sampai empat menggunakan orang
pertama pelaku utama.
Gaya
bahasa
Gaya Bahasa yang terlihat dalam novel
ini kadang membingungkan, karena terdapat bahasa jawa dan mantra-mantra jawa.
Uluk-uluk
perkutut manggung
Teka
saka negndi,
Teka
saba tanah sabrang
Pakanmu
apa
Pakanku
madu tawon
Manis
madu tawon,
Ora
manis kaya putuku, Srintil
Amanat
Jangan
melihat dan menilai dari luarnya saja, kita harus mengenal seseoag lebih dekat
agar dapat menilai seseorang dari hati. Selain itu kita juga harus mempunyai
rasa simpati dan mau memikirkan masalah kemanusiaan yang terjadi di sekeliling
kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar