#cerpen
SELAGI ADA HARAPAN
Pagi itu cuaca begitu cerah awan tak
sedikitpun menyiratkan akan mendung,angin sepoi-sepoi menyapa nyiur yang
berjejeran di pantai.Para nelayan begitu antusias pergi melaut dengan harapan
mendapatkan hasil yang memuaskan karena cuaca begitu mendukung untuk itu.Tak
terkecuali Pak Sandu salah seorang nelayan di Desa Batang yang kondisi ekonominya
juga tergantung pada lautan.Hampir separuh hidupnya ia habiskan untuk
melaut.Sebelum ia berkeluarga sekitar Dua puluh
tahun lalu ia telah diperkenalkan
profesi ini oleh ayahnya yang juga seorang pelaut hingga dia menikah dua tahun
setelahnya,pak Sandu tetap menggeluti profesi itu.Hari ini dengan diantar oleh
istrinya Ibu Siti,pak Sandu akan kembali
melaut “bu peralatan pancingku sudah kamu siapkan?” tanya pak Sandu sambil
menyeret sampannya ke bibir pantai.“Sudah pak ini ditas ibu juga sudah siapkan
nasi santan kesukaan bapak sama sambalnya”jawab ibu Siti tersenyum sambil menyodorkan tas.”kamu tahu
saja kesukaan bapak pasti ini enak kalau dimakan sama ikan bakar di tengah
laut” kata pak sandu membalas senyum istrinya tas itupun diambilnya dan ditaruh
diatas sampan kecilnya. “ya sudah saya pergi dulu ya doakan bapak semoga dapat
ikan banyak hari ini” sambung pak Sandu sembari naik ke atas sampannya dan
mendayung ketengah laut.Sementara istrinya masih tertegun di bibir pantai
menyaksikan kepergian suaminya untuk mencari nafkah bagi dia dan dua anaknya
yang masih bersekolah.Anaknya yang sulung
sudah kelas tiga SMA dan sebentar lagi akan lulus sedangkan yang bungsu
masih kelas 4 SD. Hal itulah yang membuat Ibu Siti sering tertegun sendiri
ketika memikirkan anak-anaknya apalagi anaknya yang sulung begitu antusias
untuk melanjutkan sekolahnya sampai ke Universitas “Bu aku pengen jadi dokter
kalau sudah lulus SMA aku akan lanjutkan kuliah di kota biar jadi dokter ”
setiap kali ia ingat kalimat yang diucapkan oleh anak sulungnya ia selalu
termenung sendiri.
Bisakah ia mewujudkan cita-cita anaknya ?
Bisakah ia membiayai impian anaknya?
Sementara ia tahu sendiri biaya untuk masuk
Universitas sangat mahal ditambah lagi alat-alat kedokteran jika nanti anaknya
benar-benar akan kuliah. Sesaat kemudian dia tersadar saat air laut sudah
sampai di kakinya sedangkan sampan suaminya sudah begitu jauh di tengah laut
hanya seperti titik hitam di lautan luas yang terpampang di depannya.
***
Hampir satu jam pak sandu mendayung
mencari lokasi yang dianggap pas untuk memancing hingga akhirnya dia tiba di
sebuah taka, pulau kecil ditengah
laut yang hanya berupa pasir terhampar dipermukaannya oleh penduduk setempat
dinamai Taka Bonerate.“Pasti disini
banyak ikan kakap atau kerapu disekelilingnya yang bisa dipancing” akhirnya dia
memutuskan untuk membuang jangkarnya di dekat taka tersebut dan mengeluarkan alat pancingnya dari tas yang
diberikan istrinya beserta perbekalan yang juga ada dalam tas tersebut.Setelah
memasang umpan ia pun melempar umpannya ketengah laut sambil menunggu ikan
memakan umpan tersebut Sandu mengambil bungkus rokok dari saku celananya. Sandu
begitu akrab dengan tempat ini tempat ketika pertama kali ia diajak memancing
oleh ayahnya ialah disini di taka ini.Tiba-tiba
saja memorinya membawanya kembali pada masa kecilnya saat itu ia masih kelas
lima sekolah dasar saat itu ayahnya mengajaknya memancing di sini untuk pertama
kalinya.Saat itu pula ayahnya bercerita bahwa kakeknya dulu juga adalah seorang
nelayan.“Dulu saat ayah seumuran denganmu kakekmu juga sering mengajak ayah
memancing disini,ia mengajarkan ayah banyak hal seperti mendayung,mengikat
benang pada kail juga cara mengetahui tempat-tempat mana yang banyak ikannya
bahkan kata orang kakek kamulah yang pertama menemukan taka ini”.Kalau sudah bercerita seputar kakeknya,ayahnya pasti akan
lupa waktu kalau tidak diingatkan. Mungkin saja ayahnya juga menginginkan suatu
saat nanti dia bisa seperti kakeknya menjadi seorang nelayan. “ayah kelak saat
aku dewasa aku ingin jadi insinyur” kata Sandu menyela pembicaraan ayahnya “aku
ingin punya rumah besar jadi ayah tidak perlu lagi melaut karena aku yang
mencarikan uang untuk ayah sama ibu”
sambung Sandu dengan wajah berseri-seri penuh semangat.Tiba-tiba saja suasana
hening beberapa saat.Sambil menghela napas panjang ayahnya membuka pembicaraan
kembali “Nak dengarkan ayah kita ini orang miskin jangan terlalu bermimpi
begitu tinggi nanti kalau jatuh sakit.Kamu tahukan bagaimana keadaan kita ntuk
biaya sehari-hari saja kita bergantung dengan lautan.Bagaimana bisa ayah cari
uang sebanyak itu untuk menyekolahkanmu sampai lulus menjadi sarjana. Syukur-syukur
kalau tamat SD itu sudah bagus bahkan ayah tidak tamat sekolah dasar yang
penting kamu bisa membaca dan berhitung agar tidak dibodoh-bodohi orang itu
sudah cukup buat orang miskin seperti kita. Kita bukan tuan tanah nak rumah
yang sekarang pun itu cuma warisan dari kakekmu.Ayah juga ingin kamu sekolah
tinggi-tinggi biar jadi presiden sekalian tapi coba kamu lihat sendiri.Nasib
kita sehari-hari ada pada mata kail ini nasib kita untung-untungan nak.
Beruntung kalau cuaca bersahabat kalau musim penghujan kamu lihat sendiri apa
yang ayah lakukan setiap hari membajak sawah tetangga dengan upah lima ribu
perak sehari atau disuruh menanam jagung dengan upah yang sama. Itu karena apa
karena kita tidak punya kebun sendiri untuk ditanami tapi ayah terpaksa
melakukan itu karena jika tidak kita akan kelaparan.Ibumu juga tidak bisa
berbuat banyak sebagai buruh cuci penghasilannya pun pas-pasan hanya cukup buat
makan dan sekolahmu. Setiap hari ayah berkhayal saat sedang memancing seperti
ini tiba-tiba ayah dapat ikan ajaib seperti pada kisah dongeng pengantar tidur
anak-anak.Lalu ikan itu akan mengabulkan keinginan ayah,tapi itu semua cuma ada
dalam dongeng tidak dalam dunia nyata”. Kembali ayahnya menghela nafas panjang
lalu masih melanjutkan ceritanya “nak bercita-cita tinggi boleh saja itukan yang diajarkan gurumu di sekolahan?
Tapi tidak semua orang yang bercita-cita harus menjadi seperti apa yang
dicita-citakannya.Terkadang kita harus puas dengan apa yang kita miliki saat
ini.Kamu lihatkan pohon kelapa yang berjejer disekitar pantai? Awalnya tidak
ada kelapa di situ awalnya pohon kelapa itu tumbuh diatas bukit sebelah utara
desa kita.Namun pohonnya banyak yang menjorok kelautan dan saat buahnya menua buah tersebut jatuh
kelautan.Setelah lama terseret arus dan dihempas ombak akhirnya kelapa itu
terdampar di pantai dan tumbuh disana.Mungkin bila disuruh memilih
kelapa-kelapa tersebut juga ingin tumbuh di bukit itu namun takdir berkata lain
dan akhirnya mereka harus puas tumbuh di sepanjang pantai desa kita. Itulah
hidup kita anakku jangan terlalu bermimpi hidup dipuncak gunung karena pada
akhirnya kita akan jatuh dan terseret ombak kehidupan.Beruntung jika kita masih
terhempas dipantai kalau tidak ya pasti hancur”.
***
Sesampainya di rumah Sandu masih
termenung mengingat cerita sekaligus
nasihat ayahnya saat memancing tadi.Wajahnya yang tadi berseri-seri tiba-tiba
berubah menjadi mendung laksana gumpalan awan hitam tebal yang menjanjikan
badai bagi siapa saja yang melihatnya.Hatinya begitu hancur setelah mendengar
cerita ayahnya seolah-olah pintu menuju masa depan yang diimpikannya telah
tertutup saat ayahnya mengucapkan kalimat terakhir dari mulutnya. Masa depan
sebagai seorang insinyur pembangunan harus dikuburnya dalam-dalam. Ia merasa
dunia tidak adil padanya.Ia merasa ia adalah manusia paling memilukan di dunia
ini.Bercita-cita tinggi saja sudah dilarang apa lagi untuk menggapainya.
Apa di dunia ini tak ada sekolah bagi orang
sepertinya untuk menggapai mimpi-mimpinya?
Apa sekolah di dunia ini hanya diperuntukkan
untuk anak-anak orang-orang yang kaya
dan anak-anak tuan tanah?
Lalu apakah orang kaya tersebut langsung kaya atau
langsung memiliki tanah saat pertama membuka mata di dunia?
Jadi dimana letak keadilan kalau memang seperti itu?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus
menghantui benak sandu berdesak-desakan untuk dijawab satu persatu. Sampai ia
tamat sekolah dasar ia belum menemukan jawaban yang tepat dari semua
pertanyaannya.Mungkin ia yang belum memahami kerasnya kehidupan atau memang
kehidupan ini yang terlalu keras mempermainkannya.Seolah-olah hidup itu ibarat
permainan kasti anak-anak dan dia adalah bolanya.Dilempar,dipukul,dilempar lagi
begitu seterusnya. Sedangkan yang memainkan tertawa terbahak-bahak.Namun apakah
dia akan benar-benar berhenti sampai disini. Sementara banyak teman-teman
sebayanya yang melanjutkan sekolah ke SLTP sedangkan dia diusia yang terbilang
masih sangat muda harus menggeluti profesi yang diwariskan ayahnya dari generasi
kegenerasi sebagai seorang nelayan. Tapi nampaknya memang ia harus puas dengan
apa yang ia miliki saat ini,ia harus rela menjadi seperti yang diinginkan
ayahnya.Harapnya anak-anaknya kelak tak menjadi seperti dirinya harus mengubur
apa yang dicita-citakannya.
***
Lamunan Sandu tiba-tiba terhenti saat pancingnya bergerak pertanda umpannya disambar
ikan dan benar saja seekor ikan kakap berukuran agak besar telah menelan
umpannya.Segera saja ia mengangkatnya keatas sampan kecilnya dan memasukkannya kedalam
keranjang yang memang selalu ada di atas sampannya sebagai tempat ikan. Rokok
yang berada di tangannya masih menyala,segera saja dihisapnya dalam-dalam
sembari membuang kembali kailnya ke
lautan.Sesaat kemudian ia kembali tersadar dengan ingatan sebelumnya. Bahwa ia
tak ingin anak-anaknya menjadi sepertinya sekarang serba susah dan
kekurangan.Ia tidak mau anak-anaknya sama sepertinya harus menutup rapat-rapat
pintu pengharapannya sebagai seorang insinyur.Ia tidak mau anak-anaknya
kehilangan kesempatan mengecap pendidikan sama seperti dirinya waktu masih
muda.Ia tak ingin dicap sebagai orang tua yang tak mementingkan masa depan
anaknya.Sesaat kemudian ia merasa sangat menyesal dengan perlakuannya selama
ini kepada anak-anaknya. Mungkin karena kesal dengan orang tuanya dulu yang
tidak mementingkan pendidikannya sehingga ia lampiaskan kekesalannya kepada
anak-anaknya.Ia ingat betul ketika anaknya yang sulung Rangga pernah berkata
bahwa ia ingin melanjutkan sekolahnya sampai menjadi dokter “ayah kalau aku
lulus di SMA aku mau mendaftar di Universitas di kota Makassar.Aku ingin jadi
dokter biar bisa menyembuhkan orang banyak terutama orang-orang desa aku ingin”
“cukup nak jangan lanjutkan” belum selesai anaknya berbicara Sandu sudah
memotong pembicaraan anaknya “orang-orang seperti kita jangan mimpi terlalu
tinggi ujung-ujungnya jatuh kalau jatuh jelas sakit lagi pula uang dari mana ?
kamu liat sendirikan bapak kerjanya apa ? penghasilannya berapa? Mana mungkin
bapak bisa menyekolahkan kamu tinggi-tinggi.Sudahlah kalau kamu lulus SMA dan
sudah pintar nulis sama baca itu sudah lumayan kamu tidak akan dibodoh-bodohi
orang”.Ucapan Sandu sama persis seperti apa yang dikatakan ayahnya kepada dia
waktu dulu mengutarakan impiannya kepada ayahnya.Sekaligus waktu saat ayahnya
mematahkan semua harapannya.Menutupnya rapat-rapat dan membuang kuncinya nun
jauh disana dimana dia atau seseorang pun dapat menemukannya. Bukan hanya
sekali itu saja Sandu mematahkan harapan anaknya Rangga.
Malam itu masih hangat dibenak Sandu saat
selesai makan malam tiba-tiba Rangga mendekati dirinya yang saat itu sedang
duduk sambil merokok di balai bambu depan rumahnya. “ayah bisa aku bicara
sebentar sama ayah?” kata Rangga dengan nada agak ragu-ragu. “ia anakku ada apa
tumben kamu mau ngobrol sama ayah?” jawab Sandu “be..be..be..gini ayah minggu
depan aku akan ujian nasional”cerita Rangga terbatah-batah “oh ya bagus dong
artinya kamu sudah mau lulus”sahut Sandu.“I...i..ia ayah dan rencananya kalau
sudah ujian aku mau kerja sama paman Lukman.Jadi buruh bangunan kan disitu
libur sekitar dua atau tiga bulan jadi aku bisa ngumpulin uang”.kata Rangga
dengan nada yang masih terbata-bata. “ya sudah kalau itu memang keinginan kamu
bapak tidak akan larang,tapi kalau hanya sekedar nambah-nambahin penghasilan
keluarga kenapa kamu tidak ikut saja memancing sama bapak kan itu juga bisa?”
tanya sandu kepada anaknya “anu..anu.. aku ingin menabung setengah upahku biar bisa
aku pakai untuk kuliah di Makassar” Jawab Rangga dengan nada ketakutan sambil
tertunduk takut kalau-kalau ayahnya marah mendengar jawabannya.Suasana hening
sesaat tak ada kata terlontar dari mulut mereka berdua hanya suara jangkrik
yang terdengar nyaring.Hingga akhirnya Sandu membuka pembicaraan kembali
“anakku ayah tahu kamu ingin jadi dokter,kamu ingin jadi orang bukan seperti ayah yang hanya nelayan miskin.Waktu kecil
hasrat ayah juga sama membaranya sepertimu.Ayah juga ingin mengenyam pendidikan
yang tinggi,ingin rumah mewah,ingin makanan yang enak.Tapi ketahuilah anakku
kesenangan dan kemegahan dunia ini diperuntukkan bagi mereka yang berduit
sedangkan buat orang seperti kita memang tugasnya untuk melakukan pekerjaan
rendahan. Melaut, bertani,kuli bangunan, itu semua adalah pekerjaan yang
diharuskan untuk orang seperti kita.Jadi anakku ayah sarankan kamu geluti saja
pekerjaan yang kira-kira bisa kamu kerjakan.Lagi pulakan kamu akan tamat SMA
artinya kamu bisa lebih dari ayah.Kamu bisa kerja di Kantor Desa atau Kantor Camat
sekalipun”tutur Sandu panjang lebar.Rangga yang sedari tadi tertunduk takut
tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya dan berlari kedalam rumah.Sedangkan
Sandu masih di luar terpaku sendirian.
***
Tak terasa air mata Sandu menetes
mengingat semua perkataannya selama ini kepada anaknya.Rasa penyesalannya
muncul tiba-tiba semakin dalam dan semakin dalam. “anakku maafkan bapak maafkan
bapak” isak sandu diatas sampannya .Selama ini bapak telah telah keliru nak
bapak telah berdosa pada kamu bahkan untuk menyekolahkanmu saja bapak tak
mampu.Ayah tidak mau kelak nasib kamu akan seperti bapak tapi kenapa bapak
begitu enggan menyekolahkanmu tinggi-tinggi. Kini ayah tahu pohon kelapa yang
tumbuh dipesisir pantai bukan pohon kelapa yang menyerah pada nasibnya.Tapi
pohon yang selalu menantang kerasnya dunia.Pohon kelapa itu mampu menahan
hempasan ombak yang selalu menghantamnya setiap hari sepanjang hidupnya.Itulah
yang menjadikan ia kuat,hempasan demi-hempasan ombak tak merobohkannya justru
membuatnya semakin kokoh. Seandainya pohon kelapa itu mungkin hidup di
pegunungan ia tak akan tahu bagaimana kehidupan yang sesungguhnya dimana rasa
sakit dan pengorbananlah yang membuat ia mampu berdiri kokoh di atas
bayang-bayang ombak yang selalu ingin menghempaskannya.
Kini Sandu menemukan jawaban dari masa
kecilnya sesungguhnya hanya orang-orang yang terus berjuanglah yang akan
memperoleh apa yang di impikannya.Bukan orang-orang yang mengeluh ataupun
pasrah pada nasibya. Hanya orang-orang yang giat bekerjalah yang bisa menjadi
orang kaya ataupun tuan tanah.Disitupulalah dia temukan letak keadilan Tuhan,Ia
kini yakin bahwa Tuhan akan mencukupkan rezeki kepada yang mau berausaha bukan
pada yang berpangku tangan menunggu nasib baik menyapanya.
Perlahan Sandu merasakan ada harapan
dalam dirinya,segerah ditariknya jangkarnya ke atas sampan dan didayungnya
sampan tersebut.Dalam hati dia berujar “tunggu bapak nak,bapak menyesal,bapak
pasti sekolahkan kamu”.Ia tak perdulikan lagi hari ini ia dapat ikan hanya
beberapa ekor yang pasti cukup untuk dimakan hari ini yang jelas ia ingin
pulang dan menemui anaknya dan meminta maaf.Dari kejauhan ia sudah melihat keluarganya menunggu di bibir pantai
Pulau Kayuadi ingin rasanya ia cepat-cepat memeluk keluarganya dan benar saja
setelah membuang jangkar cepat-cepat ia berlari dan merangkul
keluarganya,dengan luapan air mata yang tak terbendung lagi ia masih sempat
bergumam kepada anak-anaknya yang masih dipelukannya “anakku kalian harus
sekolah tinggi-tinggi kalian harus jadi orang besar jangan seperti ayah ataupun
kakekmu.Kita memang tinggal di Pulau kecil nak merantaulah gapailah cita-citamu
biar ayah yang mencarikan biaya untukmu”.Mendengar perkataan Sandu Istri dan
anak-anaknya pun ikut menangis. “ayah aku pasti akan membuat ayah bangga” seru
anak sulung Sandu dalam isaknya.Suasana begitu haru nampak terasa dari keluarga
kecil tersebut seolah mentari di ufuk barat Pulau Kayuadi pun tersenyum kepada
mereka sebelum tenggelam kembali ke peraduannya.
~Sekian~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar