#TugasIndividu
ANALISIS
NOVEL 5 CM KARYA DONNY DHIRGANTORO DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN SOSIOLOGI
SASTRA
A.
Identitas Buku
Judul: 5 cm
Pengarang: Donny
Dhirgantoro
Penerbit: PT.Grasindo
Tahun terbit: 2011
Tempat terbit: Jakarta
Cetakan ke-: Dua puluh
Jumlah halaman: x + 381
halaman
B.
Sinopsis
Lima sahabat
menjalin persahabatan sejak SMA. Persahabatan mereka telah berjalan selama
tujuh tahun. Mereka sering menghabiskan waktu bersama. Ada Arial yang diakui
paling tampan secara fisik. Genta sang pemimpin yang selalu melontarkan
pendapat brilian, meski memendam cinta namun masih berpikir panjang untuk
mengutarakan isi hatinya. Ada Riani, kembang satu-satunya. Zafran, si penyair
yang kurus. Ian yang kerap diledek sebagai banana
boat oleh keempat sahabatnya karena memiliki ukuran badan yang besar.
Lima sahabat ini
menamakan diri mereka Power rangers. Ian adalah ranger terakhir yang masuk ke
dalam dunia mereka. Pada awalnya, Ian adalah seorang yang tidak percaya diri.
Ian adalah orang yang menyukai apa yang orang lain suka, bukan dirinya sendiri
yang mengatakan suka. Ian merasa takut tidak diterima oleh keempat sahabatnya,
akhirnya Ian sibuk jadi Genta, sibuk jadi Zafran, sibuk jadi Arial, sibuk
menyukai semua yang empat sahabatnya suka. Tetapi pada akhirnya Ian menyadari
bahwa ada yang lebih penting dari sekadar selera. Yang terpenting dalam sebuah
persahabatan.adalah bagaimana mereka berlima dapat saling menghargai pendapat
dan selera masing-masing.
Suatu hari
mereka merasa sudah terlalu sering bersama, tiada hari tanpa berjumpa, diskusi,
debat, nongkrong, nonton, dan ke kafe. Semua bagai de ja vu bagi mereka. Pada
akhirnya mereka berada dalam kondisi yang terlalu nyaman tetapi juga merasa
bosan. Kata-kata dari Plato yang dilontarkan Zafran membuat mereka tersadar
bahwa ada dunia yang lebih luas di luar komunitas mereka berlima. Bahwa
nantinya dalam kehidupannya setiap manusia akan terjebak dalam sebuah gua gelap
yang berisi keteraturan kemapanan dan mereka senang berada di dalamnya. Karena
mereka terbuai dengan segala kesenangan di sana dengan apa yang telah mereka
capai, hingga akhirnya mereka takut keluar dari gua tersebut. Mereka memang
bahagia, tetapi diri mereka kosong dan mereka tidak pernah menemukan siapa diri
mereka sebenarnya, mereka tidak memiliki mimpi. Di dalam gua, dunia tampak aman
dan nyaman, tak banyak konflik, yang ada hanyalah rutinitas. Namun di dalam gua
tersebut mereka cenderung tidak berani mengejar mimpi karena takut kehilangan
kestabilan dalam hidup, takut gagal. Takut ketika keluar gua, mereka akan mati
tertindas oleh gegap gempitanya dunia.
Terjadi
pertentangan dalam diri Arial, Genta, Ian, Riani, dan Zafran, apakah mereka
akan tetap berada dalam komunitas lima sahabat itu atau memilih keluar melihat
dunia di luar komunitas mereka. Mereka kemudian sepakat untuk berpisah sementara
waktu, tidak saling berkomunikasi dan bertemu satu sama lain selama tiga bulan.
Selama tiga bulan berpisah, masing-masing tokoh kembali fokus pada pekerjaan
mereka. Ian mulai kembali fokus dengan skripsinya. Ian berjuang menyelesaikan
skripsinya. Ada konflik-konflik yang harus dihadapi Ian saat menyelesaikan
skripsi. Dua kali mengalami penolakan ketika menyebarkan kuesioner penelitian,
sempat membuat Ian putus asa. Namun dosen pembimbingnya selalu memberikan
semangat setiap kali Ian mulai merasa putus asa. Kerja keras Ian tidak sia-sia,
ia dapat menyelesaikan skripsinya, memperoleh gelar sarjana. Riani mulai sibuk
magang di salah satu stasiun TV swasta. Genta juga sibuk bekerja di sebuah event organizer dan berhasil
menyelenggarakan sebuah pameran komputer. Arial dan Zafran pun sibuk dengan
mimpi masingmasing.
Pertemuan
setelah tiga bulan yang penuh dengan rasa kangen akhirnya terjadi dan dirayakan
dengan sebuah perjalanan. Genta mengusulkan untuk mengadakan pendakian ke
gunung Mahameru. Mereka sepakat bertemu di stasiun kereta api pada tanggal 14
Agustus kemudian melakukan pendakian dan mengikuti upacara memperingati hari
kemerdekaan Republik Indonesia tepat di dataran tertinggi pulau Jawa itu.
Perjalanan dimulai dengan naik kereta ekonomi dari Jakarta menuju Malang.
Selama perjalanan, mereka bertemu banyak orang dengan kisahnya masing-masing,
membuat mereka mengambil pelajaran dari setiap kisah tersebut, banyak hal yang
membuat mereka makin dewasa dan cerdas. Banyak persoalan terutama persoalan
sosial yang mereka dapati selama perjalanan. Soal pungli kondektur kereta api,
soal penumpang liar di kereta api, soal perang mulut antara supir angkot dengan
penumpang hanya dikarenakan ongkos yang tak sesuai dengan tarif resmi. Semua
pengalaman itu makin mendewasakan mereka.
Setibanya di
kaki Mahameru, mereka berlima merasakan keindahan yang dianugerahkan Sang
Pencipta. Pendakian dimulai dari Ranu Pane, Ranu kumbolo, padang ilalang,
melewati padang edelweis, Kalimati, Arcopodo, mereka juga harus bertahan di
antara hujan batu saat puncak Mahameru sudah semakin dekat. Dalam pendakian
mereka mengalami banyak masalah, kekurangan air minum, kondisi cuaca yang
panas, kondisi fisik yang mulai menurun, juga kecelakaan saat pendakian
menyebabkan para tokoh terluka.
Keyakinan lima
tokoh dan keinginan untuk terus berjuang dan tidak berputus asa akhirnya
membawa mereka mencapai tanah tertinggi di pulau Jawa, Mahameru. Keyakinan dan
tekad mereka telah mengalahkan segalanya. Mimpi mereka untuk menginjak tanah
Mahameru telah menjadi kenyataan, semuanya berawal dari mimpi dan usaha yang
tak kenal lelah. keajaiban tekad dan doa telah mengalahkan apapun hari itu.
Setiap kali
mereka ingin mencapai sesuatu mereka terus mengatakan pada diri mereka bahwa
jika seseorang menginginkan sesuatu, orang itu hanya harus mempercayainya,
terus berusaha bangkit dari kegagalan, jangan pernah menyerah, dan letakkan
keyakinan itu menggantung, mengambang 5 cm di depan kening.
Jadi dia tidak
akan pernah lepas dari mata kita. Bawalah mimpi dan keyakinan itu setiap hari,
kita lihat setiap hari, dan percaya bahwa kita bisa. Apapun hambatannya,
katakan pada diri kita, kalau kita percaya dengan keinginan itu dan kita tidak
bisa menyerah. Bahwa kita akan berdiri lagi setiap kita jatuh, bahwa kita akan
mengejarnya sampai dapat, apa pun itu, segala keinginan, mimpi, cita-cita, keyakinan
diri. Biarkan keyakinan itu 5 centimeter menggantung mengambang di depan kening
kita. Dan sehabis itu yang pelu dilakukan hanya kaki yang akan berjalan lebih
jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata
yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering
melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja. Dan hati
yang akan bekerja lebih keras dari biasanya. Serta mulut yang akan selalu berdoa.
Pendakian menuju Mahameru merupakan sebuah perjalanan yang penuh dengan
keyakinan, mimpi, cita-cita, dan cinta. Sebuah perjalanan yang telah mengubah
para tokoh menjadi manusia sesungguhnya, bukan cuma seonggok daging yang bisa
berbicara, berjalan, dan punya nama.
Kisah perjuangan
menuju puncak Mahameru juga dibumbui kisah cinta. Muncul konflik batin ketika
masing-masing tokoh memendam perasaan cinta satu sama lain. Ketika lima tokoh
bermalam di Ranu Kumbolo, Genta mengungkapkan rasa cintanya pada Riani salah
satu sahabatnya. Namun Riani justru menyukai Zafran. Dan Zafran masih memendam
perasaan pada Arinda, adik kembar Arial. Di sisi lain Arinda pun diam-diam memendam
cinta untuk Genta. Mereka pun menyadari bahwa cinta ternyata bukan untuk Genta,
bukan untuk Riani, bukan untuk Zafran. Cinta memang ada untuk diungkapkan
sebagai sebuah jembatan baru ke pelajaran-pelajaran kehidupan manusia
selanjutnya. Sebuah cinta memang harus diungkapkan karena tidak pernah ada
cinta yang disembunyikan, kecuali oleh seseorang yang terlalu mencintai dirinya
sendiri.
Sepuluh tahun
setelah mereka melakukan pendakian ke Mahameru, masing-masing tokoh telah
memiliki pasangan hidup. Tetapi mereka tidak pernah bisa melupakan pengalaman
ketika mendaki Mahameru, yang membuat mereka menjadi manusia-manusia yang
berani bermimpi.
Belum pernah ada
bukti-bukti nyata dalam angka dan kalkulasi yang bisa dipecahkan oleh ilmu
pengetahuan tentang bagaimana keajaiban sebuah mimpi dan keyakinan bisa membuat
begitu banyak perbedaan yang bisa mengubah kehidupan manusia. Belum pernah ada.
Hanya mimpi dan keyakinan yang bisa membuat manusia berbeda dengan makhluk
lain. Hanya mimpi dan keyakinan yang membuat manusia sangat istimewa di mata
Sang Pencipta. Dan, yang bisa dilakukan seorang makhluk bernama manusia
terhadap mimpi-mimpi dan keyakinannya hanya mereka tinggal mempercayainya.
C.
Teori Pendekatan Sosiologi Sastra
Sosiologi
sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sos
(Yunani) yang berarti bersamamu,
bersatu, kawan, teman, dan logis
(logos) berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan,
mengajarkan, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Merujuk dari definisi tersebut, keduannya
memiliki objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat. Meskipun demikian,
hakikat sosiologi dan sastra sangat berbeda bahkan bertentangan secara
dianetral. Sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap sastra yang
mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan.
Sastra
menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar
terdiri dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup
hubungan antarmasyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang
terjadi dalam batin seseorang. Maka, memandang karya sastra sebagai
penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada
karya sastra adalah “kebenaran” penggambaran,
atau yang hendak digambarkan.
Sastra
merupakan pencerminan masyarakat. Melalui karya sastra, seorang pengarang
mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di
dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu
memberi pengaruh terhadap masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sangat
menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan
sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat status sosial tertentu dan tidak
dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang
membesarkan sekaligus membentuknya.
Pendekatan sosiologi sastra yang paling
banyak dilakukan saat ini menaruh perhatian yang besar terhadap aspek
dokumenter sastra dan landasannya adalah gagasan bahwa sastra merupakan cermin
zamannya. Pandangan tersebut beranggapan bahwa sastra merupakan cermin
langsung dari berbagai segi struktur sosial hubungan kekeluargaan, pertentangan
kelas, dan lain-lain. Dalam hal itu tugas sosiologi sastra adalah menghubungkan
pengalaman tokoh-tokoh khayal dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan
sejarah yang merupakan asal usulnya. Tema dan gaya yang ada dalam karya sastra
yang bersifat pribadi itu harus diubah menjadi hal-hal yang bersifat sosial.
Sudah
banyak telaah yang dilakukan beberapa ahli dalam buku atau dalam tulisan lepas,
dapat disimpulkan bahwa ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologi
sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra
merupakan cermin dari proses sosial-ekonomi belaka. Kedua, pendekatan yang
mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Metode yang dipergunakan
dalam sosiologi sastra adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya, untuk
kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang di luar
sastra.
Sedangkan
menurut Ian Watt Sapardi (dalam Faruk 1999:4) mengemukakan tiga aspek yang
digunakan dalam pendekatan, yang pertama adalah konteks sosial pengarang.
Hal ini berhubungan dengan posisi sosial pengarang dalam masyarakat dan
kaitannya dengan masyarakat pembaca. Selain itu dalam hal ini juga diteliti
bagaiman pengarang mendapatkan mata pencaharianny, sejauh mana pengarang
menganggap pekerjaannyya sebagai suatu profesi, dan masyarakat apa yang dituju
oleh pengarang. Kedua, adalah sastra sebagai cermin masyarakat yakni sastra
mencerminkan masyarakat pada waktu sastra tersebut ditulis, sejauh mana
karakter pengarang mempengaruhi gambaran masyarakat yang ingin disampaikan,
dan sejauh mana genre sastra yang digunakan dapat mewakili seluruh elemen
masyarakat. Ketiga, adalah fungsi sosila sastra apakah berfungsi sebagai
penghibur saja atau sebagai perombak masyarakat, dan sejauh mana terjadi
sintesis kemungkinan antara keduanya.
Sasaran
pendekatan sosiologi sastra yaitu:
a.
Konteks
Sosial Pengarang
Konteks
sosial sastrawan ada hubungannya dengan posisi sosial sastrawan dalam
masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam bidang pokok ini
termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya.
Oleh karena itu, yang terutama diteliti adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sastrawan mendapatkan mata
pencaharian; apakah ia menerima bantuan dari pengayom atau dari masyarakat
secara langsung atau bekerja rangkap.
2. Profesionalisme dalam kepengarangan;
sejauh mana sastrawan menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi.
3. Masyarakat yang dituju oleh
sastrawan. Dalam hal ini, kaitannya antara sastrawan dan masyarakat sangat
penting sebab seringkali didapati bahwa macam masyarakat yang dituju itu
menentukan bentuk dan isi karya sastra mereka (Damono, 1979: 3-4).
b.
Sastra
Sebagai Cermin Masyarakat
Sastra sebagai cermin masyarakat
yaitu sejauh mana sastra dianggap sebagai mencerminkan keadaan masyarakatnya.
Kata “cermin” di sini dapat menimbulkan gambaran
yang kabur, dan oleh karenanya sering disalah artikan dan disalah gunakan.
Dalam hubungan ini, terutama harus mendapatkan perhatian adalah:
1. Sastra mungkin dapat dikatakan
mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, sebab banyak ciri masyarakat
yang ditampilkan dalam karya sastra itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia
ditulis.
2. Sifat “lain dari yang lain” seorang
sastrawan sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial
dalam karyanya.
3. Genre sastra sering merupakan sikap
sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh
masyarakat.
4. Sastra yang berusaha menampilkan
keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya
atau diterima sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya sastra
yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan masyarakat
secara teliti barangkali masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk mengetahui
keadaan masyarakat. Pandangan sosial sastrawan harus diperhatikan apabila
sastra akan dinilai sebagai cermin masyarakat (Damono, 1979: 4).
c.
Fungsi
Sosial Sastra
Pendekatan
sosiologi berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti “Sampai berapa jauh
nilai sastra berkait dengan nilai sosial?”, dan “Sampai berapa jauh nilai
sastra dipengaruhi nilai sosial?” ada tiga hal yang harus diperhatikan:
1.
Sudut
pandang yang menganggap bahwa sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau
nabi. Dalam pandangan ini, tercakup juga pandangan bahwa sastra harus berfungsi
sebagai pembaharu dan perombak.
2.
Sudut
pandang lain yang menganggap bahwa sastra bertugas sebagai penghibur
belaka. Dalam hal ini gagasan-gagasan seni untuk seni misalnya, tidak ada
bedanya dengan usaha untuk melariskan dagangan agar menjadi best seller.
3.
Sudut
pandang kompromistis seperti tergambar sastra harus mengajarkan dengan cara
menghibur (Damono, 1979: 4).
Endraswara
dalam bukunya Metodologi Pengajaran Sastra, memberi pengertian bahwa
sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia karena
sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa
depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi (2003: 79). Sementara,
Faruk (1994: 1) memberi pngertian bahwa sosiologi sastra sebagai studi ilmiah
dan objektf mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga dan
proses-proses sosila. Selanjutnya, dikatakan bahwa sosiologi berusaha
menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana
cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup.
D.
Analisis Novel 5 cm Berdasarkan Pendekatan Sosiologi
Sastra
1. Tema
Tema
disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya sastra yang bersangkutan
yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan situasi. Tema
menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, sehingga bersifat menjiwai seluruh
bagian cerita itu (Nurgiyantoro, 2007:68). Tema dalam sebuah karya fiksi harus
disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian
tertentu cerita, gagasan dasar umum sebuah karya novel. Gagasan dasar umum
inilah yang tentunya telah ditentukan sebelumnya oleh pengarang yang
dipergunakan untuk mengembangkan cerita (Nurgiyantoro, 2007:70). Novel 5 cm karya
Donny Dhirgantoro mengangkat tema tentang persahabatan yang abadi. Dalam
kenyataan hidup persahabatan adalah suatu yang penting untuk dijadikan sebagai
motivator dalam mencapai tujuan hidup. Hal tersebut terdapat dalam kutipan
berikut ini:
“Keempat sahabat ini
memang punya kesamaan, nggak mau ngomongin orang, apalagi teman
sendiri, apalagi kalo orangnya nggak ada di situ, apalagi kejelakan
orang yang diomongin. Mereka sangat anti.” (halaman 41)
“Bila nanti kita tua
dan hidup masing-masing ingatlah hari ini.” (halaman 257)
Kutipan
di atas menjelaskan bahwa suatu saat manusia akan hidup dengan pasangan hidupnya
masing-masing dan jangan pernah melupakan seorang sahabat, karena sahabat adalah
seseorang yang harus diingat dan disayang sampai akhir hidup seseorang.
2. Alur
Plot sebuah cerita haruslah bersifat
padu. Antara peristiwa yang satu dengan yang lain, antara peristiwa yang
diceritakan lebih dahulu dengan yang kemudian, ada hubungan, ada sifat saling
keterkaitan. Kaitan antar peristiwa tersebut hendaklah logis, jelas, dapat yang
mungkin di awal, tengah, atau akhir (Nurgiyantoro, 2007:142). Plot adalah
urutan peristiwa yang diceritakan dari awal munculnya konflik sampai akhir atau
penyelesaian dari sebuah karya sastra yang ingin dikaji. Tanpa adanya alur yang
jelas maka ide cerita yang ingin disampaikan tidak dapat terlaksanakan dengan
baik. Berdasarkan urutan waktu seperti yang terlihat pada kutipan di atas, maka
alur novel 5 cm karya Donny Dhirgantoro ini adalah alur maju.
3. Penokohan
Fananie
(2000:86) mengemukakan bahwa sebagian besar tokoh-tokoh karya fiksi adalah
tokoh-tokoh rekaan. Kendati hanya berupa rekaan atau imajinasi pengarang,
masalah penokohan merupakan satu bagian penting dalam membangun sebuah cerita.
a.
Genta
Genta
merupakan tokoh utama dalam novel 5 cm. Disebut tokoh utama karena tokoh
Genta dalam novel ini mendominasi seluruh cerita dari peristiwa yang dipaparkan
oleh pengarang. Tokoh Genta merupakan tokoh protagonis karena dia digambarkan
sebagai seorang laki-laki yang memiliki sifat pemimpin, sopan, pintar, dan
menghargai wanita.
b. Zafran
Zafran
merupakan tokoh kedua dalam novel 5 cm. Tokoh Zafran merupakan tokoh
protagonis karena dia diklasifikasikan sebagai orang yang lucu, jujur, apa adanya,
dan penyayang.
c. Arial
Tokoh
5 cm yang berperan langsung terhadap jalan cerita ini adalah Arial.
Tokoh Arial merupakan tokoh protagonis karena dia merupakan tokoh yang taat
dengan peraturan dan ramah.
d. Ian
Tokoh
lain yang berperan dalam novel 5 cm adalah Ian. Tokoh Ian merupakan
tokoh protagonis karena dia diklasifikasikan sebagai orang yang jujur, baik
hati, dan sabar.
e. Riani
Tokoh
lain yang berperan penting dalam pengembangan cerita dalam novel 5 cm adalah
Riani. Tokoh Riani merupakan tokoh protagonis karena dia memiliki karakter baik,
ramah, pintar, dan kreatif.
4. Latar
Stanton (dalam
Nurgiyantoro, 2007:216), mengelompokkan latar bersama dengan plot dan tokoh ke
dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi dan dapat
diimajinasikan oleh pembaca faktual jika membaca cerita fiksi. Unsur-unsur
latar dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu waktu, tempat dan sosial.
a. Latar
Waktu
Penggunaan latar waktu dalam novel 5
cm karya Donny Dhirgantoro mengacu pada terjadinya peristiwa-peristiwa yang
ada dalam novel tersebut. Latar waktu dalam novel tersebut terjadi selama 14
tahun lamanya, yaitu tahun 1998 sampai dengan tahun 2012. Walaupun dalam novel
tidak menyebutkan tahun terjadinya peristiwa secara lebih jelas, namun ada
tanda-tanda yang terjadinya peristiwa yang terjadi pada tahun 1998 sampai 2012.
Latar waktu yang menunjukkan terjadinya zaman reformasi yakni pada tahun 1998.
Kelima sahabat semasa kuliah, mereka ikut menyuarakan inspirasinya dalam
demonstrasi anti KKN. Hal ini dapat dilihat dalam penggalan cerita berikut:
“Ian
menjawab pertanyaan Zafran, “karena kita dulu yang teriak-teriak anti KKN
bukan? Masa kalo saatnya kita jadi orang kantor atau punya bisnis sendiri, jadi
manajer atau bahkan CEO kita juga KKN? Nah teriakan-teriakan kita waktu zaman
reformasi itu buat apa? Betul nggak Ta?” (halaman 190)
b. Latar
Tempat
Latar tempat dalam novel 5 cm ini
adalah rumah Arial. Rumah arial ini merupakan tempat tongkrongan dari Genta dan
teman-temannya. Rumah Arial ini mereka beri nama dengan Secret Garden.
Latar tempat yang digunakan dalam novel ini digambarkan sebagai berikut:
“Secret
Garden merupakan tempat favorit mereka berkumpul. Daun-daun dengan bulir
air yang melekat seghabis hujan dengan lampu taman yang kekuningan membuat
suasana Secret Garden semakin merona dan sepasukan bintang pun menemani
obrolan mereka. Bau tanah yang basah pun hinggap dipenciuman mereka” (halaman
33)
c. Latar
Sosial
Latar sosial dalam novel 5 cm sangat
berhubungan dengan masyarakat dan kehidupan yang melingkupi tokoh-tokoh yang
terdapat di dalamnya. Kehidupan yang digambarkan di dalam novel adalah
kehidupan sosial yang terjadi pada masyarakat modern yang telah terpengaruh
oleh budaya konsumerisme dan budaya individualitas, karena interaksi dengan
masyarakat luar kurang. Dapat dilihat dari kutipan berikut:
“Mungkin kita emang
harus ngeliat dunia lain di luar tongkrongan kita dulu, jangan berlima melulu
kemana-mana,” Kalimat Zafran tentang Plato barusan menyentakkan keapaadaannya
diri Arial.” (halaman 61)
Dalam
pembahasan tentang aspek sosial dalam novel 5 cm karya Donny Dhirgantoro
akan terfokus pada permasalahan yang berkaitan dengan masalah sosial
kemiskinan, masalah kejahatan, dan masalah kenakalan remaja. Gambaran dari
masalah sosial dalam novel 5 cm karya Donny Dhirgantoro sebagai berikut:
1. Masalah
Kemiskinan
Syani (1994:190)
menjelaskan bahwa kemiskinan dapat diartikan sebagai suatu keadaan di mana
seseorang, keluarga atau anggota masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya secara wajar sebagaimana anggota masyarakat lain
pada umumnya. Kemiskinan biasanya dilukiskan dengan pendapatan yang tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok seperti pangan, pakaian, tempat
tinggal, dan lain-lain. Dengan adanya berbagai nilai dan norma sosial yang baru
dapat mengakibatkan bergesernya ukuran-ukuran taraf kehidupan tertentu, yang
kemudian menjadi suatu kelaziman bagi masyarakat.
Menurut Soekanto
(1995:406) kemiskinan adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup
memelihara dirinya sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu
memanfaatkan tenaga, mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. Suatu
keadaan ekonomi yang ditandai dengan ketidaksanggupan untuk membeli barang dan
jasa yang sangat dibutuhkan bagi kesehatan pribadi.
a. Kemiskinan
Kultural
Trimanto (2011) menyatakan bahwa
kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh sikap dan perilaku
dari manusia itu sendiri. Contohnya: malas bekerja, malas belajar, pola pikir
dan gaya hidup tradisional, persepsi yang salah, keyakinan yang keliru
(kemiskinan adalah takdir), kepasrahan yang pasif, dan lain-lain. Penyebab dari
sikap dan perilaku tersebut di antaranya adalah kebodohan, keterbelakangan,
tidak adanya kesadaran, tidak adanya kemauan dan iman yang lemah. Kemiskinan
jenis ini cukup mudah diatasi, asalkan ada minat dan kemauan dari para individu
untuk maju dan berubah.
Masalah kemiskinan kultural dapat
dilihat dalam bentuk kurangnya penghasilan dari suatu pekerjaan. Hal ini biasa
di alami oleh sebagian orang yang pekerjaanya berat namun penghasilannya
sangatlah minim. Seperti halnya sopir angkot yang ditumpangi Ian. Sopir angkot
tersebut merasakan bagaimana susahnya menjadi seorang sopir angkot yang harus
dihantui oleh jumlah setoran uang setiap harinya kepada pemilik angkot dan semakin
mahalnya biaya pendidikan serta biaya hidup di Indonesia ini, sedangkan para pejabatnya
hanya sibuk memperkaya diri sendiri dengan cara bertindak semaunya sendiri tanpa
memikirkan rakyatnya. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:
“Setelah angkot
berjalan kembali, sopir angkot itu bercerita tentang susahnya hidup sebagai sopir
angkot yang selalu dihantui oleh setoran selalu kurang, mahalnya biaya sekolah
swasta anaknya yang menurutnya sangat mencekik, partai pilihannya yang ternyata
isinya koruptor semua.” (halaman 188)
“Gerutu si sopir
berlanjut pada rasa susahnya hidup di Negara yang menurutnya brengsek, karena
setiap orang bertindak semaunya sendiri, suka makan uang rakyat, nggak peduli
sama ornag kecil, rakus kayak tikus, nggak pernah peduli sama orang miskin,
nggak pernah mau membantu sesama, nggak ada rasa peduli sama orang lain.”
(halaman 189)
b. Kemiskinan
Struktural
Trimanto (2011) menyatakan bahwa
kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor dari luar
manusia, di antaranya adalah sistem, kebijakan pemerintah, kekuasaan, tidak
adanya kesempatan dan sebagainya. Kemiskinan structural juga disebabkan oleh
masyarakat miskin tidak memiliki akses terhadap aset ekonomi produktif.
Minimalnya sarana dan prasarana yang ada, seperti jalan, jembatan, listrik maupun
fasilitas pendidikan dan kesehatan membuat masyarakat tetap terbelakang dan statis.
Mereka sepertinya telah kehilangan hak-hak sosial, ekonomi dan politik.
Masalah kemiskinan struktural dalam
novel 5 cm dialami oleh Mbak Jumi yang mengalami diskriminasi di
kantornya. Mbak Jumi adalah seorang cleaning service di tempat Riani
bekerja. Sebagai seorang cleaning service Mbak Jumi kurang mendapatkan perhatian
dari pegawai lainnya. Mbak Jumi juga Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan
berikut:
“Saya sudah kerja di
lantai ini selama tiga tahun dan belum ada orang sepenuh Mbak Riani
perhatiannya.” (halaman 83)
“Hmmm, ia selalu
tersenyum sama siapa saja, selalu akrab sama siapa saja, dari bos sampai cleaning
service seperti saya ini” (halaman 82)
2. Masalah
Kenakalan Remaja
Eliasa
(2011) menyatakan bahwa kenakalan remaja di pengaruhi oleh beberpa faktor, yaitu
faktor internal dan faktor eksternal.
a. Faktor
Internal
1) Krisis
identitas
2) Kontrol
diri yang lemah
b. Faktor
Eksternal
1) Keluarga
2) Teman
sebaya yang kurang baik
3) Komunitas/lingkungan/sekolah/
tempat tinggal yang kurang baik.
Wujud
kenakalan remaja pada novel 5 cm ini di pengaruhi oleh faktor internal
yang disebabkan oleh lemahnya kontrol diri dari masing-masing tokoh. Wujud
kenakalan tersebut dialami oleh Zafran yang selalu berfikir dan berimajinasi
tentang suatu hal yang negatif terhadap seorang perempuan. Zafran selalu
melihat bagian tubuh tertentu dan berimajinasi negatif setiap dia bertemu
dengan Dinda. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:
“Masih heran dengan..
dengan.. ya ampun udah ketat, tipis banget lagi bajunya sehingga bra hitamnya
terlihat jelas… kalo kata Ian sih golongan PKI (Pemakai Kutang Item).. “ (halaman
22)
“Sementara mata Zafran
mengikuti lenggokan Dinda yang sensual kala naik tangga, malaikat jahat datang
ke Zafran dan berbisik, “G string Fran.. Lo liat dari belakang.. liat
lekukannya.. abis dech lo.. tuh, liat celana dalemnya nyeplak gitu. Lo bayangin
bisa megang dia,.. megang dia di daerah yang dia inginkan…” (halaman 24).
3. Masalah
Kejahatan/Kriminalitas
Kejahatan
disebabkan oleh adanya kondisi-kondisi dan proses-proses sosial yang sama, yang
menghasilkan perilaku-perilaku sosial lainnya. Seseorang berperilaku jahat
dengan cara yang sama dengan perilaku yang tidak jahat. Artinya, perilaku jahat
dipelajari dalam interaksi dengan orang lain, dan orang tersebut mendapat
perilaku jahat sebagai hasil interaksi yang dilakukannya dengan orang-orang
yang berperilaku dengan kecenderungan melawan norma-norma hukum yang ada
(Soekanto, 1995:408). Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan
yaitu (1) faktor personal, termasuk di dalamnya faktor biologis (umur, jenis kelamin,
keadaan mental dan lain-lain) dan psikologis (agresivitas, kecerobohan, dan keterasingan),
dan (2) faktor situasional, seperti situasi konflik, faktor tempat dan waktu
(Pratama, 2012).
Kejahatan
dilakukan oleh sopir angkot yang dinaiki oleh Ian yang seenaknya saja
memberhentikan angkotnya di suatu tempat
untuk menunggu penumpang lain agar angkotnya terisi penuh oleh penumpang yang
mengakibatkan kemacetan panjang di jalan. Sopir angkot juga berputar arah tanpa
mempedulikan pengendara lain. Berikut kutipannya:
“Tak berapa lama angkot mulai mendekati
terminal dan berjalan perlahan, mengambil arah memutar di antara tumpukan
angkot yang ngetem. Angkot yang ditumpangi Ian pun memutar dengan seenaknya di
pinggir jalan, nggak peduli dengan berbagai kendaraan lain yang mengantri dan
membunyikan klakson menahan kekesalan ke tumpukkan angkot” (halaman 189)
DAFTAR
PUSTAKA
https://www.academia.edu/8379228/SOSIOLOGI_SASTRA_SEBAGAI_PENDEKATAN_DALAM_PENELITIAN_SASTRA_Metode_Penelitian_Sastra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar