Sabtu, 10 Juni 2017

SRI FITRIANI


#cerpen


PESAN DARI MASA LALU

Jika kau diberi kesempatan satu kali untuk pergi menjelajahi waktu, ke mana kau akan pergi? Ke masa lalu untuk memperbaiki kesalahan yang telah kau perbuat. Atau ke masa depan untuk melihat kejadian yang akan terjadi untuk menghindari kejadian yang tidak kau inginkan.
Jika kau bertanya padaku maka jawabanku adalah…

#
“Hei, kau mau ke mana?” seseorang menepuk pundakku, mengembalikanku ke dunia nyata setelah beberapa saat terseret ke dunia khayal.
“Oh, Maya. Aku ingin menemui seseorang,” jawabku sambil mengacungkan sebuah amplop berwarna biru yang ku temukan di atas meja kerjaku.
“Apa ini?” tanya Nova sambil berusaha meraih amplop yang ku pegang.
“Rahasia.” Aku menjauhkan amplop itu agar tak sampai jangkauan tangannya. Namun sepertinya ia sudah memprediksi niatku dan dengan tangan lainnya ia berhasil mengambil amplop di tanganku.
“Hm? Pertemuan rahasia geng petualang? Apaan sih, kekanakan sekali.” Ia tertawa setelah membuka amplop itu dan membaca isinya.
Aku buru-buru merampas amplop itu sebelum ia berhasil membaca lebih jauh dan membuatku semakin malu. Yah, lagipula mana ada orang dewasa di dunia ini yang masih melakukan ‘permainan’ pertemuan rahasia atau jadi anggota geng. Tentu saja termasuk diriku yang sudah memasuki usia dua puluhan awal.
Wajahku memerah karena menahan malu dan kesal. “Aku tahu. Tapi mau bagaimana lagi. Aku tidak bisa menolak permintaan ini.”
“Tapi tetap saja, KE-KA-NAK-AN,” jawabnya sambil menekankan pada kata kekanakan.
“Sudahlah. Daripada kau terus mengejekku, sebaiknya aku segera pergi. Dah.” Aku segera berpamitan begitu kami tiba di depan gerbang masuk gedung tempatku bekerja. Jika terus berlama-lama dengannya aku hanya akan jadi bahan tertawaan.
Aku tidak menyalahkan reaksinya. Jika aku berada diposisinya, aku pun pasti telah melakukan hal yang sama. Tapi daripada terusik akan ejekan teman dekatku di kantor itu aku lebih terusik dengan amplop biru ini.
Aku ingat meski samar-samar, dulu ketika masih kanak-kanak aku sering bermain dengan beberapa teman sebayaku. Kami begitu akrab sampai kemudian membentuk sebuah geng yang kami beri nama geng petualang. Seperti namanya geng kami biasnya menghabiskan waktu dengan melakukan petualangan. Meski petualangan yang kami lakukan tidak lebih dari menyusuri pekarangan rumah warga atau pekarangan rumah kosong dan kebun tidak terpakai. Kami selalu menghayal sedang melakukan perjalanan ruang dan waktu.
Kadang kami juga kena marah jika pemilik rumah atau pemilik lahan memergoki kami. Bagi mereka kami terlihat seperti kumpulan anak-anak nakal yang kerjaannya hanya merusak pekarangan milik orang lain. Tapi bagi kami, kami adalah penjelajah ruang dan waktu.
Tapi semua berubah seiring berjalannya waktu. Seperti anak-anak lainnya kami pun tumbuh dewasa dan semua kegiatan yang kami lakukan perlahan-lahan terasa tidak sesuai dengan kami. Ditambah dengan kesibukan yang membuat intensitas pertemuan kami semakin jarang, hingga akhirnya kami benar-benar tidak pernah bertemu. Meski tanpa ada pembicaraan terlebih secara tersirat geng yang telah kami buat telah dibubarkan.
Aku tidak terlalu memusingkan hal itu dan bahkan telah melupakan semuanya. Benar-benar hampir segalanya ketika tiba-tiba amplop biru itu hadir di atas meja kerjaku. Menarik kenangan lama yang telah mati-matian aku coba kubur keluar dari makamnya.
#
Dan di sinilah sekarang aku. Duduk dengan kurang nyaman di sebuah restaurant keluarga ‘M’. Aku hanya memesan segelas kopi espresso karena memang aku tak berniat untuk berada di sini terlalu lama.
Waktu menunjukkan pukul 16.53, tujuh menit lagi dari janji waktu pertemuan yang tertulis di amplop. Aku menunggu dengan tidak sabar. Sesekali aku mengentuk-ngetukan jari di atas meja atau mengetuk-ngetukan ujung sepatuku pada ubin restaurant.
Waktu berlalu dan kini telah menunjukkan pukul 17.00, tapi tidak ada satupun tanda-tanda seseorang akan datang dan menghampiri meja yang sedang ku duduki. Sebagai gantinya seorang pelayanlah yang datang, meletakkan kopi pesanku dan sebuah kertas origami berwarna biru yang dibentuk menyerupai burung.
“Tadi ada yang menitipkan ini. Katanya tolong diserahkan pada anda tepat jam empat sore.” Pelayan itu menjelaskan, sepertinya ia bisa membaca ekspresi kebingunganku.
“Tadi lihat orangnya seperti apa engak?” tanyaku sambil menerima kertas itu dengan canggung.
“Wah, maaf saya kurang tahu karena tadi yang menerima teman saya. Apa perlu saya panggilkan teman saya yang menerima pesan ini?” Pelayan ini tampak tidak enak karena tidak bisa menjawab pertanyaanku.
“Eh, engak usah deh.” Aku menolak karena tidak ingin mengganggu para pekerja dengan permintaanku yang egois.
“Kalau begitu saya permisi.” Pelayan itu berpamitan dan bergegas pergi untuk melanjutkan pekerjaannya.
Aku segera membuka lipatan kertas origami itu dan mendapati sebuah tulisan yang ditulis dengan tinta biru.
Hai anggota geng! Pertama-tama aku mau mengucapkan terima kasih karena sudah mau sempat datang ke sini disela-sela kegiatanmu yang pasti sibuk itu. Kedua aku mau meminta maaf karena tidak bisa menemuimu secara langsung. Setidaknya untuk sekarang. Kalau sekarang kau jadi penasaran dan ingin menemuiku. Bisakah kau datang ke sebuah tempat pada hari minggu ini? Tempatnya…
Pesan itu terputus sampai di situ. Aku membolak-balikan kertas itu berharap menemukan lanjutannya. Tapi tetap saja, nihil.
Aku mendengus. Apa sekarang aku sedang dikerjai? Kenapa ada orang yang memintaku untuk pergi ke suatu tempat tapi tidak memberitahukan tempat itu ada dimana. Ah, hari ini bahkan bukan ulang tahunku tapi kenapa aku dikerjai seperti ini?
Drrrtttt…
Aku terkejut ketika handphone yang ku letakkan di saku celanaku tiba-tiba saja bergetar. Aku segera merogoh sakuku dan mendapati sebuah pesan masuk. Pesan itu rupanya adalah kelanjutan dari pesan yang ada di kertas tadi.
“Apa-apaan ini.” Aku tanpa sadar menaikan nada suaraku. Aku kesal bercampur heran dan gusar. Darimana ia –siapapun yang telah melakukan permainan bodoh ini- bisa tahu nomorku?
Orang-orang di sekitar nampak menoleh padaku ketika mendengar suaraku yang cukup keras. Aku buru-buru meminta maaf dengan isyarat tangan.
Tak beberapa lama sebuah pesan lain masuk. Seolah menjawab keherananku pesan itu berbunyi:
Aku bukan ada niat jahat kok. Aku tahu nomormu dari ibumu. Ibumu engak mungkin sembarang kasih nomor kamu ke orang yang dia engak kenal kan? Jadi jangan langsung berpikir aku psikopat ya. :D
Aku mengerutkan dahi. Harusnya ibu memberitahuku jika ada teman yang menanyakan nomorku padanya.
Aku memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya dan bergegas menghabiskan kopi yang sudah terlanjur aku pesan.
Entah sejak kapan aku menyukai kopi, aku tidak begitu mengingatnya. Mungkin sejak aku menyadari bahwa kopi selalu berhasil membuatku merasa tenang. Tapi entah mengapa, meski kopi yang ku pesan telah tandas perasaanku tetap saja tak kunjung membaik.
Seperti berjalan di atas tali tipis melayang
Seperti sebuah lubang yang mengangga
Aku tak seimbang
Jiwaku terasa hampa
Tapi mengapa baru sekarang?
Setelah sekian lama
#
Aku menghabiskan waktu beberapa saat untuk mengambil keputusan. Awalnya aku tak berniat untuk pergi ke tempat yang diminta orang misterius yang mengaku salah satu anggota geng petualang. Salah satu alasanya tentu saja karena pesan tidak jelas yang ia kirimkan bisa saja hanya perbuatan orang iseng. Salah duanya karena bisa saja lebih membahayakan lagi, ia adalah penjahat yang hendak melakukan perbuatan jahat padaku.
Tapi di sudut hatiku tetap tak bisa mengabaikan begitu saja permintaan ini. Meski masih sambil mengutuk diri sendiri, aku memutuskan untuk tetap pergi.
“Ibu, aku mau pergi ke suatu tempat.” Aku berpamitan pada ibuku sebelum pergi. Harapanku dengan izinnya semoga perjalananku ini bisa terhindar dari hal-hal buruk yang tidak diinginkan. Bukankah restu orang tua adalah restu Tuhan juga?
“Hati-hati, nak.” Ibu menghentikan sejenak kegiatan masak-memasaknya dan mengantarku sampai pintu depan.
“Ibu, kalau sampai malam aku tidak pulang segera hubungi polisi.”
“Kau ini bicara apa?” Ibu tidak senang mendengar perkataanku. Ah, harusnya aku memang tidak mengatakan itu.
“Maaf bu, aku hanya bercanda. Ya sudah, aku pergi dulu.” Aku segera menyalimi tangan ibuku dan bergegas keluar rumah.
Hari ini langit nampak murung. Awan-awan kelabu nampak sigap menghalau sinar matahari. Aku menghela nafas, sedikit khawatir bahwa hari ini akan hujan. Sejenak aku memikirkan kembali keputusanku untuk pergi. Tapi kemudian, setelah nafas panjangku berikutnya aku melangkah maju tanpa keraguan.
Alamat yang ku tuju rupanya tidak sulit untuk ditemukan. Bahkan bisa dikatakan cukup familiar untukku. Bagaimana tidak, tempat itu adalah sekolah dasar dimana aku dan empat anggota geng petualang dahulu menuntut ilmu. Selain teman sepermainan kami juga merupakan teman satu sekolah dasar. Baru ketika sekolah menengah kami berpencar menuju sekolah tujuan yang berbeda-beda.
Saat itu aku pindah keluar kota mengikuti ayahku yang dipindah tugaskan. Anggota geng yang lain ada yang melanjutkan ke sekolah menengah yang dekat dari rumah agar tidak kesulitan dalam hal transportasi. Ada juga yang memilih melanjutkan ke sekolah menengah yang letaknya jauh karena mengincar sekolah favorite. Satu hal kecil ini yang sempat ku lupakan, kini tiba-tiba teringat kembali.
Perasaan nostalgia tiba-tiba menyeruak memasuki rongga dadaku. Sekolah ini kini memang telah jauh berubah. Jauh lebih bagus dari yang terakhir aku ingat. Tapi tetap saja meski banyak yang berubah, banyak juga hal-hal yang masih terlihat sama. Salah satunya adanya pohon besar yang tumbuh di halaman depan sekolah. Biasanya kami berlima dengan berani memanjat pohon itu dan tentu saja mendapat teguran keras dari guru. Padahal saat itu dalam geng ada dua orang laki-laki dan tiga orang perempuan tapi kami tidak takut dan guru kami juga menghukum kami tanpa pandang bulu.
“Astrid?” Tiba-tiba suara cempreng yang terdengar tak begitu asing menyapa pendengaranku. Aku menoleh ke sumber suara itu dan mendapati seorang wanita yang nampaknya seusia denganku.  Butuh beberapa waktu untuk menyadari bahwa ia adalah seorang yang aku kenal.
“Supernova? Eh… Bukan, maksudku Nova?” Aku berusaha memastikan bahwa ia adalah Nova, salah satu anggota geng petualang. Kami memang sudah lama tidak bertemu jadi wajar butuh waktu untuk menandai satu sama lain.
“Iya, ini aku Nova. Sudah lama aku tidak mendengar panggilan itu.” Ternyata ia benar-benar Nova. Ia sudah sangat berubah, dulu ia adalah yang paling tomboy di antara kami. Ia dulu paling tidak mau menggunakan rok dan memiliki potongan rambut seperti laki-laki. Tapi sekarang, ia sudah memiliki rambut panjang yang sangat indah bahkan ia menggunakan rok panjang.
Dulu kami biasanya memanggil bukan dengan nama asli kami tetapi dengan nama julukan. Nama itu diambil dari benda-benda ruang angkasa yang penyebutannya mirip dengan nama kami masing-masing. Namaku adalah Astrid dan nama panggilanku adalah Asteroid. Kemudian ada Nova yang nama panggilannya adalah Supernova. Lalu-
“Hoi, kalian berdua kenapa bisa ada di sini?” Suara berat yang cukup asing tiba-tiba menyapa pendengaran kami berdua yang saling melepas rindu.
Aku dan Nova sontak menoleh dan mendapati seorang pria jangkung berpakaian kasual mendekati kami semua.
“Kamu-“ aku menunjuk pria jangkung itu sambil berusaha mengingat-ingat.
“Woi, Bim, tungguin napa.” Seorang pria lagi yang sedikit lebih pendek dari si jangkung namun memiliki kulit yang lebih putih nampak berlari kecil menghampiri kami.
“BIMA. GALANG.” Nova yang lebih dahulu mengenali mereka berteriak histeris. Aku pun tak kalah terkejutnya begitu sadar bahwa mereka adalah dua laki-laki anggota geng petualang.  Mereka benar-benar nampak berbeda. Bima yang ada dalam ingatanku adalah lelaki bertubuh pendek dan berpipi gempal. Lalu Galang, meskipun masih sama putihnya tapi seingatku dulu ialah yang paling tinggi di antara kami. Sekarang Bima berhasil menyalip tinggi Galang cukup jauh.
“Kalau Galaksi, Bimasakti dan Supernova ada di sini berarti sekarang tinggal-“ Aku mendadak jadi semangat. Harusnya aku tahu dari awal, siapa lagi yang akan sampai seiseng ini padaku kalau bukan ‘dia’. Anggota perempuan terakhir dari geng petualang sekaligus anggota yang paling dekat denganku. Ia sudah seperti saudaraku sendiri. Aku jadi sangat menyesal karena sempat melupakan semuanya dan bahkan sempat berpikir bahwa ini tidak penting. Tentu saja semuanya penting. Kenanganku meski seremeh apapun pastilah penting.
“Eh? Astrid belum tahu ya?” Aku tidak mengerti kenapa Galang tiba-tiba nampak kebingungan.
“Eh, gimana Astrid bisa ke sini kalau dia engak tahu?” Bima nampak sama bingungnya.
“Kenapa sih?” Aku benar-benar tidak mengerti apa yang mereka maksud.
“Astrid, kamu kapan balik ke sini dari luar kota?” Nova memegang bahuku. Tatapannya berubah serius.
“Belum ada setahun sih. Aku diperusahaan juga baru mulai kerja beberapa bulan kok. Kenapa?” Aku tidak mengerti dengan maksud tatapan Nova.
“Terus yang nyuruh kami ke sini siapa?” Kali ini giliran Bima yang menatapku dengan serius.
“Ceritanya panjang. Awalnya aku terima surat di meja kerja aku. Terus aku disuruh ke resto, terus aku akhirnya terima sms yang nyuruh aku ke sini hari ini. Ini pasti kerjaannya Matahari kita, si Indah kan?”
Di geng kami Indah bisa dibilang yang paling istimewa. Pertama, kalau bukan karena Indah geng petualang mungkin tidak akan pernah terbentuk. Indahlah yang lebih dulu mencetuskan ide itu ketika kami sedang bermain. Indah juga yang mencetuskan ide tentang nama panggilan. Tapi karena saat itu kami kesulitan mencari nama benda di luar angkasa yang mirip dengan namanya, kami memutuskan untuk memanggilnya Matahari. Matahari seperti namanya adalah sumber kehidupan. Tanpa matahari tidak akan ada kehidupan. Tanpa Indah tidak akan ada geng petualang.
Tapi yang aku tidak mengerti adalah ketika mereka bertiga tiba-tiba menatapku bersamaan. Seperti ada yang salah dengan perkataanku. Apa yang salah ketika aku menyebut-nyebut Indah?
“Astrid… Dengerin ya.” Galang tiba-tiba memegang kedua pundakku.
Aku hanya bisa menatap Galang dengan tatapan tak mengerti.
“Indah, udah meninggal.”
#
Indah udah meninggal delapan tahun lalu. Dia jadi korban penganiayaan di sekolahnya. Dia sampai masuk rumah sakit dan meninggal di sana. Kasusnya sampai ke meja hijau. Sempat heboh banget waktu itu. Kita semua juga datang waktu pemakamannya. Kita semua kecuali… -Galang
Maaf Astrid, kita benar-benar hilang kontak sama kamu waktu itu. Waktu itu perasaan kita bener-bener kacau waktu tahu kejadian yang menimpa Indah. Maaf ya, harusnya kita lebih berusaha cari tahu kabar kamu waktu itu. Maaf, sekarang aku juga nyesel banget kalau inget lagi waktu itu. –Nova
Sekarang lebih baik kita ke makamnya. Kebetulan hari ini peringatan delapan tahunnya. Mungkin dulu kamu engak bisa datang karena emang jarak yang menghambat. Tapi lebih baik telatkan daripada engak sama sekali. –Bima
Aku berdiri di depan makan Indah. Rasanya seperti semua ini tidak nyata. Rasanya baru seperti kemarin kami bermain bersama. Tawa riang Indah bahkan masing terngiang-ngiang di telingaku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana penderitaannya ketika menerima penganiayaan itu. Dan lebih sakit lagi bahwa aku tidak ada di sana untuk menghiburnya, membelanya dan memberikannya kekuatan.
“Indah, maaf aku telat datang ke sini. Maaf juga aku engak bisa ada di samping kamu disaat kamu paling butuh teman. Aku… hiks, hiks.” Aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku. Aku hanya terus menangis di depan kuburan Indah. Semua perasaanku campur aduk menjadi satu. Aku ingin menumpahkan semuanya hari ini. Semua perasaan dari masa lalu agar tidak ada lagi penyesalan untuk hari esok.
Nova, Bima dan Galang hanya melihatku. Aku tidak tahu apa yang berkecamuk dalam pikirkan mereka masing-masing. Tapi aku tahu kami merasakan sakit yang sama. Kehilangan sahabat yang sangat berarti untuk kami. Waktu memang telah berlalu dan kami telah lama meninggalkan masa ketika kami adalah geng petualang. Tapi semua kenangan yang tertinggal nyatanya masih cukup kuat mengikat kami.
“Udah?” Bima memberanikan diri untuk bicara padaku setelah ia melihat tangisanku yang mulai reda. Aku hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan kecil.
“Masih kuatkan?” Nova membantuku berdiri.
“Kita mau kemana lagi?” tanyaku sambil menyeka sisa-sisa air mataku.
“Kita mau gali time capsule yang kita tanam waktu itu.” Galang yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara.
“Oh, sekarang udah lima belas tahun ya?”
Dulu ketika kami masih berumur sepuluh tahun dan geng petualang masih baru dibuat kami membuat time capsule yang akan dibuka setelah lima belas tahun. Ide time capsule itu muncul setelah kami menonton sebuah film yang di dalamnya para tokohnya menulis surat dan meletakkannya ke dalam kotak lalu menanamnya di bawah sebuah pohon. Tentu saja sebagai anak kecil yang bersemangat kami juga ingin menirunya. Saat itu kami dibantu oleh ayah Nova untuk menanamnya di bawah pohon di halaman rumah Nova yang memang paling luas di antara kami semua.
“Jadi, ayo sekarang kita akan ke rumah Nova.” Galang dengan semangat berjalan lebih dahulu meninggalkan pemakaman.
Aku berjalan paling terakhir dan sesekali menoleh menatap pusara Indah. Ini mungkih hanya delusi, tapi dari kejauhan entah mengapa aku seperti melihat Indah yang sedang mengintip melambai mengiringi kepergian kami.
#
Hai anggota geng! Apa kabar kalian semua? Aku sangat bersemangat ketika menulis surat ini. Lima belas tahun dari sekarang kira-kira bagaimana ya? Galaksi dan Bimasakti pasti sudah sudah tambah tinggi dan jadi keren. Supernova dan Asteroid juga pasti tambah cantik. Tapi harapan terbesarku tentu saja geng petualang tetap eksis sampai kapanpun. Lalu, aku ingin kalian semua bersenang-senang seperti sekarang ini. Lakukan semua yang terbaik hari ini. Jadi, jika di masa depan ilmuwan sudah menemukan mesin waktu kalian bisa mengatakan dengan yakin, “Aku tidak membutuhkan mesin waktu. Aku sudah melakukan yang terbaik hari ini. Jadi aku tidak akan menyesali hari kemarin dan tak akan khawatir akan hari esok.”
Yah, aku akan hidup dengan membawa keyakinan yang ditinggalkan Indah –matahari kami- dalam suratnya. Aku akan melakukan yang terbaik hari ini. Jadi jika ada yang memberiku kesempatan untuk menjelajah waktu aku bisa dengan tegas menolaknya. Aku tidak membutuhkan mesin waktu karena aku telah hidup dengan baik hari ini. Tidak akan ada penyesalan untuk hari yang telah lalu dan tak akan ada kekhawatiran untuk masa depan.
~TAMAT~
.
.
.
.
.
.
Epilog:
Trrrt… Trrrt….
“Hallo, selamat siang.”
“Hallo, tante?”
“Iya, ini dengan siapa?”
“Ini dengan Indah, tante.”
“Oh, Indah temannya Astrid bukan? Yang anak geng petualang itu?”
“Hehehe… Iya yang itu tante.”
“Wah, sekarang pasti kamu sudah besar ya. Mau bicara sama Astrid ya? Wah, tapi Astridnya belum pulang. Dia masih di tempat kerja.”
“Engak apa-apa kok tante. Aku mau minta nomornya Astrid aja kalau gitu.”
“Oh, iya sudah. Tante sebutin ya. Nol… delapan…”
“Nol… delapan...”
~TAMAT (2)~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUH. RIDHO S

#TugasIndividu ANALISIS NOVEL RADEN MANDASIA SI PENCURI DAGING SAPI BERDASARKAN PENDEKATAN RESEPSI SASTRA Landasan Teori Secara d...