Sabtu, 10 Juni 2017

KELOMPOK 1



Nama Kelompok 1:
1.    Islamiyah Sahab
2.    Nur Rizqi Febrianti
3.    Debi Tenribali
4.  Rahma Sari Usman

ANALISIS NOVEL LAYAR TERKEMBANG
KARYA ST. TAKDIR ALISJAHBANA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang

Sastra lahir disebabkan oleh dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan dirinya, menaruh minat terhadap masalah manusia dan kemanusiaan, dan menaruh minat terhadap dunia realitas yang berlangsung sepanjang hari dan sepanjang zaman (Semi, 1993:1). 
Karya sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang bersifat dinamis. Sebagai karya seni, karya sastra bukanlah suatu artefak (benda mati) yang statis, yang terus-menerus berlangsung dalam ruang dan waktu tanpa perubahan, melainkan merupakan suatu sistem konvensi yang penuh dinamika (Abdullah, 1991:10). Sebagai karya seni, karya sastra memerlukan bahasa sebagai medium untuk mengungkapkannya. Dengan bahasa, apa yang ada dalam pikiran dan perasaan pengarang atau sastrawan disampaikan kepada pembaca atau masyarakat luas. 
Karya sastra juga merupakan tanggapan seorang sastrawan terhadap dunia sekitarnya.  Sebagaimana yang diungkapkan oleh Pradopo (1995:178), karya sastra adalah hasil ciptaan pengarang sebagai anggota masyarakat tidak lahir dalam kekosongan sosial budaya. Pengarang dalam menciptakan karya sastra tidak berangkat dari “kekosongan budaya”, tetapi diilhami oleh realitas kehidupan yang kompleks, yang ada di sekitarnya (Teeuw, 1980: 11).
Menurut Faruk (1988: 7), karya sastra adalah fakta semiotik yang memandang fenomena kebudayaan sebagai sistem tanda yang bersifat kognitif.  
Karya sastra dan kehidupan merupakan dua fenomena sosial yang saling melengkapi dalam kedirian mereka sebagai sesuatu yang eksistensial (Suyitno, 1986: 3). Hal ini mengandung pengertian bahwa karya sastra dan kehidupan nyata, selain memiliki otonomi tersendiri, keduanya juga memiliki hubungan timbal  balik. Keberangkatan pengarang dalam menciptakan karya sastra diilhami oleh fenomena kehidupan.
Fenomena kehidupan yang menarik dalam novel ‘Layar Terkembang’ adalah pemikiran dua tokoh utama yang berbeda meskipun mereka sama-sama perempuan bahkan bersaudara digambarkan Sutan Takdir  Alisjahbana dengan sangat mengena perasaan pembacanya. Meskipun bahasa yang digunakan pengarang dalam novel ini masih sangat melayu, namun penggambaran watak tokoh sangat modern. Hal ini membuat kami merasa perlu menganalisis apa yang tersembunyi atau apa makna dari perlambangan tokoh Tuti yang sangat teliti, tegas, rasional, cerdas atau tokoh Maria yang periang dan mudah kagum, serta tokoh-tokoh lainnya. Tidak hanya Penokohan, unsur lain seperti latar, tema dan sebagainya juga adalah tanda dari apa yang sebenarnya ingin dismpaikan pengarang lewat cerita dalam novel ‘Layar Terkembang’ tersebut.

1.2  Rumusan Masalah?
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, novel Layar Terkembang  dinyatakan sebagai suatu sistem tanda. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah makna apa yang terkandung dalam novel tersebut. Untuk lebih jelasnya, permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan
“Bagaimana Menganalisis novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana dengan menggunakan analisis semiotik?”
1.3 Tujuan
Analisis ini bertujuan untuk mengungkap makna yang disampaikan pengarang melalui tanda-tanda dalam Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana dengan menggunakan teori semiotika.








BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Semiotik

Ilmu sastra melingkupi bidang luas. Di dalamnya tercakup teori satra, sejarah sastra dan kritik sastra. Ketiga bagian ilmu sastra tersebut saling berkaitan. Keterkaitan itu menyebabkan saling ketergantungan. Sebuah karya sastra tidak dapat dipahami dan dihayati, apalagi ditafsirkan dan dinilai dengan sempurna tanpa bantuan ketiga bidang ilmu sastra. Teori sastra tidak akan pernah sempurna tanpa bantuan sejarah sastra dan kritik sastra. Secara garis besar teori sastra bergerak pada empat paradigma yaitu penulisan karya, pembaca, kenyataan dan semesta. Untuk memenuhi keempat paradigma maka dirumuskan atau diciptakan teori-teori tentang karya sastra. Salah satu teori tersebut adalah teori semiotik.
            Semiotik atau semiologi berasal dari kata dalam Yunani yang berarti tanda, lambang. Semiotik atau semiologi adalah ilmu yang mengkaji secara sistematis tentang tanda-tanda, lambang-lambang, proses penciptaan yang menyangkut karya sastra sebagai suatu sosok yang memiliki sistem sendiri (Semi, 1993 : 86). Dengan demikian semiotik tidak lain dari pada sebuah nama lain bagi logika, yakni doktrin formal tentang tanda-tanda ( The Formal Doktrin of Signs), dengan kata lain semiotik adalah suatu cabang dari filsafat (Charles S. Pierce dalam Budiman, 2003 : 1). Sedangkan ahli lain mengatakan bahwa semiologi adalah sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda- tanda di dalam masyarakat (A Science that studies the life of signs within society) yang merupakan bagiam dari disiplin psikologi sosial (Ferdinand de Saussure dalam Budiman, 2003 : 1).
            Istilah semiotik dapat juga dikatakan dengan simbol ( Wellek dan Austin, 1995 : 239). Simbol adalh suatu istilah dalam logika, matematika, semantik, semiotik dan epistemologi. Dalam kata Simbol sebenarya ada unsur kata kerja bahasa Yunani yang berarti mencampurkan, membandingkan, dan membuat analogi antara tanda dan objek yang diacu. Simbol dipakai juga dalam bidang keagamaan yang didasarkan pada suatu hubungan intrinsik antara tanda dabn objek yang diacu oleh tanda itu, contoh : salib, anak domba, gembala yang baik.
            Baik istilah semiotik maupun semiologi dapat digunakan untuk merujuk kepada ilmu tentang tanda-tanda (The science og sign) tanpa adanya pengertian yang terlalu tajam.
            Satu-satunya perbedaan diantara keduanya menurut Hawkes dalam Budiman (2003 : 4) adalah bahwa siswa semiologi lebih banyak dikenal di Eropa yang mewarisi tradisi linguistik SAUSSURE; sementara istilah semiotika cenderung dipakai oleh para penutur bahasa inggris atau mereka yang mewarisi tradisi Piercean.
            Teori semiotik melatarbelakangi atau mendukung kajian atau kritik sastra. Kritik semiotik memusatkan kajiannya pada lambang-lambang, sistem lambang-lambang dan proses perlambangan di dalam karya sastra, karena ia menggunakan pendekatan semiotik (Zulfahnur, 1996 : 151). Sistem lambang atau tanda dalam karya sastra ini memiliki banyak interpretasi. Dalam menafsirkan suatu sistem lambang, pembaca mengartikan gejala-gejala tertentu (kata-kata, kalimat, gerak-gerik dan sebagainya) berdasarkan sebuah kaidah atau sejumlah kaidah.
            Dalam kegiantannya, kritik semiotik (dengan pendekatan semiotik) merupakan semacam pengembangan lanjutan dari kritik dengan pendekatan struktur, dalam menganalisis unsur-unsur formal karya sastra. Sedangkan hubungannya dengan semiotik lingkup bahasannya lebih jauh lagi, bukan saja mempersoalkan pemakaian bahasa, melainkan juga mencakupi sistem tanda/lambang yang terkait dengan sistem sastra. Dalam kegiatan kritik/kajian semiotik masalah yang hendak disoroti adalah keunikan, kekhasan suatu karya sastra, sehingga penelaah harus jeli melihat lambang-lambang dan kode sastra yang membentu sistem dan keseluruhan karya sastra, termasuk juga yang tidak masuk akal. Ketiga jenis sastra (puisi, fiksi dan drama) punya hakikatnya sendiri. Karena ketiganya harus dinilai dalam konteks dirinya masing-masing dengan menyoroti sistem lambang dan kodenya masing- masing pula.
Menurut semiotik sastra ala Charles Pierce dalam Luxemburg (1992 : 45-46), bahasa merupakan salah satu tanda atau lambang dan lambang-lambang bahasa itu berupa kata, kalima dan teks. Yang menentukan adanya tanda/lambang menurut Pierce ada tiga faktor yaitu :
1.Tanda itu sendiri (yang berfungsi representasi/mewakili sesuatu)
2.Hal-hal yang ditandai (kenyataan yang diwakili oleh tanda, objek atau denotatum)
3.Tanda baru (hasil interpretasi/penafsiran, sesuatu yamg dibayangkan oleh penerima tanda   ketika ia mencerap tanda pertama)
Tanda itu merupakan suatu gejala yang dapat dicerap ataupun gejala yang lewat penafsiran dapat dicerap. Antara tanda pertama dan apa yang ditandai (yang diacu) terdapat suatu hubungan representasi (to represent = mengahadirkan, mewakili). Tanda MEJA sebuah perabot rumah, menngacu kepada perabot itu. Unsur dari kenyataan yang diwakili oleh tanda dinamakan “objek atau denotatum”. Denotatum itu merupakan sesuatu yang konkret. Segala sesuatu yang menurut anggapan kita ada atau dapat ada, mungkn merupakan sebuah denotatum. Tanda dan representasi bersama-sama menuju interpretasi (tafsiran).  Contoh hasil interpretasi yaitu ringkasan sebuah teks sastra yang dirumuskan dengan kata-kata yang melahirkan tanda baru. Pertama kali yang penting dalam lapangan semioti, lapangan sistem tanda adalah pengertian tanda itu sendiri. Dalam pengertian tanda ada dua prinsip yaitu penanda (signifer) atau yang menandai yangmerupakan tanda.
            Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda ada tiga jenis tanda yang pokok yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bentuk alamiah, misalnya potret orang yang menandai orang yang dipotret. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan  alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat. Misalnya : Asap itu menandai api, suara itu emnandai orang yang mengeluarkan suatu. Simbol adalah tanda yang tidak menunjukan hubungan alamiah antara tanda dan petandanya. Hubungan antaranya bersifat arbitrer atau semaunya, hubungannya berdasarkan konvensi masyarakat. Arti simbol ditentukan oleh masyarakat, misalnya : kata ibu berarti “orang yang melahirkan kita” itu terjadi atas konvensi atau perjanjian masyarakat Indonesia.
            Merujuk pada strukturalisme Mukarovsky masalah tanda ini ada persamaanya : “ Tanda itu sendiri” (istilah Pierce) disebutnya artefaks (karya seni sebagai tanda), “Hal yang ditandai” merupakan realistis kehidupan yang jadi objek proses kreatif, dan tanda “tanda baru” dinamakannya objek estetik (pengkonkretan artefaks) artefaks dicerap dan ditafsirkan menurut pengetahuan (pengalaman pembaca sesuai konvensi sastra yang dikenalnya).
Dalam semiotik sastra ala Yuri Lotman dalam Luxemburg (1992 : 47), bahasa sebagai sistem tanda ada dua macam yaitu:
a)     Bahasa sebagai bahasa alami merupakan sistem tanda primer yang berupa kosakata, kalimat, sintaksis dan lain-lain yang berfungsi untuk komunikasi dan berpikir.
b)     Bahasa sastra adalah sistim tanda sekunder yang merupakan hasil bahasa dalam bentuk estetik.
Berdasarkan uraian dan pendapat para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa semiotik adalah ilmu yang mengkaji secara sistematis tentang tanda, lambang ataupun simbol yang menyangkut pada sebuah karya sastra. Hal tersebut bertitik tolak dari asumsi bahwa karya sastra, memiliki sistim tanda/lambang bahasa yang bermakna dengan media bahasa yang estetik. Berdasarkan semiotik bahasa merupakan salah satu tanda atau lambang dan lambang-lambang bahasa itu berupa kata, kalimat, dan teks. Sistim tanda tersebut mempunyai makna atau pengertian tertentu berdasarkan hasil interpretasi si penerima tanda atau lambang bahasa bahasa tersebut. Karena sistim lambang atau tanda dalma karya sastra memiliki banyak intrepretasi. Dalam kajian semiotik analisisnya tidak terbatas pada pemakaian bahasa dan sistim tanda/lambang yang terdapat dalam karya sastra saja tetapi juga berhubungan dengan hal-hal yang berada di luar karya sastra tersebut. Yaitu kode seperti masalah sosial budaya dan sistim tata nilai yang mewarnai karya sastra tersebut. Oleh karena itu masalah yang hendak disoroti dalam kajian semiotik adalah keunikan, kekhasan suatu karya sastra sehingga penelaah harus jeli melihat lambang-lambang dan kode sastra yang membentuk sistim dari keseluruhan isi karya sastra itu sendiri.
      Pendekatan semiotik bertolak dari asumsi bahwa karya satra memiliki suatu sistm senidri, yang memiliki dunianya sendiri sebagai suatu realitas yang hadir atau dihadirkan dihadapan pembaca yang didalamnya terkandung potensi komunikatif yang ditandai dengan adanya lambang-lambang kebahasaan yang yang khas yang memiliki nilai artistik dan dramatik (Semi, 1993 : 86). Lambang kebahasaan yang khas sastra yang memiliki artistik dan dramatik itu diakibatkan suatu dorongan kreatif pengarang. Pemaknaannya mengacu kepada berbagai dimensi makna yang seringkali bersifat kompleks.
      Pendekatan semiotik beranggapan bahwa karya sastra memiliki sistim-sistim  tanda yang bermakna dengan media bahasa yang estetik. Sistim tanda atau lambang dalm karya sastra ini memiliki banyak interpretasi. Pendekatan semiotik menurut Semi (1993 : 89) mempunyai konsep dan kriteria sebagai berikut.
1.      Karya sastra menurut pandangan semiotik memiliki sistim sendiri yang berupa sistim tanda atau kode. Menurut Yunus dalam Semi (1993 : 87), tanda atau kode itu bersifat estetis. Kode atau tanda itu mempunyai banyak interpretasi.
2.      Pendekatan semiotik mempunyai pertallian struktural dan pendekatan stilitika. Pendekatan semiotik tidak saja mempersoalkan pemakaian bahasa  tetapi juga menyangkut semua sistim tanda yang terkait dengan sistem  sastra.
3.      Pendekatam semiotik analisisnya tidak terbatas pada karya sastra itu sendiri, juga berhubungandenga hal-hal yang berada di luarnya yaitu kode budayanya, seperti masalah sosial budaya dan sistim tata nilai yang mewarnai karya sastra. Hal ini berarti, bahwa kajian semiotik menyangkut aspek ekstrinsik dan intrinsik karya satra.
4.      Pendekatan semiotik memberi pandangan bahwa tanda-tanda atau kode-kode sekecil apapun yang terdapat dalam karya sastra penting untuk diperhatikan, karena ia ikut membentuk sistem dan keseluruhan tersebut.
5.      Dalam menggunakan pendekatan semiotik hendaknya hendaknya peneliti bersikap jujur, bersikap terbuka menerima kenyataan baru yang sebelumnya tidak dikenalnya.
2.3 Bahasa sebagai Suatu Sistem
            Bahasa merupakan sistem semiotik, sistem tanda. Setiap tanda sebagai unsur bahasa punya arti tertentu, yang secara konvensi disepakati oleh masyarakat. Misalnya “kursi haruslah bermakna kursi, tak dapat dinamakan meja”.
Sistem tanda dalam bahasa mengandungdua aspek yaitu :
a.      Konsepsi sebagai dasar pemahaman dunia nyata, mengarahkan sikap dan penafsiran kenyataan serta dasar komunikasi.
b.      Sistem kemaknaan yaitu mempunyai pengertian tertentu misalnya “mamak” beda dengan “pekde”, “paklik”, “oom”, dan “paman”.
Menurut Teeuw (1984 : 96) bahasa tanpa pengertian bukan bahasa. Bahasa dan sastra termasuk dalam semiotik karena mengandung lambang-lambang (Luxemburg, 1992 : 44-47). Sastra merupakan sistem tanda sehingga dengan mempelajari bahasanya dapat ditemukan lambang-lambang.

2.2       Analisis Semiotik pada Novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana
2.2.1    Ringkasan Bab demi Bab Novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana
Bab I
Bagian I
            Tuti dan Maria berkunjung ke pasar ikan untuk melihat Akuarium. Mereka tiba di pasar sangat pagi membuat Maria sedikit menyesali, tetapi Tuti, sang kakak dengan tenang berkata bahwa itu lebih baik agar mereka dapat leluasa melihat ikan. Maria tidak menanggapi Tuti, matanya sudah lebih dulu kagum pada ikan-ikan di pasar tersebut.
            Di Pasar itu pulalah kedua anak perempuan ini bertemu Yusuf. Seorang pemuda, studen Tabib Tinggi. Setelah berbincang panjang lebar dengan kenalan baru mereka yakni Yusuf, akhirnya Yusuf  menawarkan untuk mengantar kedua gadis bersaudara itu sampai di depan rumah. Mereka pun pulang dengan mengayuh sepeda masing-masing.
            Setelah sampai di rumah, Tuti dan Maria bertemu R. Wiriatmaja yang tidak lain adalah ayah mereka. Wiriatmaja bertanya kepada kedua putrinya, tentang siapa pemuda yang telah mengantar mereka. Setelah itu Wiriatmaja tertunduk membaca koran. Beliau tak lagi banyak mengurusi urusan pribadi putri-putinya, Ia tidak mengerti jalan fikiran wanita modern, apa lagi pemikiran Tuti, ia sama sekali tak memahami apa yang sedang Tuti lakukan dengan berpidato sana-sini. Ia lebih memilih membebaskan putri-putrinya memilih jalan hidup mereka masing-masing. Terlebih, setelah istrinya meninggal dunia ia lebih menghormati Tuti karena Tutilah yang mengurus segala urusan rumah.
Bagian II
            Yusuf adalah putra Demang Munaf di Martapura Sumatra Selatan. Selama menjadi student Sekolah Tabib Tinggi, ia tinggal di rumah seorang kerabat Jawa. Setelah pertemuan singkat Yusuf dan kedua gadis kemarin, Yusuf jadi tak berhenti memikirkan keduanya. Dua-duanya cantik namun sifatnya amatlah berbeda. Meskipun begitu, Yusuf lebih tertarik pada Maria. Gadis yang periang dengan senyum yang menarik.
            Keesokan harinya, sebelum ke sekolahnya, Yusuf menyempatkan diri menuju Molenvliet, berharap dapat bertemu lagi dengan Maria. Tak nyana, ternyata mereka benar-benar bertemu. Maria sangat cantik hari itu, mereka lalu kembali bercakap-cakap. Dalam percakapan tersebut Yusuf menyarankan Maria agar bergabung dengan organisasi pemuda.
            Maria telah sampai di Sekolah. Teman-teman Maria mengejek Maria yang nampaknya tidak lagi datang sendiri.
Bagian III
Tuti sedang membaca, sedangkan Maria sibuk merawat bunga-bunganya. Perbedaan  kedua Wanita ini nampak jelas, namun tidak menjadikan perbedaan tersebut menjadi suatu perselisihan. Sejak ibunya tiada, Tuti mengurus Rumah bahkan lebih baik dari ibunya, Ia sangat rapi. Sedangkan Maria, tanpanya tiada artinya Rumah yang rapi tapi sepi. Karena Marialah rumah jadi berwarna.
Selama 10 hari, sudah kelima kalinya Yusuf datang berkunjung. Mereka pun segera duduk di teras dan kembali berbincang-bincang. Tidak lama datanglah Parta, Ipar Wiriatmaja. Setelah Parta duduk dan bergabung dengan ketiga pemuda-pemudi itu, ia lalu mengeluhkan pilihan Saleh yang meninggalkan pekerjaan kantoran demi menjadi petani di desa. Hal ini memicu perdebatan, mana kala Tuti sepaham dengan pilihan Saleh, membuat kekesalan pamannya semakin bertambah juga Bapaknya. Namun akhirnya Tuti memilih mengalah karena rasa hormatnya. Lepas dari pembahasan tentang Saleh, keetiga anak muda itu jadi membicarakan perihal agama. Hingga Yusuf memutuskan untuk pulang.
Bagian IV
Tuti berpidato panjang lebar mengenai kedudukan perempuan. Ia beranggapan bahwa bangsa ini tidak akan maju tanpa hak yang sama antara laki-laki dan perempuan. Setelah Tuti berpidato ketua mengetuk palu  dan semua orang bertepuk tangan. Setelah jatuh bunyi palu terakhir maka bergegaslash orang-orang, berdesak-desakan keluar pintu.
Bagian V
Telah 10 hari Yusuf di kampung halamannya. Yusuf merasa gelisah, seperti ada sesuatu yang ia lupakan di Jakarta. Pikirannya selalu kembali pada Maria. Ketika ia sedang duduk  membaca koran datanglah sepucuk surat kepadanya yang ternyata adalah surat dari Maria. Keesokan harinya Yusuf ikut Sukarto ke Keroi, mereka banyak menghabiskan waktu bersama dan berbincang-bincang saling bertukar cerita.
Bagian VI
                 Setelah 10 hari kemudian  Yusuf meninggalkan Martapura menuju ke Panjang. Dari Hotel Pasundan ia naik sado menuju ke Groote Lengkongweg. Yusuf mengunjungi Maria. Ketika ia tiba, yang pertama kali ia temui adalah Rukamah saudara sepupu Tuti dan Maria. Kemudian menyusul Maria dengan tampak tersenyum malu-malu. Oleh karena Maria baru bangun, ia belum sempat mandi. Hal tersebut membuat Tuti sedikit kesal pada adiknya. Maria hendak mandi dan berpesan pada Tuti untuk menemani Yusuf. Setelah duduk bersama Yusuf  Tuti tak berhenti menggerutu tantang kebenciannya melihat perempuan yang bangun kesiangan. Hal itu membuat Tuti dan Yusuf bertukar pendapat.setelah panjang pembicaraannya yang berasal dari hal sederhana tiba pulalah Maria dengan kebaya putih telah mandi dan berganti Baju.
                 Yusuf kemudian bersama Maria. Terasa betul perbedaan keadaan berbicara dengan Tuti dan Maria. Namun tak dapat                                                                                                                                               dipungkiri yang membuatnya selalu gelisa adalah pekerti  Maria.
Bagian VII
                 Maria berjalan-jalan bersama Yusuf. Selama perjalanan, awalnya Maria diam saja karena letih, namun setelah memakan bekal bersama Yusuf, letihnya sudah berkurang. Mereka melanjutkan perjalanan tanpa tentu tujuannya, semakin memasuki hutan. Bertambah lama semakin mereka saling menyadari perasaan masing-masing, apa lagi keceriaan Maria telah pulih ia jadi begitu lucu. Selama perjalanan, Maria melihat kembang setahun. Ia tertarik dan memetik salah satu kembangnya. Maria minta izin agar bunga yang ia petik dapat ia titip di saku baju Yusuf. Saat Maria memasukkan Bunga itu dan mengaturnya di saku baju dekat dengan dada Yusuf. Ada sesuatu yang mulai meluap dan tak tertahankan, Yusuf menahan kedua tangan Maria dan berkata “tetapi, tangan ini saya hendak menyimpannya juga”. Maria memucat dan menunduk, perlahan Yusuf mengangkat dagunya dan menyuruh Maria menatap matanya, ia pun menyampaikan perasaannya yang kemudian Maria menjawab “Lama benar engkau menyuruh saya menanti katamu”.
Bagian VIII
                 Maria menceritakan bahwa ia telah berjanji menjadi istri Yusuf  kepada Tuti dan juga Rukamah. Hal ini menjadi bahan olok-olokan keduanya. Sampai suatu ketika Rukamah menjaili Maria yang cemas menunggu Yusuf yang tak kunjung datang. Gara-gara kejailan itu, Maria jadi menangis, Tuti berniat menasehatinya namun pada akhirnya hal itu jadi perdebatan.
Bagian IX
                 Tuti hendak mengerjakan  banyak hal dengan mesin ketiknya, namun kegelisahan melandanya . mulai dari pikiran pertengkarannya dengan Maria, sampai hubungannya yang putus dengan Hambali. Ia berusaha mencari cara menghilangkan itu namun tidak ada yang bertahan lama. Setelah itu ia melihat Yusuf dan Maria di bawah pohon baru pulang berjalan-jalan. Ia takut ia merasa iri pada adiknya. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa pilihannya sudah tepat.

Bab II
            Keluarga Wiriatmaja berkunjung ke rumah saudaranya, di sana Tuti terus-menerus disindir paman dan bibiknya untuk segera membuka hati seperti Maria yang akan bertunangan dengan Yusuf. Setelah itu pula di sepanjang kegelisahan Tuti, datanglah Supomo menyatakan cintanya. Tuti belum memberi jawaban hingga pada akhirnya Maria jatuh sakit. Tuti sambil merawat Maria ia memikirkan dirinya, serta masa depannya sebagai seorang perempuan yang sudah 27 tahun usianya. Hingga dengan hati yang berat ia menjawab cinta Supomo lewat sepucuk surat, ia menolak cinta Supomo lewat surat tersebut dengan berkata dia tak ingin menjalani hubungan dengan awal penyerahan diri atau rasa putus asa bukan karena cinta.
            Maria semakin parah sakitnya hingga ia Harus dirawat jauh dari rumah. Hari-hari Tuti kesepian di rumah, sebab Ayahnya mengikuti Maria. Sementara Yusuf tetap sering berkunjung untuk sekadar mendangar kabar Maria.
            Maria menulis surat kepada Yusuf tentang perasaannya. Yusuf pun membalas surat itu  dengan memberi semangat kepada kekasihnya. Setiap hari Yusuf dan Tuti mengunjungi Maria. Suatu ketika mereka datang dan Maria berkata hidupnya serasa tak lama lagi. Maria hendak menyatukan kedua tangan Tuti dan Yusuf tapi keduanya saling menarik tangan dan kembali mengingatkan Maria.
Mari berpulang Januari 193.. usia 22. Sedangkan Tuti dan Yusuf sebelum melangsungkan pernikahan mereka mengunjungi Pusara Maria.

·         Tema: Percintaan
·         Setting : Jakarta, Sumatra, Bandung
·         Tokoh :
o   Tuti : aktifis pergerakan perempuan
o   Maria: adik Tuti yang periang
o   Yusuf: Pemuda student sekolah Tabib Tinggi yang jatuh cinta pada Maria, dewasa dan tenang.
o   Wiriatmaja; Ayah Tuti dan Maria yang Tenang
o   Rukamah: saudara sepupu Tuti dan Maria yang jail.
o   Parta dan Istri : Orang tua Saleh
o   Saleh : sepupu Maria dan Tuti, yang tegas pendiriannya.
2.2.2  Pemakaian Bahasa
                        Pemakaian Bahasa dalam Novel ini untuk disajikan kepada pembaca era modern  khususnya di negeri ini teramat berbelit-belit. Menggunakan Bahasa Melayu sehingga banyak kata yang sukar dimengerti.
2.2.3 Kode Budaya
            1. naik sepeda : menggambarkan tahun cerita ini bermula, bisa diperkirakan dari  kendaraan yang digunakan tokoh menuju kampus mereka. Budaya berkendara naik sepeda tidak lagi ditemukan di jaman sekarang
2. Busana Tuti dan Maria: dalam cerita dan gambar-gambar dalam novel menunjukkan budaya berbusana yang sudah terpengaruh budaya luar
3. Menjamu tamu dengan teh.
4. Perempuan Berpidato: menunjukkan budaya modern dimana tidak hanya laki-laki yang dapat berdiri di atas mimbar.
5. Surat menyurat: menggambarkan belum adanya alat komunikasi berupa handphone seperti budaya saat ini.

2.2.4 Tanda berupa kata dalam Novel
1. Pasar
                        Kata pasar melambangkan suasana ramai dimana banyak orang dapat bertemu, namun disinilah awal Tuti, Maria dan Yusuf bertemu.
2. auto
                        Mengarah pada kendaraan
3. sekolah Tabib Tinggi
                        Menandakan sebuah tempat menunutut ilmu kejuruan Dokter.
4. jurk
            Busana yang dikenakan Tuti dan Maria yang merupakan pakaian wanita Eropa.
5. Kasstengel dan kattetong
                        Kue yang disajikan ketika menjamu tamu
6. Makam
                        Melambangkan tempat peristirahatan terakhir. Dimana semua umat manusia menidurkan segala perjuangan selama hidup
2.2.5  Tanda berupa kalimat dalam Novel
1. “Gadis berdua itu adik dan kakak, hal itu terang kelihatan pada air mukanya.” (hal 2)
                                    Pengarang berusaha menjelaskan bahwa kedua tokoh utama merupakan saudara karena wajahnya mirip.
2. “saya tahu engkau sudah sebangsa pula dengan Saleh” (hal. 31)
                        Melambangkan pemikiran kedua tokoh yang sama-sama modern.
3. “tetapi baru saja, Tuti bergerak meninggalkan mimbar, meletuslah bunyi tepuk beribu manusia yang hadir sehingga gedung itu selaku gegar rupanya”.  (hal. 49)
                        Kalimat ini melambangkan kecerdasan tokoh Tuti bagaimana orang-orang begitu kagum pada pemikirannya.

4. “Yusuf  menceritakan kebesaran alam di negeri lahirnya.”(hal. 74)
                        Melambangkan keasyikan percakapan anatara Yusuf dan Maria
5. ‘Sesungguhnya Tuti sudah sangat letih lahir batin” (hal 88)
                                    Awal Keadaan tokoh Tuti  gelisah antara memilih perasaan atau logikanya tetapi kata sesunnguhnya menggambarkan bahwa ia tak menyerah pada keadaan lelah tersebut.
6. Masuklah mereka ke pekarangan, pekuburan menuju sebuah makam. (hal 195)

2.2.5 Tanda berupa Teks
1. “ pintu yang berat itu berderit terbuka dan dua orang gadis masuk ke dalam gedung akuarium. Keduanya berpakaian cara barat. Yang tua dahulu sekali masuk memakai jurk tobralko putih bersahaja yang berwarna biru kecil-kecil. Rambutnya bersanggul model berat bergantung pada kuduknya.” (hal 2)

2. “Tuti duduk membaca buku di atas kursi kayu yang lebar di bawah pohon mangga di hadapan rumah sebelah Cidengweg. Tiap-tiap petaang apabia sudah menyelesaikan rumah dan sudah pula mandi dan berdandan, biasanya benar ia duduk di tempat itu menaanti hari senja”. (hal 25)

3. “palu berbunyi berdegar beberapa kali di atas meja. Orang banyak yang kusut, kacau berserak dalam gedung permufakatan selaku tiba-tiba dikuasai oleh suatu tenaga yang gaib. Suara orang bercakap yang tiada tentu tiba-tiba berhenti. Masing-masing mencari tempat duduknya. Sebentar masih kedengaran kursi terseret di lantai, tetapi bertambah lama bertambah sunyi.” (hal 39)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUH. RIDHO S

#TugasIndividu ANALISIS NOVEL RADEN MANDASIA SI PENCURI DAGING SAPI BERDASARKAN PENDEKATAN RESEPSI SASTRA Landasan Teori Secara d...