#cerpen
Savan
Malam
ini aku kembali bertengkar pada jiwaku, saling melempar tanya yang terus
menghantam jauh kedalam otakku. Aku merasa gila akan hal yang selalu kuresahkan.
Disaat yang lain sibuk merayakan akhir pekan bersama pacar ataupun
teman-temannya, disaat yang lain sibuk mengantri untuk masuk menonton Barasuara1 tampil dengan
lagunya yang penuh energi. Ataukah keluarga-keluarga kecil yang datang ke Pantai Losari2. Manusia-manusia
yang tampak bahagia saja dibalik jeruji yang penuh masalah. Aku sedikit lagi
gila, merasa nyaman berada didalam kamar yang gelap mengusir segala terang yang
tidak permisi untuk masuk kedalam duniaku.
Setahun
belakangan ini semenjak Ibu meninggalkanku dengan dua saudara laki-laki dan
tanpa seorang Ayah. Aku terus gelisah, khawatir, resah atau apapun yang
menggambarkan seorang anak perempuan yang memendam rengekan atas betapa bodohnya
dia selama ini. Kepuasan akan nikmat sesaat adalah yang paling munafik untukku
saat ini. Bahagia yang orang lain jadikan topeng sepertinya sudah terkubur
bersama pertanyaan yang terus tumbuh dan berakar dalam ragaku. Setiap hari aku
terus bertanya dan terus bertanya pada diriku sendiri, setiap hari aku
berandai-andai pada kemungkinan yang akan terjadi.
Pernah
suatu sore aku duduk diberanda dirumah, memperhatikan para tetangga yang
sepertinya memang bergosip adalah hobi serta rutinitas ketika mereka sedang
berkumpul. Entah itu adalah segerombolan ibu muda hingga tukang bakso pun turut
bercerita satu sama lain. Bercerita panasnya cuaca ataupun mengkritik
pemerintah setempat yang kurang memperhatikan lingkungan tempat tinggal kami
ini.
![]() |
1.
Barasuara adalah band asal Jakarta yang terbentuk pada tahun 2012, band
beraliran folk rock, pop dan blues ini digandrungi banyak kalangan
2.
Pantai Losari adalah pantai yang terletak di kota Makassar dan menjadi salah
satu daya tarik kota ini
Entah
karena keisenganku yang awalnya hanya ingin sedikit mendengarkan gosip mereka
malah menjadi rutinitasku ketika aku tidak sibuk berkutat pada tumpukkan
laporan ala mahasiswa tingkat 6. Akibat keisengan yang tidak sengaja menjadi
rutinitasku tersebut malah membuatku mulai menjadi manusia yang penuh tanda
tanya diatas kepalanya. Apalagi bisa dikatakan aku adalah orang yang tidak
terlalu rajin membaca buku untuk ukuran mahasiswa yang harusnya cerdas akademik
dan non akademik.
Hasil
duduk-dudukku diberanda depan rumah hari ini setelah menguping selama dua jam
adalah satu pertanyaan “kenapa mereka
mengeluh kebersihan lingkungan pada
pemerintah setempat? padahal yang menciptakan lorong penuh sampah dan got
tersumbat ini adalah mereka sendiri”. Pertanyaan sederhana yang siapapun
bisa menjawabnya tanpa harus berpikir keras ala ilmuan atau filsafat.
Pertanyaan mudah yang kadang kita tidak sadari bahwa hal sekecil ini bahkan
hanya jadi sebutir pasir dimata para manusia.
Semenjak
hari itu dan sekali lagi semenjak Ibu meninggalkanku, aku semakin mengurung
diri dalam penjara walaupun ragaku terbang bebas layaknya burung merpati.
Orang-orang akan menuduhku penyendiri jika aku tidak melakukan hal seperti
menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan kampus maupun hal-hal sepele lainnya.
Atau aku mungkin lupa menceritakan semasa masih di Sekolah Dasar semenjak orangtuaku memutuskan untuk berpisah, aku
sebelumnya sudah menjadi anak yang kesepian apa lagi saudara laki-lakiku sibuk
dengan masa remajanya masing-masing. Ah, maaf aku terlalu sibuk bernostalgia
pada lagu lama yang seharusnya kusimpan rapi dalam lemariku.
Oh
iya aku akan melanjutkan lagi. Setelah berdiskusi dengan diriku sendiri selama
beberapa hari, akhirnya dengan rasa resahku yang sudah bertamu dan mengusik
ketentraman sepakat bahwa aku akan terus duduk tiap sore didepan beranda rumah
atau pergi ketempat mana saja yang bisa menuntaskan rasa penasaranku dengan
mendengarkan orang-orang mengeluh.
Dan
hari ini aku memutuskan pergi di Komunikafe
sebuah kedai kopi yang tak jarang menjadi ajang tempat diskusi bersama orang
yang baru akan kutemui -menjadi orang yang sok berani adalah
syarat bertemu dengan orang baru, menurutku. Hari ini sama saja seperti yang
lalu-lalu ketika aku memilih tempat ini menjadi tempat menyendiri. Kedai kecil
yang hanya hidup dengan alunan lagu modern
abad ke-21 dan segelintir mahasiswa yang
berkutat dan mengeluh tentang tugas dan keadilan pemerintah. Ah lagi-lagi pemerintah
menjadi dalang lakon para wayang yang tidak puas atau tidak sesuai dengan
keinginan mereka, padahal ada hal-hal yang para wayang itu tidak sadari ketika
menuntut keadilan kepada dalangnya dan tidak memperhatikan lakon yang dia
mainkan sendiripun ternyata tidak adil kepada wayang lainnya.
Entah
bagaimana aku menjadi serakus ini dalam masalah orang lain. Apakah terlalu
keasyikan merenung dan menyendiri ditempat yang ramai malah membuatku seperti
ini? Apakah karena seharusnya kita memang bertanya-tanya seperti ini tentang
kehidupan?. Lagi-lagi aku terlalu banyak bertanya pada diriku sendiri, terlalu
banyak hal-hal yang sedari dulu seharusnya kupertanyakan tapi terkubur bersama
kepuasaan dan kefanaan yang aku ciptakan sendiri.
Sepulangnya
dari Komunikafe, aku kembali
menyusuri kota yang disetiap tempat ada bekas kenangan masing-masing orang yang
bisa saja menjadi penentu hari esoknya. Etalase-etalase mewah yang kulewati
bagai pecahan dari film yang pernah aku tonton, mungkin saja akan menjadi
tempatku berlabuh pada romansa yang selalu aku hindari atau mungkin juga
menjadi tempat berpisahnya pasangan seperti Ayah dan Ibuku. Ah lagi dan lagi
aku terlalu banyak berandai-andai. Sepanjang jalan sama saja seperti melihat
pemukiman dan lingkungan yang masih terjajah oleh feodalisme dan nepotisme yang
turun menurun akibat dari sebuah kepuasan.
Kadang
aku berpikir bahkan selalu berpikir..
Kemarin
aku disibukkan dengan menjadi pengiring tari 4 etnis (Makassar, Bugis, Mandar
dan Toraja) tarian khas dari 4 daerah yang berada di Sulawesi Selatan. Selama
gladi di salah satu hotel ternama di Makassar, aku yang sedang menunggu giliran
terus memperhatikan para pengisi acara lainnya. Para pegawai salah satu kantor
dinas disini mengambil andil dalam paduan suara, selamat gladi aku
memperhatikan mereka layaknya anak TK yang diarahkan oleh seorang laki-laki
tua, dituntun untuk bergoyang dan dimarahi seperti anak kecil didepan orang
banyak. Aku heran saja bagaimana mereka tetap bertahan seperti orang bodoh
padahal mereka tahu bahwa mereka mempermalukan diri sendiri demi tampil didepan
petinggi Negara yang menurutku hanya nyamuk yang menghisap hak dan harga
masyarakat.
Lagi-lagi
aku terlalu ikut campur dalam kehidupan orang lain. Mungkin saja mereka semua
punya alasan, seperti terpaksa karena keadaan atau malah ada yang menyukainya.
Aku setuju pada pembahasan bab I buku Dunia
Sophie3 bahwa kita
manusia hanya hidup dalam topi pesulap dimana kita tinggal diantara bulu
kelinci yang membuat kita nyaman dan tidak mencoba memanjat keluar dari kelinci
dan topi pesulap untuk melihat dunia yang sebenarnya. Inilah aku yang
seringkali mengaitkan sesuatu dan menganalogikan dengan diriku sendiri. Walau
terkadang banyak orang yang menganggap aku hanya mengatakan hal yang omong
kosong.
![]() |
3.
Dunia Sophie adalah sebuah novel karya Jostein Gaarder yang menceritakan
tentang dasar filsafat dalam kehidupan antara Sophie, seorang gadis remaja dan
seorang pria misterius bersama Alberto Knox.
Akhir-akhir
ini Indonesia sedang ramai dengan kasus agrarian diberbagai tempat. Rakyat
diperlakukan layaknya binatang, terusir dari tanah sendiri oleh oknum tidak
bertanggung jawab. Berkedok tentang kepemilikan tanah adalah milik mafia tanah
dan menjualnya pada industri kapitalis. Jika aku boleh menyebutnya, Indonesia telah
berada pada siaga satu. Tiap malam pun aku mungkin susah tidur karena takut
bila lingkungan rumahku yang menjadi korban penggusuran selanjutnya.
Pemerintah
sepertinya tutup kuping dan buta mata, jelas-jelas HAM; Hak Asasi Manusia
berubah menjadi Hak Asasi Menghilang. Seluruh elemen masyarakat tahu tetapi ada
yang apatis dan ada yang takut bahwa hidupnya akan berakhir seperti Munir. Contoh kasus Bara-baraya yang
berada di Makassar, kalah dipengadilan padahal ada tanah yang diklaim milik
penggugat yang mestinya mereka tuntut dengan bukti-bukti yang telah ada.
Sekarang
aku berpikir bahwa NKRI harga mati benar-benar terkubur dalam ideologi para
kaum pemodal. Hukum dinegara ini sepertinya hanya baju untuk menutupi luka-luka
para kapitalis. Dan rakyat miskin sepertinya hanya menumpang diatas tanah
Indonesia yang sama sekali tidak pernah merdeka.
***
Hari
ini aku pergi ke Benteng Rotterdam4
hanya sekedar bersenang-senang dengan diriku sendiri, yah aku menikmati
kesendirian karena merasa belum pantas menjadi pasangan ataupun sahabat dengan
keresahan yang bersarang dan menggorogoti seluruh aliran darahku.
![]() |
4.
Benteng Rotterdam adalah sebuah benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo yang
terletak di pinggir Pantai Losari.
Hari ini seperti biasa aku melihat
atau lebih tepatnya mengamati orang-orang yang berkunjung di Benteng ini. Pada
umumnya ada yang bersama keluarga, teman ataupun pasangannya masing-masing.
Tapi yang menarik perhatianku hari ini adalah aku sepertinya menemukan
orang-orang yang sepertiku, sendiri dalam diam kadang membaca buku kadang lagi
mengamati orang-orang yang berlalu lalang.
Sore sudah menyapa sedari tadi dan
tak lama lagi matahari akan tenggelam. Sepertinya aku ke Pantai Losari5 menemui matahari terbenam sambil
merenungkan kembali kehidupan yang sedari dulu tidak pernah seimbang. Hiruk
pikuk di tempat ini membludak tak kala sebentar lagi matahari berpamitan.
Sambil menikmati Pisang Epe6 di bibir pantai,
ada yang berdandan ala anak remaja masa kini, ada yang sibuk mencari nafkah
dengan berjualan kacang rebus. Seseorang lantas menyentuh bahuku.
“ikhlaskah
sekiranya berbagi tempat duduk denganku?” tanyanya
“iya
tentu saja, ini bukan tanahku dan semua berhak duduk disampingku atau
dimanapun” balasku
“Aku
Randy” katanya
Aku hanya membalas dengan senyuman
saja. Bagiku berkenalan dengan lelaki adalah jurang tersendiri. Randy
sepertinya mengerti watakku yang hanya diam sedari tadi.
![]() |
5.
Pantai Losari adalah pantai yang terletak di Makassar dan menjadi salah satu
tempat wisata yang terkenal di Makassar.
6.
Pisang Epe adalah makanan khas dari Makassar yang bahannya terdiri dari pisang
yang dibakar dan dijepit hingga gepeng dan disiram dengan air gula merah
“Mestikah
kamu berpikir keras tentang kehidupan dan keseimbangan?”
“Maksudmu?
Tahu dari mana kamu?”
“Terlalu
gampang membaca raut wajah yang resah pada hidup orang lain. Setidaknya kamu
tahu bahwa di dunia ini tidak ada keseimbangan dan keadilan, mereka hanya teori
yang lahir dari manusia-manusia yang menutupi kesalahannya. Kamu terlalu muda
untuk mati dalam pikiran yang kau ciptakan sendiri. Memang di negeri ini tidak
ada sama sekali keadilan, kepercayaanpun bisa dibeli oleh sesuatu yang bernama
uang. Jadi berhentilah terpenjara, hidupmu masih panjang dan kau perlu
menyelesaikan kuliahmu yang sudah dituntut oleh Almarhum ibumu..”
“Sebenarnya
kau siapa?”
“Aku
hanya seseorang yang resah terhadap dirimu, seseorang yang sepertinya ingin
selalu mencekikmu ketika kau berpikir dengan keras untuk mensejahterakan orang
lain dari pada dirimu. Itulah aku, Randy.”
Ia
tersenyum dan pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar