#TugasIndividu
ANALISIS
NOVEL RADEN MANDASIA SI PENCURI DAGING SAPI BERDASARKAN PENDEKATAN RESEPSI
SASTRA
Landasan Teori
Secara
definitif resepsi sastra berasal dari kata recipere (latin), reception
(inggris) yang berarti sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti
luas resepsi didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna
terhadap karya sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Hal ini sejalan
dengan pendapat Pradopo bahwa resepsi sastra adalah estetika (ilmu keindahan)
yang mengacu kepada tanggapan atau resepsi pembaca karya sastra dari waktu ke
waktu.
Selanjutnya, Endraswara mengemukakan bahwa resepsi berarti menerima atau
penikmatan karya sastra oleh pembaca.
Berdasarkan
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa resepsi sastra merupakan penelitian
yang memfokuskan perhatian kepada pembaca, yaitu bagaimana pembaca memberikan
makna terhadap karya sastra, sehingga memberikan reaksi terhadap teks tersebut.
Pembaca yang dimaksudkan dalam resepsi terbagi menjadi dua, yaitu pembaca biasa
dan pembaca ideal. Pembaca biasa adalah pembaca dalam arti yang sebenarnya,
yang membaca karya sastra sebagai karya sastra bukan sebagai bahan penelitian.
Pembaca ideal adalah pembaca yang membaca karya sastra sebagai bahan
penelitian.
Dalam
penelitian resepsi ada dua cara, yaitu sastra sinkronis, meneliti karya sastra
dalam hubungannya dengan pembaca sezaman dan resepsi sastra diakronis
melibatkan pembaca sepanjang sejarah. Iser (Ibid: 182-203) mengintroduksi
konsep ruang kosong, ruang yang disediakan oleh penulis, dimana pembaca secara
kreatif, secara bebas dapat mengisinya.
Raden
Mandasia Si pencuri Daging Sapi
Judul: Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi
Penulis: Yusi Avianto Pareanom
Penerbit: Banana
Cetakan: I, Maret 2016
Tebal: 450 halaman
ISBN: 978-979-1079-52-5
Yusi Avianto Pareanom adalah lulusan Teknik Geodesi
Universitas Gadjah Mada. Ia pernah bekerja sebagai wartawan di majalah Forum
Keadilan dan Tempo. Selain itu, ia dikenal sebagai pekerja buku dan penulis
cerpen. Ia bekerja di Penerbit Banana yang menerbitkan beberapa terjemahannya,
termasuk The Catcher in the Rye karya J.D. Salinger. Beberapa cerpennya pernah
dimuat di Koran Tempo. Pada 2011 ia menerbitkan buku kumpulan cerpen Rumah Kopi
dan Singa Tertawa. Pada 2015 ia menerbitkan buku A Grave Sin No.14 and Other
Stories yang terbit dalam tiga bahasa, Indonesia, Jerman, dan Inggris. Raden
Mandasia si Pencuri Daging Sapi adalah novel perdana Yusi Avianto Pareanom.
Novel ini ditulis sebagai selingan di tengah penulisan naskah novel “Anak-Anak
Gerhana”. Novel Raden Mandasia diterbitkan oleh Penerbit Banana pada Maret
2016. Novel ini mendapat nominasi prosa terbaik Kusala Sastra Khatulistiwa2016.
Dalam novel berlabel dongeng ini, ada tiga cerpen yang pernah terbit di Koran
Tempo dan buku Rumah Kopi dan Singa Tertawa yang dimasukkan dalam cerita, yaitu
cerpen “Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi”, “Tiga Lelaki dan Seekor Anjing
yang Berlari”, dan “Telur Rebus dan Kulit Kasim”.
Raden
Mandasia Si Pencuri Daging Sapi berkisah tentang pengembaraan dua tokoh utama,
Sungu Lembu dan Raden Mandasia. Sungu Lembu adalah pemuda yang tangkas. Ia
dibekali ilmu bela diri oleh paman sekaligus pengasuhnya, Banyak Wetan, seorang
perwira. Ia juga pintar dan berwawasan luas karena ilmu pengetahuan yang ia
dapat dari buku-buku milik ayahnya, Lembu Kuning, yang merupakan pejabat
pemerintahan di Banjaran Waru. Kehidupan Sungu Lembu baik-baik saja sampai
suatu kejadian yang membuat ia geram. Sekelompok prajurit Gilingwesi, kerajaan
besar yang telah berkuasa atas wilayah Banjaran Waru, membuat kekacauan di
desanya. Dalam kekacauan tersebut, Banyak Wetan ditangkap. Sungu Lembu bertekad
melakukan apa pun demi membebaskan pamannya. Ia memulai perjalanannya dan pada
suatu hari ia bertemu Raden Mandasia, salah seorang pangeran Gilingwesi di
rumah pelesiran Nyai Manggis. Raden Mandasia berencana melakukan perjalanan ke
Gerbang Agung untuk mencegah peperangan antara Gilingwesi dan Gerbang Agung,
tempat incaran Watugunung berada, yaitu Putri Tabassum, putri yang konon
kecantikannya sangat luar biasa sehingga cermin pun akan pecah karena tidak
mampu memantulkan kecantikannya. Atas perintah istrinya, Dewi Sinta, Watugunung
bertekad menaklukkan kerajaan Gerbang Agung. Sungu Lembu pun bertekad menemani
Raden Mandasia melakukan pengembaraan ke Gerbang Agung dengan alasan
tersembunyi, mengincar kepala Watugunung.
Dalam pengembaraannya, mereka mendapat
pengalaman-pengalaman baru yang tak terduga. Raden Mandasia ternyata adalah
pencuri sapi yang unik. Ia suka memotong-motong daging sapi karena itu
merupakan puncak kesenangannya. Dalam perjalanan, mereka menghadapi banyak
sekali petualangan, seperti bercinta dengan penyanyi cacat, bertarung melawan
perompak dan hiu, hingga berunding dengan hartawan untuk menyelamatkan sang
juru masak, Loki Tua, agar dapat menjadi petunjuk arah ke Gerbang Agung. Tak
hanya itu, mereka harus berlari di atas gurun berhari-hari untuk bisa sampai ke
Gerbang Agung. Perang antara Gilingwesi dan Gerbang Agung pun tak terelakkan.
Mayat berguguran di mana-mana. Hingga akhirnya Sungu Lembu bisa berhadapan
langsung dengan Watugunung. Selain itu, terdapat rahasia yang mengejutkan di
balik pengembaraan dan perang besar tersebut.
Dongeng kontemporer yang diracik dengan diksi yang megah
namun tetap renyah dinikmati ini juga akan memperkaya khazanah kosakata bahasa
Indonesia. Banyak kata yang jarang digunakan (tapi ternyata ada) akan ditemukan
di novel ini. Tak hanya itu, kisah hidup Sungu Lembu dan Raden Mandasia juga
banyak memberikan pelajaran.
Kelebihan:
·
Unik.
Bercerita tentang petualangan seorang pangeran yang memiliki hobi mencuri
daging sapi meski mampu membelinya sendiri, semacam terkena penyakit
kleptomania.
·
Memenuhi
seluruh elemen dongeng yang penting. Ada kisah cinta, ada petualangan, ada
jagoannya, ada tokoh jahatnya. Namun karena ini dongeng dewasa, kisah cintanya
menjadi rumit dan tokoh baik-jahat pun dijadikan ‘abu-abu’.
·
Kosakatanya
yang tidak lazim. Seperti rungsing, jatmika, genah, dabal, cita, celar,
mendusin, merancap, cindai, culi, mandah, cantrik, kanuragan, soga, rudini,
gangsir, serasah, rigai, fuli, dll.
·
Karakter
utama yang dibawakan dengan sangat baik. Semua emosinya amat terasa. Karakter
lainnya, bahkan karakter pembantu sekalipun, sangat menarik.
·
Cerita
dengan banyak plot dan twist yang menyenangkan.
Kekurangan:
·
Karakter
‘Raden Mandasia’ justru tidak banyak porsinya dan kurang digali lebih dalam.
·
Adegan
seks di bab 2 yang sepertinya tidak terlalu perlu, karena tanpa adegan itu pun
latar belakang tokoh dapat diceritakan dengan baik, sehingga terkesan sedikit
dipaksakan.
·
Flashback
latar belakang tokoh-tokoh di bab 2 terlalu panjang, sementara saya sudah ingin
tahu cerita selanjutnya dan menjadi tidak sabar ingin buru-buru menyelesaikan
bab tersebut.
Analisis
Novel Raden Mandasia Si pencuri Daging Sapi
Yang pertama kali langsung terlintas dalam benak saya
saat sedang membacanya adalah bahwa novel ini seperti dongeng. Selain fakta
bahwa di dalam novel ini terdapat berbagai potongan dongeng/mitos dunia: waktu
dan tempatnya dibuat antah berantah, meskipun jika ditinjau, masih bisa
terdeteksi. Misalnya, Kelapa yang merujuk ke Sunda Kelapa atau Jakarta, Pulau
Padi yang merujuk ke Pulau Jawa, Pulau Swarna yang merujuk ke Swarnadwipa atau
Sumatra, Tanah Semenanjung yang merujuk ke Semenanjung Malaka, Jazirah Atas
Angin yang merujuk ke Hindia atau India, Jazirah Bulan Sabit yang merujuk ke
Jazirah Arab, dan sebagainya. Selain itu, tidak ada satuan ukuran jarak dan
waktu dalam novel ini yang ingin membuktikan bahwa latar waktu dalam novel ini
terjadi jauh sebelum Belanda mengajari kita baca-tulis. Yang ada adalah jarak
berapa depa, atau tombak; waktu matahari sepenggalah naik, terbenam matahari,
dan sebagainya. Hal tersebut dapat membuktikan bahwa waktu dalam latar novel
ini dapat merujuk ke masa Hindu-Buddha di Indonesia, atau masa-masa sebelum
Islam masuk ke Nusantara.
Bagi saya, membaca novel dengan latar antah berantah
adalah kesenangan tersendiri karena saya tidak perlu lagi memikirkan realitas
sosial dan sebagainya. Saya benar-benar dibuat takjub oleh kisahnya, sama
takjubnya seperti ketika saya pertama kali menonton 2001: A Space Odyssey
(1968) atau saat film pamungkan trilogi The Lord of the Rings (2001—2003) saat
membaca adegan-adegan perang dalam novel ini. Adegan-adegan pembantaian juga
mengingatkan saya pada serial TV Spartacus dan Game of Thrones. Hampir sama
seperti Spartacus, selain gore, novel ini juga dibumbui seksualitas. Dalam
novel ini, seksualitas digambarkan sebagai gairah anak muda, lelucon, hingga
pelampiasan. Tak mengherankan jika novel ini diberi label dewasa.
Dalam jagat perbukuan di Indonesia, novel ini
mengingatkan kita pada drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer yang juga penuh
aura kekerasan dan balas dendam. Gaya narator yang sering mengumpat dan bergaya
humor juga dapat mengingatkan kita pada roman Burung-Burung Manyar karya Y.B.
Mangunwijaya. Namun, dalam novel ini, Pareanom bertutur dengan bahasa yang
lebih halus dan polos, tetapi lebih banyak makian “anjing”-nya. Bagi kebanyakan
orang, novel ini terlihat nakal dan liar, karena banyak mengekspos adegan seks
dan erotisisme yang gamblang. Seakan akan pengarang sama liarnya dengan apa
yang ia tuliskan. Perayaan kecil setelah peperangan yang “ganjil” yang merujuk
pada praktik homoseksualisme oleh para pasukan berkuda juga semakin “meliarkan”
novel ini. Apalagi ditambah adegan-adegan “ganjil” lainnya yang bagi sebagian
orang, akan menambah keeksotisan novel ini.
Bagi penikmat sastra yang sudah terbuka, hal-hal “ganjil”
tersebut dapat mengundang tawa, atau pembaca dapat mengumpat berkali-kali saat
membacanya, seperti sang narator yang sering mengumpat. Terlebih, dalam dunia
perbukuan, erotisisme sudah bukan hal yang tabu. Hal tersebut mengingatkan saya
pada Saman yang dianggap sebagai pemicu “sastrawangi” di Indonesia. Namun, jika
kita menilik jauh ke belakang, bahkan dalam Serat Centhini pun, erotisisme
sudah ada. Bahkan, di relief Candi Borobudur paling bawah pun, yang sekarang
ditutupi oleh batu-batu untuk alasan “kesopanan”, seksualitas sudah ada,
terpahat berabad-abad yang lalu. Hal tersebut yang mungkin membuat Pareanom
memilih latar waktu Hindu-Buddha. Atau ia menyajikan latar zaman dahulu karena
memang ingin “berontak” dengan gaya hidup masa kini yang serba-instan.
Penyuguhan “dongeng” di masa kini, menimbulkan berbagai kemungkinan. Pertama,
Pareanom ingin mengolok-olok zaman sekarang. Yang kedua, Pareanom ingin
bernostalgia.
Bagi saya, novel ini merupakan “angin segar” bagi jagat
perbukuan di Indonesia. Jarang ada novel yang berani mengangkat dunia antah
berantah. Kebanyakan buku-buku fiksi di Indonesia memakai latar waktu yang
“jelas”, agar terlihat berbobot dan “suara kritikannya” jelas. Namun, saya
adalah penyuka jenis cerita yang dapat menyeret saya dari realitas sosial atau
dunia nyata. Karena saya mengharapkan membaca untuk dapat menghilangkan saya
pada realitas yang karut marut. Hadirnya buku ini membuktikan bahwa tahun ini
ada buku lokal yang wajib saya pajang di rak saya. Raden Mandasia Si Pencuri
Daging Sapi adalah novel yang mengagumkan, yang dapat menyeret saya pada
pengembaraan para tokoh-tokohnya, dan ikut merasakan apa yang narator rasakan,
mengumpat-umpat misalnya. Sebuah novel yang wajib dibaca untuk menambah
khazanah jagat perbukuan di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar