Sabtu, 10 Juni 2017

TUTI KHAERIANTI


#cerpen

Tragedi Masuk Asrama

“sudahlah Fi, tidak usah kamu pikirkan lagi masalah dengan Pak Panji, tenangkan diri kamu dulu di sini”. Itulah yang diucapkan Wulan padaku setelah menceritakan skegundahan hatiku. Coba kususut air mata serta ingusku yang indah ini. Sungguh wajah ku akan terlihat begitu jelek jika menangis. Jika orang lain menangis, yang bengkak pasti hanya matanya disertai hidung yang memerah.
Lain ceritanya jika itu terjadi padaku, jika aku menangis, walau itu hanya sebentar saja maka wajahku ini akan menjadi bengkak semua, dari mata, hidung serta bibir. Tak hanya bengkak, seluruh wajahku akan menjadi merah seperti orang bekas ditampar. Entah mengapa wajahku akan seperti itu jika menangis. Padahal jika aku menangis aku tidak pernah mencakar atau menampar wajahku sendiri, aku hanya menyentuh wajahku hanya bila aku menghapus aliran sungai dadakan di pipi serta mengusir ingus tercintaku ini. Ahh lupakan masalah wajahku jika menangis. Itu tidak penting lagi, yang penting sekarang adalah bagaimana menyelesaikan masalah ku dengan Pak Panji. Eh eh eh tapi jangan dulu lah aku belum mau menyelasaikannya. Bukan, bukan lebih tepatnya aku belum tahu bagaimana menyelesaikan masalahku ini dengan Pak Panji itu. Karena jika masalah ini tak selesai, aku tak akan bisa hidup tenang hidup dalam lingkungan batalion ini.
Sebenarnya ini adalah permasalahan pertamaku dengan Pak Panji, dan ini menjadi permasalahan besar karena menyangkut banyak nyawa di dalamnya. Kehidupan sebagai salah salah satu anak dari orang yang dituakan di Batalion-lah yang akan membawaku mengarungi kehidupan ini di bawah pengawasan seorang Panji Wiratmadja. Orang tua yang menjabat sebagai abdi negara alias TNI AD membuat kami anak-anakanya juga harus ikut serta menemaninya bertugas dari satu Batalion ke Batalion lain. Hidup berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain sudah jadi rutinitas dalam kehidupan kami sejak Bapak masih berpangkat Sertu. Hingga pada siang yang panas di hari kamis tepat sehari yang lalu aku menginjakkan kembali kakiku di Asrama Tentara yang terletak di pusat kota Sulawesi Selatan ini. Asrama yang pernah kutinggali saat menghabiskan akhir masa  SDku. Tiga tahun kami habiskan di Asrama  ini lalu berpindah-pindah seperti kutu loncat ke Batalion lain dan akhirnya kembali lagi ke tempat ini tujuh tahun kemudian. Saat pertama kali pindah ke tempat ini jabatan Bapak masih masih sebagai Danton alias Komandan Pleton. Lumanyan lah dari pada masih pleton kan setidaknya Bapakku komandannya. Aku sebenarnya tidak terlalu paham dengan silsilah kepemimpinan di ke-TNI-an yang ku tahu hanyalah jabatan-jabatan serta pangkat yang yang pernah diemban oleh bapakku saja. Termasuk jabatannya saat ini sebagai Wadayon alias wakil komandan batalion. Jabatan yang cukup mapanlah untuk seukuran bapak tentara yang punya anak tertua sedang kuliah di semester keempat.
Berbeda dengan awal kepindahanku ke Batalion ini sepuluh tahun sebelumnya. Selain karena perbedaan pangkat yang dimiliki Bapak, fasilitas yang kami dapatkan, perlakuan khusus, salah satu yang berbeda adalah diriku sendiri. Kalau sepuluh tahun sebelumnya aku adalah Nafila Syarif si anak bau kencur kelas empat SD yang hanya bisa mengatur bonekanya sendiri, kini aku adalah Fifi si wanita muda yang strong dalam membantu pekerjaan ibu termasuk untuk urusan pindah-pindah barang ke rumah dinas yang baru. Huft, pindah rumah lagi.
Tapi aku bersyukur, karena sejak pindah dari Asrama ini saat baru lulus SD. Pindah rumah dinas tidak lagi menjadi momok yang terlalu menghantuiku layaknya UN. Maklum, jabatan Bapak perlahan tapi pasti menuju arah yang lebih cerah. Itu artinya jabatan Bapak semakin tinggi. Jika jabatan makin tinggi makin banyak anggota yang akan sukarela datang dan membantu mengangkat barang-barang serta perabot rumah kami, meskipun kami juga yang mengaturnya saat di dalam rumah.  Tapi itu lebih baiklah, dari pada dulu aku akan jadi sasaran omelan Ibu jika beliau terlalu lelah pasca memindahkan barang bersama Bapak. Maklum perwira level cetek harus mandiri belum boleh suruh-suruh bawahan. Yaialah, kan belum ada bawahannya.
Kembali lagi ke siang yang panas di hari kamis, saat Bapak, Ibu, Aku, Serta si kunyuk Firman adikku memulai tradisi pindah rumah dinas kami. Ehh salah rumah dinas bapak, kan cuma bapak yang kerja jadi TNI kalau ibu kan pendampingnya sementara aku dan kunyuk adalah buntutnya. Kami sekeluarga memasuki area depan Batalion, biasa saja tidak ada yang spesial karena memang belum ada penyambutan. Ada sih sebenarnya, hanya di sambut Pak Dayon, Bu Dayon serta beberapa petinggi secara pribadi tapi belum ada upacara. Mungkin nanti kali ya. Selain keluarga kami yang datang dengan mobil dinas bapak, dibawa serta pula mobil pribadi Ibu Persit tercinta serta Truk yang mengangkut barang kami. Dan begitu kami sampai di depan rumah dinas Bapak, jeng jeng jeng jeng. Apa yang terjadi sodara-sodara. Wow ini luar biasa. Ehh maap.
Sekelompok manusia jantan berkepala tipis, ehh berambut tipis. Dengan pakaian yang sama celana training serta kaos hijau pupus sudah berbaris rapih di depan rumah. inilah yang kuceritakan kalau semakin tinggi jabatan maka semakin banyak pula yang mempermudah kegiatan pindahan kan. Oke kembali ke topik. Rumah dinas Bapak kuakui adalah salah satu yang terbaik. Yaiyalah, rumah Wadayon. Sebenarnya rumah dinas ini sudah cukup lengkap isinya mulai dari sofa serta almari serta ranjang di kamar utama. Tapi kan ranjangnya serta almarinya kan cuma di kamar utama, bagaimana dengan kami buntut Ibu dan Bapak mau tidur di mana? Itulah sebabnya bawaan kami ini cukup banyak. Tapi tenang! Kan ada Om-om tentara ini yang akan membantu mengangkat semua barang ini. hitung-hitung mereka olah raga gratis sambil beramal gitu.
Setelah aksi Ibu Persit alias Ibu Syarif nunjuk-nunjukin letak barang harus di bawa kemana akhirnya aku bisa bernafas sedikit lega. Karena itu artinya tugasku hanya akan membantu ibu menyusun pakaian serta alat dapur Ibunda tercinta, dan itu akan terjadi malam ini. Saat  para om-om tentara ini pulang setelah menghabiskan kudapan sederhana buatan ibu-ibu penjual kue yang kami singgahi tadi serta minuman kemasan yang juga di beli tadi. rempong boo kalau harus masak sendiri. Maka perang antara kubu barang dan kubu keluarga tentara akan segera di mulai.
“Astaga! Ikan” pekikan si kunyuk membuat ku menolah sesaat setelah aku meletakkan kue tambahan ke depan para om-om ini.
“Ya ampun! Mati deh” ucapku sambil tepok jidat di depan om-om ini. Aku sungguh melupakan sesuatu yang sangat berharga. Plastik ikan serta akuarim nya masih ada dalam mobil Ibu dan mobil itu sedari tadi terjemur matahari dan berpotensi mengancam kehidupan ikan-ikan ku.
Dengan langkah terburu-buru ku cari tas milik si Ibu dan mencari kunci mobilnya. Kuajak serta Firman membantuku menyelamatkan jiwa ikan-ikanku. Yang pertama kali ku kakukan adalah adalah mendekatkan mobil Ibu besar ke depan garasi rumah yang tertutup atap. Lalu kunyuk bertugas mengeluarkan kotak besar berisi plastik ikan. Aku turun dari balik kemudi membantu serta adikku itu menurunkan dan mengecek jiwa ikanku. Setelah ku periksa dengan sangat terpaksa ku umumkan pada adikku bahwa empat ekor ikan badut milik adikku yang baru dibelinya sebulan lalu sudah tewas mengenaskan. Sebenarnya air mataku sudah mulai menggenang tapi kutahan agar tak mengalir. Satu hal yang membuatku bersyukur, ikan pemberian cinta pertamaku, bukan sih dia hanya cinta monyetku yang membekas paling dalam sampai saat ini masih hidup. Syukurlah. Ikan itu dibelikan oleh Bang Andi salah satu perwira angkatan laut saat ia berkunjung ke Asrama tempat Bapak bertugas sebelumnya.
Aku telah mengamankan ikan-ikanku dengan membawa plastiknya ke teras rumah. Saatnya aku dan si kunyuk membuktikan kekompakan kami dalam mengangkat akuarium kaca ikan ini. Aku dan Firman berusaha keras dalam mengangkat benda besar ini, namun saat aku sudah hampir sampai di bibir pintu “ Biar saya yang angkatkan” suara berat itu membuatku hampir melepas akuarium ini. Aku menoleh, kudapati salah satu dari banyak om-om tentara itu berdiri tepat di belakang tubuh kecilku. “sini saya saja dik” tanganya terulur menangkup dua sisi akuarium yang tadi di angkat olehku dan Firman. Gila, dia mengangkat akuarium itu sendiri.
Benda itu kini dalam proses pengangkatan ke dalam rumah, sedang aku dan Firman hanya menatap kagum akan kekuatannya “Izin Dan, biar saya  saja” celetukan itu membuatku beralih pada laki-laki yang ada di samping pria itu. “Gak usah” jawabnya dengan nada yang menurutku agak dingin.
Kini aku sudah hampir selesai menbangunkan istana baru untuk ikan-ikanku seketika suara Bapak mengiterupsi kegiatanku di salah satu sudut ruang tamu rumah ini “Fi… kenalkan ini Panji, dia yang akan menggawalmu untuk sementara hingga Sertu Iqbal kembali dari Poso tiga bulan lagi”. Ucapan Bapak mengalir bersama sapuan pandanganku pada sosok di hadapanku ini.  Jadi namanya Panji ucapku dalam hati. Dia yang tadi membantu mengangkat akuariumku.
“ Lettu Panji Wiratmadja, Dik…” dia mengulurkan tangannya.
“Nafila, panggil aja Fifi” ucapku sambil menjabat tangannya.
Sebenarnya aku hendak protes pada Bapak kali ini. Kenapa tiba-tiba aku mendapat pengawalan, sejak Bapak menjabat di Batalion Kartika Chandra Wirabuana X dulu aku tidak dapat pengawalan apapun selain hanya aturan jam malam padahal jabatan bapak saja masih sama dengan yang sekarang. Namun, protesku akan ku jalankan nanti malam karena aku tak ingin  menurunkan wibawa bapak di depan perwira ini.
“Izin Pak, Ada yang perlu saya kerjakan, Mohon petunjuk”. Ucapan itu menarikku kembali dari lamunanku.
“ahh iya, tidak ada lagi kok. Lettu Panji bisa kembali. Sisanya biar saya yang urus. Dan terima kasih sudah mengarahkan anggota Lettu panji untuk membantu. Sampaikan terima kasih saya juga pada anggota.” jawab Bapak
“Izin Pak, akan saya sampaikan, kalau begitu saya pamit dulu. Selamat sore” ucap pria itu sembari memberi hormat pada bapak sebelum menghilang dibalik pintu.
Bug….pok….pok… pletakk…
Astaga suara apa itu? Aku segera berlari ke luar. Pemandangan yang begitu mengerikan. Seorang pria bertubuh tinggi besar sedang tengkurap diatas genagan air dengan beberapa ikan menggelepar-gelapar di sampingnya. Lucu sekali. Tawaku sudah hampir pecah. Tunggu, apa yang ku katakana tadi ada ikan menggelepar-gelepar bukan? Ya Allah ikanku.
Kulirik bapak kini sedang mesem-mesem menahan tawanya sambil mengulurkan tangan. “Lettu Panji anda tidak apa-apa?”
Dia berbalik segera menggapai uluran tangan bapak “Saya tidak apa-apa pak. Tapi iikan-ikan bapak…”
“tidak usah dipikirkan. Hanya ikan saja kok nanti kalau sudah ketemu air pasti baik saja. Lagi pula ini milik anak saya. Tidak masalah kan Fifi?” Bapak kini menoleh padaku.
“tidak masalah bagaimana. Ikan Fifi bisa mati semua. Ini semua ikan air laut Pa. airnya sudah tumpah semua”. Aku tak bisa lagi menahan emosiku. Aku sudah kehilangan empat ikanku karena terlupa memengeluarkannya dari mobil yang panas.. sekarang semua ikanku sebentar lagi akan mati. Dan ikan dari bang Andi. Astaga ikan itu sudah pasti mati karena ikan jenis Lion Fish ini kepalanya sudah gepeng dengan mata yang sudah tercecer.
“Kamu, tidak bisa hati-hati ya. Bagaimana bisa kamu membunuh semua ikan ku. Dasar tentara ceroboh”. Bentakku dengan telunjuk mengarah padanya.
“Saya benar-benar minta maaf Dik. Saya akan menggantinya” ucapnya dengan nada sesal sambil merogoh kantong samping trainingnya yang kuyakini ada dompet di sana.
“Stop! kamu pikir semuanya bisa selesai dengan uang? Saya nggak butuh uang kamu. Tanggung jawab. Perwira kok tanggung jawabnya nggak ada. Gak pantas kamu jadi tentara.” Sungguh emosiku sudah membumbung tinggi sekarang. Nafasku sudah naik turun sejak awal berbicara pada Pria bodoh ini.
“Fifi! Tidak sopan kamu! Masuk!” ucap Bapak dengan nada tegasnya. Mendengar itu, mau tak mau aku mengikuti perintah Bapak masuk ke dalam rumah dengan air mata yang sudah tumpah.
Aku masuk dengan tersungut-sungut sambil menangis. Saat hendak masuk ke kamarku aku berpapasan dengan Firman yang menatapku aneh “kakak kenapa? “. Tak kuhiraukan pertanyaannya. Aku masuk ke kamarku dan langsung membanting pintu.
Di kamar aku hanya menangis sambil memaluk lututku sendiri diatas single bed yang belum ada spreinya ini. Sampai pintu kamarku terbuka dengan kasar dari luar. Dan pelaku utamanya tidak lain adalah Bapakku sendiri.
“Fifi! Kamu itu apa-apaan sih. Gak sopan sekali sama Lettu Panji. Bapak sama Ibu tidak perna mengajarkanmu untuk tidak sopan! Kamu ini. kita belum sehari pindah ke sini tapi kamu sudah bikin malu Bapak tau!”
Tak ada jawaban dariku yang terdengar hanya deru nafas bapak yang tersengal-sengal
“Kamu itu sudah besar. Gara-gara ikan saja kamu sudah bentak-bentak orang. Pokoknya besok kamu harus minta maaf sama Lettu Panji!”
Yah gitu deh. Bapak dengan sikap tegasnya. Gak mau anaknya salah dimata orang lain, dan mementingkan nama baik dimata orang lain karena tingkah anaknya. Ku akui aku memang salah, karena sudah tidak sopan pada si Lettu Panji itu. Tapi kan dia yang bersalah sudah membunuh semua peliharaanku. Dan sekarang aku diwajibkan minta maaf padanya. Mana keadilan untukku saat ini. Aku yang tersakiti tapi kenapa aku yang harus minta maaf.
Aku terbangun keesokan paginya dengan seluruh wajahku yang bengkak. Sudahlah, lupakan saja aku butuh pelampiasan pagi ini. Setelah sholat subuh aku sudah bersiap dengan celana training panjang, kaos lengan panjang, serta jilbab langsung pasangku. Aku mengendap-endap melewati depan kamar Ibu dan Bapak sambil menenteng sepatu olahraga favoritku sampai aku menghilang dibalik pintu depan. Segera ku pasang sepatuku lalu mengambil sepeda milikku yang tersandar di tembok pembatas rumah ini denga rumah sebelah. Setelah lolos dari pagar rumah segera ku kayuh pedal sepedaku menuju gerbang utama asrama ini. Aku melihat terompet bagun pagi akan segera di bunyikan saat aku hendak keluar.
Setelah melewati gerbang asrama kuarahkan sepedaku menuju jalan utama depan rumah sakit polri yang bersebrangan dengan gerbang asrama, selanjutnya aku berbelok ke kanan memasuki gang kecil dan menghentikan laju sepedaku di salah satu rumah. terlalu pagi memang untuk bertamu. Tapi toh aku sudah meminta izin pemilik rumah untuk bertamu. Tak lama Wulan keluar dari balik pintu setelah ku kirim chat lewat aplikasi line di ponselku. Di kamar wulan yang masih kacau sehabis di tiduri ini kami bercerita panjang lebar membahas masa Sekolah Dasar yang mempertemukan kami. Sampai akhirnya Ia menanyakan masalah wajahku yang bengkak ini, ceritaku pun mengalir dari insiden ikan sampai permintaan bapak agar aku meminta maaf pada pak Panji. Sungai kembali mengalir di pipiku. Aku bingung harus bagaimana meminta maaf padanya aku takut tentara itu tersinggung dan tak mau menerima maafku.
“Ya kalau memang Dia tidak mau memaafkan biar saja. Yang penting Kamu sudah melaksanakan kewajibanmu meminta maaf.” Itulah kata pemungkas yang membuatku mengakhiri drama nangis tidak jelasku ini.
Setelah ku selesaikan tangisanku segera ku basuh wajahku di kamar mandi rumah Wulan. Meskipun tak menghilangkan bengkaknya tapi setidaknya wajahku terasa lebih segar. Aku dan Wulan memutuskan makan bubur ayam yang sudah nangkring di depan gang rumah sahabt lamaku ini. Aku menghabiskan buburku cepat, kubayar buburku sekalian membayarkan milik Wulan serta tiga bungkus lainnya untuk dibawa pulang Wulan ke rumahnya. Aku sengaja tidak membelikan orang rumah, masih kulancarkan aksi marahku terurama pada Bapak yang tak membelaku sama sekali di depan Lettu Panji.
Kembali ku kayuh sepedaku menuju asrama sambil sesekali melontarkan kata-kata apa yang cocok ku katakana pada Panji saat meminta maaf.
Ciiit…Prang…bugh…
Kurasakan tubuhku melayang lalu terhempas dan terseret di atas aspal pagi dekat gerbang utama asrama. Beberapa orang tiba-tiba berkerumung di depanku banyak diantara mereka yang menggunakan pakaian loreng lengkap. Kepalaku hanya mendongak menatap mereka semua. Aku sadar tapi aku masih terlalu kaget dengan apa yang menimpaku saat ini sampai seseorang megangkat tubuhku dari belakang agar berdiri. Orang itu juga kini berlutuh di depanku membersihkan celana training panjangku yang ku lihat telah bolong di bagian lututnya. Tangannya meraih kedua tanganku membalikkan tanganku sehingga tanganku menengadah. Ku kulihat telapak tanganku sudah baret hampir seluruhnya, tangganku juga kotor oleh debu dan darah yang keluar dari relapak tanganku yang luka.
“ Sertu Ali bawa sepeda Fifi ke rumah Wadayon. Saya akan bawa Dia dulu ke Klinik”. Suara itu milik Panji
“Laksanakan Dan” jawab orang di sebut Ali tadi.
Tak ada kata yang kuucap, kakagetan masih membisukanku.
“Maaf dek, saya benar-benar tidak sengaja menabrak adek. Ini ada sedikit untuk pengobatan”. Sapa seorang pria yang sambil memberi beberapa lembar uang lima puluh ribuan.
“Dia tidak butuh uang kamu, kalau mau tanggung jawablah. Tidak semua selesai denga uang.” Sungguh bukan aku yang bicara seperti itu. Tapi tentara yang masih menopangku ini.
Entah bagaimana caranya tangan dan kakiku sudah selasai di obati di klinik dan kini kami –Aku, Panji, Rio si penabrakku- sudah ada di teras rumah. Panji sudah megucapkan salam dari tadidak ketika pintu terbuka sudah menampakkan Ibu dan Bapak berpakaian lengkap seperti hendak pergi. Keningku mengkerut.
“Ya Allah Fifi, Ibu kira kamu di bawa kerumah sakit jadi Ibu sama Bapak mau menyusul ke sana.” Ibu histeris sambil memelukku.
Ibu mempersilahkan kami semua masuk ke dalam rumah. aku hanya terdiam saat dua orang ini menjelaskan kejadian yang menimpaku. Aku masih bingung mencoba menyusun kejadian yang terjadi padaku di hari keduaku di asrama ini.
“Saya minta maaf dengan apa yang terjadi kemarin. Saya sudah bertanggung jawab atas apa yang saya lakukan. Semoga dek Fifi memaafkan saya. Saya permisi dulu ya dek”. Kata-kata Pak Panji membuatku menatapnya. Lalu sorot matanya menujuk ke arah belakang tubuhku ke belakang dan mendapati akuaruimku yang kemari kosong sudah dipenuhi ikan-ikan laut yang berenang di dalamnya. Bahkan ikan yang sama pemberian bang Andi juga ada di sana. Aku menoleh lagi padanya.
“Sebenarnya niatan awal saya merogoh saku kemarin bukan untuk memberikan uang, Tapi kartu nama saya agar dek Fifi bisa menghubungi saya agar membeli ikan hias yang baru sebagai bentuk tanggung jawab tapi dek Fifi sudah marah duluan jadi saya belikan ikan baru secara asal saja. Kalau ada ikan yang dek Fifi punya belum saya ganti akan saya carikan lagi. Saya bukan orang yang lari dari tanggung jawab. Izin Mendahului Pak.”
Izinya hanya di jawab anggukan oleh bapak sebelum menghilang dibalik pintu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUH. RIDHO S

#TugasIndividu ANALISIS NOVEL RADEN MANDASIA SI PENCURI DAGING SAPI BERDASARKAN PENDEKATAN RESEPSI SASTRA Landasan Teori Secara d...