#cerpen
Tragedi Masuk
Asrama
“sudahlah
Fi, tidak usah kamu pikirkan lagi masalah dengan Pak Panji, tenangkan diri kamu
dulu di sini”. Itulah yang diucapkan Wulan padaku setelah menceritakan skegundahan
hatiku. Coba kususut air mata serta ingusku yang indah ini. Sungguh wajah ku
akan terlihat begitu jelek jika menangis. Jika orang lain menangis, yang
bengkak pasti hanya matanya disertai hidung yang memerah.
Lain ceritanya jika
itu terjadi padaku, jika aku menangis, walau itu hanya sebentar saja maka
wajahku ini akan menjadi bengkak semua, dari mata, hidung serta bibir. Tak
hanya bengkak, seluruh wajahku akan menjadi merah seperti orang bekas ditampar.
Entah mengapa wajahku akan seperti itu jika menangis. Padahal jika aku menangis
aku tidak pernah mencakar atau menampar wajahku sendiri, aku hanya menyentuh
wajahku hanya bila aku menghapus aliran sungai dadakan di pipi serta mengusir
ingus tercintaku ini. Ahh lupakan masalah wajahku jika menangis. Itu tidak
penting lagi, yang penting sekarang adalah bagaimana menyelesaikan masalah ku
dengan Pak Panji. Eh eh eh tapi jangan dulu lah aku belum mau menyelasaikannya.
Bukan, bukan lebih tepatnya aku belum tahu bagaimana menyelesaikan masalahku
ini dengan Pak Panji itu. Karena jika masalah ini tak selesai, aku tak akan
bisa hidup tenang hidup dalam lingkungan batalion ini.
Sebenarnya
ini adalah permasalahan pertamaku dengan Pak Panji, dan ini menjadi permasalahan
besar karena menyangkut banyak nyawa di dalamnya. Kehidupan sebagai salah salah
satu anak dari orang yang dituakan di Batalion-lah yang akan membawaku
mengarungi kehidupan ini di bawah pengawasan seorang Panji Wiratmadja. Orang tua
yang menjabat sebagai abdi negara alias TNI AD membuat kami anak-anakanya juga
harus ikut serta menemaninya bertugas dari satu Batalion ke Batalion lain. Hidup
berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain sudah jadi rutinitas dalam
kehidupan kami sejak Bapak masih berpangkat Sertu. Hingga pada siang yang panas
di hari kamis tepat sehari yang lalu aku menginjakkan kembali kakiku di Asrama
Tentara yang terletak di pusat kota Sulawesi Selatan ini. Asrama yang pernah
kutinggali saat menghabiskan akhir masa
SDku. Tiga tahun kami habiskan di Asrama ini lalu berpindah-pindah seperti kutu loncat
ke Batalion lain dan akhirnya kembali lagi ke tempat ini tujuh tahun kemudian.
Saat pertama kali pindah ke tempat ini jabatan Bapak masih masih sebagai Danton
alias Komandan Pleton. Lumanyan lah dari pada masih pleton kan setidaknya
Bapakku komandannya. Aku sebenarnya tidak terlalu paham dengan silsilah kepemimpinan
di ke-TNI-an yang ku tahu hanyalah jabatan-jabatan serta pangkat yang yang
pernah diemban oleh bapakku saja. Termasuk jabatannya saat ini sebagai Wadayon
alias wakil komandan batalion. Jabatan yang cukup mapanlah untuk seukuran bapak
tentara yang punya anak tertua sedang kuliah di semester keempat.
Berbeda
dengan awal kepindahanku ke Batalion ini sepuluh tahun sebelumnya. Selain
karena perbedaan pangkat yang dimiliki Bapak, fasilitas yang kami dapatkan,
perlakuan khusus, salah satu yang berbeda adalah diriku sendiri. Kalau sepuluh
tahun sebelumnya aku adalah Nafila Syarif si anak bau kencur kelas empat SD
yang hanya bisa mengatur bonekanya sendiri, kini aku adalah Fifi si wanita muda
yang strong dalam membantu pekerjaan ibu termasuk untuk urusan pindah-pindah
barang ke rumah dinas yang baru. Huft, pindah rumah lagi.
Tapi
aku bersyukur, karena sejak pindah dari Asrama ini saat baru lulus SD. Pindah
rumah dinas tidak lagi menjadi momok yang terlalu menghantuiku layaknya UN.
Maklum, jabatan Bapak perlahan tapi pasti menuju arah yang lebih cerah. Itu
artinya jabatan Bapak semakin tinggi. Jika jabatan makin tinggi makin banyak
anggota yang akan sukarela datang dan membantu mengangkat barang-barang serta
perabot rumah kami, meskipun kami juga yang mengaturnya saat di dalam rumah. Tapi itu lebih baiklah, dari pada dulu aku
akan jadi sasaran omelan Ibu jika beliau terlalu lelah pasca memindahkan barang
bersama Bapak. Maklum perwira level cetek harus mandiri belum boleh suruh-suruh
bawahan. Yaialah, kan belum ada bawahannya.
Kembali
lagi ke siang yang panas di hari kamis, saat Bapak, Ibu, Aku, Serta si kunyuk
Firman adikku memulai tradisi pindah rumah dinas kami. Ehh salah rumah dinas
bapak, kan cuma bapak yang kerja jadi TNI kalau ibu kan pendampingnya sementara
aku dan kunyuk adalah buntutnya. Kami sekeluarga memasuki area depan Batalion,
biasa saja tidak ada yang spesial karena memang belum ada penyambutan. Ada sih
sebenarnya, hanya di sambut Pak Dayon, Bu Dayon serta beberapa petinggi secara
pribadi tapi belum ada upacara. Mungkin nanti kali ya. Selain keluarga kami
yang datang dengan mobil dinas bapak, dibawa serta pula mobil pribadi Ibu
Persit tercinta serta Truk yang mengangkut barang kami. Dan begitu kami sampai
di depan rumah dinas Bapak, jeng jeng jeng jeng. Apa yang terjadi
sodara-sodara. Wow ini luar biasa. Ehh maap.
Sekelompok
manusia jantan berkepala tipis, ehh berambut tipis. Dengan pakaian yang sama
celana training serta kaos hijau pupus sudah berbaris rapih di depan rumah.
inilah yang kuceritakan kalau semakin tinggi jabatan maka semakin banyak pula
yang mempermudah kegiatan pindahan kan. Oke kembali ke topik. Rumah dinas Bapak
kuakui adalah salah satu yang terbaik. Yaiyalah, rumah Wadayon. Sebenarnya
rumah dinas ini sudah cukup lengkap isinya mulai dari sofa serta almari serta
ranjang di kamar utama. Tapi kan ranjangnya serta almarinya kan cuma di kamar
utama, bagaimana dengan kami buntut Ibu dan Bapak mau tidur di mana? Itulah sebabnya
bawaan kami ini cukup banyak. Tapi tenang! Kan ada Om-om tentara ini yang akan
membantu mengangkat semua barang ini. hitung-hitung mereka olah raga gratis
sambil beramal gitu.
Setelah
aksi Ibu Persit alias Ibu Syarif nunjuk-nunjukin letak barang harus di bawa
kemana akhirnya aku bisa bernafas sedikit lega. Karena itu artinya tugasku
hanya akan membantu ibu menyusun pakaian serta alat dapur Ibunda tercinta, dan
itu akan terjadi malam ini. Saat para
om-om tentara ini pulang setelah menghabiskan kudapan sederhana buatan ibu-ibu
penjual kue yang kami singgahi tadi serta minuman kemasan yang juga di beli
tadi. rempong boo kalau harus masak sendiri. Maka perang antara kubu barang dan
kubu keluarga tentara akan segera di mulai.
“Astaga!
Ikan” pekikan si kunyuk membuat ku menolah sesaat setelah aku meletakkan kue
tambahan ke depan para om-om ini.
“Ya
ampun! Mati deh” ucapku sambil tepok jidat di depan om-om ini. Aku sungguh
melupakan sesuatu yang sangat berharga. Plastik ikan serta akuarim nya masih
ada dalam mobil Ibu dan mobil itu sedari tadi terjemur matahari dan berpotensi
mengancam kehidupan ikan-ikan ku.
Dengan
langkah terburu-buru ku cari tas milik si Ibu dan mencari kunci mobilnya.
Kuajak serta Firman membantuku menyelamatkan jiwa ikan-ikanku. Yang pertama
kali ku kakukan adalah adalah mendekatkan mobil Ibu besar ke depan garasi rumah
yang tertutup atap. Lalu kunyuk bertugas mengeluarkan kotak besar berisi
plastik ikan. Aku turun dari balik kemudi membantu serta adikku itu menurunkan
dan mengecek jiwa ikanku. Setelah ku periksa dengan sangat terpaksa ku umumkan
pada adikku bahwa empat ekor ikan badut milik adikku yang baru dibelinya
sebulan lalu sudah tewas mengenaskan. Sebenarnya air mataku sudah mulai
menggenang tapi kutahan agar tak mengalir. Satu hal yang membuatku bersyukur,
ikan pemberian cinta pertamaku, bukan sih dia hanya cinta monyetku yang
membekas paling dalam sampai saat ini masih hidup. Syukurlah. Ikan itu
dibelikan oleh Bang Andi salah satu perwira angkatan laut saat ia berkunjung ke
Asrama tempat Bapak bertugas sebelumnya.
Aku
telah mengamankan ikan-ikanku dengan membawa plastiknya ke teras rumah. Saatnya
aku dan si kunyuk membuktikan kekompakan kami dalam mengangkat akuarium kaca
ikan ini. Aku dan Firman berusaha keras dalam mengangkat benda besar ini, namun
saat aku sudah hampir sampai di bibir pintu “ Biar saya yang angkatkan” suara
berat itu membuatku hampir melepas akuarium ini. Aku menoleh, kudapati salah
satu dari banyak om-om tentara itu berdiri tepat di belakang tubuh kecilku.
“sini saya saja dik” tanganya terulur menangkup dua sisi akuarium yang tadi di
angkat olehku dan Firman. Gila, dia mengangkat akuarium itu sendiri.
Benda
itu kini dalam proses pengangkatan ke dalam rumah, sedang aku dan Firman hanya
menatap kagum akan kekuatannya “Izin Dan, biar saya saja” celetukan itu membuatku beralih pada
laki-laki yang ada di samping pria itu. “Gak usah” jawabnya dengan nada yang
menurutku agak dingin.
Kini
aku sudah hampir selesai menbangunkan istana baru untuk ikan-ikanku seketika
suara Bapak mengiterupsi kegiatanku di salah satu sudut ruang tamu rumah ini
“Fi… kenalkan ini Panji, dia yang akan menggawalmu untuk sementara hingga Sertu
Iqbal kembali dari Poso tiga bulan lagi”. Ucapan Bapak mengalir bersama sapuan
pandanganku pada sosok di hadapanku ini. Jadi namanya Panji ucapku dalam hati. Dia
yang tadi membantu mengangkat akuariumku.
“
Lettu Panji Wiratmadja, Dik…” dia mengulurkan tangannya.
“Nafila,
panggil aja Fifi” ucapku sambil menjabat tangannya.
Sebenarnya
aku hendak protes pada Bapak kali ini. Kenapa tiba-tiba aku mendapat
pengawalan, sejak Bapak menjabat di Batalion Kartika Chandra Wirabuana X dulu
aku tidak dapat pengawalan apapun selain hanya aturan jam malam padahal jabatan
bapak saja masih sama dengan yang sekarang. Namun, protesku akan ku jalankan
nanti malam karena aku tak ingin
menurunkan wibawa bapak di depan perwira ini.
“Izin
Pak, Ada yang perlu saya kerjakan, Mohon petunjuk”. Ucapan itu menarikku
kembali dari lamunanku.
“ahh
iya, tidak ada lagi kok. Lettu Panji bisa kembali. Sisanya biar saya yang urus.
Dan terima kasih sudah mengarahkan anggota Lettu panji untuk membantu.
Sampaikan terima kasih saya juga pada anggota.” jawab Bapak
“Izin
Pak, akan saya sampaikan, kalau begitu saya pamit dulu. Selamat sore” ucap pria
itu sembari memberi hormat pada bapak sebelum menghilang dibalik pintu.
Bug….pok….pok…
pletakk…
Astaga
suara apa itu? Aku segera berlari ke luar. Pemandangan yang begitu mengerikan.
Seorang pria bertubuh tinggi besar sedang tengkurap diatas genagan air dengan
beberapa ikan menggelepar-gelapar di sampingnya. Lucu sekali. Tawaku sudah
hampir pecah. Tunggu, apa yang ku katakana tadi ada ikan menggelepar-gelepar
bukan? Ya Allah ikanku.
Kulirik
bapak kini sedang mesem-mesem menahan tawanya sambil mengulurkan tangan. “Lettu
Panji anda tidak apa-apa?”
Dia
berbalik segera menggapai uluran tangan bapak “Saya tidak apa-apa pak. Tapi
iikan-ikan bapak…”
“tidak
usah dipikirkan. Hanya ikan saja kok nanti kalau sudah ketemu air pasti baik
saja. Lagi pula ini milik anak saya. Tidak masalah kan Fifi?” Bapak kini
menoleh padaku.
“tidak
masalah bagaimana. Ikan Fifi bisa mati semua. Ini semua ikan air laut Pa.
airnya sudah tumpah semua”. Aku tak bisa lagi menahan emosiku. Aku sudah
kehilangan empat ikanku karena terlupa memengeluarkannya dari mobil yang
panas.. sekarang semua ikanku sebentar lagi akan mati. Dan ikan dari bang Andi.
Astaga ikan itu sudah pasti mati karena ikan jenis Lion Fish ini kepalanya
sudah gepeng dengan mata yang sudah tercecer.
“Kamu,
tidak bisa hati-hati ya. Bagaimana bisa kamu membunuh semua ikan ku. Dasar
tentara ceroboh”. Bentakku dengan telunjuk mengarah padanya.
“Saya
benar-benar minta maaf Dik. Saya akan menggantinya” ucapnya dengan nada sesal
sambil merogoh kantong samping trainingnya yang kuyakini ada dompet di sana.
“Stop!
kamu pikir semuanya bisa selesai dengan uang? Saya nggak butuh uang kamu.
Tanggung jawab. Perwira kok tanggung jawabnya nggak ada. Gak pantas kamu jadi
tentara.” Sungguh emosiku sudah membumbung tinggi sekarang. Nafasku sudah naik
turun sejak awal berbicara pada Pria bodoh ini.
“Fifi!
Tidak sopan kamu! Masuk!” ucap Bapak dengan nada tegasnya. Mendengar itu, mau
tak mau aku mengikuti perintah Bapak masuk ke dalam rumah dengan air mata yang
sudah tumpah.
Aku
masuk dengan tersungut-sungut sambil menangis. Saat hendak masuk ke kamarku aku
berpapasan dengan Firman yang menatapku aneh “kakak kenapa? “. Tak kuhiraukan
pertanyaannya. Aku masuk ke kamarku dan langsung membanting pintu.
Di
kamar aku hanya menangis sambil memaluk lututku sendiri diatas single bed yang
belum ada spreinya ini. Sampai pintu kamarku terbuka dengan kasar dari luar.
Dan pelaku utamanya tidak lain adalah Bapakku sendiri.
“Fifi!
Kamu itu apa-apaan sih. Gak sopan sekali sama Lettu Panji. Bapak sama Ibu tidak
perna mengajarkanmu untuk tidak sopan! Kamu ini. kita belum sehari pindah ke
sini tapi kamu sudah bikin malu Bapak tau!”
Tak
ada jawaban dariku yang terdengar hanya deru nafas bapak yang tersengal-sengal
“Kamu
itu sudah besar. Gara-gara ikan saja kamu sudah bentak-bentak orang. Pokoknya
besok kamu harus minta maaf sama Lettu Panji!”
Yah
gitu deh. Bapak dengan sikap tegasnya. Gak mau anaknya salah dimata orang lain,
dan mementingkan nama baik dimata orang lain karena tingkah anaknya. Ku akui
aku memang salah, karena sudah tidak sopan pada si Lettu Panji itu. Tapi kan
dia yang bersalah sudah membunuh semua peliharaanku. Dan sekarang aku
diwajibkan minta maaf padanya. Mana keadilan untukku saat ini. Aku yang
tersakiti tapi kenapa aku yang harus minta maaf.
Aku
terbangun keesokan paginya dengan seluruh wajahku yang bengkak. Sudahlah,
lupakan saja aku butuh pelampiasan pagi ini. Setelah sholat subuh aku sudah
bersiap dengan celana training panjang, kaos lengan panjang, serta jilbab langsung
pasangku. Aku mengendap-endap melewati depan kamar Ibu dan Bapak sambil
menenteng sepatu olahraga favoritku sampai aku menghilang dibalik pintu depan.
Segera ku pasang sepatuku lalu mengambil sepeda milikku yang tersandar di
tembok pembatas rumah ini denga rumah sebelah. Setelah lolos dari pagar rumah
segera ku kayuh pedal sepedaku menuju gerbang utama asrama ini. Aku melihat
terompet bagun pagi akan segera di bunyikan saat aku hendak keluar.
Setelah
melewati gerbang asrama kuarahkan sepedaku menuju jalan utama depan rumah sakit
polri yang bersebrangan dengan gerbang asrama, selanjutnya aku berbelok ke
kanan memasuki gang kecil dan menghentikan laju sepedaku di salah satu rumah.
terlalu pagi memang untuk bertamu. Tapi toh aku sudah meminta izin pemilik
rumah untuk bertamu. Tak lama Wulan keluar dari balik pintu setelah ku kirim
chat lewat aplikasi line di ponselku. Di kamar wulan yang masih kacau sehabis
di tiduri ini kami bercerita panjang lebar membahas masa Sekolah Dasar yang
mempertemukan kami. Sampai akhirnya Ia menanyakan masalah wajahku yang bengkak
ini, ceritaku pun mengalir dari insiden ikan sampai permintaan bapak agar aku
meminta maaf pada pak Panji. Sungai kembali mengalir di pipiku. Aku bingung
harus bagaimana meminta maaf padanya aku takut tentara itu tersinggung dan tak
mau menerima maafku.
“Ya
kalau memang Dia tidak mau memaafkan biar saja. Yang penting Kamu sudah
melaksanakan kewajibanmu meminta maaf.” Itulah kata pemungkas yang membuatku
mengakhiri drama nangis tidak jelasku ini.
Setelah
ku selesaikan tangisanku segera ku basuh wajahku di kamar mandi rumah Wulan.
Meskipun tak menghilangkan bengkaknya tapi setidaknya wajahku terasa lebih
segar. Aku dan Wulan memutuskan makan bubur ayam yang sudah nangkring di depan
gang rumah sahabt lamaku ini. Aku menghabiskan buburku cepat, kubayar buburku
sekalian membayarkan milik Wulan serta tiga bungkus lainnya untuk dibawa pulang
Wulan ke rumahnya. Aku sengaja tidak membelikan orang rumah, masih kulancarkan
aksi marahku terurama pada Bapak yang tak membelaku sama sekali di depan Lettu
Panji.
Kembali
ku kayuh sepedaku menuju asrama sambil sesekali melontarkan kata-kata apa yang
cocok ku katakana pada Panji saat meminta maaf.
Ciiit…Prang…bugh…
Kurasakan
tubuhku melayang lalu terhempas dan terseret di atas aspal pagi dekat gerbang
utama asrama. Beberapa orang tiba-tiba berkerumung di depanku banyak diantara
mereka yang menggunakan pakaian loreng lengkap. Kepalaku hanya mendongak
menatap mereka semua. Aku sadar tapi aku masih terlalu kaget dengan apa yang
menimpaku saat ini sampai seseorang megangkat tubuhku dari belakang agar
berdiri. Orang itu juga kini berlutuh di depanku membersihkan celana training
panjangku yang ku lihat telah bolong di bagian lututnya. Tangannya meraih kedua
tanganku membalikkan tanganku sehingga tanganku menengadah. Ku kulihat telapak
tanganku sudah baret hampir seluruhnya, tangganku juga kotor oleh debu dan
darah yang keluar dari relapak tanganku yang luka.
“
Sertu Ali bawa sepeda Fifi ke rumah Wadayon. Saya akan bawa Dia dulu ke
Klinik”. Suara itu milik Panji
“Laksanakan
Dan” jawab orang di sebut Ali tadi.
Tak
ada kata yang kuucap, kakagetan masih membisukanku.
“Maaf
dek, saya benar-benar tidak sengaja menabrak adek. Ini ada sedikit untuk
pengobatan”. Sapa seorang pria yang sambil memberi beberapa lembar uang lima
puluh ribuan.
“Dia
tidak butuh uang kamu, kalau mau tanggung jawablah. Tidak semua selesai denga
uang.” Sungguh bukan aku yang bicara seperti itu. Tapi tentara yang masih
menopangku ini.
Entah
bagaimana caranya tangan dan kakiku sudah selasai di obati di klinik dan kini
kami –Aku, Panji, Rio si penabrakku- sudah ada di teras rumah. Panji sudah
megucapkan salam dari tadidak ketika pintu terbuka sudah menampakkan Ibu dan
Bapak berpakaian lengkap seperti hendak pergi. Keningku mengkerut.
“Ya
Allah Fifi, Ibu kira kamu di bawa kerumah sakit jadi Ibu sama Bapak mau
menyusul ke sana.” Ibu histeris sambil memelukku.
Ibu
mempersilahkan kami semua masuk ke dalam rumah. aku hanya terdiam saat dua
orang ini menjelaskan kejadian yang menimpaku. Aku masih bingung mencoba
menyusun kejadian yang terjadi padaku di hari keduaku di asrama ini.
“Saya
minta maaf dengan apa yang terjadi kemarin. Saya sudah bertanggung jawab atas
apa yang saya lakukan. Semoga dek Fifi memaafkan saya. Saya permisi dulu ya
dek”. Kata-kata Pak Panji membuatku menatapnya. Lalu sorot matanya menujuk ke
arah belakang tubuhku ke belakang dan mendapati akuaruimku yang kemari kosong
sudah dipenuhi ikan-ikan laut yang berenang di dalamnya. Bahkan ikan yang sama
pemberian bang Andi juga ada di sana. Aku menoleh lagi padanya.
“Sebenarnya
niatan awal saya merogoh saku kemarin bukan untuk memberikan uang, Tapi kartu
nama saya agar dek Fifi bisa menghubungi saya agar membeli ikan hias yang baru
sebagai bentuk tanggung jawab tapi dek Fifi sudah marah duluan jadi saya
belikan ikan baru secara asal saja. Kalau ada ikan yang dek Fifi punya belum
saya ganti akan saya carikan lagi. Saya bukan orang yang lari dari tanggung
jawab. Izin Mendahului Pak.”
Izinya
hanya di jawab anggukan oleh bapak sebelum menghilang dibalik pintu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar