#TugasIndividu
Analisis
Feminisme Novel Perempuan Berkalung Sorban
Novel Perempuan Berkalung Sorban ini dianalisis dengan
menggunakan kritik sastra feminis. Tulisan ini mencoba untuk mengkaji isi novel
dilihat dari peranan tokoh wanita, hubungan tokoh wanita dengan tokoh-tokoh
lain, dan perwatakan tokoh wanita, cita-citanya, tingkah lakunya, perkataannya
(tutur bahasanya), dan pandangannya tentang dunia dan kehidupan.
A. Peranan
Tokoh Wanita dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban
Novel Perempuan Berkalung Sorban menceritakan tentang
tokoh Annisa yang hidup dalam lingkungan pesantren salaf dengan semua kebiasaan
dan adat yang hidup di sana. Nuansa di pesantren masih mengukuhkan kekuatan
laki-laki di atas perempuan dalam segala hal hingga perempuan seperti
kehilangan kekuatan, bahkan untuk mengatur dan memiliki dirinya sendiri. Budaya
patriarkal masih sangat kental dan terasa yang membuat perempuan-perempuan
terlihat begitu lemah. Hal tersebut terjadi juga pada Annisa, anak pimpinan
pesantren. Di sinilah Annisa kemudian hadir sebagai tokoh revolusioner yang
ingin mengubah tradisi yang ada sekaligus memberikan pengetahuan kepada
perempuan-perempuan yang ada dalam pesantren bahwa menjadi perempuan juga harus
cerdas dan tidak hanya sibuk dengan urusan dapur semata.
Bagian ini dimulai penulis dengan menceritakan pertentangan batin yang sudah dialami tokoh utama, Annisa sejak ia masih kecil. Beberapa lembar di awal dalam novel ini memberikan gambaran pengantar konflik dan gambaran posisi setiap tokoh.
Bagian ini dimulai penulis dengan menceritakan pertentangan batin yang sudah dialami tokoh utama, Annisa sejak ia masih kecil. Beberapa lembar di awal dalam novel ini memberikan gambaran pengantar konflik dan gambaran posisi setiap tokoh.
“Kita jaring betinanya!”, teriak Rizal, kakakku.
“Dia mau bertelur, jangan diganggu!,” sergahku. “Justru di saat bertelur dia tak berdaya. Kesempatan kita menangkapnya.”
“Dia mau bertelur, jangan diganggu!,” sergahku. “Justru di saat bertelur dia tak berdaya. Kesempatan kita menangkapnya.”
… .Aku merenung sejenak. Kalau aku tak bisa menemukan
jawabannya, dia pasti akan mengejekku. Mencibirku sebagai anak perempuan yang
bodoh.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 1-3).
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 1-3).
Kutipan di atas digunakan oleh penulis untuk
menggambarkan tokoh utamanya. Tokoh lain menganggap perempuan adalah makhluk
yang lemah yang pantas mendapatkan perilaku tidak terpuji. Kutipan tersebut
juga menegaskan sikap tokoh utama, Annisa. Sejak kecil, melalui pertengkaran
kecil dengan kakaknya menunjukkan sikapnya terhadap perlakuan yang diberikan
kepada perempuan. Sejak kecil Annisa sudah merasakan perbedaan perlakuan itu
dan dia ingin perempuan mendapatkan perlakuan yang sama dengan laki-laki,
terutama kebebasan untuk mendapatkan hak-hak mereka.
Abidah El Khalieqy menggambarkan kegelisahan Annisa tersebut secara apik dengan sedikit sentuhan gaya bahasa sinisme pada bagian lain dalam novel ini.
“Apapun yang terjadi…aku harus bisa. Aku mesti belajar naik kuda. Aku akan tetap belajar naik kuda. Naik kuda.”
Abidah El Khalieqy menggambarkan kegelisahan Annisa tersebut secara apik dengan sedikit sentuhan gaya bahasa sinisme pada bagian lain dalam novel ini.
“Apapun yang terjadi…aku harus bisa. Aku mesti belajar naik kuda. Aku akan tetap belajar naik kuda. Naik kuda.”
Tetapi impian tinggal impian. Setelah tragedy Rizal
kecemplung Blumbang dalam pengembaraan kami, dua belas pasang mata santri
diberi tugas mengamati aktivitas masa kanakku. Ruang bermainku mendapat pagar
baru, lebih tinggi dan lebih sempit untuk cakrawala penglihatanku. Tanganku
mulai dilatih memegang piring, gelas, sendok, wajan, dan api pembakaran. Bau
asap membuatku pusing dan tersedak bertubi-tubi. Bau bawang dan sambal terong
membuatku bersin-bersin. Sampai lidahku tak pernah bisa menikmati sarapan pagi,
bahkan tak juga merasakan kebebasan ketika kedua tangan ini mesti kembali
mencuci piring yang dipenuhi minyak bekas makanan Rizal, Wildan, dan bapak yang
terus saja duduk di meja makan sambil ngobrol dan berdahak.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 8-9).
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 8-9).
Kutipan di atas menunjukkan tentang posisi dan kondisi
wanita yang hadir hanya untuk berada di belakang. Perempuan hadir untuk
mengurusi permasalahan rumah tangga dan urusan dapur lainnya. Budaya patriarkal
masih beranggapan bahwa perempuan tidak perlu dan tidak pantas untuk tahu lebih
jauh tentang hal-hal yang berada di luar kawasan dapur dan rumah. Dengan gaya
bahasa yang cenderung menilai sinis terhadap perlakuan yang dilakukan terhadap
perempuan, penulis novel ingin mengatakan tidak ikhlasnya dia terhadap
perlakuan yang diberikan kepada kaumnya. Pondok kami memang bukan pondok
yang besar sebagaimana pondok pesantren Bahrul Umum Tambakberas atau Tebuireng.
Hanya saja, ada beberapa kompleks yang telah dibangun oleh bapak, yang kemudian
dihuni oleh lima puluh santri putri, dengan ustadz yang paling tua dan
dipercaya oleh bapak, yaitu ustadz Ali. Beliaulah yang memegang pelajaran dan
kitab-kitab utama yang wajib diikuti seluruh santri. Namun, aku sendiri tak
pernah tertarik untuk mengikutinya, kecuali hanya untuk menuruti keinginan
bapak. Itulah sebabnya, aku sering bermain dan belajar bersama-sama teman
sekampung, yang tidak terdaftar sebagai santri dipondok kami. Kalaupun bermain
atau belajar di pondok, paling-paling hanya bertandang di kamar Mbak May.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 51-52)
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 51-52)
Kutipan di atas menceritakan kondisi tokoh Annisa yang
sedari kecil telah memiliki pemikiran dan gagasan yang berbeda dengan
lingkungan yang didiaminya sejak kecil. Ia mengingkinkan hidup yang lebih luas
dan bebas dari tembok pondok pesantren yang dirasakannya sejak kecil. Pemikiran
inilah yang sangat mempengaruhi kehidupan Annisa ketika remaja maupun pendewasaan
dirinya.
B. Hubungan Tokoh Wanita dengan Tokoh-Tokoh Lain dalam Novel
B. Hubungan Tokoh Wanita dengan Tokoh-Tokoh Lain dalam Novel
Abidah El Khalieqy menggambarkan sosok Annisa melalui
percakapan-percakapan yang dilakukan dengan tokoh lain dalam novel lain atau
lewat pemikiran-pemikiran yang dimiliki oleh Annisa. Beberapa contoh percakapan
tersebut antara lain.
“Bagaimana jika kenyataannya ada seorang isteri yang
terbuka dan mengajak lebih dulu dan tidak suka bersikap menunggu.”
“Perempuan seperti itu biasanya tidak disukai laki-laki karena terlalu agresif. Nanti laki-laki bisa minder menghadapinya. Sebaiknya seorang isteri adalah pemalu dan bersikap menunggu.” “Tetapi menunggu sampai kapan, Pak Kiai?”Semua terkesima lalu gerr. Ustadz Ali ikut tersenyum lalu geleng-geleng kepala… . “Kira-kira sampai kapan? Tentu saja sampai suami berkenan mengajaknya,” jawabnya enteng, sembari berdehem dua kali.
“Bagaimana kalau suami tidak pernah berkenan karena sudah puas dengan dirinya sendiri atau berselingkuh, misalnya?” (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 80-81).
“Perempuan seperti itu biasanya tidak disukai laki-laki karena terlalu agresif. Nanti laki-laki bisa minder menghadapinya. Sebaiknya seorang isteri adalah pemalu dan bersikap menunggu.” “Tetapi menunggu sampai kapan, Pak Kiai?”Semua terkesima lalu gerr. Ustadz Ali ikut tersenyum lalu geleng-geleng kepala… . “Kira-kira sampai kapan? Tentu saja sampai suami berkenan mengajaknya,” jawabnya enteng, sembari berdehem dua kali.
“Bagaimana kalau suami tidak pernah berkenan karena sudah puas dengan dirinya sendiri atau berselingkuh, misalnya?” (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 80-81).
Kutipan di atas menampilkan keberanian Annisa untuk
tidak segan-segan bertanya dan mendebat kiai sekalipun jika pendapatnya
diyakini benar. Annisa meyakini bahwa ada yang salah dengan penafsiran yang
dilakukan oleh para kiai yang hidup dalam lingkungan pesantren selama ini dan
terus diajarkan kepada para santri. Kesalahan tersebut membuat kondisi
perempuan yang ada dalam lingkungan pesantren tidak mendapat perlakuan yang
seharusnya bisa mereka dapatkan sebagai perempuan. Kesalahan ini juga berakibat
pada kesalahan pandangan perempuan yang hidup dalam lingkungan pesantren yang
masih dilingkupi dengan kekangan budaya patriarkal yang masih begitu kental.
Perempuan-perempuan itu kemudian berpendapat bahwa mereka memang sudah berada
pada takaran yang sebenarnya. Sikap nrimo dan pasrah inilah yang membuat mereka
semakin erat berada dalam kungkungan patriarkal. Keadaan yang seperti inilah
yang ingin diubah oleh Annisa.
Selain memiliki karakter penokohan yang cerdas, keras kepala, semangat, kerja keras, Annisa juga memiliki karakter yang lembut dan kasih sayang terhadap keluarganya (suami dan anaknya). Kelahiran anak kami telah merekat tali kasih sepanjang usia. Begitu nafas jiwaku berkata dalam kelelapan.
Saat tersadar dari lelapku, bayi itu telah terbungkus rapi, tidur di sampingku. Setelah bidan dan perawat memberekan urusanku, kami pindah dari ruangan melahirkan menuju kamar yang kami pesan. Sepanjang malam itu, kakiku terasa pegal dan linu dan minta dipijiti terus menerus. Mas Khudhori memijatku sembari membicarakan rencana kami untuk memanggil nama bayi kami saat aqiqah kelak, seminggu lagi. Sekalipun sakit dan lelah, kebahagiaan membayang di seluruh ruangan itu, terutama di wajah mas Khudhori. Sebentar-sebentar dia akan menengok bayi kami dan meneliti seluruh anggota badannya. Dengan senyum-senyum, ia membandingkan segi-segi persamaan antara kami bertiga.
… .
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 294-295).
Selain memiliki karakter penokohan yang cerdas, keras kepala, semangat, kerja keras, Annisa juga memiliki karakter yang lembut dan kasih sayang terhadap keluarganya (suami dan anaknya). Kelahiran anak kami telah merekat tali kasih sepanjang usia. Begitu nafas jiwaku berkata dalam kelelapan.
Saat tersadar dari lelapku, bayi itu telah terbungkus rapi, tidur di sampingku. Setelah bidan dan perawat memberekan urusanku, kami pindah dari ruangan melahirkan menuju kamar yang kami pesan. Sepanjang malam itu, kakiku terasa pegal dan linu dan minta dipijiti terus menerus. Mas Khudhori memijatku sembari membicarakan rencana kami untuk memanggil nama bayi kami saat aqiqah kelak, seminggu lagi. Sekalipun sakit dan lelah, kebahagiaan membayang di seluruh ruangan itu, terutama di wajah mas Khudhori. Sebentar-sebentar dia akan menengok bayi kami dan meneliti seluruh anggota badannya. Dengan senyum-senyum, ia membandingkan segi-segi persamaan antara kami bertiga.
… .
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 294-295).
Annisa adalah seorang istri yang sangat mencintai
suaminya, bahkan ketika Khudhori telah meninggal. Rasa cinta Annisa kepada
Khudhori masih tertanam dalam jiwanya menemani Annisa sampai akhir hidupnya.
Dan cinta itu menemani Annisa dalam perjuangannya untuk membangkitkan kembali
posisi perempuan dalam masyarakatnya.Khudhori adalah tokoh utama laki-laki
dalam novel Perempuan Berkalung Sorban. Ia adalah gambaran dari laki-laki
muslim yang menempatkan perempuan pada posisi yang seharusnya. Khudhori
menghormati dan menghargai perempuan pada nilai-nilai kodrati mereka.
Pendidikan Khudhori yang memiliki latar belakang pesantren tidak memiliki
pandangan yang sama dengan kiai dan teman-temannya yang memiliki latar belakang
pondok pesantren juga. Kecerdasan Khudhori berperan dalam pemikirannya karena
ia tidak menerima secara utuh ajaran yang dia dapat tetapi membuat relevansinya
dengan kehidupan sekarang. Samsudin adalah tokoh dalam novel Perempuan
Berkalung Sorban yang merupakan gambaran dari laki-laki yang tidak menghargai
posisi wanita. Samsudin menganggap bahwa wanita hanya makhluk yang diciptakan
untuk memuaskan laki-laki dalam hasrat seksual dan mengurusi keperluan dapur
belaka. Perangai buruk Samsudin terlihat pada semua dialog yang dilakukan
dengan tokoh yang lain. Haji Hannan adalah Bapak dari Annisa. Dia adalah
pendiri pondok pesantren yang bercita-cita untuk mendidik remaja putri agar
menjadi kaum muslimah yang berguna bagi negara dan bangsa. Sosok Kyai Hanan
mewakili sosok kyai yang kolot dengan ajaran Islam dan cenderung menerima
ajaran Islam secara tekstual semata. Telaah yang dilakukannya dengan kyai-kyai
yang lain hanya terbatas pada terminologi tanpa membahasnya lebih dalam pada
aspek relevansi. Hal inilah yang membuat Kyai Hanan menjadi sosok yang tidak
bijaksana dalam langkah yang diambilnya. Sebagai seorang Kyai, dia juga tidak
melakukan perlakuan yang semestinya kepada putrinya, Annisa. Kesenjangan
perlakuan terlihat jelas antara Annisa dengan dua saudara laki-lakinya. Budaya
patriarkal masih kental mempengaruhi pola pikirnya. Kyai Hanan memiliki kasih
sayang layaknya orang tua kepada anaknya. Hal ini terlihat ketika Kyai Hanan
mengetahui perlakuan yang diterima Annisa dari Samsudin. Kyai Hanan mengakui
bahwa kesengsaraan yang dialami Annisa sedikit banyak karena sikap Kyai Hanan
yang menjodohkan Annisa tanpa mempertanyakan kepada Annisa terlebih dahulu
berkenan atau tidak.
Hajjah Mutmainah adalah gambaran dari wanita Jawa yang hidup menurut apa yang telah digariskan. Seperti wanita awam pada umumnya, ia hidup dengan aturan-aturan yang sudah pasti. Hajjah Mutmainah yang berperan sebagai Ibu Annisa berpendapat bahwa wanita harusnya hidup nerimo sesuai dengan kodratnya. Pekerjaan rumah tangga adalah hal yang wajib dikerjakan oleh seorang wanita sebagai seorang istri dan ibu kelak. Sikap pasrah yang terlalu berlebihan inilah yang sering didebat oleh Annisa. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut.
“Ssst! Nggak baik berkata seperti itu. Semua pekerjaan itu ada resikonya. Ke kantor pun ada resikonya. Misalnya dimarahi bos, kalau musim hujansuka kahujanan… .
Hajjah Mutmainah adalah gambaran dari wanita Jawa yang hidup menurut apa yang telah digariskan. Seperti wanita awam pada umumnya, ia hidup dengan aturan-aturan yang sudah pasti. Hajjah Mutmainah yang berperan sebagai Ibu Annisa berpendapat bahwa wanita harusnya hidup nerimo sesuai dengan kodratnya. Pekerjaan rumah tangga adalah hal yang wajib dikerjakan oleh seorang wanita sebagai seorang istri dan ibu kelak. Sikap pasrah yang terlalu berlebihan inilah yang sering didebat oleh Annisa. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut.
“Ssst! Nggak baik berkata seperti itu. Semua pekerjaan itu ada resikonya. Ke kantor pun ada resikonya. Misalnya dimarahi bos, kalau musim hujansuka kahujanan… .
“Tetapi jika aku ke kantor, siang hari sudah pulang
dan setibanya di rumah tinggal santai sambil nonton televise. Kalau hari minggu
bisa rekreasi, memancing ikan di sungai Kajoran atau Kaliangkrik, bisa naik
kuda seperti Rizal dan Wildan. Iya kan, Bu?” “Sudah…sudah, Nisa. Kau ini
ngomongnya suka ngelantur. Lebih baik ganti pakaian, lalu makan. Dan jangan
lupa, belajar baca al-quran, kemudian shalat berjamaah di masjid, sekalian ikut
pengajian siang.”
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 16).
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 16).
Hajjah Mutmainah juga memiliki karakter keibuan yang
mendominasi pada setiap perkataan dan sikap yang dilakukannya. Sebagai seorang
ibu, ia memberikan pengertian kepada Annisa bagaimana menjadi perempuan
seutuhnya menurut pemikiran yang dilingkupi budaya patriarkal. Hajjah Mutmainah
selalu memberikan jawaban dan pengertian kepada Annisa meskipun tidak pernah
memuaskan hati putrinya karena perbedaan pandangan antara keduanya.
Sebagai seorang Ibu, Hajjah Mutmainah juga sangat mencintai anaknya. Perhatian dan cinta yang begitu besar kepada Annisa terlihat ketika ia mengetahui penderitaan yang dialami oleh Annisa selama pernikahannya dengan Samsudin. Perasaan bersalah juga memenuhi perasaannya karena ia juga ikut memutuskan pernikahan yang tidak pernah diinginkan Annisa tersebut
Rizal dan Wildan adalah saudara laki-laki Annisa. Perilaku mereka dalam novel Perempuan Berkalung Sorban menunjukkan perilaku kakak yang cenderung meremehkan adik perempuannya. Mereka masih mengangap bahwa anak perempuan tidak seharusnya menguasai hal-hal yang biasa dikuasi laki-laki. Pandangan ini sangat dipengaruhi oleh kondisi tempat mereka lahir dan berkembang dan ajaran-ajaran yang selama ini mereka dapatkan.
Perilaku Rizal yang menganggap remeh segala hal yang dikerjakan oleh adiknya, Annisa terlihat pada kutipan berikut. Kami pindah ke ruang tengah dan menikmati kue sambil meneruskan perbincangan yang bertambah seru. Ketika Rizal pada akhirnya keluar juga mendengar serunya perbincangan kami, ia tak tahan ingin tahu dan ikut nimbrung. “Serius amat bicaranya. Kasih tahu dong. Masalahnya apaan sih?” “Rahasia ya, Lek. Awas! Jangan katakana apapun sama dia. dia tak bisa nyimpan rahasia,” aku menekan lek Khudhori. Rizal sewot dan berlagak sok tahu.
“Alaaah…paling-paling urusan perempuan, feminisme, jender, patriarkhi…apalagi ya, emansipasi RA. Kartini.” “Emangnya tahu, apa itu jender?”
“Kalau gendher sih aku tahu, kalau digoreng jadi krupuk asin, ha ha..”
“Dasar otak udang! Selalu saja ketinggalan zaman,” cemoohku,
“Memangnya apa feminisme itu. Apa gender itu. Tahu apa kau tentang patriarkhi? Sok tahu, Zal, Rizal.” Lek Khudhori memandangku dan Rizal secara bergantian, lalu menggelengkan kepala. Ia hanya tersenyum menyaksikan pertentangan kami berdua. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 172-173).
Sebagai seorang Ibu, Hajjah Mutmainah juga sangat mencintai anaknya. Perhatian dan cinta yang begitu besar kepada Annisa terlihat ketika ia mengetahui penderitaan yang dialami oleh Annisa selama pernikahannya dengan Samsudin. Perasaan bersalah juga memenuhi perasaannya karena ia juga ikut memutuskan pernikahan yang tidak pernah diinginkan Annisa tersebut
Rizal dan Wildan adalah saudara laki-laki Annisa. Perilaku mereka dalam novel Perempuan Berkalung Sorban menunjukkan perilaku kakak yang cenderung meremehkan adik perempuannya. Mereka masih mengangap bahwa anak perempuan tidak seharusnya menguasai hal-hal yang biasa dikuasi laki-laki. Pandangan ini sangat dipengaruhi oleh kondisi tempat mereka lahir dan berkembang dan ajaran-ajaran yang selama ini mereka dapatkan.
Perilaku Rizal yang menganggap remeh segala hal yang dikerjakan oleh adiknya, Annisa terlihat pada kutipan berikut. Kami pindah ke ruang tengah dan menikmati kue sambil meneruskan perbincangan yang bertambah seru. Ketika Rizal pada akhirnya keluar juga mendengar serunya perbincangan kami, ia tak tahan ingin tahu dan ikut nimbrung. “Serius amat bicaranya. Kasih tahu dong. Masalahnya apaan sih?” “Rahasia ya, Lek. Awas! Jangan katakana apapun sama dia. dia tak bisa nyimpan rahasia,” aku menekan lek Khudhori. Rizal sewot dan berlagak sok tahu.
“Alaaah…paling-paling urusan perempuan, feminisme, jender, patriarkhi…apalagi ya, emansipasi RA. Kartini.” “Emangnya tahu, apa itu jender?”
“Kalau gendher sih aku tahu, kalau digoreng jadi krupuk asin, ha ha..”
“Dasar otak udang! Selalu saja ketinggalan zaman,” cemoohku,
“Memangnya apa feminisme itu. Apa gender itu. Tahu apa kau tentang patriarkhi? Sok tahu, Zal, Rizal.” Lek Khudhori memandangku dan Rizal secara bergantian, lalu menggelengkan kepala. Ia hanya tersenyum menyaksikan pertentangan kami berdua. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 172-173).
Meskipun begitu, kedua kakak beradik ini juga memiliki
perhatian yang cukup besar kepada Annisa ketika mengetahui bahwa selama menikah
dengan Samsudin Annisa mengalami perlakuan yang tidak seharusnya. Mereka ikut
andil dalam pemecahan masalah Annisa. Mbak Kalsum adalah perwakilan dari
perempuan yang menjadi korban perilaku laki-laki. Kalsum adalah wanita yang
terjebak oleh perangkap Samsudin hingga dia hamil di luar nikah. Kalsum menjadi
orang ketiga dalam rumah tangga Annisa dan Samsudin meskipun Annisa tidak
begitu peduli dengan keberadaannya. Keberadaan Kalsum dianggap sebagai pengalih
perhatian dan kebiadaban Samsudin dari dirinya.
Kalsum juga menggambarkan karakter wanita yang terpaksa menerima perlakuan dari suaminya karena ketidakberdayaannya untuk menolaknya. Dia adalah gambaran wanita yang tergoda karena bujukan materi dari seorang laki-laki. Keterbatasan Kalsum atas pemahaman agama membuatnya tidak memiliki pegangan yang kuat dalam hidupnya. Ini tergambar melalui paragraf berikut.
Satu hal yang menjadi pikiran serius bagi Kalsum adalah masalah uang. Ia anak perempuan dari seorang makelar tanah yang selalu bau rupiah. Tembak sana, tembak sini tanpa rasa jengah. Tampaknya, itu juga yang membuat hidungnya mendengus seperti kucing yang mencari daging walau tersembunyi di bawah kasur. Ia akan bertengkar mati-matian hanya seratus rupiah kembalian yang belum dibayarkan. Selain statusnya sebagai janda, Kalsum tertarik rayuan Samsudin adalah karena mendengar warisan Samsudin berjumlah lima hektar sawah dan satu hektar kebun klengkeng. Air liurnya menetes setiap kali ia menyebut sawah dan kebun klengkeng itu. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 123).
Kalsum juga menggambarkan karakter wanita yang terpaksa menerima perlakuan dari suaminya karena ketidakberdayaannya untuk menolaknya. Dia adalah gambaran wanita yang tergoda karena bujukan materi dari seorang laki-laki. Keterbatasan Kalsum atas pemahaman agama membuatnya tidak memiliki pegangan yang kuat dalam hidupnya. Ini tergambar melalui paragraf berikut.
Satu hal yang menjadi pikiran serius bagi Kalsum adalah masalah uang. Ia anak perempuan dari seorang makelar tanah yang selalu bau rupiah. Tembak sana, tembak sini tanpa rasa jengah. Tampaknya, itu juga yang membuat hidungnya mendengus seperti kucing yang mencari daging walau tersembunyi di bawah kasur. Ia akan bertengkar mati-matian hanya seratus rupiah kembalian yang belum dibayarkan. Selain statusnya sebagai janda, Kalsum tertarik rayuan Samsudin adalah karena mendengar warisan Samsudin berjumlah lima hektar sawah dan satu hektar kebun klengkeng. Air liurnya menetes setiap kali ia menyebut sawah dan kebun klengkeng itu. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 123).
Namun begitu, Kalsum juga memiliki sikap mau
memperbaiki kesalahannya. Pertemuan dan pembicaraan yang intens dengan Annisa
membuat mata hatinya terbuka atas kebenaran dan menciptakan keinginan untuk
belajar ilmu agama kepada Annisa. Satu hal yang tidak pernah dipikirkan
sebelumnya.
Mbak Maryam adalah gambaran dari perempuan modern yang berpandangan luas dan memiliki kritik-kritik yang cerdas. Mbak Maryam adalah ketua organisasi (LSM) tempat Annisa bergabung dalam wadah yang bertujuan untuk melindungi hak-hak kaum perempuan. Karakter Maryam diceritakan penulis melalui kutipan berikut.
Mbak Maryam adalah gambaran dari perempuan modern yang berpandangan luas dan memiliki kritik-kritik yang cerdas. Mbak Maryam adalah ketua organisasi (LSM) tempat Annisa bergabung dalam wadah yang bertujuan untuk melindungi hak-hak kaum perempuan. Karakter Maryam diceritakan penulis melalui kutipan berikut.
Maryam memiliki karakter yang kuat sebagai pemimpin.
Ia mampu memobilisasi massa dan mengelola keuangan sekaligus dengan begitu
rapinya. Bicaranya pelan penuh tekanan. Selain itu, Mbak Maryam memiliki
kepekaan yang luar biasa dalam hal ketidakadilan. Mungkin hasil pergaulannya
dengan suaminya yang pengacara. Dalam beberapa hal, terutama kritikannya yang
tajam terhadap kasus-kasus para suami yang menelantarkan istri, melecehkan
istri, perlakuan kasar sampai membunuh dan penyelewengan umum yang dilakukan
para suami secara sembunyi dan terang-terangan di muka anak-istri, mbak Maryam
adalah pusat kekagumanku karena kedalaman kritikannya jauh dari kesan
kanak-kanak yang mau menang sendiri. Ia juga sering melontarkan kritik tajamnya
terhadap organisasi perempuan yang tidak mandiri, selalu dibayangi dan berada
di bawah organisasi induknya yang nota bene adalah kepunyaan laki-laki. Dan
satu lagi, ia sangat piawai dalam qira’ah.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 229-230).
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 229-230).
C.
Perwatakan Tokoh Wanita, Cita-Cita, Tingkah Laku, Perkataan, dan Pandangannya
tentang Dunia dan Kehidupan
Annisa adalah tokoh sentral atau tokoh utama dalam
novel Perempuan Berkalung Sorban. Dia adalah gambaran wanita cerdas yang hidup
dalam lingkungan pesantren. Annisa sadar dengan posisi wanita yang seharusnya
tidak hanya sibuk dengan urusan belakang saja sejak ia masih kecil.
Seperti pagi yang lain, aku tak pernah mendapatkan kesempatan untuk berbicara lebih banyak. Kecuali bersiap diri dan berangkat bersama Rizal menuju ke sekolah yang tidak begitu jauh dari rumah kami.
Di dalam kelas selagi aku masih merenung-renung perkataan Rizal, pak guru bahasa Indonesia menyuruhku mengulangi kalimat:
Seperti pagi yang lain, aku tak pernah mendapatkan kesempatan untuk berbicara lebih banyak. Kecuali bersiap diri dan berangkat bersama Rizal menuju ke sekolah yang tidak begitu jauh dari rumah kami.
Di dalam kelas selagi aku masih merenung-renung perkataan Rizal, pak guru bahasa Indonesia menyuruhku mengulangi kalimat:
A-yah per-gi ke kan-tor
I-bu me-ma-sak di da-pur
Bu-di ber-ma-in di ha-la-man
A-ni men-cu-ci pi-ring
“Ulangi sekali lagi, lebih keras dan jelas!” Perintah
pak guru.
“Bapak pergi ke kantor,” teriakku lantang kemudian terdiam. Aku berpikir sejenak kemudian bertanya, “apa ke kantor itu termasuk urusan laki-laki, Pak Guru?”
Pak guru terkejut. Aku juga ikut terkejut. Demikian juga teman-temanku.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 10-11).
“Bapak pergi ke kantor,” teriakku lantang kemudian terdiam. Aku berpikir sejenak kemudian bertanya, “apa ke kantor itu termasuk urusan laki-laki, Pak Guru?”
Pak guru terkejut. Aku juga ikut terkejut. Demikian juga teman-temanku.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 10-11).
Kutipan di atas menceritakan tentang pencarian Annisa
atas hakikat hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan. Sejak kecil di
lingkungan pesantren, Annisa mendapatkan perlakuan yang berbeda jika
dibandingkan dengan dua kakaknya yang laki-laki. Pikiran-pikiran dan keinginan
untuk mendapat perlakuan yang sama dengan kedua kakaknya selalu membuat Annisa
memiliki pertanyaan-pertanyaan yang selalu mengejutkan orang yang ditanya baik
itu gurunya, ibunya, atau temannya. Hal tersebut juga terlihat dalam kutipan
berikut.
“Tapi aku ingin belajar naik kuda dan pergi ke kantor.”
“Apa hebatnya naik kuda dan apa enaknya pergi ke kantor, Nisa?”
“Jika aku naik kuda, semua orang mendongak ke arahku jika bicara denganku. Aku juga bisa memimpin pasukan perang seperti Aisyah atau Putri Budur, sehingga laki-laki perkasa menjadi tunduk di belakangku,” aku tertawa geli, “dan jika aku pergi ke kantor, bajuku wangi dan rapi tidak seperti Lek Sumi yang seharian di dapur, badannya bau dan bajunya kedodoran. Jika aku ke kantor, semua orang melihatku dengan hormat, tidak menutup hidung jika aku lewat seperti mereka menutup hidung dekat lek Sumi, karena bau bawang dan terasi. Dan di akhir bulan aku menerima gaji.” (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 15).
“Tapi aku ingin belajar naik kuda dan pergi ke kantor.”
“Apa hebatnya naik kuda dan apa enaknya pergi ke kantor, Nisa?”
“Jika aku naik kuda, semua orang mendongak ke arahku jika bicara denganku. Aku juga bisa memimpin pasukan perang seperti Aisyah atau Putri Budur, sehingga laki-laki perkasa menjadi tunduk di belakangku,” aku tertawa geli, “dan jika aku pergi ke kantor, bajuku wangi dan rapi tidak seperti Lek Sumi yang seharian di dapur, badannya bau dan bajunya kedodoran. Jika aku ke kantor, semua orang melihatku dengan hormat, tidak menutup hidung jika aku lewat seperti mereka menutup hidung dekat lek Sumi, karena bau bawang dan terasi. Dan di akhir bulan aku menerima gaji.” (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 15).
Sebagai seorang istri, perempuan pun memiliki hak
dalam masalah yang berkaitan dengan reproduksi. Perempuan memiliki hak untuk
menolak dan menerima ajakan suami untuk melakukan hubungan suami istri.
Perempuan juga harus memiliki sikap terhadap perlakuan yang diberikan kepada
mereka. Jika perempuan selalu berada dalam posisi manut dalam hal apaun itu
maka posisi perempuan akan selamanya menjadi rencang wingking. Hal tersebut
digambarkan dalam percakapan Annisa dengan salah satu tokoh dalam kutipan
berikut.
“Apanya yang tabu, Lek. Bukankah Lek Umi juga punya hak untuk memintanya?”
“Tetapi aku kan perempuan, nanti dia bilang apa?”
“Dia akan bilang bahwa Lek Umi istrinya adanlah perempuan yang jujur, berani dan terbuka.” “Ah. Nggak mungkin. Boleh jadi ia akan bilang kalau aku ini perempuan gatal, pikirannya ke situ melulu. Ah! Nggak ah, Nis. Aku malu.”
“Malu yang tidak pada tempatnya itu lebih bahaya daripada orang yang tidak punya rasa malu, Lek.” “Apa kau sendiri suka meminta duluan, Nis?”
“Jika aku ingin, mengapa tidak. Mas Khudhori dan pembicaraan dalam komunitasku di organisasi banyak mengubah pandangan dan membentuk cara berpikirku, Lek. Kini baru dapat kurasakan bahwa ilmu telah memberikan banyak hal pada kita, terutama hak-hak kita juga kewajiban kita yang lebih haq dan proporsional.”
“Aku tahu, Nis. Memang sejak dulu aku telah melihat kecerdasanmu saat kau mendebat kiai Ali. Dan ternyata benar. Apapun yang kau alami, semua dapat kau ambil hikmahnya. Kau tetap sekolah sekalipun sudah menikah dan kini kau masih juga kuliah. Pastilah telah banyak ilmu dan pengalaman yang telah kau kumpulkan untuk masa depanmu. Sejujurnya, aku cemburu sekali jika mengingat itu, Nis.” “Cemburu pada yang positif itu baik, Lek. Tetapi sekarang, yang lebih penting lagi adalah tidak menutup diri untuk masuknya ilmu. Bahwa hidup itu lapisan pengetahuan dan pengalaman. Dan waktu adalah belajar. Tak ada kata terlambat dan penyesalan juga bukan jalan penyelesaian. Bukankah begitu, Lek?”
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 263-264).
“Apanya yang tabu, Lek. Bukankah Lek Umi juga punya hak untuk memintanya?”
“Tetapi aku kan perempuan, nanti dia bilang apa?”
“Dia akan bilang bahwa Lek Umi istrinya adanlah perempuan yang jujur, berani dan terbuka.” “Ah. Nggak mungkin. Boleh jadi ia akan bilang kalau aku ini perempuan gatal, pikirannya ke situ melulu. Ah! Nggak ah, Nis. Aku malu.”
“Malu yang tidak pada tempatnya itu lebih bahaya daripada orang yang tidak punya rasa malu, Lek.” “Apa kau sendiri suka meminta duluan, Nis?”
“Jika aku ingin, mengapa tidak. Mas Khudhori dan pembicaraan dalam komunitasku di organisasi banyak mengubah pandangan dan membentuk cara berpikirku, Lek. Kini baru dapat kurasakan bahwa ilmu telah memberikan banyak hal pada kita, terutama hak-hak kita juga kewajiban kita yang lebih haq dan proporsional.”
“Aku tahu, Nis. Memang sejak dulu aku telah melihat kecerdasanmu saat kau mendebat kiai Ali. Dan ternyata benar. Apapun yang kau alami, semua dapat kau ambil hikmahnya. Kau tetap sekolah sekalipun sudah menikah dan kini kau masih juga kuliah. Pastilah telah banyak ilmu dan pengalaman yang telah kau kumpulkan untuk masa depanmu. Sejujurnya, aku cemburu sekali jika mengingat itu, Nis.” “Cemburu pada yang positif itu baik, Lek. Tetapi sekarang, yang lebih penting lagi adalah tidak menutup diri untuk masuknya ilmu. Bahwa hidup itu lapisan pengetahuan dan pengalaman. Dan waktu adalah belajar. Tak ada kata terlambat dan penyesalan juga bukan jalan penyelesaian. Bukankah begitu, Lek?”
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 263-264).
Kutipan tersebut menegaskan tentang cara-cara yang
digunakan Annisa untuk berbagi ilmu dan pengalaman dengan perempuan-perempuan
yang sekiranya bernasib sama dengannya. Diskusi dan obrolan-obrolan ringan yang
dilakukan Annisa dengan tokoh lain dalam novel bertujuan untuk memberikan
kesadaran akan arti penting posisi perempuan dalam masyarakat. Perempuan harus
sadar dengan posisinya. Di sinilah kemudian perempuan memiliki keharusan,
kewajiban, dan hak yang sama dengan laki-laki untuk belajar dan mendapatkan
pengetahuan karena mereka juga memiliki peranan yang sama pentingnya. Abidah El
Khalieqy menegaskan kembali lewat dialog-dialog yang dilakukan oleh para tokoh
dalam novel bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan selain
perbedaan kodrati semata.
“Apa semua pekerjaan rumah tangga, Lek Umi sendiri yang menangani? Bukankah Lek Mahmud juga suka turun tangan?”
“Paling-paling yang dikerjakan Mas Mahmud hanya menyuapi Sania kalau pagi. Selebihnya aku semua yang mengerjakan. Kau bisa bayangkan betapa capeknya, dari mencuci baju dan perabot di dapur, menyapu, mengepel, emamasak dan menyeterika. Kadang-kadang Mas Mahmud mau juga menyetrika , jika kebetulan Sania rewel dan minta bersamaku. “Wah, Nis, tak terbayangkan repotnya punya anak tanpa PRT.” “Sebenarnya lek Umi tidak usah terlalu repot dengan semua itu, karena sebenarnya tugas merawat anak adalah tanggung jawab suami. Jadi memandikan, menyiapkan makanan dan menyuapi bkanlah kewajiban Lek Umi. Juga misalnya lek Umi tidak berkenan untuk menyusuinya, karena terlalu berat dengan tugas-tugas rumah tangga yang lain, maka lek Mahmud harus mencari seorang ibu susu dan dia harus memberi honor yang pantas untuknya. Semua itu adalah kewajiban suami, Lek. Lagipula, bukankah dulu sebelum punya anak, lek Umi sendiri yang memutuskan ingin punya anak?” “Memutuskan ingin punya anak, aku yang memutuskan, kau ini bicara apa, Nis?”
“Lek, lek, bukankah seorang anak itu lahir dari rahim perempuan. Dikandung sembilan bulan dan selama itu sang janin memakan saripati makanan dari ibunya. Dan al-quran mengatakan bahwa kondisi ibu hamil itu wahnan ‘ala wahnin, derita di atas derita, semakin hari semakin payah dan berat nian. Dan semua itu, perempuanlah yang merasakan dan bukan laki-laki. Maka alangkah anehnya jika yang akan mengalami semua itu perempuan dan ternyata dia tidak dilibatkan dalam mengambil keputusan.” (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 265-266).
“Apa semua pekerjaan rumah tangga, Lek Umi sendiri yang menangani? Bukankah Lek Mahmud juga suka turun tangan?”
“Paling-paling yang dikerjakan Mas Mahmud hanya menyuapi Sania kalau pagi. Selebihnya aku semua yang mengerjakan. Kau bisa bayangkan betapa capeknya, dari mencuci baju dan perabot di dapur, menyapu, mengepel, emamasak dan menyeterika. Kadang-kadang Mas Mahmud mau juga menyetrika , jika kebetulan Sania rewel dan minta bersamaku. “Wah, Nis, tak terbayangkan repotnya punya anak tanpa PRT.” “Sebenarnya lek Umi tidak usah terlalu repot dengan semua itu, karena sebenarnya tugas merawat anak adalah tanggung jawab suami. Jadi memandikan, menyiapkan makanan dan menyuapi bkanlah kewajiban Lek Umi. Juga misalnya lek Umi tidak berkenan untuk menyusuinya, karena terlalu berat dengan tugas-tugas rumah tangga yang lain, maka lek Mahmud harus mencari seorang ibu susu dan dia harus memberi honor yang pantas untuknya. Semua itu adalah kewajiban suami, Lek. Lagipula, bukankah dulu sebelum punya anak, lek Umi sendiri yang memutuskan ingin punya anak?” “Memutuskan ingin punya anak, aku yang memutuskan, kau ini bicara apa, Nis?”
“Lek, lek, bukankah seorang anak itu lahir dari rahim perempuan. Dikandung sembilan bulan dan selama itu sang janin memakan saripati makanan dari ibunya. Dan al-quran mengatakan bahwa kondisi ibu hamil itu wahnan ‘ala wahnin, derita di atas derita, semakin hari semakin payah dan berat nian. Dan semua itu, perempuanlah yang merasakan dan bukan laki-laki. Maka alangkah anehnya jika yang akan mengalami semua itu perempuan dan ternyata dia tidak dilibatkan dalam mengambil keputusan.” (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 265-266).
Percakapan yang dilakukan tokoh Annisa tersebut
memberikan keterangan yang baru terhadap pembaca bahwa perempuan wajib
dilibatkan dalam keputusan untuk reproduksi. Wanita memiliki hak penuh dalam
wilayah reproduksi karena yang akan menjalani semua proses tersebut adalah
perempuan itu sendiri. Pengetahuan ini masih minim dimiliki oleh perempuan pada
umumnya dan inilah yang menjadi misi Abidah sebagai penulis. Yakni ingin
memberikan penerangan mengenai pembaca mengenai hal tersebut.
Tokoh lain yang banyak diceritakan dalam novel
Perempuan Berkalung Sorban adalah Khudhori. Abidah El Khalieqy menggambarkan
Khudhori dengan deskripsi sebagai berikut.
Sikap bapak memang berbeda dengan lek Khudhori.
Meskipun ia bukan adik kandungnya sikap bapak lebih lembut kepadanya. Lek
Khudhori adalah cucu dari keluarga neneknya ibu. Dan meskipun bapaknya telah
meninggal dua tahun yang lalu, ia tetap melanjutkan sekolahnya di pondok
Gontor. Hanya saja, kalau pulang selalu ke rumah kami. Dua kakaknya telah
berkeluarga dan lek Khudhori lebih suka tinggal di sini, terutama untuk
mendapat teman berkomunikasi bahasa Arab dengan bapak dan para ustadz di
pondok. Ia tinggal di kamar yang bersebelahan dengan kamar bapak, Rizal dan Wildan.
Selama hampir setahun ini, dalam masa cutinya, ia membantu mengajar di pondok
serta mengajariku mengaji, nahwu sharaf dan bahasa Arab. Sementara Wildan dan
Rizal lebih suka belajar mengaji di masjid dengan lek Mahmud.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 38).
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 38).
Rumah tangga kedua Annisa dengan Khudhori, setelah
yang membuat ia bercerai dengan Samsudin, dipenuhi dengan kebahagiaan karena
hadir tanpa paksaan. Komunikasi yang dilakukan antara keduanya juga membuat
hubungan suami-istri menjadi harmonis. Namun, rumah tangga kedua ini tidak
bertahan lama karena maut memisahkan Khudhori dan Annisa.
Sedangkan kematian Khudhori yang merupakan ujian besar dalam rumah tangga Annisa dan Khudhori diterima Annisa dengan ikhlas dan lapang dada. Kematian yang telah menimpa Khudhori adalah takdir dari Allah SWT yang tidak bisa ditolaknya.
Tidak! Mas Khudhori tidak mati. Aku yakin, bahwa ia hanya tidur kelelahan dan sebentar lagi akan bangun kembali. Tapi keyakinan itu selalu lenyap dalam mimpi. Sebab, hampir dua minggu aku bolak-balik ke rumah sakit. Sampai-sampai aku bermimpi yang bukan-bukan. Di mana aku bangkit, berdiri dan berjalan menuju ruang tengah. Tetapi apa yang kulihat? Tubuh berselimutkan kain panjang itu wajahnya begitu pucat, matanya terpejam dan diam. Aroma kapur barus itu, telah menyentakkan kesadaranku akan makna semua yang diam. Para pelayat yang terus berdatangan dan tatapan mata mereka, semuanya memberitahuku arti sebuah peristiwa. ... .
Sedangkan kematian Khudhori yang merupakan ujian besar dalam rumah tangga Annisa dan Khudhori diterima Annisa dengan ikhlas dan lapang dada. Kematian yang telah menimpa Khudhori adalah takdir dari Allah SWT yang tidak bisa ditolaknya.
Tidak! Mas Khudhori tidak mati. Aku yakin, bahwa ia hanya tidur kelelahan dan sebentar lagi akan bangun kembali. Tapi keyakinan itu selalu lenyap dalam mimpi. Sebab, hampir dua minggu aku bolak-balik ke rumah sakit. Sampai-sampai aku bermimpi yang bukan-bukan. Di mana aku bangkit, berdiri dan berjalan menuju ruang tengah. Tetapi apa yang kulihat? Tubuh berselimutkan kain panjang itu wajahnya begitu pucat, matanya terpejam dan diam. Aroma kapur barus itu, telah menyentakkan kesadaranku akan makna semua yang diam. Para pelayat yang terus berdatangan dan tatapan mata mereka, semuanya memberitahuku arti sebuah peristiwa. ... .
Tubuh yang beku itu, menyiratkan senyum dan wajah
kemenangan, menegaskan sikapnya dalam hidup yang pantang menyerah oleh gempuran
fitnah dan cobaan. Dan senyum itu membakar semangat hidupku untuk tetap
bangkit, berdiri dengan tegar di tengah gelombang yang menerpa, seganas apa
pun. Memandanginya membuat energiku terpompa. Melihat masa depan dan Mahbub-ku,
Mahbub kami yang menjernihkan mataku dari debu dan mendung dunia.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 312-314).
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 312-314).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
novel Perempuan Berkalung Sorban mengkaji penghormatan terhadap posisi
perempuan. Perempuan memiliki hak atas dirinya sendiri. Tanpa melupakan
kodratnya, perempuan memiliki hak-hak yang seharusnya dibuat adil antara
laki-laki dan perempuan. Kata sorban lebih dimaknai sebagai simbol kemuliaan,
martabat, dan kehormatan yang melekat pada lelaki muslim. Di Indonesia, sorban
selalu dipakai oleh para kiai, haji dan ustadz, hingga Annisa, tokoh utama
dalam kisah tersebut, berusaha mendekonstruksi dan merebut makna sorban itu
untuk dikalungkan di leher perempuan, seorang nyai, hajjah dan ustadzah. Bahwa
pada dasarnya, manusia itu makhluk androgin, yang memiliki kualitas maskulin
sekaligus feminin sebagaimana dzat Yang Maha Pencipta. Maka, ketika Annisa
berhasil merebut sorban itu, ia pun tidak kemudian menggunakannya sebagai
lambang kuasa bagi perempuan atas laki-laki. Abidah mengedepankan persamaan hak
antara perempuan dan laki-laki. Bahwa wanita juga berhak atas pendidikan,
kesempatan untuk berkarya, dan bahkan memiliki dirinya sendiri. Abidah
menganggap budaya patriarkal masih mengakar kuat pada tatanan budaya
masyarakat. Namun, keinginan untuk dapat terpenuhinya hak perempuan dijelaskan
Abidah tanpa menghilangkan kodrat seorang perempuan secara lahirnya. Abidah
sebagai penulis menyampaikan pencerahan terhadap pembaca karyanya dengan tidak
menghilangkan hal-hal yang berasal dari Tuhan (kodrati).
Abidah El Khalieqy menggambarkan pandangannya mengenai konsep feminisme ini melalui perwatakan masing-masing tokoh, terutama tokoh utama wanita, Annisa yang ada dalam novel tersebut. Abidah El-Khalieqy tidak hanya menghadirkan gambaran kondisi perempuan yang ada dalam dominasi laki-laki, tetapi juga menggambarkan tentang hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh kaum wanita. Bahwa, perempuan seharusnya menyuarakan hal-hal yang seharusnya menjadi haknya seperti pendidikan, persamaan kedudukan, dan penghormatan terhadap harga diri mereka sebagai sesama makhluk Tuhan. Novel Perempuan Berkalung Sorban lebih serius memfokuskan alur dan permasalahan cerita pada sosialisasi isu gender dan hak-hak reproduksi perempuan.
Abidah El Khalieqy menggambarkan pandangannya mengenai konsep feminisme ini melalui perwatakan masing-masing tokoh, terutama tokoh utama wanita, Annisa yang ada dalam novel tersebut. Abidah El-Khalieqy tidak hanya menghadirkan gambaran kondisi perempuan yang ada dalam dominasi laki-laki, tetapi juga menggambarkan tentang hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh kaum wanita. Bahwa, perempuan seharusnya menyuarakan hal-hal yang seharusnya menjadi haknya seperti pendidikan, persamaan kedudukan, dan penghormatan terhadap harga diri mereka sebagai sesama makhluk Tuhan. Novel Perempuan Berkalung Sorban lebih serius memfokuskan alur dan permasalahan cerita pada sosialisasi isu gender dan hak-hak reproduksi perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar