Senin, 12 Juni 2017

SRI FITRIANI


#TugasIndividu


ANALISIS NOVEL 5 CM KARYA DONNY DHIRGANTORO DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA

A.    Identitas Buku
Judul: 5 cm
Pengarang: Donny Dhirgantoro
Penerbit: PT.Grasindo
Tahun terbit: 2011
Tempat terbit: Jakarta

Cetakan ke-: Dua puluh
Jumlah halaman: x + 381 halaman

B.     Sinopsis
Lima sahabat menjalin persahabatan sejak SMA. Persahabatan mereka telah berjalan selama tujuh tahun. Mereka sering menghabiskan waktu bersama. Ada Arial yang diakui paling tampan secara fisik. Genta sang pemimpin yang selalu melontarkan pendapat brilian, meski memendam cinta namun masih berpikir panjang untuk mengutarakan isi hatinya. Ada Riani, kembang satu-satunya. Zafran, si penyair yang kurus. Ian yang kerap diledek sebagai banana boat oleh keempat sahabatnya karena memiliki ukuran badan yang besar.
Lima sahabat ini menamakan diri mereka Power rangers. Ian adalah ranger terakhir yang masuk ke dalam dunia mereka. Pada awalnya, Ian adalah seorang yang tidak percaya diri. Ian adalah orang yang menyukai apa yang orang lain suka, bukan dirinya sendiri yang mengatakan suka. Ian merasa takut tidak diterima oleh keempat sahabatnya, akhirnya Ian sibuk jadi Genta, sibuk jadi Zafran, sibuk jadi Arial, sibuk menyukai semua yang empat sahabatnya suka. Tetapi pada akhirnya Ian menyadari bahwa ada yang lebih penting dari sekadar selera. Yang terpenting dalam sebuah persahabatan.adalah bagaimana mereka berlima dapat saling menghargai pendapat dan selera masing-masing.
Suatu hari mereka merasa sudah terlalu sering bersama, tiada hari tanpa berjumpa, diskusi, debat, nongkrong, nonton, dan ke kafe. Semua bagai de ja vu bagi mereka. Pada akhirnya mereka berada dalam kondisi yang terlalu nyaman tetapi juga merasa bosan. Kata-kata dari Plato yang dilontarkan Zafran membuat mereka tersadar bahwa ada dunia yang lebih luas di luar komunitas mereka berlima. Bahwa nantinya dalam kehidupannya setiap manusia akan terjebak dalam sebuah gua gelap yang berisi keteraturan kemapanan dan mereka senang berada di dalamnya. Karena mereka terbuai dengan segala kesenangan di sana dengan apa yang telah mereka capai, hingga akhirnya mereka takut keluar dari gua tersebut. Mereka memang bahagia, tetapi diri mereka kosong dan mereka tidak pernah menemukan siapa diri mereka sebenarnya, mereka tidak memiliki mimpi. Di dalam gua, dunia tampak aman dan nyaman, tak banyak konflik, yang ada hanyalah rutinitas. Namun di dalam gua tersebut mereka cenderung tidak berani mengejar mimpi karena takut kehilangan kestabilan dalam hidup, takut gagal. Takut ketika keluar gua, mereka akan mati tertindas oleh gegap gempitanya dunia.
Terjadi pertentangan dalam diri Arial, Genta, Ian, Riani, dan Zafran, apakah mereka akan tetap berada dalam komunitas lima sahabat itu atau memilih keluar melihat dunia di luar komunitas mereka. Mereka kemudian sepakat untuk berpisah sementara waktu, tidak saling berkomunikasi dan bertemu satu sama lain selama tiga bulan. Selama tiga bulan berpisah, masing-masing tokoh kembali fokus pada pekerjaan mereka. Ian mulai kembali fokus dengan skripsinya. Ian berjuang menyelesaikan skripsinya. Ada konflik-konflik yang harus dihadapi Ian saat menyelesaikan skripsi. Dua kali mengalami penolakan ketika menyebarkan kuesioner penelitian, sempat membuat Ian putus asa. Namun dosen pembimbingnya selalu memberikan semangat setiap kali Ian mulai merasa putus asa. Kerja keras Ian tidak sia-sia, ia dapat menyelesaikan skripsinya, memperoleh gelar sarjana. Riani mulai sibuk magang di salah satu stasiun TV swasta. Genta juga sibuk bekerja di sebuah event organizer dan berhasil menyelenggarakan sebuah pameran komputer. Arial dan Zafran pun sibuk dengan mimpi masingmasing.
Pertemuan setelah tiga bulan yang penuh dengan rasa kangen akhirnya terjadi dan dirayakan dengan sebuah perjalanan. Genta mengusulkan untuk mengadakan pendakian ke gunung Mahameru. Mereka sepakat bertemu di stasiun kereta api pada tanggal 14 Agustus kemudian melakukan pendakian dan mengikuti upacara memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia tepat di dataran tertinggi pulau Jawa itu. Perjalanan dimulai dengan naik kereta ekonomi dari Jakarta menuju Malang. Selama perjalanan, mereka bertemu banyak orang dengan kisahnya masing-masing, membuat mereka mengambil pelajaran dari setiap kisah tersebut, banyak hal yang membuat mereka makin dewasa dan cerdas. Banyak persoalan terutama persoalan sosial yang mereka dapati selama perjalanan. Soal pungli kondektur kereta api, soal penumpang liar di kereta api, soal perang mulut antara supir angkot dengan penumpang hanya dikarenakan ongkos yang tak sesuai dengan tarif resmi. Semua pengalaman itu makin mendewasakan mereka.
Setibanya di kaki Mahameru, mereka berlima merasakan keindahan yang dianugerahkan Sang Pencipta. Pendakian dimulai dari Ranu Pane, Ranu kumbolo, padang ilalang, melewati padang edelweis, Kalimati, Arcopodo, mereka juga harus bertahan di antara hujan batu saat puncak Mahameru sudah semakin dekat. Dalam pendakian mereka mengalami banyak masalah, kekurangan air minum, kondisi cuaca yang panas, kondisi fisik yang mulai menurun, juga kecelakaan saat pendakian menyebabkan para tokoh terluka.
Keyakinan lima tokoh dan keinginan untuk terus berjuang dan tidak berputus asa akhirnya membawa mereka mencapai tanah tertinggi di pulau Jawa, Mahameru. Keyakinan dan tekad mereka telah mengalahkan segalanya. Mimpi mereka untuk menginjak tanah Mahameru telah menjadi kenyataan, semuanya berawal dari mimpi dan usaha yang tak kenal lelah. keajaiban tekad dan doa telah mengalahkan apapun hari itu.
Setiap kali mereka ingin mencapai sesuatu mereka terus mengatakan pada diri mereka bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu, orang itu hanya harus mempercayainya, terus berusaha bangkit dari kegagalan, jangan pernah menyerah, dan letakkan keyakinan itu menggantung, mengambang 5 cm di depan kening.
Jadi dia tidak akan pernah lepas dari mata kita. Bawalah mimpi dan keyakinan itu setiap hari, kita lihat setiap hari, dan percaya bahwa kita bisa. Apapun hambatannya, katakan pada diri kita, kalau kita percaya dengan keinginan itu dan kita tidak bisa menyerah. Bahwa kita akan berdiri lagi setiap kita jatuh, bahwa kita akan mengejarnya sampai dapat, apa pun itu, segala keinginan, mimpi, cita-cita, keyakinan diri. Biarkan keyakinan itu 5 centimeter menggantung mengambang di depan kening kita. Dan sehabis itu yang pelu dilakukan hanya kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja. Dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya. Serta mulut yang akan selalu berdoa. Pendakian menuju Mahameru merupakan sebuah perjalanan yang penuh dengan keyakinan, mimpi, cita-cita, dan cinta. Sebuah perjalanan yang telah mengubah para tokoh menjadi manusia sesungguhnya, bukan cuma seonggok daging yang bisa berbicara, berjalan, dan punya nama.
Kisah perjuangan menuju puncak Mahameru juga dibumbui kisah cinta. Muncul konflik batin ketika masing-masing tokoh memendam perasaan cinta satu sama lain. Ketika lima tokoh bermalam di Ranu Kumbolo, Genta mengungkapkan rasa cintanya pada Riani salah satu sahabatnya. Namun Riani justru menyukai Zafran. Dan Zafran masih memendam perasaan pada Arinda, adik kembar Arial. Di sisi lain Arinda pun diam-diam memendam cinta untuk Genta. Mereka pun menyadari bahwa cinta ternyata bukan untuk Genta, bukan untuk Riani, bukan untuk Zafran. Cinta memang ada untuk diungkapkan sebagai sebuah jembatan baru ke pelajaran-pelajaran kehidupan manusia selanjutnya. Sebuah cinta memang harus diungkapkan karena tidak pernah ada cinta yang disembunyikan, kecuali oleh seseorang yang terlalu mencintai dirinya sendiri.
Sepuluh tahun setelah mereka melakukan pendakian ke Mahameru, masing-masing tokoh telah memiliki pasangan hidup. Tetapi mereka tidak pernah bisa melupakan pengalaman ketika mendaki Mahameru, yang membuat mereka menjadi manusia-manusia yang berani bermimpi.
Belum pernah ada bukti-bukti nyata dalam angka dan kalkulasi yang bisa dipecahkan oleh ilmu pengetahuan tentang bagaimana keajaiban sebuah mimpi dan keyakinan bisa membuat begitu banyak perbedaan yang bisa mengubah kehidupan manusia. Belum pernah ada. Hanya mimpi dan keyakinan yang bisa membuat manusia berbeda dengan makhluk lain. Hanya mimpi dan keyakinan yang membuat manusia sangat istimewa di mata Sang Pencipta. Dan, yang bisa dilakukan seorang makhluk bernama manusia terhadap mimpi-mimpi dan keyakinannya hanya mereka tinggal mempercayainya.

C.    Teori Pendekatan Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sos
(Yunani) yang berarti bersamamu, bersatu, kawan, teman, dan logis (logos)  berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Merujuk dari definisi tersebut, keduannya memiliki objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat. Meskipun demikian, hakikat sosiologi dan sastra sangat  berbeda bahkan bertentangan secara dianetral. Sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan.
Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian  besar terdiri dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Maka, memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra  adalah “kebenaran” penggambaran, atau yang hendak digambarkan.
Sastra merupakan pencerminan masyarakat. Melalui karya sastra, seorang  pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang sendiri ikut  berada di dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat status sosial tertentu dan tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkan sekaligus membentuknya.
Pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan saat ini menaruh  perhatian yang besar terhadap aspek dokumenter sastra dan landasannya adalah gagasan bahwa sastra merupakan cermin zamannya. Pandangan tersebut  beranggapan bahwa sastra merupakan cermin langsung dari berbagai segi struktur sosial hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain. Dalam hal itu tugas sosiologi sastra adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayal dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal usulnya. Tema dan gaya yang ada dalam karya sastra yang bersifat pribadi itu harus diubah menjadi hal-hal yang bersifat sosial.
Sudah banyak telaah yang dilakukan beberapa ahli dalam buku atau dalam tulisan lepas, dapat disimpulkan bahwa ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologi sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin dari proses sosial-ekonomi belaka. Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Metode yang dipergunakan dalam sosiologi sastra adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra.
Sedangkan menurut Ian Watt Sapardi (dalam Faruk 1999:4) mengemukakan tiga aspek yang digunakan dalam pendekatan, yang pertama adalah konteks sosial  pengarang. Hal ini berhubungan dengan posisi sosial pengarang dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Selain itu dalam hal ini juga diteliti  bagaiman pengarang mendapatkan mata pencaharianny, sejauh mana pengarang menganggap pekerjaannyya sebagai suatu profesi, dan masyarakat apa yang dituju oleh pengarang. Kedua, adalah sastra sebagai cermin masyarakat yakni sastra mencerminkan masyarakat pada waktu sastra tersebut ditulis, sejauh mana karakter  pengarang mempengaruhi gambaran masyarakat yang ingin disampaikan, dan sejauh mana genre sastra yang digunakan dapat mewakili seluruh elemen masyarakat. Ketiga, adalah fungsi sosila sastra apakah berfungsi sebagai penghibur saja atau sebagai perombak masyarakat, dan sejauh mana terjadi sintesis kemungkinan antara keduanya.
Sasaran pendekatan sosiologi sastra yaitu:
a.       Konteks Sosial Pengarang 
 Konteks sosial sastrawan ada hubungannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam bidang pokok ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya. Oleh karena itu, yang terutama diteliti adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana sastrawan mendapatkan mata pencaharian; apakah ia menerima bantuan dari pengayom atau dari masyarakat secara langsung atau bekerja rangkap.
2.      Profesionalisme dalam kepengarangan; sejauh mana sastrawan menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi.
3.      Masyarakat yang dituju oleh sastrawan. Dalam hal ini, kaitannya antara sastrawan dan masyarakat sangat penting sebab seringkali didapati bahwa macam masyarakat yang dituju itu menentukan bentuk dan isi karya sastra mereka (Damono, 1979: 3-4).
b.      Sastra Sebagai Cermin Masyarakat 
Sastra sebagai cermin masyarakat yaitu sejauh mana sastra dianggap sebagai mencerminkan keadaan masyarakatnya. Kata “cermin” di sini dapat menimbulkan  gambaran yang kabur, dan oleh karenanya sering disalah artikan dan disalah gunakan. Dalam hubungan ini, terutama harus mendapatkan perhatian adalah:
1.      Sastra mungkin dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, sebab banyak ciri masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis.
2.      Sifat “lain dari yang lain” seorang sastrawan sering mempengaruhi  pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya.
3.      Genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan  bukan sikap sosial seluruh masyarakat.
4.      Sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya atau diterima sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan masyarakat secara teliti barangkali masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk mengetahui keadaan masyarakat. Pandangan sosial sastrawan harus diperhatikan apabila sastra akan dinilai sebagai cermin masyarakat (Damono, 1979: 4).
c.       Fungsi Sosial Sastra
Pendekatan sosiologi berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti “Sampai berapa jauh nilai sastra berkait dengan nilai sosial?”, dan “Sampai berapa  jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial?” ada tiga hal yang harus diperhatikan:
1.      Sudut pandang yang menganggap bahwa sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Dalam pandangan ini, tercakup juga pandangan  bahwa sastra harus berfungsi sebagai pembaharu dan perombak.
2.      Sudut pandang lain yang menganggap bahwa sastra bertugas sebagai  penghibur belaka. Dalam hal ini gagasan-gagasan seni untuk seni misalnya, tidak ada bedanya dengan usaha untuk melariskan dagangan agar menjadi best seller.
3.      Sudut pandang kompromistis seperti tergambar sastra harus mengajarkan dengan cara menghibur (Damono, 1979: 4).
Endraswara dalam bukunya Metodologi Pengajaran Sastra, memberi  pengertian bahwa sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi (2003: 79). Sementara, Faruk (1994: 1) memberi pngertian bahwa sosiologi sastra sebagai studi ilmiah dan objektf mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga dan  proses-proses sosila. Selanjutnya, dikatakan bahwa sosiologi berusaha menjawab  pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup.

D.    Analisis Novel 5 cm Berdasarkan Pendekatan Sosiologi Sastra
1.      Tema
Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya sastra yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan situasi. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, sehingga bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu (Nurgiyantoro, 2007:68). Tema dalam sebuah karya fiksi harus disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita, gagasan dasar umum sebuah karya novel. Gagasan dasar umum inilah yang tentunya telah ditentukan sebelumnya oleh pengarang yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita (Nurgiyantoro, 2007:70). Novel 5 cm karya Donny Dhirgantoro mengangkat tema tentang persahabatan yang abadi. Dalam kenyataan hidup persahabatan adalah suatu yang penting untuk dijadikan sebagai motivator dalam mencapai tujuan hidup. Hal tersebut terdapat dalam kutipan berikut ini:
“Keempat sahabat ini memang punya kesamaan, nggak mau ngomongin orang, apalagi teman sendiri, apalagi kalo orangnya nggak ada di situ, apalagi kejelakan orang yang diomongin. Mereka sangat anti.” (halaman 41)
“Bila nanti kita tua dan hidup masing-masing ingatlah hari ini.” (halaman 257)
Kutipan di atas menjelaskan bahwa suatu saat manusia akan hidup dengan pasangan hidupnya masing-masing dan jangan pernah melupakan seorang sahabat, karena sahabat adalah seseorang yang harus diingat dan disayang sampai akhir hidup seseorang.
2.      Alur
Plot sebuah cerita haruslah bersifat padu. Antara peristiwa yang satu dengan yang lain, antara peristiwa yang diceritakan lebih dahulu dengan yang kemudian, ada hubungan, ada sifat saling keterkaitan. Kaitan antar peristiwa tersebut hendaklah logis, jelas, dapat yang mungkin di awal, tengah, atau akhir (Nurgiyantoro, 2007:142). Plot adalah urutan peristiwa yang diceritakan dari awal munculnya konflik sampai akhir atau penyelesaian dari sebuah karya sastra yang ingin dikaji. Tanpa adanya alur yang jelas maka ide cerita yang ingin disampaikan tidak dapat terlaksanakan dengan baik. Berdasarkan urutan waktu seperti yang terlihat pada kutipan di atas, maka alur novel 5 cm karya Donny Dhirgantoro ini adalah alur maju.
3.      Penokohan
Fananie (2000:86) mengemukakan bahwa sebagian besar tokoh-tokoh karya fiksi adalah tokoh-tokoh rekaan. Kendati hanya berupa rekaan atau imajinasi pengarang, masalah penokohan merupakan satu bagian penting dalam membangun sebuah cerita.
a.       Genta
Genta merupakan tokoh utama dalam novel 5 cm. Disebut tokoh utama karena tokoh Genta dalam novel ini mendominasi seluruh cerita dari peristiwa yang dipaparkan oleh pengarang. Tokoh Genta merupakan tokoh protagonis karena dia digambarkan sebagai seorang laki-laki yang memiliki sifat pemimpin, sopan, pintar, dan menghargai wanita.
b.      Zafran
Zafran merupakan tokoh kedua dalam novel 5 cm. Tokoh Zafran merupakan tokoh protagonis karena dia diklasifikasikan sebagai orang yang lucu, jujur, apa adanya, dan penyayang.
c.       Arial
Tokoh 5 cm yang berperan langsung terhadap jalan cerita ini adalah Arial. Tokoh Arial merupakan tokoh protagonis karena dia merupakan tokoh yang taat dengan peraturan dan ramah.
d.      Ian
Tokoh lain yang berperan dalam novel 5 cm adalah Ian. Tokoh Ian merupakan tokoh protagonis karena dia diklasifikasikan sebagai orang yang jujur, baik hati, dan sabar.
e.       Riani
Tokoh lain yang berperan penting dalam pengembangan cerita dalam novel 5 cm adalah Riani. Tokoh Riani merupakan tokoh protagonis karena dia memiliki karakter baik, ramah, pintar, dan kreatif.
4.       Latar
Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2007:216), mengelompokkan latar bersama dengan plot dan tokoh ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi dan dapat diimajinasikan oleh pembaca faktual jika membaca cerita fiksi. Unsur-unsur latar dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu waktu, tempat dan sosial.
a.       Latar Waktu
Penggunaan latar waktu dalam novel 5 cm karya Donny Dhirgantoro mengacu pada terjadinya peristiwa-peristiwa yang ada dalam novel tersebut. Latar waktu dalam novel tersebut terjadi selama 14 tahun lamanya, yaitu tahun 1998 sampai dengan tahun 2012. Walaupun dalam novel tidak menyebutkan tahun terjadinya peristiwa secara lebih jelas, namun ada tanda-tanda yang terjadinya peristiwa yang terjadi pada tahun 1998 sampai 2012. Latar waktu yang menunjukkan terjadinya zaman reformasi yakni pada tahun 1998. Kelima sahabat semasa kuliah, mereka ikut menyuarakan inspirasinya dalam demonstrasi anti KKN. Hal ini dapat dilihat dalam penggalan cerita berikut:
“Ian menjawab pertanyaan Zafran, “karena kita dulu yang teriak-teriak anti KKN bukan? Masa kalo saatnya kita jadi orang kantor atau punya bisnis sendiri, jadi manajer atau bahkan CEO kita juga KKN? Nah teriakan-teriakan kita waktu zaman reformasi itu buat apa? Betul nggak Ta?” (halaman 190)
b.      Latar Tempat
Latar tempat dalam novel 5 cm ini adalah rumah Arial. Rumah arial ini merupakan tempat tongkrongan dari Genta dan teman-temannya. Rumah Arial ini mereka beri nama dengan Secret Garden. Latar tempat yang digunakan dalam novel ini digambarkan sebagai berikut:
Secret Garden merupakan tempat favorit mereka berkumpul. Daun-daun dengan bulir air yang melekat seghabis hujan dengan lampu taman yang kekuningan membuat suasana Secret Garden semakin merona dan sepasukan bintang pun menemani obrolan mereka. Bau tanah yang basah pun hinggap dipenciuman mereka” (halaman 33)
c.       Latar Sosial
Latar sosial dalam novel 5 cm sangat berhubungan dengan masyarakat dan kehidupan yang melingkupi tokoh-tokoh yang terdapat di dalamnya. Kehidupan yang digambarkan di dalam novel adalah kehidupan sosial yang terjadi pada masyarakat modern yang telah terpengaruh oleh budaya konsumerisme dan budaya individualitas, karena interaksi dengan masyarakat luar kurang. Dapat dilihat dari kutipan berikut:
“Mungkin kita emang harus ngeliat dunia lain di luar tongkrongan kita dulu, jangan berlima melulu kemana-mana,” Kalimat Zafran tentang Plato barusan menyentakkan keapaadaannya diri Arial.” (halaman 61)
Dalam pembahasan tentang aspek sosial dalam novel 5 cm karya Donny Dhirgantoro akan terfokus pada permasalahan yang berkaitan dengan masalah sosial kemiskinan, masalah kejahatan, dan masalah kenakalan remaja. Gambaran dari masalah sosial dalam novel 5 cm karya Donny Dhirgantoro sebagai berikut:
1.      Masalah Kemiskinan
Syani (1994:190) menjelaskan bahwa kemiskinan dapat diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang, keluarga atau anggota masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara wajar sebagaimana anggota masyarakat lain pada umumnya. Kemiskinan biasanya dilukiskan dengan pendapatan yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok seperti pangan, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain. Dengan adanya berbagai nilai dan norma sosial yang baru dapat mengakibatkan bergesernya ukuran-ukuran taraf kehidupan tertentu, yang kemudian menjadi suatu kelaziman bagi masyarakat.
Menurut Soekanto (1995:406) kemiskinan adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. Suatu keadaan ekonomi yang ditandai dengan ketidaksanggupan untuk membeli barang dan jasa yang sangat dibutuhkan bagi kesehatan pribadi.
a.       Kemiskinan Kultural
Trimanto (2011) menyatakan bahwa kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh sikap dan perilaku dari manusia itu sendiri. Contohnya: malas bekerja, malas belajar, pola pikir dan gaya hidup tradisional, persepsi yang salah, keyakinan yang keliru (kemiskinan adalah takdir), kepasrahan yang pasif, dan lain-lain. Penyebab dari sikap dan perilaku tersebut di antaranya adalah kebodohan, keterbelakangan, tidak adanya kesadaran, tidak adanya kemauan dan iman yang lemah. Kemiskinan jenis ini cukup mudah diatasi, asalkan ada minat dan kemauan dari para individu untuk maju dan berubah.
Masalah kemiskinan kultural dapat dilihat dalam bentuk kurangnya penghasilan dari suatu pekerjaan. Hal ini biasa di alami oleh sebagian orang yang pekerjaanya berat namun penghasilannya sangatlah minim. Seperti halnya sopir angkot yang ditumpangi Ian. Sopir angkot tersebut merasakan bagaimana susahnya menjadi seorang sopir angkot yang harus dihantui oleh jumlah setoran uang setiap harinya kepada pemilik angkot dan semakin mahalnya biaya pendidikan serta biaya hidup di Indonesia ini, sedangkan para pejabatnya hanya sibuk memperkaya diri sendiri dengan cara bertindak semaunya sendiri tanpa memikirkan rakyatnya. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:
“Setelah angkot berjalan kembali, sopir angkot itu bercerita tentang susahnya hidup sebagai sopir angkot yang selalu dihantui oleh setoran selalu kurang, mahalnya biaya sekolah swasta anaknya yang menurutnya sangat mencekik, partai pilihannya yang ternyata isinya koruptor semua.” (halaman 188)
“Gerutu si sopir berlanjut pada rasa susahnya hidup di Negara yang menurutnya brengsek, karena setiap orang bertindak semaunya sendiri, suka makan uang rakyat, nggak peduli sama ornag kecil, rakus kayak tikus, nggak pernah peduli sama orang miskin, nggak pernah mau membantu sesama, nggak ada rasa peduli sama orang lain.” (halaman 189)
b.      Kemiskinan Struktural
Trimanto (2011) menyatakan bahwa kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor dari luar manusia, di antaranya adalah sistem, kebijakan pemerintah, kekuasaan, tidak adanya kesempatan dan sebagainya. Kemiskinan structural juga disebabkan oleh masyarakat miskin tidak memiliki akses terhadap aset ekonomi produktif. Minimalnya sarana dan prasarana yang ada, seperti jalan, jembatan, listrik maupun fasilitas pendidikan dan kesehatan membuat masyarakat tetap terbelakang dan statis. Mereka sepertinya telah kehilangan hak-hak sosial, ekonomi dan politik.
Masalah kemiskinan struktural dalam novel 5 cm dialami oleh Mbak Jumi yang mengalami diskriminasi di kantornya. Mbak Jumi adalah seorang cleaning service di tempat Riani bekerja. Sebagai seorang cleaning service Mbak Jumi kurang mendapatkan perhatian dari pegawai lainnya. Mbak Jumi juga Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Saya sudah kerja di lantai ini selama tiga tahun dan belum ada orang sepenuh Mbak Riani perhatiannya.” (halaman 83)
“Hmmm, ia selalu tersenyum sama siapa saja, selalu akrab sama siapa saja, dari bos sampai cleaning service seperti saya ini” (halaman 82)
2.      Masalah Kenakalan Remaja
Eliasa (2011) menyatakan bahwa kenakalan remaja di pengaruhi oleh beberpa faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
a.       Faktor Internal
1)      Krisis identitas
2)      Kontrol diri yang lemah
b.      Faktor Eksternal
1)      Keluarga
2)      Teman sebaya yang kurang baik
3)      Komunitas/lingkungan/sekolah/ tempat tinggal yang kurang baik.
Wujud kenakalan remaja pada novel 5 cm ini di pengaruhi oleh faktor internal yang disebabkan oleh lemahnya kontrol diri dari masing-masing tokoh. Wujud kenakalan tersebut dialami oleh Zafran yang selalu berfikir dan berimajinasi tentang suatu hal yang negatif terhadap seorang perempuan. Zafran selalu melihat bagian tubuh tertentu dan berimajinasi negatif setiap dia bertemu dengan Dinda. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:
“Masih heran dengan.. dengan.. ya ampun udah ketat, tipis banget lagi bajunya sehingga bra hitamnya terlihat jelas… kalo kata Ian sih golongan PKI (Pemakai Kutang Item).. “ (halaman 22)
“Sementara mata Zafran mengikuti lenggokan Dinda yang sensual kala naik tangga, malaikat jahat datang ke Zafran dan berbisik, “G string Fran.. Lo liat dari belakang.. liat lekukannya.. abis dech lo.. tuh, liat celana dalemnya nyeplak gitu. Lo bayangin bisa megang dia,.. megang dia di daerah yang dia inginkan…” (halaman 24).
3.      Masalah Kejahatan/Kriminalitas
Kejahatan disebabkan oleh adanya kondisi-kondisi dan proses-proses sosial yang sama, yang menghasilkan perilaku-perilaku sosial lainnya. Seseorang berperilaku jahat dengan cara yang sama dengan perilaku yang tidak jahat. Artinya, perilaku jahat dipelajari dalam interaksi dengan orang lain, dan orang tersebut mendapat perilaku jahat sebagai hasil interaksi yang dilakukannya dengan orang-orang yang berperilaku dengan kecenderungan melawan norma-norma hukum yang ada (Soekanto, 1995:408). Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan yaitu (1) faktor personal, termasuk di dalamnya faktor biologis (umur, jenis kelamin, keadaan mental dan lain-lain) dan psikologis (agresivitas, kecerobohan, dan keterasingan), dan (2) faktor situasional, seperti situasi konflik, faktor tempat dan waktu (Pratama, 2012).
Kejahatan dilakukan oleh sopir angkot yang dinaiki oleh Ian yang seenaknya saja
memberhentikan angkotnya di suatu tempat untuk menunggu penumpang lain agar angkotnya terisi penuh oleh penumpang yang mengakibatkan kemacetan panjang di jalan. Sopir angkot juga berputar arah tanpa mempedulikan pengendara lain. Berikut kutipannya:
“Tak berapa lama angkot mulai mendekati terminal dan berjalan perlahan, mengambil arah memutar di antara tumpukan angkot yang ngetem. Angkot yang ditumpangi Ian pun memutar dengan seenaknya di pinggir jalan, nggak peduli dengan berbagai kendaraan lain yang mengantri dan membunyikan klakson menahan kekesalan ke tumpukkan angkot” (halaman 189)









DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/8379228/SOSIOLOGI_SASTRA_SEBAGAI_PENDEKATAN_DALAM_PENELITIAN_SASTRA_Metode_Penelitian_Sastra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUH. RIDHO S

#TugasIndividu ANALISIS NOVEL RADEN MANDASIA SI PENCURI DAGING SAPI BERDASARKAN PENDEKATAN RESEPSI SASTRA Landasan Teori Secara d...