KELOMPOK 3:
1.
ASRIANI
2.
RISKY AMALIYAH
3.
WIWIN RASMAWATI
4.
MIFTAHUL KHAIRAH
5.
TRY AGUNG DARMAWAN
6.
ANNA WIDIA ASTUTU DJAFAR
ANALISIS NOVEL TUHAN IZINKAN AKU JADI PELACUR
A.
Definisi
Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra.
Sosiologi berasal dari kata sos (Yunani) yang berarti bersama, bersatu,
kawan, teman, dan logi (logos) berarti sabda, perkataan, perumpamaan.
Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan,
mengajarkan, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti
alat, sarana. Merujuk dari definisi tersebut, keduanya memiliki objek yang sama
yaitu manusia dan masyarakat. Meskipun demikian, hakikat sosiologi dan sastra
sangat berbeda bahkan bertentangan secara dianetral. Sosiologi adalah ilmu
objektf kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini (das sain)
bukan apa yang seharusnya terjadi (das solen). Sebaliknya karya sastra bersifat
evaluatif, subjektif, dan imajinatif.
Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada
semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan
pembaca. Sosiologi adalah pengetahuan atau ilmu tentang sifat, perilaku,
dan perkembangan masyarakat, ilmu tentang struktur sosial, proses sosial, dan
perubahannya. Sosiologi sastra adalah karya sastra para kriktikus dan
sejahrawan yang terutama mengungkapkan pengarang yang di pengaruhi oleh status
lapisan masyarakat tempat yang berasal, idiologi politik dan sosialnya, kondisi
ekonomi serta khalayak yang ditujunya.
B.
Teori
Pendekatan Sosiologi Sastra
Berikut
adalah teori pendekatan sosiologi sastra menurut para ahli:
Ratna
(2003:2) ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu
dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya
sastra dengan masyarakat, antara lain:
1. Pemahaman
terhadap karya sastra dengan pertimbangan aspek kemasyarakatannya.
2. Pemahaman
terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang
terkandung didalamnya.
3. Pemahaman
terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatar
belakanginya.
4. Sosiologi
sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) antara sastra dengan masyarakat.
5. Sosiologi
sastra berusaha menemukan kualitas interdependensi antara sastra dengan
masyarakat.
Wellek
dan Warren (1956: 84, 1990: 111) membagi sosiologi sastra sebagai berikut :
1. Sosiologi
pengarang, profesi pengarang, dan institusi sastra, masalah yang berkaitan
disini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status
pengarang, dan idiologi pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan
pengarang diluar karya sastra, karena setiap pengarang adalah warga masyarakat,
ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber
utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan
berasal. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi
ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi
pengarang (Wellek dan Warren, 1990: 112)
2. Sosiologi
karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok
penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi
tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra
sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial. (Wellek dan Warren,
1990: 122) Beranggapan dengan berdasarkan pada penelitian Thomas Warton
(penyusun sejarah puisi Inggris yang pertama) bahwa sastra mempunyai kemampuan
merekam ciri-ciri zamannya. Bagi Warton dan para pengikutnya sastra adalah
gudang adat-istiadat, buku sumber sejarah peradaban.
3. Sosiologi
sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang
dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat, seni tidak hanya meniru kehidupan,
tetapi juga membentuknya. Banyak orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia
rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya.
Klasifikasi
Wellek dan Warren sejalan dengan klasifikasi Ian Watt (dalam Damono, 1989 :
3-4) yang meliputi hal-hal berikut:
1. Konteks
Sosial Pengarang
Ada kaitannya dengan posisi sosial
sastrawan dalam masyarakat, dan kaitannya dengan masyarakat, pembaca termasuk
juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya, yang
terutama harus diteliti yang berkaitan dengan :
a. Bagaimana
pengarang mendapat mata pencahariannya, apakah ia mendapatkan dari pengayoman
masyarakat secara langsung, atau pekerjaan yang lainnya;
b. Profesionalisme
dalam kepengaragannya; dan
c. Masyarakat
apa yang dituju oleh pengarang.
2. Sastra
Sebagai Cermin Masyarakat
Maksudnya seberapa jauh sastra dapat
dianggap cermin keadaan masyarakat. Pengertian “cermin” dalam hal ini masih
kabur, karena itu, banyak disalah tafsirkan dan disalah gunakan. Yang harus
diperhatikan dalam klasifikasi sastra sebagai cermin masyarakat adalah:
a. Sastra
mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ditulis, sebab
banyak ciri-ciri masyarakat ditampilkan dalam karya itu sudah tidak berlaku
lagi pada waktu ia ditulis;
b. Sifat
“lain dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan
penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya;
c. Genre
sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap
sosial seluruh mayarakat;
d. Sastra
yang berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin
saja tidak dapat dipercaya sebagai cermin masyarakat.
e. Sebaliknya,
sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat
mungkin masih dapat digunakan sebagai bahan untuk mendapatkan informasi tentang
masyarakat tertentu. Dengan demikian, pandangan sosial pengarang diperhitungkan
jika peneliti karya sastra sebagai cermin masyarakat.
3. Fungsi
Sosial Sastra
Maksudnya seberapa jauh nilai sastra
berkaitan dengan nilai-nilai sosial. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang harus
diperhatikan, yaitu sebagai berikut:
a. Sudut
pandang ekstrim kaum Romantik yang menganggap sastra sama derajatnya dengan
karya pendeta atau nabi. Karena itu, sastra harus berfungsi sebagai pembaharu
dan perombak;
b. Sastra
sebagai penghibur saja;
c. Sastra
harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.
Menurut Ratna (2003: 332) ada beberapa hal
yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan
masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan
masyarakat, sebagai berikut:
1. Karya
sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh
penyalin, dan ketiganya adalah anggota masyarakat.
2. Karya
sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi
dalam masyarakat yang pada gilirannya juga di fungsikan oleh masyarakat.
3. Medium
karya sastra baik lisan maupun tulisan dipinjam melalui kompetensi masyarakat
yang dengan sendirinya telah mengandung masalah kemasyarakatan.
4. Berbeda
dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat dan tradisi yang lain, dalam
karya sastra terkandung estetik, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas
sangat berkepentigan terhadap ketiga aspek tersebut.
5. Sama
dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat
menemukan citra dirinya dalam suatu karya.
Berdasarkan
uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra dapat meneliti melalui
tiga perspektif. Pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti
menganalisisnya sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan
sebaliknya. Kedua, persepektif biologis yaitu peneliti menganalisis dari
sisi pengarang. Perspektif ini akan berhubungan dengan kehidupan pengarang dan
latar kehidupan sosial, budayanya. Ketiga, perspektif reseptif, yaitu
peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra.
Tiga Sudut Pandang Perspektif
1. Perspektif
karya sastra, artinya peneliti menganalisi karya sastra sebagai sebuah refleksi
kehidupan masyarakat dan sebaliknya.
2. Perspektif
pengarang yakni, peneliti menganalisis pengarang, persoalan-persoalan yang
berhubungan dengan sejarah kehidupan pengarang dan latar belakang sosialnya
yang bisa mempengaruhi pengarang dan isi karya sastranya.
3. Perspektif
pembaca, yakni penelitian menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks
sastra dan pengaruh sosial karya sastra.
C. Sinopsis Novel Tuhan Izinkan Aku
Menjadi Pelacur
Novel
karangan Muhidin M Dahlan ini berlatar tempat di kota Jogjakarta yang
merupakan sebuah kota yang terkenal dengan sebutan kota pelajar. Novel ini
merupakan sebuah kisah nyata yang mengisahkan seorang wanita bernama
Nidah Kirani seorang mahasiswi S1 yang merupakan seorang aktivis sebuah
organisasi islam. Mahasiswi ini merupakan sesosok wanita yang sholeha, yang
selama hidupnya hanya dihabiskan untuk beribadah seperti sholat dan membaca
al-quran, Kiran hampir melupakan kehidupan duniawinya. Kiran awalnya
tinggal di pondok Ki Ageng bersama seorang sahabatnya yang merupakan teman
curhatnya. Kiran aktif dalam forum-forum di kampusnya yang membahas mengenai
keislaman. Dalam kegiatan aktifnya di forum-forum islam membuatnya
mengenal dan ikut bergabung bersama suatu organisasi islam yang memperjuangkan
agama islam di Indonesia. Tetapi tekadnya untuk memperdalam agama dengan
mengikuti organisasi ini pupus, dia menemukan kejangalan-kejangalan di
organisasi ini yang memperbolehkan melakukan segala cara dalam mengumpulkan
dana seperti dengan cara menipu, mencuri, dan melacur. Kiran merasa sangat
kecewa karena apa yang dipikirkannya selama ini tidak sesuai dengan kenyataan,
sehingga dia memutuskan untuk meninggalkan organisasi ini bersama 4 orang
temannya, dengan rasa frustasi dan kekecewaan yang teramat besar terhadap
organisasi ini dan Tuhannya Kiran merasa bimbang Kiran ingin berontak dan
mundur karena dia mendapatkan tekanan yang sangat berat dari organisasi,
lingkungannya, dan bahkan dalam dirinya sendiri.
Dan
akhirnya Kiran merasa hidupnya tidak ditolong tuhannya dan Kiran melakukan
hal-hal yang diluar pemikirannya, Kiran yang pada awalnya bercita-cita menjadi
muslimah yang beragama secara kaffa kini pupus dan pada akhirnya kini menjadi
seorang pelacur. Kiran yang awalnya seorang muslimah bejilbab lebar kini
berubah menjadi sesosok wanita yang dapat memuaskan gairah para lelaki, dan
berubah menjadi wanita jalang yang berkelana dari satu lelaki ke lelaki lain.
Kiran menjual tubuhnya hampir ke setiap lelaki. “Aku hanya ingin Tuhan
melihatku. Lihatlah aku Tuhan! Kan ku tuntaskan pembrontakanku pada-Mu!”
kata-kata ini yang selalu dikatakanya setelah bercinta tanpa rasa penyesalan.
Kiran merasa puas karena telah menelanjangi topeng-topeng kemunafikan dari
lelaki yang selama ini selalu tampak terhormat didepan tetapi kenyataan
dibelakannya tidak seperti itu. Dalam melakukan kegiatan maksiatnya ini Kiran
dibantu oleh dosennya yang merupakan seorang germonya. Kiran merasa tubuhnya
yang telah diciptakan oleh tuhannya itu yang dapat membuat lelaki bertekuk
lutut atas kemolekan tubuhnya itu. Tetapi didalam kegiatannya ini Kiran juga
masih mengikuti kegiatan mahasiswa islam yang cukup besar. Ini merupakan kisah
Kiran dalam mencari jati dirinya dalam hidup dan merupakan pendekatan dirinya
dengan Tuhannya yang akhirnya membuatnya salah langkah.
D. Analisis Novel Tuhan izinkan aku
menjadi pelacur tinjauan sosiologi
Novel izinkan aku menjadi pelacur dari
segi sosiologi menurut pendapat welek dan warren dibedakan menjadi tiga yaitu:
1.
Sosiologi pengarang
Dari
hasil kajian mengenai biografi pengarang yaitu Muhidin M Dahlan lahir di Palu,
Sulawesi Tengah, pada tahun 1978. Sempat beberapa waktu mengampuh ilmu di
Teknik Bangunan Insitut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jogjakarta dan
Sejarah Peradaban Islam IAIN Kalijaga Jogjakarta. Kedua-duanya tak selesai.
Mantan aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII), Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI-MPO), dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Muhidin M Dahlan
menulis novel tersebut menurut kisah nyata yang menandakan pegarang telah
melakukan observasi yang mendalam bahkan wawancara dengan pihak yang
bersangkutan tidak lain adalah temannya.
Berhubung M Dahlan juga aktivis yang bergerak di dunia keagamaan sehingga gaya
penulisannya pun terkesan nyata dan mendukung seseorang untuk percaya. Dibesarkan di lingkungan masjid, menjadi
takmir beberapa tahun. Sosiologi pengarang yang menjalani kehidupan di daerah
Jogjakarta sehingga latar tempatpun menjadi sesuai dengan cerita. Kesehariannya
yaitu selain terus membaca, menulis dan jalan juga bergiat di Indonesia Buku (iBUKU)
Jakarta.
Muhidin adalah “alumni” yang sangat
membenci pancasila dan menganggap membom gereja adalah sebuah prestasi. Tapi ia
berhasil memerdekakan diri dari belenggu indoktrinisasi semacam itu. Berbekal
kesadaran dan pencerahan yang diperolehnya, ia
mulai melakukan otokritik. Tujuan
Muhidin M. Dahlan yaitu mendialog kembali apa-apa yang berlalu, yang dialami dan
yang berada di hadapannya. Menurutnya terlalu naif jika seseorang mengatakan dirinya merusak
nilai-nilai agama. Adapun nilai-nilai yang diperjuangkan baginya yaitu ingin
menilai dan mengadili diri sendiri secara jujur dan terbuka. Kegelisahan dan
ketegangan diri sendiri yang mengambak-ngambk dalam pikirannya sehingga
tulisannya menjadi cukup berani dalam pemilihan judul yang memukul dan
mematikan. Bagi Muhidin judul adalah pemandunya menulis cerita.
2. Sosiologi
Karya Sastra
Analisis
novel Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur dianalisis melalui metode deskriptif kualitatif. Dengan teknis
analisis isi yaitu mengungkap dan kemudian mendeskripsikan unsur ekstrinsiknya.
Dalam karya sosiologi sastra tersebut berfokus pada kritik sosial yang
terkandung dalam novel Tuhan,Izinkan Aku Menjadi Pelacur! karya Muhidin M
Dahlan yang meliputi: Pertama, kritik sosial terhadap pemberontakan yang
dilakukan Jemaah Daulah Islamiyah. Kedua, kritik sosial terhadap pilihan hidup
menjadi pelacur. Ketiga, kritik sosial terhadap permasalahan gender. Keempat,
kritik sosial terhadap pelanggaran norma-norma masyarakat. Kelima,kritik sosial
tentang permasalahan dalam keluarga. Keenam, kritik sosial terhadap sikap tokoh
agama.
Novel
Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! karya Muhidin M Dahlan merupakan novel yang
mengisahkan tentang kehidupan sosial masyarakat Yogyakarta. Adapun hasil
analisis dari segi karya sastra berpihak pada kritik sosial pada masyarakat
a. Pemerontakan
yang dilakukan pada Jemaah Daulah Islamiah yaitu saat Nidah Dirani memutuskan bersama
teman-temannya yaitu winda, lilis dan meli untuk kabur dari kelompok tersebut
setelah diskusi kecil yang mereka lakukan.
“ Paginya, satu persatu
kami dengan mulut terkatup dan mata menatap tajam ke depan angkat kaki dari
Pos. Sebuah pelarian yang sudah direncanakan secara matang.” ( Hal 92-94)
b. Pilihan
hidup menjadi pelacur
Setelah keterpurukan
yang dirasakan setelah mengikuti daulah tersebut perasaan Nidah mulai goyah dan berfikir bahwa
tuhan adalah penyebab dari masalah yang dihadapinya tersebut.
“ Dan sumpahpun
kemudian kuikrarkan bahwa mulai saat ini dan entah sampai kapan aku tak sudi
merebahkan dahiku di atas sajadah untuk salat sebagaimana dulu. Dulu bukan
sekarang. Tidak.” ( Hal 103-104)
“ Pak Tomo, terima
kasih atas uluran tanganmu. Jadilah kau germoku dan aku dengan suka cita
menjadi pelacurmu. Pelacur yang menaklukan banyak sekali kaum. Dan jangan marah
lelaki, bukankah gagasan penaklukan ini kalian juga mengajarkan-nya?” (Hal:
225)
c. Permasalahan
gender
“kurang apa aku dengan
perempuan menikah : kepuasaan seks bisa kudapatkan dengan lelaki iseng setelah
puas dia kutinggalkan. Kurang apa aku.
d. Pelanggaran
norma-norma masyarakat
-
Melakukan seks bebas (menjadi pelacur)
“Aku mulai menolak
ajakan setiap lelaki yang ingin mengajakku bersetubuh gratis.” (Hal: 221)
-
Menggunakan obat-obatan terlarang seperti narkoba
“ Hudan pliss. Aku
butuh sekali. Tolong beri aku. Aku tak ahan begini terus. Aku butuh candu. Aku
sakit dan tersiksa. Pliss . Tolong aku”. (Hal: 109-110)
e. Permasalahan
dalam keluarga
-
“ Aku kasihan lihat ibu yang
diperlakukan tak ubahnya seperti budak oleh putranya sendiri. Aku muak sekali
dengan tabiat kakakku itu. Ia jadi perampok dalam keluarg sendiri. Bayangkan
etalase untuk warung saja semuanya dia angkut seolah-olah miliknya sendiri.
Semuanya kulihat habis dan ludes. Ironisnya lagi sewaktu aku beli minyak goreng
ke warungnya. Aku disuruhnya membayarnya. Gila apa gak itu. Padahal aku sangat
tahu bahwa modal dia buka warung sendiri dari warung ibu ( Hal: 227)
f. Sifat
tokoh agama yang ternyata munafik
Mas Dahiri: Mengajak ke
suatu organisasi yang dianggap baik untuk nidah kirani ternyata organisasi
tersebut tidak seperti yang dikatakannya. Kejadian tidak seperti dugaan.
“Kuulangi sekali agi
padamu bahwa keislaman kita di Indonesia belum ada apa-apanya, belum murni.
Kita masih pada fase Mekkah. Islam yang sah adalah Islam fase Madinah. Dan
sekarang Islam Madinah itu belum juga ada dan masih dala taraf di-usaha-kan.
Islam Madinah adalah Islam negara. Daulah. Keabsahan beragama dan tegaknya
syariat tadi ditentukan oleh apakah kita memilki daulah atau tidak. Dan kami
pnya rencana besar untuk mengusahakan berdirinya Daulah Islamiyah Indonesia.”
(Hal: 39)
3. Sosiologi
dari segi pembaca
Karya Muhidin Dahlan mendapat beberapa
kecaman dari masyarakat terutama dari kelompok Hizbut Tahrir. Dalam novel Tuhan
Izinkan Aku Menjadi Pelacur salah seorang perwakilan dari kelompok tersebut
menuduhnya marxis dengan kebencian kepada agama bahkan disumpahi masuk neraka
dan murtad. Selain itu, pembaca yang berasal dari kalangan kampus tempat yang
menjadi latar dari novel tersebut sempat mengkroyok bahkan dituduh sebagai
tukang fitnah yang kejam. Ada juga seorang da’i agama terpelajar dan terkemuka
menyebut novel ini sebagai novel sampahyang tak ayak baca. Walaupun dmikian, ada juga beberapa yang memuji karya dari Muhidin
tersebut bahwa novel tersebut telah memulai suatu pengungkapan beberapa hal
yang tak terungkap, menerobos tabu-tabu dimana banyak orang menghindarinya-dan
yang lebih penting adalah membogkar kemunafikan dar sejumlah manusia yang tersembunyi
di balik topeng-topeng perjuangan agama, ideology dan atas nama nilai-nilai
kebajikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar