Senin, 12 Juni 2017

FITRI SYAMARKANDI


#cerpen
Savan

Malam ini aku kembali bertengkar pada jiwaku, saling melempar tanya yang terus menghantam jauh kedalam otakku. Aku merasa gila akan hal yang selalu kuresahkan. Disaat yang lain sibuk merayakan akhir pekan bersama pacar ataupun teman-temannya, disaat yang lain sibuk mengantri untuk masuk menonton Barasuara1 tampil dengan lagunya yang penuh energi. Ataukah keluarga-keluarga kecil yang datang ke Pantai Losari2. Manusia-manusia yang tampak bahagia saja dibalik jeruji yang penuh masalah. Aku sedikit lagi gila, merasa nyaman berada didalam kamar yang gelap mengusir segala terang yang tidak permisi untuk masuk kedalam duniaku.
Setahun belakangan ini semenjak Ibu meninggalkanku dengan dua saudara laki-laki dan tanpa seorang Ayah. Aku terus gelisah, khawatir, resah atau apapun yang menggambarkan seorang anak perempuan yang memendam rengekan atas betapa bodohnya dia selama ini. Kepuasan akan nikmat sesaat adalah yang paling munafik untukku saat ini. Bahagia yang orang lain jadikan topeng sepertinya sudah terkubur bersama pertanyaan yang terus tumbuh dan berakar dalam ragaku. Setiap hari aku terus bertanya dan terus bertanya pada diriku sendiri, setiap hari aku berandai-andai pada kemungkinan yang akan terjadi.
Pernah suatu sore aku duduk diberanda dirumah, memperhatikan para tetangga yang sepertinya memang bergosip adalah hobi serta rutinitas ketika mereka sedang berkumpul. Entah itu adalah segerombolan ibu muda hingga tukang bakso pun turut bercerita satu sama lain. Bercerita panasnya cuaca ataupun mengkritik pemerintah setempat yang kurang memperhatikan lingkungan tempat tinggal kami ini.


 
1. Barasuara adalah band asal Jakarta yang terbentuk pada tahun 2012, band beraliran folk rock, pop dan blues ini digandrungi banyak kalangan
2. Pantai Losari adalah pantai yang terletak di kota Makassar dan menjadi salah satu daya tarik kota ini
Entah karena keisenganku yang awalnya hanya ingin sedikit mendengarkan gosip mereka malah menjadi rutinitasku ketika aku tidak sibuk berkutat pada tumpukkan laporan ala mahasiswa tingkat 6. Akibat keisengan yang tidak sengaja menjadi rutinitasku tersebut malah membuatku mulai menjadi manusia yang penuh tanda tanya diatas kepalanya. Apalagi bisa dikatakan aku adalah orang yang tidak terlalu rajin membaca buku untuk ukuran mahasiswa yang harusnya cerdas akademik dan non akademik.
Hasil duduk-dudukku diberanda depan rumah hari ini setelah menguping selama dua jam adalah satu pertanyaan “kenapa mereka mengeluh kebersihan lingkungan pada pemerintah setempat? padahal yang menciptakan lorong penuh sampah dan got tersumbat ini adalah mereka sendiri”. Pertanyaan sederhana yang siapapun bisa menjawabnya tanpa harus berpikir keras ala ilmuan atau filsafat. Pertanyaan mudah yang kadang kita tidak sadari bahwa hal sekecil ini bahkan hanya jadi sebutir pasir dimata para manusia.
Semenjak hari itu dan sekali lagi semenjak Ibu meninggalkanku, aku semakin mengurung diri dalam penjara walaupun ragaku terbang bebas layaknya burung merpati. Orang-orang akan menuduhku penyendiri jika aku tidak melakukan hal seperti menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan kampus maupun hal-hal sepele lainnya. Atau aku mungkin lupa menceritakan semasa masih di Sekolah Dasar semenjak orangtuaku memutuskan untuk berpisah, aku sebelumnya sudah menjadi anak yang kesepian apa lagi saudara laki-lakiku sibuk dengan masa remajanya masing-masing. Ah, maaf aku terlalu sibuk bernostalgia pada lagu lama yang seharusnya kusimpan rapi dalam lemariku.
Oh iya aku akan melanjutkan lagi. Setelah berdiskusi dengan diriku sendiri selama beberapa hari, akhirnya dengan rasa resahku yang sudah bertamu dan mengusik ketentraman sepakat bahwa aku akan terus duduk tiap sore didepan beranda rumah atau pergi ketempat mana saja yang bisa menuntaskan rasa penasaranku dengan mendengarkan orang-orang mengeluh.
Dan hari ini aku memutuskan pergi di Komunikafe sebuah kedai kopi yang tak jarang menjadi ajang tempat diskusi bersama orang yang baru akan kutemui -menjadi orang yang sok berani adalah syarat bertemu dengan orang baru, menurutku. Hari ini sama saja seperti yang lalu-lalu ketika aku memilih tempat ini menjadi tempat menyendiri. Kedai kecil yang hanya hidup dengan alunan lagu modern abad ke-21  dan segelintir mahasiswa yang berkutat dan mengeluh tentang tugas dan keadilan pemerintah. Ah lagi-lagi pemerintah menjadi dalang lakon para wayang yang tidak puas atau tidak sesuai dengan keinginan mereka, padahal ada hal-hal yang para wayang itu tidak sadari ketika menuntut keadilan kepada dalangnya dan tidak memperhatikan lakon yang dia mainkan sendiripun ternyata tidak adil kepada wayang lainnya.
Entah bagaimana aku menjadi serakus ini dalam masalah orang lain. Apakah terlalu keasyikan merenung dan menyendiri ditempat yang ramai malah membuatku seperti ini? Apakah karena seharusnya kita memang bertanya-tanya seperti ini tentang kehidupan?. Lagi-lagi aku terlalu banyak bertanya pada diriku sendiri, terlalu banyak hal-hal yang sedari dulu seharusnya kupertanyakan tapi terkubur bersama kepuasaan dan kefanaan yang aku ciptakan sendiri.
Sepulangnya dari Komunikafe, aku kembali menyusuri kota yang disetiap tempat ada bekas kenangan masing-masing orang yang bisa saja menjadi penentu hari esoknya. Etalase-etalase mewah yang kulewati bagai pecahan dari film yang pernah aku tonton, mungkin saja akan menjadi tempatku berlabuh pada romansa yang selalu aku hindari atau mungkin juga menjadi tempat berpisahnya pasangan seperti Ayah dan Ibuku. Ah lagi dan lagi aku terlalu banyak berandai-andai. Sepanjang jalan sama saja seperti melihat pemukiman dan lingkungan yang masih terjajah oleh feodalisme dan nepotisme yang turun menurun akibat dari sebuah kepuasan.
Kadang aku berpikir bahkan selalu berpikir..
Kemarin aku disibukkan dengan menjadi pengiring tari 4 etnis (Makassar, Bugis, Mandar dan Toraja) tarian khas dari 4 daerah yang berada di Sulawesi Selatan. Selama gladi di salah satu hotel ternama di Makassar, aku yang sedang menunggu giliran terus memperhatikan para pengisi acara lainnya. Para pegawai salah satu kantor dinas disini mengambil andil dalam paduan suara, selamat gladi aku memperhatikan mereka layaknya anak TK yang diarahkan oleh seorang laki-laki tua, dituntun untuk bergoyang dan dimarahi seperti anak kecil didepan orang banyak. Aku heran saja bagaimana mereka tetap bertahan seperti orang bodoh padahal mereka tahu bahwa mereka mempermalukan diri sendiri demi tampil didepan petinggi Negara yang menurutku hanya nyamuk yang menghisap hak dan harga masyarakat.
Lagi-lagi aku terlalu ikut campur dalam kehidupan orang lain. Mungkin saja mereka semua punya alasan, seperti terpaksa karena keadaan atau malah ada yang menyukainya. Aku setuju pada pembahasan bab I buku Dunia Sophie3 bahwa kita  manusia hanya hidup dalam topi pesulap dimana kita tinggal diantara bulu kelinci yang membuat kita nyaman dan tidak mencoba memanjat keluar dari kelinci dan topi pesulap untuk melihat dunia yang sebenarnya. Inilah aku yang seringkali mengaitkan sesuatu dan menganalogikan dengan diriku sendiri. Walau terkadang banyak orang yang menganggap aku hanya mengatakan hal yang omong kosong.





 
3. Dunia Sophie adalah sebuah novel karya Jostein Gaarder yang menceritakan tentang dasar filsafat dalam kehidupan antara Sophie, seorang gadis remaja dan seorang pria misterius bersama Alberto Knox.
Akhir-akhir ini Indonesia sedang ramai dengan kasus agrarian diberbagai tempat. Rakyat diperlakukan layaknya binatang, terusir dari tanah sendiri oleh oknum tidak bertanggung jawab. Berkedok tentang kepemilikan tanah adalah milik mafia tanah dan menjualnya pada industri kapitalis. Jika aku boleh menyebutnya, Indonesia telah berada pada siaga satu. Tiap malam pun aku mungkin susah tidur karena takut bila lingkungan rumahku yang menjadi korban penggusuran selanjutnya.
Pemerintah sepertinya tutup kuping dan buta mata, jelas-jelas HAM; Hak Asasi Manusia berubah menjadi Hak Asasi Menghilang. Seluruh elemen masyarakat tahu tetapi ada yang apatis dan ada yang takut bahwa hidupnya akan berakhir seperti Munir. Contoh kasus Bara-baraya yang berada di Makassar, kalah dipengadilan padahal ada tanah yang diklaim milik penggugat yang mestinya mereka tuntut dengan bukti-bukti yang telah ada.
Sekarang aku berpikir bahwa NKRI harga mati benar-benar terkubur dalam ideologi para kaum pemodal. Hukum dinegara ini sepertinya hanya baju untuk menutupi luka-luka para kapitalis. Dan rakyat miskin sepertinya hanya menumpang diatas tanah Indonesia yang sama sekali tidak pernah merdeka.
***
Hari ini aku pergi ke Benteng Rotterdam4 hanya sekedar bersenang-senang dengan diriku sendiri, yah aku menikmati kesendirian karena merasa belum pantas menjadi pasangan ataupun sahabat dengan keresahan yang bersarang dan menggorogoti seluruh aliran darahku.


 
4. Benteng Rotterdam adalah sebuah benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo yang terletak di pinggir Pantai Losari.

            Hari ini seperti biasa aku melihat atau lebih tepatnya mengamati orang-orang yang berkunjung di Benteng ini. Pada umumnya ada yang bersama keluarga, teman ataupun pasangannya masing-masing. Tapi yang menarik perhatianku hari ini adalah aku sepertinya menemukan orang-orang yang sepertiku, sendiri dalam diam kadang membaca buku kadang lagi mengamati orang-orang yang berlalu lalang.
            Sore sudah menyapa sedari tadi dan tak lama lagi matahari akan tenggelam. Sepertinya aku ke Pantai Losari5 menemui matahari terbenam sambil merenungkan kembali kehidupan yang sedari dulu tidak pernah seimbang. Hiruk pikuk di tempat ini membludak tak kala sebentar lagi matahari berpamitan.
            Sambil menikmati Pisang Epe6 di bibir pantai, ada yang berdandan ala anak remaja masa kini, ada yang sibuk mencari nafkah dengan berjualan kacang rebus. Seseorang lantas menyentuh bahuku.
“ikhlaskah sekiranya berbagi tempat duduk denganku?” tanyanya
“iya tentu saja, ini bukan tanahku dan semua berhak duduk disampingku atau dimanapun” balasku
“Aku Randy” katanya
            Aku hanya membalas dengan senyuman saja. Bagiku berkenalan dengan lelaki adalah jurang tersendiri. Randy sepertinya mengerti watakku yang hanya diam sedari tadi.


 
5. Pantai Losari adalah pantai yang terletak di Makassar dan menjadi salah satu tempat wisata yang terkenal di Makassar.
6. Pisang Epe adalah makanan khas dari Makassar yang bahannya terdiri dari pisang yang dibakar dan dijepit hingga gepeng dan disiram dengan air gula merah
“Mestikah kamu berpikir keras tentang kehidupan dan keseimbangan?”
“Maksudmu? Tahu dari mana kamu?”
“Terlalu gampang membaca raut wajah yang resah pada hidup orang lain. Setidaknya kamu tahu bahwa di dunia ini tidak ada keseimbangan dan keadilan, mereka hanya teori yang lahir dari manusia-manusia yang menutupi kesalahannya. Kamu terlalu muda untuk mati dalam pikiran yang kau ciptakan sendiri. Memang di negeri ini tidak ada sama sekali keadilan, kepercayaanpun bisa dibeli oleh sesuatu yang bernama uang. Jadi berhentilah terpenjara, hidupmu masih panjang dan kau perlu menyelesaikan kuliahmu yang sudah dituntut oleh Almarhum ibumu..”
“Sebenarnya kau siapa?”
“Aku hanya seseorang yang resah terhadap dirimu, seseorang yang sepertinya ingin selalu mencekikmu ketika kau berpikir dengan keras untuk mensejahterakan orang lain dari pada dirimu. Itulah aku, Randy.”
Ia tersenyum dan pergi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUH. RIDHO S

#TugasIndividu ANALISIS NOVEL RADEN MANDASIA SI PENCURI DAGING SAPI BERDASARKAN PENDEKATAN RESEPSI SASTRA Landasan Teori Secara d...