#cerpen
PESAN DARI MASA LALU
Jika
kau diberi kesempatan satu kali untuk pergi menjelajahi waktu, ke mana kau akan
pergi? Ke masa lalu untuk memperbaiki kesalahan yang telah kau perbuat. Atau ke
masa depan untuk melihat kejadian yang akan terjadi untuk menghindari kejadian
yang tidak kau inginkan.
Jika
kau bertanya padaku maka jawabanku adalah…
#
“Hei,
kau mau ke mana?” seseorang menepuk pundakku, mengembalikanku ke dunia nyata
setelah beberapa saat terseret ke dunia khayal.
“Oh,
Maya. Aku ingin menemui seseorang,” jawabku sambil mengacungkan sebuah amplop
berwarna biru yang ku temukan di atas meja kerjaku.
“Apa
ini?” tanya Nova sambil berusaha meraih amplop yang ku pegang.
“Rahasia.”
Aku menjauhkan amplop itu agar tak sampai jangkauan tangannya. Namun sepertinya
ia sudah memprediksi niatku dan dengan tangan lainnya ia berhasil mengambil
amplop di tanganku.
“Hm?
Pertemuan rahasia geng petualang? Apaan sih,
kekanakan sekali.” Ia tertawa setelah membuka amplop itu dan membaca isinya.
Aku
buru-buru merampas amplop itu sebelum ia berhasil membaca lebih jauh dan
membuatku semakin malu. Yah, lagipula mana ada orang dewasa di dunia ini yang masih
melakukan ‘permainan’ pertemuan rahasia atau jadi anggota geng. Tentu saja
termasuk diriku yang sudah memasuki usia dua puluhan awal.
Wajahku
memerah karena menahan malu dan kesal. “Aku tahu. Tapi mau bagaimana lagi. Aku
tidak bisa menolak permintaan ini.”
“Tapi
tetap saja, KE-KA-NAK-AN,” jawabnya sambil menekankan pada kata kekanakan.
“Sudahlah.
Daripada kau terus mengejekku, sebaiknya aku segera pergi. Dah.” Aku segera berpamitan begitu kami tiba di depan gerbang masuk
gedung tempatku bekerja. Jika terus berlama-lama dengannya aku hanya akan jadi
bahan tertawaan.
Aku
tidak menyalahkan reaksinya. Jika aku berada diposisinya, aku pun pasti telah
melakukan hal yang sama. Tapi daripada terusik akan ejekan teman dekatku di
kantor itu aku lebih terusik dengan amplop biru ini.
Aku
ingat meski samar-samar, dulu ketika masih kanak-kanak aku sering bermain
dengan beberapa teman sebayaku. Kami begitu akrab sampai kemudian membentuk
sebuah geng yang kami beri nama geng petualang. Seperti namanya geng kami
biasnya menghabiskan waktu dengan melakukan petualangan. Meski petualangan yang
kami lakukan tidak lebih dari menyusuri pekarangan rumah warga atau pekarangan
rumah kosong dan kebun tidak terpakai. Kami selalu menghayal sedang melakukan
perjalanan ruang dan waktu.
Kadang
kami juga kena marah jika pemilik rumah atau pemilik lahan memergoki kami. Bagi
mereka kami terlihat seperti kumpulan anak-anak nakal yang kerjaannya hanya
merusak pekarangan milik orang lain. Tapi bagi kami, kami adalah penjelajah
ruang dan waktu.
Tapi
semua berubah seiring berjalannya waktu. Seperti anak-anak lainnya kami pun
tumbuh dewasa dan semua kegiatan yang kami lakukan perlahan-lahan terasa tidak
sesuai dengan kami. Ditambah dengan kesibukan yang membuat intensitas pertemuan
kami semakin jarang, hingga akhirnya kami benar-benar tidak pernah bertemu.
Meski tanpa ada pembicaraan terlebih secara tersirat geng yang telah kami buat
telah dibubarkan.
Aku
tidak terlalu memusingkan hal itu dan bahkan telah melupakan semuanya.
Benar-benar hampir segalanya ketika tiba-tiba amplop biru itu hadir di atas
meja kerjaku. Menarik kenangan lama yang telah mati-matian aku coba kubur
keluar dari makamnya.
#
Dan
di sinilah sekarang aku. Duduk dengan kurang nyaman di sebuah restaurant keluarga ‘M’. Aku hanya
memesan segelas kopi espresso karena
memang aku tak berniat untuk berada di sini terlalu lama.
Waktu
menunjukkan pukul 16.53, tujuh menit lagi dari janji waktu pertemuan yang
tertulis di amplop. Aku menunggu dengan tidak sabar. Sesekali aku
mengentuk-ngetukan jari di atas meja atau mengetuk-ngetukan ujung sepatuku pada
ubin restaurant.
Waktu
berlalu dan kini telah menunjukkan pukul 17.00, tapi tidak ada satupun
tanda-tanda seseorang akan datang dan menghampiri meja yang sedang ku duduki.
Sebagai gantinya seorang pelayanlah yang datang, meletakkan kopi pesanku dan
sebuah kertas origami berwarna biru yang dibentuk menyerupai burung.
“Tadi
ada yang menitipkan ini. Katanya tolong diserahkan pada anda tepat jam empat
sore.” Pelayan itu menjelaskan, sepertinya ia bisa membaca ekspresi
kebingunganku.
“Tadi
lihat orangnya seperti apa engak?”
tanyaku sambil menerima kertas itu dengan canggung.
“Wah,
maaf saya kurang tahu karena tadi yang menerima teman saya. Apa perlu saya
panggilkan teman saya yang menerima pesan ini?” Pelayan ini tampak tidak enak
karena tidak bisa menjawab pertanyaanku.
“Eh,
engak usah deh.” Aku menolak karena tidak ingin mengganggu para pekerja dengan
permintaanku yang egois.
“Kalau
begitu saya permisi.” Pelayan itu berpamitan dan bergegas pergi untuk
melanjutkan pekerjaannya.
Aku
segera membuka lipatan kertas origami itu dan mendapati sebuah tulisan yang
ditulis dengan tinta biru.
Hai anggota geng! Pertama-tama aku mau mengucapkan terima kasih karena sudah mau sempat
datang ke sini disela-sela kegiatanmu yang pasti sibuk itu. Kedua aku mau
meminta maaf karena tidak bisa menemuimu secara langsung. Setidaknya untuk
sekarang. Kalau sekarang kau jadi penasaran dan ingin menemuiku. Bisakah kau
datang ke sebuah tempat pada hari minggu ini? Tempatnya…
Pesan itu
terputus sampai di situ. Aku membolak-balikan kertas itu berharap menemukan
lanjutannya. Tapi tetap saja, nihil.
Aku mendengus.
Apa sekarang aku sedang dikerjai? Kenapa ada orang yang memintaku untuk pergi
ke suatu tempat tapi tidak memberitahukan tempat itu ada dimana. Ah, hari ini
bahkan bukan ulang tahunku tapi kenapa aku dikerjai seperti ini?
Drrrtttt…
Aku terkejut
ketika handphone yang ku letakkan di
saku celanaku tiba-tiba saja bergetar. Aku segera merogoh sakuku dan mendapati
sebuah pesan masuk. Pesan itu rupanya adalah kelanjutan dari pesan yang ada di
kertas tadi.
“Apa-apaan ini.”
Aku tanpa sadar menaikan nada suaraku. Aku kesal bercampur heran dan gusar.
Darimana ia –siapapun yang telah melakukan permainan bodoh ini- bisa tahu
nomorku?
Orang-orang di
sekitar nampak menoleh padaku ketika mendengar suaraku yang cukup keras. Aku
buru-buru meminta maaf dengan isyarat tangan.
Tak beberapa
lama sebuah pesan lain masuk. Seolah menjawab keherananku pesan itu berbunyi:
Aku bukan ada niat jahat kok. Aku tahu nomormu dari
ibumu. Ibumu engak mungkin sembarang kasih nomor kamu ke orang yang dia engak
kenal kan? Jadi jangan langsung berpikir aku psikopat ya. :D
Aku mengerutkan
dahi. Harusnya ibu memberitahuku jika ada teman yang menanyakan nomorku
padanya.
Aku memutuskan
untuk tidak terlalu memikirkannya dan bergegas menghabiskan kopi yang sudah
terlanjur aku pesan.
Entah sejak
kapan aku menyukai kopi, aku tidak begitu mengingatnya. Mungkin sejak aku
menyadari bahwa kopi selalu berhasil membuatku merasa tenang. Tapi entah
mengapa, meski kopi yang ku pesan telah tandas perasaanku tetap saja tak
kunjung membaik.
Seperti berjalan di atas tali tipis melayang
Seperti sebuah lubang yang mengangga
Aku tak seimbang
Jiwaku terasa hampa
Tapi mengapa baru sekarang?
Setelah sekian lama
#
Aku menghabiskan
waktu beberapa saat untuk mengambil keputusan. Awalnya aku tak berniat untuk
pergi ke tempat yang diminta orang misterius yang mengaku salah satu anggota
geng petualang. Salah satu alasanya tentu saja karena pesan tidak jelas yang ia
kirimkan bisa saja hanya perbuatan orang iseng. Salah duanya karena bisa saja
lebih membahayakan lagi, ia adalah penjahat yang hendak melakukan perbuatan
jahat padaku.
Tapi di sudut
hatiku tetap tak bisa mengabaikan begitu saja permintaan ini. Meski masih
sambil mengutuk diri sendiri, aku memutuskan untuk tetap pergi.
“Ibu, aku mau
pergi ke suatu tempat.” Aku berpamitan pada ibuku sebelum pergi. Harapanku
dengan izinnya semoga perjalananku ini bisa terhindar dari hal-hal buruk yang
tidak diinginkan. Bukankah restu orang tua adalah restu Tuhan juga?
“Hati-hati,
nak.” Ibu menghentikan sejenak kegiatan masak-memasaknya dan mengantarku sampai
pintu depan.
“Ibu, kalau
sampai malam aku tidak pulang segera hubungi polisi.”
“Kau ini bicara
apa?” Ibu tidak senang mendengar perkataanku. Ah, harusnya aku memang tidak
mengatakan itu.
“Maaf bu, aku
hanya bercanda. Ya sudah, aku pergi dulu.” Aku segera menyalimi tangan ibuku
dan bergegas keluar rumah.
Hari ini langit
nampak murung. Awan-awan kelabu nampak sigap menghalau sinar matahari. Aku
menghela nafas, sedikit khawatir bahwa hari ini akan hujan. Sejenak aku
memikirkan kembali keputusanku untuk pergi. Tapi kemudian, setelah nafas
panjangku berikutnya aku melangkah maju tanpa keraguan.
Alamat yang ku
tuju rupanya tidak sulit untuk ditemukan. Bahkan bisa dikatakan cukup familiar untukku. Bagaimana tidak,
tempat itu adalah sekolah dasar dimana aku dan empat anggota geng petualang
dahulu menuntut ilmu. Selain teman sepermainan kami juga merupakan teman satu
sekolah dasar. Baru ketika sekolah menengah kami berpencar menuju sekolah
tujuan yang berbeda-beda.
Saat itu aku
pindah keluar kota mengikuti ayahku yang dipindah tugaskan. Anggota geng yang
lain ada yang melanjutkan ke sekolah menengah yang dekat dari rumah agar tidak
kesulitan dalam hal transportasi. Ada juga yang memilih melanjutkan ke sekolah
menengah yang letaknya jauh karena mengincar sekolah favorite. Satu hal kecil ini yang sempat ku lupakan, kini tiba-tiba
teringat kembali.
Perasaan
nostalgia tiba-tiba menyeruak memasuki rongga dadaku. Sekolah ini kini memang
telah jauh berubah. Jauh lebih bagus dari yang terakhir aku ingat. Tapi tetap
saja meski banyak yang berubah, banyak juga hal-hal yang masih terlihat sama.
Salah satunya adanya pohon besar yang tumbuh di halaman depan sekolah. Biasanya
kami berlima dengan berani memanjat pohon itu dan tentu saja mendapat teguran
keras dari guru. Padahal saat itu dalam geng ada dua orang laki-laki dan tiga
orang perempuan tapi kami tidak takut dan guru kami juga menghukum kami tanpa
pandang bulu.
“Astrid?”
Tiba-tiba suara cempreng yang terdengar tak begitu asing menyapa pendengaranku.
Aku menoleh ke sumber suara itu dan mendapati seorang wanita yang nampaknya
seusia denganku. Butuh beberapa waktu
untuk menyadari bahwa ia adalah seorang yang aku kenal.
“Supernova? Eh…
Bukan, maksudku Nova?” Aku berusaha memastikan bahwa ia adalah Nova, salah satu
anggota geng petualang. Kami memang sudah lama tidak bertemu jadi wajar butuh
waktu untuk menandai satu sama lain.
“Iya, ini aku
Nova. Sudah lama aku tidak mendengar panggilan itu.” Ternyata ia benar-benar
Nova. Ia sudah sangat berubah, dulu ia adalah yang paling tomboy di antara
kami. Ia dulu paling tidak mau menggunakan rok dan memiliki potongan rambut
seperti laki-laki. Tapi sekarang, ia sudah memiliki rambut panjang yang sangat
indah bahkan ia menggunakan rok panjang.
Dulu kami
biasanya memanggil bukan dengan nama asli kami tetapi dengan nama julukan. Nama
itu diambil dari benda-benda ruang angkasa yang penyebutannya mirip dengan nama
kami masing-masing. Namaku adalah Astrid dan nama panggilanku adalah Asteroid.
Kemudian ada Nova yang nama panggilannya adalah Supernova. Lalu-
“Hoi, kalian
berdua kenapa bisa ada di sini?” Suara berat yang cukup asing tiba-tiba menyapa
pendengaran kami berdua yang saling melepas rindu.
Aku dan Nova
sontak menoleh dan mendapati seorang pria jangkung berpakaian kasual mendekati
kami semua.
“Kamu-“ aku menunjuk
pria jangkung itu sambil berusaha mengingat-ingat.
“Woi, Bim,
tungguin napa.” Seorang pria lagi
yang sedikit lebih pendek dari si jangkung namun memiliki kulit yang lebih
putih nampak berlari kecil menghampiri kami.
“BIMA. GALANG.” Nova
yang lebih dahulu mengenali mereka berteriak histeris. Aku pun tak kalah
terkejutnya begitu sadar bahwa mereka adalah dua laki-laki anggota geng
petualang. Mereka benar-benar nampak
berbeda. Bima yang ada dalam ingatanku adalah lelaki bertubuh pendek dan
berpipi gempal. Lalu Galang, meskipun masih sama putihnya tapi seingatku dulu
ialah yang paling tinggi di antara kami. Sekarang Bima berhasil menyalip tinggi
Galang cukup jauh.
“Kalau Galaksi,
Bimasakti dan Supernova ada di sini berarti sekarang tinggal-“ Aku mendadak
jadi semangat. Harusnya aku tahu dari awal, siapa lagi yang akan sampai seiseng
ini padaku kalau bukan ‘dia’. Anggota perempuan terakhir dari geng petualang
sekaligus anggota yang paling dekat denganku. Ia sudah seperti saudaraku
sendiri. Aku jadi sangat menyesal karena sempat melupakan semuanya dan bahkan
sempat berpikir bahwa ini tidak penting. Tentu saja semuanya penting.
Kenanganku meski seremeh apapun pastilah penting.
“Eh? Astrid
belum tahu ya?” Aku tidak mengerti kenapa Galang tiba-tiba nampak kebingungan.
“Eh, gimana
Astrid bisa ke sini kalau dia engak tahu?” Bima nampak sama bingungnya.
“Kenapa sih?”
Aku benar-benar tidak mengerti apa yang mereka maksud.
“Astrid, kamu
kapan balik ke sini dari luar kota?” Nova memegang bahuku. Tatapannya berubah
serius.
“Belum ada
setahun sih. Aku diperusahaan juga
baru mulai kerja beberapa bulan kok. Kenapa?” Aku tidak mengerti dengan maksud
tatapan Nova.
“Terus yang
nyuruh kami ke sini siapa?” Kali ini giliran Bima yang menatapku dengan serius.
“Ceritanya
panjang. Awalnya aku terima surat di meja kerja aku. Terus aku disuruh ke resto, terus aku akhirnya terima sms
yang nyuruh aku ke sini hari ini. Ini pasti kerjaannya Matahari kita, si Indah
kan?”
Di geng kami
Indah bisa dibilang yang paling istimewa. Pertama, kalau bukan karena Indah
geng petualang mungkin tidak akan pernah terbentuk. Indahlah yang lebih dulu
mencetuskan ide itu ketika kami sedang bermain. Indah juga yang mencetuskan ide
tentang nama panggilan. Tapi karena saat itu kami kesulitan mencari nama benda
di luar angkasa yang mirip dengan namanya, kami memutuskan untuk memanggilnya
Matahari. Matahari seperti namanya adalah sumber kehidupan. Tanpa matahari
tidak akan ada kehidupan. Tanpa Indah tidak akan ada geng petualang.
Tapi yang aku
tidak mengerti adalah ketika mereka bertiga tiba-tiba menatapku bersamaan.
Seperti ada yang salah dengan perkataanku. Apa yang salah ketika aku
menyebut-nyebut Indah?
“Astrid…
Dengerin ya.” Galang tiba-tiba memegang kedua pundakku.
Aku hanya bisa
menatap Galang dengan tatapan tak mengerti.
“Indah, udah
meninggal.”
#
Indah udah meninggal delapan tahun lalu. Dia jadi
korban penganiayaan di sekolahnya. Dia sampai masuk rumah sakit dan meninggal
di sana. Kasusnya sampai ke meja hijau. Sempat heboh banget waktu itu. Kita
semua juga datang waktu pemakamannya. Kita semua kecuali… -Galang
Maaf Astrid, kita benar-benar hilang kontak sama
kamu waktu itu. Waktu itu perasaan kita bener-bener kacau waktu tahu kejadian
yang menimpa Indah. Maaf ya, harusnya kita lebih berusaha cari tahu kabar kamu
waktu itu. Maaf, sekarang aku juga nyesel banget kalau inget lagi waktu itu.
–Nova
Sekarang lebih baik kita ke makamnya. Kebetulan hari
ini peringatan delapan tahunnya. Mungkin dulu kamu engak bisa datang karena
emang jarak yang menghambat. Tapi lebih baik telatkan daripada engak sama
sekali. –Bima
Aku berdiri di
depan makan Indah. Rasanya seperti semua ini tidak nyata. Rasanya baru seperti
kemarin kami bermain bersama. Tawa riang Indah bahkan masing terngiang-ngiang
di telingaku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana penderitaannya ketika
menerima penganiayaan itu. Dan lebih sakit lagi bahwa aku tidak ada di sana
untuk menghiburnya, membelanya dan memberikannya kekuatan.
“Indah, maaf aku
telat datang ke sini. Maaf juga aku engak bisa ada di samping kamu disaat kamu
paling butuh teman. Aku… hiks, hiks.” Aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku. Aku
hanya terus menangis di depan kuburan Indah. Semua perasaanku campur aduk
menjadi satu. Aku ingin menumpahkan semuanya hari ini. Semua perasaan dari masa
lalu agar tidak ada lagi penyesalan untuk hari esok.
Nova, Bima dan
Galang hanya melihatku. Aku tidak tahu apa yang berkecamuk dalam pikirkan
mereka masing-masing. Tapi aku tahu kami merasakan sakit yang sama. Kehilangan
sahabat yang sangat berarti untuk kami. Waktu memang telah berlalu dan kami
telah lama meninggalkan masa ketika kami adalah geng petualang. Tapi semua
kenangan yang tertinggal nyatanya masih cukup kuat mengikat kami.
“Udah?” Bima
memberanikan diri untuk bicara padaku setelah ia melihat tangisanku yang mulai
reda. Aku hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan kecil.
“Masih kuatkan?”
Nova membantuku berdiri.
“Kita mau kemana
lagi?” tanyaku sambil menyeka sisa-sisa air mataku.
“Kita mau gali time capsule yang kita tanam waktu itu.”
Galang yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara.
“Oh, sekarang
udah lima belas tahun ya?”
Dulu ketika kami
masih berumur sepuluh tahun dan geng petualang masih baru dibuat kami membuat time capsule yang akan dibuka setelah
lima belas tahun. Ide time capsule
itu muncul setelah kami menonton sebuah film yang di dalamnya para tokohnya menulis
surat dan meletakkannya ke dalam kotak lalu menanamnya di bawah sebuah pohon.
Tentu saja sebagai anak kecil yang bersemangat kami juga ingin menirunya. Saat
itu kami dibantu oleh ayah Nova untuk menanamnya di bawah pohon di halaman
rumah Nova yang memang paling luas di antara kami semua.
“Jadi, ayo
sekarang kita akan ke rumah Nova.” Galang dengan semangat berjalan lebih dahulu
meninggalkan pemakaman.
Aku berjalan
paling terakhir dan sesekali menoleh menatap pusara Indah. Ini mungkih hanya delusi,
tapi dari kejauhan entah mengapa aku seperti melihat Indah yang sedang mengintip
melambai mengiringi kepergian kami.
#
Hai anggota geng! Apa kabar kalian semua? Aku sangat
bersemangat ketika menulis surat ini. Lima belas tahun dari sekarang kira-kira
bagaimana ya? Galaksi dan Bimasakti pasti sudah sudah tambah tinggi dan jadi
keren. Supernova dan Asteroid juga pasti tambah cantik. Tapi harapan terbesarku
tentu saja geng petualang tetap eksis sampai kapanpun. Lalu, aku ingin kalian
semua bersenang-senang seperti sekarang ini. Lakukan semua yang terbaik hari
ini. Jadi, jika di masa depan ilmuwan sudah menemukan mesin waktu kalian bisa
mengatakan dengan yakin, “Aku tidak membutuhkan mesin waktu. Aku sudah
melakukan yang terbaik hari ini. Jadi aku tidak akan menyesali hari kemarin dan
tak akan khawatir akan hari esok.”
Yah, aku akan
hidup dengan membawa keyakinan yang ditinggalkan Indah –matahari kami- dalam
suratnya. Aku akan melakukan yang terbaik hari ini. Jadi jika ada yang
memberiku kesempatan untuk menjelajah waktu aku bisa dengan tegas menolaknya.
Aku tidak membutuhkan mesin waktu karena aku telah hidup dengan baik hari ini.
Tidak akan ada penyesalan untuk hari yang telah lalu dan tak akan ada
kekhawatiran untuk masa depan.
~TAMAT~
.
.
.
.
.
.
Epilog:
Trrrt…
Trrrt….
“Hallo,
selamat siang.”
“Hallo,
tante?”
“Iya,
ini dengan siapa?”
“Ini
dengan Indah, tante.”
“Oh,
Indah temannya Astrid bukan? Yang anak geng petualang itu?”
“Hehehe…
Iya yang itu tante.”
“Wah,
sekarang pasti kamu sudah besar ya. Mau bicara sama Astrid ya? Wah, tapi
Astridnya belum pulang. Dia masih di tempat kerja.”
“Engak
apa-apa kok tante. Aku mau minta nomornya Astrid aja kalau gitu.”
“Oh,
iya sudah. Tante sebutin ya. Nol… delapan…”
“Nol…
delapan...”
~TAMAT (2)~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar