Senin, 12 Juni 2017

MUH. RIDHO S


#TugasIndividu


ANALISIS NOVEL RADEN MANDASIA SI PENCURI DAGING SAPI BERDASARKAN PENDEKATAN RESEPSI SASTRA

Landasan Teori
Secara definitif resepsi sastra berasal dari kata recipere (latin), reception (inggris) yang berarti sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Pradopo bahwa resepsi sastra adalah estetika (ilmu keindahan) yang mengacu kepada tanggapan atau resepsi pembaca karya sastra dari waktu ke waktu.
Selanjutnya, Endraswara mengemukakan bahwa resepsi berarti menerima atau penikmatan karya sastra oleh pembaca.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa resepsi sastra merupakan penelitian yang memfokuskan perhatian kepada pembaca, yaitu bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya sastra, sehingga memberikan reaksi terhadap teks tersebut. Pembaca yang dimaksudkan dalam resepsi terbagi menjadi dua, yaitu pembaca biasa dan pembaca ideal. Pembaca biasa adalah pembaca dalam arti yang sebenarnya, yang membaca karya sastra sebagai karya sastra bukan sebagai bahan penelitian. Pembaca ideal adalah pembaca yang membaca karya sastra sebagai bahan penelitian.
Dalam penelitian resepsi ada dua cara, yaitu sastra sinkronis, meneliti karya sastra dalam hubungannya dengan pembaca sezaman dan resepsi sastra diakronis melibatkan pembaca sepanjang sejarah. Iser (Ibid: 182-203) mengintroduksi konsep ruang kosong, ruang yang disediakan oleh penulis, dimana pembaca secara kreatif, secara bebas dapat mengisinya.

Raden Mandasia Si pencuri Daging Sapi

Judul: Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi
Penulis: Yusi Avianto Pareanom
Penerbit: Banana
Cetakan: I, Maret 2016
Tebal: 450 halaman
ISBN: 978-979-1079-52-5     
Yusi Avianto Pareanom adalah lulusan Teknik Geodesi Universitas Gadjah Mada. Ia pernah bekerja sebagai wartawan di majalah Forum Keadilan dan Tempo. Selain itu, ia dikenal sebagai pekerja buku dan penulis cerpen. Ia bekerja di Penerbit Banana yang menerbitkan beberapa terjemahannya, termasuk The Catcher in the Rye karya J.D. Salinger. Beberapa cerpennya pernah dimuat di Koran Tempo. Pada 2011 ia menerbitkan buku kumpulan cerpen Rumah Kopi dan Singa Tertawa. Pada 2015 ia menerbitkan buku A Grave Sin No.14 and Other Stories yang terbit dalam tiga bahasa, Indonesia, Jerman, dan Inggris. Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi adalah novel perdana Yusi Avianto Pareanom. Novel ini ditulis sebagai selingan di tengah penulisan naskah novel “Anak-Anak Gerhana”. Novel Raden Mandasia diterbitkan oleh Penerbit Banana pada Maret 2016. Novel ini mendapat nominasi prosa terbaik Kusala Sastra Khatulistiwa2016. Dalam novel berlabel dongeng ini, ada tiga cerpen yang pernah terbit di Koran Tempo dan buku Rumah Kopi dan Singa Tertawa yang dimasukkan dalam cerita, yaitu cerpen “Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi”, “Tiga Lelaki dan Seekor Anjing yang Berlari”, dan “Telur Rebus dan Kulit Kasim”.
            Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi berkisah tentang pengembaraan dua tokoh utama, Sungu Lembu dan Raden Mandasia. Sungu Lembu adalah pemuda yang tangkas. Ia dibekali ilmu bela diri oleh paman sekaligus pengasuhnya, Banyak Wetan, seorang perwira. Ia juga pintar dan berwawasan luas karena ilmu pengetahuan yang ia dapat dari buku-buku milik ayahnya, Lembu Kuning, yang merupakan pejabat pemerintahan di Banjaran Waru. Kehidupan Sungu Lembu baik-baik saja sampai suatu kejadian yang membuat ia geram. Sekelompok prajurit Gilingwesi, kerajaan besar yang telah berkuasa atas wilayah Banjaran Waru, membuat kekacauan di desanya. Dalam kekacauan tersebut, Banyak Wetan ditangkap. Sungu Lembu bertekad melakukan apa pun demi membebaskan pamannya. Ia memulai perjalanannya dan pada suatu hari ia bertemu Raden Mandasia, salah seorang pangeran Gilingwesi di rumah pelesiran Nyai Manggis. Raden Mandasia berencana melakukan perjalanan ke Gerbang Agung untuk mencegah peperangan antara Gilingwesi dan Gerbang Agung, tempat incaran Watugunung berada, yaitu Putri Tabassum, putri yang konon kecantikannya sangat luar biasa sehingga cermin pun akan pecah karena tidak mampu memantulkan kecantikannya. Atas perintah istrinya, Dewi Sinta, Watugunung bertekad menaklukkan kerajaan Gerbang Agung. Sungu Lembu pun bertekad menemani Raden Mandasia melakukan pengembaraan ke Gerbang Agung dengan alasan tersembunyi, mengincar kepala Watugunung.
Dalam pengembaraannya, mereka mendapat pengalaman-pengalaman baru yang tak terduga. Raden Mandasia ternyata adalah pencuri sapi yang unik. Ia suka memotong-motong daging sapi karena itu merupakan puncak kesenangannya. Dalam perjalanan, mereka menghadapi banyak sekali petualangan, seperti bercinta dengan penyanyi cacat, bertarung melawan perompak dan hiu, hingga berunding dengan hartawan untuk menyelamatkan sang juru masak, Loki Tua, agar dapat menjadi petunjuk arah ke Gerbang Agung. Tak hanya itu, mereka harus berlari di atas gurun berhari-hari untuk bisa sampai ke Gerbang Agung. Perang antara Gilingwesi dan Gerbang Agung pun tak terelakkan. Mayat berguguran di mana-mana. Hingga akhirnya Sungu Lembu bisa berhadapan langsung dengan Watugunung. Selain itu, terdapat rahasia yang mengejutkan di balik pengembaraan dan perang besar tersebut.
Dongeng kontemporer yang diracik dengan diksi yang megah namun tetap renyah dinikmati ini juga akan memperkaya khazanah kosakata bahasa Indonesia. Banyak kata yang jarang digunakan (tapi ternyata ada) akan ditemukan di novel ini. Tak hanya itu, kisah hidup Sungu Lembu dan Raden Mandasia juga banyak memberikan pelajaran.
Kelebihan:
·         Unik. Bercerita tentang petualangan seorang pangeran yang memiliki hobi mencuri daging sapi meski mampu membelinya sendiri, semacam terkena penyakit kleptomania.
·         Memenuhi seluruh elemen dongeng yang penting. Ada kisah cinta, ada petualangan, ada jagoannya, ada tokoh jahatnya. Namun karena ini dongeng dewasa, kisah cintanya menjadi rumit dan tokoh baik-jahat pun dijadikan ‘abu-abu’.
·         Kosakatanya yang tidak lazim. Seperti rungsing, jatmika, genah, dabal, cita, celar, mendusin, merancap, cindai, culi, mandah, cantrik, kanuragan, soga, rudini, gangsir, serasah, rigai, fuli, dll.
·         Karakter utama yang dibawakan dengan sangat baik. Semua emosinya amat terasa. Karakter lainnya, bahkan karakter pembantu sekalipun, sangat menarik.
·         Cerita dengan banyak plot dan twist yang menyenangkan.

Kekurangan:
·         Karakter ‘Raden Mandasia’ justru tidak banyak porsinya dan kurang digali lebih dalam.
·         Adegan seks di bab 2 yang sepertinya tidak terlalu perlu, karena tanpa adegan itu pun latar belakang tokoh dapat diceritakan dengan baik, sehingga terkesan sedikit dipaksakan.
·         Flashback latar belakang tokoh-tokoh di bab 2 terlalu panjang, sementara saya sudah ingin tahu cerita selanjutnya dan menjadi tidak sabar ingin buru-buru menyelesaikan bab tersebut.


Analisis Novel Raden Mandasia Si pencuri Daging Sapi
            Yang pertama kali langsung terlintas dalam benak saya saat sedang membacanya adalah bahwa novel ini seperti dongeng. Selain fakta bahwa di dalam novel ini terdapat berbagai potongan dongeng/mitos dunia: waktu dan tempatnya dibuat antah berantah, meskipun jika ditinjau, masih bisa terdeteksi. Misalnya, Kelapa yang merujuk ke Sunda Kelapa atau Jakarta, Pulau Padi yang merujuk ke Pulau Jawa, Pulau Swarna yang merujuk ke Swarnadwipa atau Sumatra, Tanah Semenanjung yang merujuk ke Semenanjung Malaka, Jazirah Atas Angin yang merujuk ke Hindia atau India, Jazirah Bulan Sabit yang merujuk ke Jazirah Arab, dan sebagainya. Selain itu, tidak ada satuan ukuran jarak dan waktu dalam novel ini yang ingin membuktikan bahwa latar waktu dalam novel ini terjadi jauh sebelum Belanda mengajari kita baca-tulis. Yang ada adalah jarak berapa depa, atau tombak; waktu matahari sepenggalah naik, terbenam matahari, dan sebagainya. Hal tersebut dapat membuktikan bahwa waktu dalam latar novel ini dapat merujuk ke masa Hindu-Buddha di Indonesia, atau masa-masa sebelum Islam masuk ke Nusantara.
Bagi saya, membaca novel dengan latar antah berantah adalah kesenangan tersendiri karena saya tidak perlu lagi memikirkan realitas sosial dan sebagainya. Saya benar-benar dibuat takjub oleh kisahnya, sama takjubnya seperti ketika saya pertama kali menonton 2001: A Space Odyssey (1968) atau saat film pamungkan trilogi The Lord of the Rings (2001—2003) saat membaca adegan-adegan perang dalam novel ini. Adegan-adegan pembantaian juga mengingatkan saya pada serial TV Spartacus dan Game of Thrones. Hampir sama seperti Spartacus, selain gore, novel ini juga dibumbui seksualitas. Dalam novel ini, seksualitas digambarkan sebagai gairah anak muda, lelucon, hingga pelampiasan. Tak mengherankan jika novel ini diberi label dewasa.
Dalam jagat perbukuan di Indonesia, novel ini mengingatkan kita pada drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer yang juga penuh aura kekerasan dan balas dendam. Gaya narator yang sering mengumpat dan bergaya humor juga dapat mengingatkan kita pada roman Burung-Burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya. Namun, dalam novel ini, Pareanom bertutur dengan bahasa yang lebih halus dan polos, tetapi lebih banyak makian “anjing”-nya. Bagi kebanyakan orang, novel ini terlihat nakal dan liar, karena banyak mengekspos adegan seks dan erotisisme yang gamblang. Seakan akan pengarang sama liarnya dengan apa yang ia tuliskan. Perayaan kecil setelah peperangan yang “ganjil” yang merujuk pada praktik homoseksualisme oleh para pasukan berkuda juga semakin “meliarkan” novel ini. Apalagi ditambah adegan-adegan “ganjil” lainnya yang bagi sebagian orang, akan menambah keeksotisan novel ini.
Bagi penikmat sastra yang sudah terbuka, hal-hal “ganjil” tersebut dapat mengundang tawa, atau pembaca dapat mengumpat berkali-kali saat membacanya, seperti sang narator yang sering mengumpat. Terlebih, dalam dunia perbukuan, erotisisme sudah bukan hal yang tabu. Hal tersebut mengingatkan saya pada Saman yang dianggap sebagai pemicu “sastrawangi” di Indonesia. Namun, jika kita menilik jauh ke belakang, bahkan dalam Serat Centhini pun, erotisisme sudah ada. Bahkan, di relief Candi Borobudur paling bawah pun, yang sekarang ditutupi oleh batu-batu untuk alasan “kesopanan”, seksualitas sudah ada, terpahat berabad-abad yang lalu. Hal tersebut yang mungkin membuat Pareanom memilih latar waktu Hindu-Buddha. Atau ia menyajikan latar zaman dahulu karena memang ingin “berontak” dengan gaya hidup masa kini yang serba-instan. Penyuguhan “dongeng” di masa kini, menimbulkan berbagai kemungkinan. Pertama, Pareanom ingin mengolok-olok zaman sekarang. Yang kedua, Pareanom ingin bernostalgia.
Bagi saya, novel ini merupakan “angin segar” bagi jagat perbukuan di Indonesia. Jarang ada novel yang berani mengangkat dunia antah berantah. Kebanyakan buku-buku fiksi di Indonesia memakai latar waktu yang “jelas”, agar terlihat berbobot dan “suara kritikannya” jelas. Namun, saya adalah penyuka jenis cerita yang dapat menyeret saya dari realitas sosial atau dunia nyata. Karena saya mengharapkan membaca untuk dapat menghilangkan saya pada realitas yang karut marut. Hadirnya buku ini membuktikan bahwa tahun ini ada buku lokal yang wajib saya pajang di rak saya. Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi adalah novel yang mengagumkan, yang dapat menyeret saya pada pengembaraan para tokoh-tokohnya, dan ikut merasakan apa yang narator rasakan, mengumpat-umpat misalnya. Sebuah novel yang wajib dibaca untuk menambah khazanah jagat perbukuan di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUH. RIDHO S

#TugasIndividu ANALISIS NOVEL RADEN MANDASIA SI PENCURI DAGING SAPI BERDASARKAN PENDEKATAN RESEPSI SASTRA Landasan Teori Secara d...