Nama Kelompok 1:
1. Islamiyah Sahab
2. Nur Rizqi Febrianti
3. Debi Tenribali
4. Rahma Sari Usman
4. Rahma Sari Usman
ANALISIS
NOVEL LAYAR TERKEMBANG
KARYA
ST. TAKDIR ALISJAHBANA
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sastra lahir disebabkan oleh dorongan
dasar manusia untuk mengungkapkan dirinya, menaruh minat terhadap masalah
manusia dan kemanusiaan, dan menaruh minat terhadap dunia realitas yang
berlangsung sepanjang hari dan sepanjang zaman (Semi, 1993:1).
Karya
sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang bersifat dinamis. Sebagai
karya seni, karya sastra bukanlah suatu artefak (benda mati) yang statis, yang
terus-menerus berlangsung dalam ruang dan waktu tanpa perubahan, melainkan
merupakan suatu sistem konvensi yang penuh dinamika (Abdullah, 1991:10).
Sebagai karya seni, karya sastra memerlukan bahasa sebagai medium untuk
mengungkapkannya. Dengan bahasa, apa yang ada dalam pikiran dan perasaan
pengarang atau sastrawan disampaikan kepada pembaca atau masyarakat luas.
Karya
sastra juga merupakan tanggapan seorang sastrawan terhadap dunia
sekitarnya. Sebagaimana yang diungkapkan
oleh Pradopo (1995:178), karya sastra adalah hasil ciptaan pengarang sebagai
anggota masyarakat tidak lahir dalam kekosongan sosial budaya. Pengarang dalam
menciptakan karya sastra tidak berangkat dari “kekosongan budaya”, tetapi
diilhami oleh realitas kehidupan yang kompleks, yang ada di sekitarnya (Teeuw,
1980: 11).
Menurut
Faruk (1988: 7), karya sastra adalah fakta semiotik yang memandang fenomena
kebudayaan sebagai sistem tanda yang bersifat kognitif.
Karya sastra dan kehidupan merupakan dua
fenomena sosial yang saling melengkapi dalam kedirian mereka sebagai sesuatu
yang eksistensial (Suyitno, 1986: 3). Hal ini mengandung pengertian bahwa karya
sastra dan kehidupan nyata, selain memiliki otonomi tersendiri, keduanya juga
memiliki hubungan timbal balik.
Keberangkatan pengarang dalam menciptakan karya sastra diilhami oleh fenomena
kehidupan.
Fenomena kehidupan yang menarik dalam novel
‘Layar Terkembang’ adalah pemikiran dua tokoh utama yang berbeda meskipun
mereka sama-sama perempuan bahkan bersaudara digambarkan Sutan Takdir Alisjahbana dengan sangat mengena perasaan
pembacanya. Meskipun bahasa yang digunakan pengarang dalam novel ini masih
sangat melayu, namun penggambaran watak tokoh sangat modern. Hal ini membuat
kami merasa perlu menganalisis apa yang tersembunyi atau apa makna dari
perlambangan tokoh Tuti yang sangat teliti, tegas, rasional, cerdas atau tokoh
Maria yang periang dan mudah kagum, serta tokoh-tokoh lainnya. Tidak hanya
Penokohan, unsur lain seperti latar, tema dan sebagainya juga adalah tanda dari
apa yang sebenarnya ingin dismpaikan pengarang lewat cerita dalam novel ‘Layar
Terkembang’ tersebut.
1.2 Rumusan Masalah?
Berdasarkan
latar belakang yang telah dikemukakan di atas, novel Layar Terkembang dinyatakan
sebagai suatu sistem tanda. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini
adalah makna apa yang terkandung dalam novel tersebut. Untuk lebih jelasnya, permasalahan dalam penelitian ini
dirumuskan
“Bagaimana Menganalisis novel Layar
Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana dengan menggunakan analisis
semiotik?”
1.3 Tujuan
Analisis ini bertujuan untuk mengungkap
makna yang disampaikan pengarang melalui tanda-tanda dalam Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana dengan menggunakan teori semiotika.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Semiotik
Ilmu sastra
melingkupi bidang luas. Di dalamnya tercakup teori satra, sejarah sastra dan kritik
sastra. Ketiga bagian ilmu sastra tersebut saling berkaitan. Keterkaitan itu
menyebabkan saling ketergantungan. Sebuah karya sastra tidak dapat dipahami dan
dihayati, apalagi ditafsirkan dan dinilai dengan sempurna tanpa bantuan ketiga
bidang ilmu sastra. Teori sastra tidak akan pernah sempurna tanpa bantuan
sejarah sastra dan kritik sastra. Secara garis besar teori sastra bergerak pada
empat paradigma yaitu penulisan karya, pembaca, kenyataan dan semesta. Untuk
memenuhi keempat paradigma maka dirumuskan atau diciptakan teori-teori tentang
karya sastra. Salah satu teori tersebut adalah teori semiotik.
Semiotik atau semiologi berasal
dari kata dalam Yunani yang berarti tanda, lambang. Semiotik atau semiologi
adalah ilmu yang mengkaji secara sistematis tentang tanda-tanda,
lambang-lambang, proses penciptaan yang menyangkut karya sastra sebagai suatu
sosok yang memiliki sistem sendiri (Semi, 1993 : 86). Dengan demikian semiotik
tidak lain dari pada sebuah nama lain bagi logika, yakni doktrin formal tentang
tanda-tanda ( The Formal Doktrin of Signs), dengan kata lain semiotik adalah
suatu cabang dari filsafat (Charles S. Pierce dalam Budiman, 2003 : 1).
Sedangkan ahli lain mengatakan bahwa semiologi adalah sebuah ilmu yang mengkaji
kehidupan tanda- tanda di dalam masyarakat (A Science that studies the life of
signs within society) yang merupakan bagiam dari disiplin psikologi sosial
(Ferdinand de Saussure dalam Budiman, 2003 : 1).
Istilah semiotik dapat juga
dikatakan dengan simbol ( Wellek dan Austin, 1995 : 239). Simbol adalh suatu
istilah dalam logika, matematika, semantik, semiotik dan epistemologi. Dalam
kata Simbol sebenarya ada unsur kata kerja bahasa Yunani yang berarti
mencampurkan, membandingkan, dan membuat analogi antara tanda dan objek yang
diacu. Simbol dipakai juga dalam bidang keagamaan yang didasarkan pada suatu
hubungan intrinsik antara tanda dabn objek yang diacu oleh tanda itu, contoh :
salib, anak domba, gembala yang baik.
Baik istilah semiotik maupun semiologi
dapat digunakan untuk merujuk kepada ilmu tentang tanda-tanda (The science og
sign) tanpa adanya pengertian yang terlalu tajam.
Satu-satunya perbedaan diantara
keduanya menurut Hawkes dalam Budiman (2003 : 4) adalah bahwa siswa semiologi
lebih banyak dikenal di Eropa yang mewarisi tradisi linguistik SAUSSURE;
sementara istilah semiotika cenderung dipakai oleh para penutur bahasa inggris
atau mereka yang mewarisi tradisi Piercean.
Teori semiotik melatarbelakangi
atau mendukung kajian atau kritik sastra. Kritik semiotik memusatkan kajiannya
pada lambang-lambang, sistem lambang-lambang dan proses perlambangan di dalam
karya sastra, karena ia menggunakan pendekatan semiotik (Zulfahnur, 1996 :
151). Sistem lambang atau tanda dalam karya sastra ini memiliki banyak
interpretasi. Dalam menafsirkan suatu sistem lambang, pembaca mengartikan
gejala-gejala tertentu (kata-kata, kalimat, gerak-gerik dan sebagainya)
berdasarkan sebuah kaidah atau sejumlah kaidah.
Dalam kegiantannya, kritik semiotik
(dengan pendekatan semiotik) merupakan semacam pengembangan lanjutan dari
kritik dengan pendekatan struktur, dalam menganalisis unsur-unsur formal karya
sastra. Sedangkan hubungannya dengan semiotik lingkup bahasannya lebih jauh
lagi, bukan saja mempersoalkan pemakaian bahasa, melainkan juga mencakupi
sistem tanda/lambang yang terkait dengan sistem sastra. Dalam kegiatan
kritik/kajian semiotik masalah yang hendak disoroti adalah keunikan, kekhasan
suatu karya sastra, sehingga penelaah harus jeli melihat lambang-lambang dan
kode sastra yang membentu sistem dan keseluruhan karya sastra, termasuk juga
yang tidak masuk akal. Ketiga jenis sastra (puisi, fiksi dan drama) punya
hakikatnya sendiri. Karena ketiganya harus dinilai dalam konteks dirinya
masing-masing dengan menyoroti sistem lambang dan kodenya masing- masing pula.
Menurut semiotik
sastra ala Charles Pierce dalam Luxemburg (1992 : 45-46), bahasa merupakan
salah satu tanda atau lambang dan lambang-lambang bahasa itu berupa kata,
kalima dan teks. Yang menentukan adanya tanda/lambang menurut Pierce ada tiga
faktor yaitu :
1.Tanda itu
sendiri (yang berfungsi representasi/mewakili sesuatu)
2.Hal-hal yang
ditandai (kenyataan yang diwakili oleh tanda, objek atau denotatum)
3.Tanda baru
(hasil interpretasi/penafsiran, sesuatu yamg dibayangkan oleh penerima
tanda ketika ia mencerap tanda pertama)
Tanda itu
merupakan suatu gejala yang dapat dicerap ataupun gejala yang lewat penafsiran
dapat dicerap. Antara tanda pertama dan apa yang ditandai (yang diacu) terdapat
suatu hubungan representasi (to represent = mengahadirkan, mewakili). Tanda
MEJA sebuah perabot rumah, menngacu kepada perabot itu. Unsur dari kenyataan
yang diwakili oleh tanda dinamakan “objek atau denotatum”. Denotatum itu
merupakan sesuatu yang konkret. Segala sesuatu yang menurut anggapan kita ada
atau dapat ada, mungkn merupakan sebuah denotatum. Tanda dan representasi
bersama-sama menuju interpretasi (tafsiran).
Contoh hasil interpretasi yaitu ringkasan sebuah teks sastra yang dirumuskan
dengan kata-kata yang melahirkan tanda baru. Pertama kali yang penting dalam
lapangan semioti, lapangan sistem tanda adalah pengertian tanda itu sendiri.
Dalam pengertian tanda ada dua prinsip yaitu penanda (signifer) atau yang
menandai yangmerupakan tanda.
Berdasarkan hubungan antara penanda
dan petanda ada tiga jenis tanda yang pokok yaitu ikon, indeks, dan simbol.
Ikon adalah tanda hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bentuk
alamiah, misalnya potret orang yang menandai orang yang dipotret. Indeks adalah
tanda yang menunjukkan adanya hubungan
alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan
sebab akibat. Misalnya : Asap itu menandai api, suara itu emnandai orang yang
mengeluarkan suatu. Simbol adalah tanda yang tidak menunjukan hubungan alamiah
antara tanda dan petandanya. Hubungan antaranya bersifat arbitrer atau
semaunya, hubungannya berdasarkan konvensi masyarakat. Arti simbol ditentukan
oleh masyarakat, misalnya : kata ibu berarti “orang yang melahirkan kita” itu
terjadi atas konvensi atau perjanjian masyarakat Indonesia.
Merujuk pada strukturalisme
Mukarovsky masalah tanda ini ada persamaanya : “ Tanda itu sendiri” (istilah
Pierce) disebutnya artefaks (karya seni sebagai tanda), “Hal yang ditandai”
merupakan realistis kehidupan yang jadi objek proses kreatif, dan tanda “tanda
baru” dinamakannya objek estetik (pengkonkretan artefaks) artefaks dicerap dan
ditafsirkan menurut pengetahuan (pengalaman pembaca sesuai konvensi sastra yang
dikenalnya).
Dalam semiotik
sastra ala Yuri Lotman dalam Luxemburg (1992 : 47), bahasa sebagai sistem tanda
ada dua macam yaitu:
a) Bahasa sebagai bahasa alami merupakan
sistem tanda primer yang berupa kosakata, kalimat, sintaksis dan lain-lain yang
berfungsi untuk komunikasi dan berpikir.
b) Bahasa sastra adalah sistim tanda sekunder
yang merupakan hasil bahasa dalam bentuk estetik.
Berdasarkan
uraian dan pendapat para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa semiotik
adalah ilmu yang mengkaji secara sistematis tentang tanda, lambang ataupun
simbol yang menyangkut pada sebuah karya sastra. Hal tersebut bertitik tolak
dari asumsi bahwa karya sastra, memiliki sistim tanda/lambang bahasa yang
bermakna dengan media bahasa yang estetik. Berdasarkan semiotik bahasa
merupakan salah satu tanda atau lambang dan lambang-lambang bahasa itu berupa
kata, kalimat, dan teks. Sistim tanda tersebut mempunyai makna atau pengertian
tertentu berdasarkan hasil interpretasi si penerima tanda atau lambang bahasa
bahasa tersebut. Karena sistim lambang atau tanda dalma karya sastra memiliki
banyak intrepretasi. Dalam kajian semiotik analisisnya tidak terbatas pada
pemakaian bahasa dan sistim tanda/lambang yang terdapat dalam karya sastra saja
tetapi juga berhubungan dengan hal-hal yang berada di luar karya sastra
tersebut. Yaitu kode seperti masalah sosial budaya dan sistim tata nilai yang
mewarnai karya sastra tersebut. Oleh karena itu masalah yang hendak disoroti
dalam kajian semiotik adalah keunikan, kekhasan suatu karya sastra sehingga
penelaah harus jeli melihat lambang-lambang dan kode sastra yang membentuk
sistim dari keseluruhan isi karya sastra itu sendiri.
Pendekatan semiotik bertolak dari asumsi
bahwa karya satra memiliki suatu sistm senidri, yang memiliki dunianya sendiri
sebagai suatu realitas yang hadir atau dihadirkan dihadapan pembaca yang
didalamnya terkandung potensi komunikatif yang ditandai dengan adanya
lambang-lambang kebahasaan yang yang khas yang memiliki nilai artistik dan
dramatik (Semi, 1993 : 86). Lambang kebahasaan yang khas sastra yang memiliki
artistik dan dramatik itu diakibatkan suatu dorongan kreatif pengarang.
Pemaknaannya mengacu kepada berbagai dimensi makna yang seringkali bersifat
kompleks.
Pendekatan semiotik beranggapan bahwa
karya sastra memiliki sistim-sistim
tanda yang bermakna dengan media bahasa yang estetik. Sistim tanda atau
lambang dalm karya sastra ini memiliki banyak interpretasi. Pendekatan semiotik
menurut Semi (1993 : 89) mempunyai konsep dan kriteria sebagai berikut.
1. Karya sastra menurut pandangan semiotik
memiliki sistim sendiri yang berupa sistim tanda atau kode. Menurut Yunus dalam
Semi (1993 : 87), tanda atau kode itu bersifat estetis. Kode atau tanda itu
mempunyai banyak interpretasi.
2. Pendekatan semiotik mempunyai pertallian
struktural dan pendekatan stilitika. Pendekatan semiotik tidak saja
mempersoalkan pemakaian bahasa tetapi
juga menyangkut semua sistim tanda yang terkait dengan sistem sastra.
3. Pendekatam semiotik analisisnya tidak
terbatas pada karya sastra itu sendiri, juga berhubungandenga hal-hal yang
berada di luarnya yaitu kode budayanya, seperti masalah sosial budaya dan
sistim tata nilai yang mewarnai karya sastra. Hal ini berarti, bahwa kajian
semiotik menyangkut aspek ekstrinsik dan intrinsik karya satra.
4. Pendekatan semiotik memberi pandangan
bahwa tanda-tanda atau kode-kode sekecil apapun yang terdapat dalam karya
sastra penting untuk diperhatikan, karena ia ikut membentuk sistem dan
keseluruhan tersebut.
5. Dalam menggunakan pendekatan semiotik
hendaknya hendaknya peneliti bersikap jujur, bersikap terbuka menerima
kenyataan baru yang sebelumnya tidak dikenalnya.
2.3 Bahasa
sebagai Suatu Sistem
Bahasa merupakan sistem semiotik,
sistem tanda. Setiap tanda sebagai unsur bahasa punya arti tertentu, yang
secara konvensi disepakati oleh masyarakat. Misalnya “kursi haruslah bermakna
kursi, tak dapat dinamakan meja”.
Sistem tanda
dalam bahasa mengandungdua aspek yaitu :
a. Konsepsi sebagai dasar pemahaman dunia
nyata, mengarahkan sikap dan penafsiran kenyataan serta dasar komunikasi.
b. Sistem kemaknaan yaitu mempunyai
pengertian tertentu misalnya “mamak” beda dengan “pekde”, “paklik”, “oom”, dan
“paman”.
Menurut Teeuw
(1984 : 96) bahasa tanpa pengertian bukan bahasa. Bahasa dan sastra termasuk
dalam semiotik karena mengandung lambang-lambang (Luxemburg, 1992 : 44-47).
Sastra merupakan sistem tanda sehingga dengan mempelajari bahasanya dapat
ditemukan lambang-lambang.
2.2 Analisis Semiotik pada Novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir
Alisjahbana
2.2.1 Ringkasan
Bab demi Bab Novel Layar Terkembang
karya Sutan Takdir Alisjahbana
Bab I
Bagian I
Tuti
dan Maria berkunjung ke pasar ikan untuk melihat Akuarium. Mereka tiba di pasar
sangat pagi membuat Maria sedikit menyesali, tetapi Tuti, sang kakak dengan
tenang berkata bahwa itu lebih baik agar mereka dapat leluasa melihat ikan.
Maria tidak menanggapi Tuti, matanya sudah lebih dulu kagum pada ikan-ikan di
pasar tersebut.
Di
Pasar itu pulalah kedua anak perempuan ini bertemu Yusuf. Seorang pemuda, studen Tabib Tinggi. Setelah berbincang
panjang lebar dengan kenalan baru mereka yakni Yusuf, akhirnya Yusuf menawarkan untuk mengantar kedua gadis
bersaudara itu sampai di depan rumah. Mereka pun pulang dengan mengayuh sepeda
masing-masing.
Setelah
sampai di rumah, Tuti dan Maria bertemu R. Wiriatmaja yang tidak lain adalah
ayah mereka. Wiriatmaja bertanya kepada kedua putrinya, tentang siapa pemuda
yang telah mengantar mereka. Setelah itu Wiriatmaja tertunduk membaca koran.
Beliau tak lagi banyak mengurusi urusan pribadi putri-putinya, Ia tidak
mengerti jalan fikiran wanita modern, apa lagi pemikiran Tuti, ia sama sekali
tak memahami apa yang sedang Tuti lakukan dengan berpidato sana-sini. Ia lebih
memilih membebaskan putri-putrinya memilih jalan hidup mereka masing-masing.
Terlebih, setelah istrinya meninggal dunia ia lebih menghormati Tuti karena
Tutilah yang mengurus segala urusan rumah.
Bagian II
Yusuf
adalah putra Demang Munaf di Martapura Sumatra Selatan. Selama menjadi student Sekolah Tabib Tinggi, ia tinggal
di rumah seorang kerabat Jawa. Setelah pertemuan singkat Yusuf dan kedua gadis
kemarin, Yusuf jadi tak berhenti memikirkan keduanya. Dua-duanya cantik namun
sifatnya amatlah berbeda. Meskipun begitu, Yusuf lebih tertarik pada Maria.
Gadis yang periang dengan senyum yang menarik.
Keesokan
harinya, sebelum ke sekolahnya, Yusuf menyempatkan diri menuju Molenvliet,
berharap dapat bertemu lagi dengan Maria. Tak nyana, ternyata mereka
benar-benar bertemu. Maria sangat cantik hari itu, mereka lalu kembali
bercakap-cakap. Dalam percakapan tersebut Yusuf menyarankan Maria agar
bergabung dengan organisasi pemuda.
Maria
telah sampai di Sekolah. Teman-teman Maria mengejek Maria yang nampaknya tidak
lagi datang sendiri.
Bagian III
Tuti sedang membaca, sedangkan Maria
sibuk merawat bunga-bunganya. Perbedaan kedua Wanita ini nampak jelas, namun tidak
menjadikan perbedaan tersebut menjadi suatu perselisihan. Sejak ibunya tiada, Tuti
mengurus Rumah bahkan lebih baik dari ibunya, Ia sangat rapi. Sedangkan Maria,
tanpanya tiada artinya Rumah yang rapi tapi sepi. Karena Marialah rumah jadi
berwarna.
Selama 10 hari, sudah kelima kalinya
Yusuf datang berkunjung. Mereka pun segera duduk di teras dan kembali
berbincang-bincang. Tidak lama datanglah Parta, Ipar Wiriatmaja. Setelah Parta
duduk dan bergabung dengan ketiga pemuda-pemudi itu, ia lalu mengeluhkan
pilihan Saleh yang meninggalkan pekerjaan kantoran demi menjadi petani di desa.
Hal ini memicu perdebatan, mana kala Tuti sepaham dengan pilihan Saleh, membuat
kekesalan pamannya semakin bertambah juga Bapaknya. Namun akhirnya Tuti memilih
mengalah karena rasa hormatnya. Lepas dari pembahasan tentang Saleh, keetiga
anak muda itu jadi membicarakan perihal agama. Hingga Yusuf memutuskan untuk
pulang.
Bagian
IV
Tuti berpidato panjang lebar mengenai
kedudukan perempuan. Ia beranggapan bahwa bangsa ini tidak akan maju tanpa hak
yang sama antara laki-laki dan perempuan. Setelah Tuti berpidato ketua mengetuk
palu dan semua orang bertepuk tangan.
Setelah jatuh bunyi palu terakhir maka bergegaslash orang-orang,
berdesak-desakan keluar pintu.
Bagian
V
Telah 10 hari Yusuf di kampung
halamannya. Yusuf merasa gelisah, seperti ada sesuatu yang ia lupakan di
Jakarta. Pikirannya selalu kembali pada Maria. Ketika ia sedang duduk membaca koran datanglah sepucuk surat
kepadanya yang ternyata adalah surat dari Maria. Keesokan harinya Yusuf ikut
Sukarto ke Keroi, mereka banyak menghabiskan waktu bersama dan
berbincang-bincang saling bertukar cerita.
Bagian VI
Setelah 10 hari kemudian Yusuf meninggalkan Martapura menuju ke
Panjang. Dari Hotel Pasundan ia naik sado menuju ke Groote Lengkongweg. Yusuf
mengunjungi Maria. Ketika ia tiba, yang pertama kali ia temui adalah Rukamah
saudara sepupu Tuti dan Maria. Kemudian menyusul Maria dengan tampak tersenyum
malu-malu. Oleh karena Maria baru bangun, ia belum sempat mandi. Hal tersebut
membuat Tuti sedikit kesal pada adiknya. Maria hendak mandi dan berpesan pada
Tuti untuk menemani Yusuf. Setelah duduk bersama Yusuf Tuti tak berhenti menggerutu tantang
kebenciannya melihat perempuan yang bangun kesiangan. Hal itu membuat Tuti dan
Yusuf bertukar pendapat.setelah panjang pembicaraannya yang berasal dari hal
sederhana tiba pulalah Maria dengan kebaya putih telah mandi dan berganti Baju.
Yusuf kemudian bersama Maria.
Terasa betul perbedaan keadaan berbicara dengan Tuti dan Maria. Namun tak
dapat
dipungkiri
yang membuatnya selalu gelisa adalah pekerti
Maria.
Bagian VII
Maria berjalan-jalan bersama
Yusuf. Selama perjalanan, awalnya Maria diam saja karena letih, namun setelah
memakan bekal bersama Yusuf, letihnya sudah berkurang. Mereka melanjutkan
perjalanan tanpa tentu tujuannya, semakin memasuki hutan. Bertambah lama
semakin mereka saling menyadari perasaan masing-masing, apa lagi keceriaan
Maria telah pulih ia jadi begitu lucu. Selama perjalanan, Maria melihat kembang
setahun. Ia tertarik dan memetik salah satu kembangnya. Maria minta izin agar
bunga yang ia petik dapat ia titip di saku baju Yusuf. Saat Maria memasukkan
Bunga itu dan mengaturnya di saku baju dekat dengan dada Yusuf. Ada sesuatu
yang mulai meluap dan tak tertahankan, Yusuf menahan kedua tangan Maria dan
berkata “tetapi, tangan ini saya hendak menyimpannya juga”. Maria memucat dan
menunduk, perlahan Yusuf mengangkat dagunya dan menyuruh Maria menatap matanya,
ia pun menyampaikan perasaannya yang kemudian Maria menjawab “Lama benar engkau
menyuruh saya menanti katamu”.
Bagian VIII
Maria menceritakan bahwa ia
telah berjanji menjadi istri Yusuf
kepada Tuti dan juga Rukamah. Hal ini menjadi bahan olok-olokan
keduanya. Sampai suatu ketika Rukamah menjaili Maria yang cemas menunggu Yusuf
yang tak kunjung datang. Gara-gara kejailan itu, Maria jadi menangis, Tuti
berniat menasehatinya namun pada akhirnya hal itu jadi perdebatan.
Bagian IX
Tuti hendak mengerjakan banyak hal dengan mesin ketiknya, namun
kegelisahan melandanya . mulai dari pikiran pertengkarannya dengan Maria,
sampai hubungannya yang putus dengan Hambali. Ia berusaha mencari cara menghilangkan
itu namun tidak ada yang bertahan lama. Setelah itu ia melihat Yusuf dan Maria
di bawah pohon baru pulang berjalan-jalan. Ia takut ia merasa iri pada adiknya.
Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa pilihannya sudah tepat.
Bab
II
Keluarga Wiriatmaja berkunjung ke rumah saudaranya, di sana
Tuti terus-menerus disindir paman dan bibiknya untuk segera membuka hati
seperti Maria yang akan bertunangan dengan Yusuf. Setelah itu pula di sepanjang
kegelisahan Tuti, datanglah Supomo menyatakan cintanya. Tuti belum memberi
jawaban hingga pada akhirnya Maria jatuh sakit. Tuti sambil merawat Maria ia
memikirkan dirinya, serta masa depannya sebagai seorang perempuan yang sudah 27
tahun usianya. Hingga dengan hati yang berat ia menjawab cinta Supomo lewat
sepucuk surat, ia menolak cinta Supomo lewat surat tersebut dengan berkata dia
tak ingin menjalani hubungan dengan awal penyerahan diri atau rasa putus asa
bukan karena cinta.
Maria
semakin parah sakitnya hingga ia Harus dirawat jauh dari rumah. Hari-hari Tuti
kesepian di rumah, sebab Ayahnya mengikuti Maria. Sementara Yusuf tetap sering
berkunjung untuk sekadar mendangar kabar Maria.
Maria
menulis surat kepada Yusuf tentang perasaannya. Yusuf pun membalas surat
itu dengan memberi semangat kepada
kekasihnya. Setiap hari Yusuf dan Tuti mengunjungi Maria. Suatu ketika mereka
datang dan Maria berkata hidupnya serasa tak lama lagi. Maria hendak menyatukan
kedua tangan Tuti dan Yusuf tapi keduanya saling menarik tangan dan kembali
mengingatkan Maria.
Mari berpulang Januari 193.. usia 22. Sedangkan Tuti dan
Yusuf sebelum melangsungkan pernikahan mereka mengunjungi Pusara Maria.
·
Tema:
Percintaan
·
Setting
: Jakarta, Sumatra, Bandung
·
Tokoh
:
o Tuti : aktifis pergerakan perempuan
o Maria: adik Tuti yang periang
o Yusuf: Pemuda student sekolah Tabib Tinggi yang jatuh cinta
pada Maria, dewasa dan tenang.
o Wiriatmaja; Ayah Tuti dan Maria yang Tenang
o Rukamah: saudara sepupu Tuti dan Maria yang jail.
o Parta dan Istri : Orang tua Saleh
o Saleh : sepupu Maria dan Tuti, yang tegas pendiriannya.
2.2.2 Pemakaian Bahasa
Pemakaian Bahasa dalam
Novel ini untuk disajikan kepada pembaca era modern khususnya di negeri ini teramat
berbelit-belit. Menggunakan Bahasa Melayu sehingga banyak kata yang sukar
dimengerti.
2.2.3
Kode Budaya
1. naik sepeda : menggambarkan tahun
cerita ini bermula, bisa diperkirakan dari
kendaraan yang digunakan tokoh menuju kampus mereka. Budaya berkendara
naik sepeda tidak lagi ditemukan di jaman sekarang
2.
Busana Tuti dan Maria: dalam cerita dan gambar-gambar dalam novel menunjukkan
budaya berbusana yang sudah terpengaruh budaya luar
3.
Menjamu tamu dengan teh.
4.
Perempuan Berpidato: menunjukkan budaya modern dimana tidak hanya laki-laki
yang dapat berdiri di atas mimbar.
5.
Surat menyurat: menggambarkan belum adanya alat komunikasi berupa handphone
seperti budaya saat ini.
2.2.4
Tanda berupa kata dalam Novel
1.
Pasar
Kata pasar melambangkan
suasana ramai dimana banyak orang dapat bertemu, namun disinilah awal Tuti,
Maria dan Yusuf bertemu.
2.
auto
Mengarah pada kendaraan
3.
sekolah Tabib Tinggi
Menandakan sebuah tempat
menunutut ilmu kejuruan Dokter.
4.
jurk
Busana
yang dikenakan Tuti dan Maria yang merupakan pakaian wanita Eropa.
5.
Kasstengel dan kattetong
Kue yang disajikan
ketika menjamu tamu
6.
Makam
Melambangkan tempat peristirahatan
terakhir. Dimana semua umat manusia menidurkan segala perjuangan selama hidup
2.2.5 Tanda berupa kalimat dalam Novel
1.
“Gadis berdua itu adik dan kakak, hal itu terang kelihatan pada air mukanya.”
(hal 2)
Pengarang
berusaha menjelaskan bahwa kedua tokoh utama merupakan saudara karena wajahnya
mirip.
2.
“saya tahu engkau sudah sebangsa pula dengan Saleh” (hal. 31)
Melambangkan pemikiran
kedua tokoh yang sama-sama modern.
3.
“tetapi baru saja, Tuti bergerak meninggalkan mimbar, meletuslah bunyi tepuk
beribu manusia yang hadir sehingga gedung itu selaku gegar rupanya”. (hal. 49)
Kalimat ini melambangkan
kecerdasan tokoh Tuti bagaimana orang-orang begitu kagum pada pemikirannya.
4.
“Yusuf menceritakan kebesaran alam di
negeri lahirnya.”(hal. 74)
Melambangkan keasyikan
percakapan anatara Yusuf dan Maria
5.
‘Sesungguhnya Tuti sudah sangat letih lahir batin” (hal 88)
Awal Keadaan
tokoh Tuti gelisah antara memilih
perasaan atau logikanya tetapi kata sesunnguhnya menggambarkan bahwa ia tak
menyerah pada keadaan lelah tersebut.
6.
Masuklah mereka ke pekarangan, pekuburan menuju sebuah makam. (hal 195)
2.2.5
Tanda berupa Teks
1.
“ pintu yang berat itu berderit terbuka dan dua orang gadis masuk ke dalam
gedung akuarium. Keduanya berpakaian cara barat. Yang tua dahulu sekali masuk
memakai jurk tobralko putih bersahaja yang berwarna biru kecil-kecil. Rambutnya
bersanggul model berat bergantung pada kuduknya.” (hal 2)
2.
“Tuti duduk membaca buku di atas kursi kayu yang lebar di bawah pohon mangga di
hadapan rumah sebelah Cidengweg. Tiap-tiap petaang apabia sudah menyelesaikan
rumah dan sudah pula mandi dan berdandan, biasanya benar ia duduk di tempat itu
menaanti hari senja”. (hal 25)
3.
“palu berbunyi berdegar beberapa kali di atas meja. Orang banyak yang kusut,
kacau berserak dalam gedung permufakatan selaku tiba-tiba dikuasai oleh suatu
tenaga yang gaib. Suara orang bercakap yang tiada tentu tiba-tiba berhenti.
Masing-masing mencari tempat duduknya. Sebentar masih kedengaran kursi terseret
di lantai, tetapi bertambah lama bertambah sunyi.” (hal 39)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar