Rabu, 07 Juni 2017

RAHMA SARI USMAN



#cerpen

Misteri Keranda Kaca
            Kutulis dan kuhapus lagi, kutulis lalu kuhapus lagi, ini yang berulang-ulang aku lakukan. Terus terang aku tidak tahu memulai apalagi berbicara tentang mengakhiri, aku paling benci hal itu sebab ketika memulai pasti sulit untuk kuakhiri. Jenuh? Memang ia jenuh, baru memulainya saja aku sudah jenuh apalagi ketika sudah sampai pada pembahasan inti pasti tambah jenuh. Seharian berkutat dengan ini membuat fikiranku tak karuan. Aku bukan orang yang handal dalam merangkai kata demi kata agar tercipta pemaknaan yang indah, aku hanya seorang penikmat saja, menikmati apa yang perlu untuk dinikmati.
            Fikiranku terkurung karena terjadi konflik antara perasaan dan batinku. Aku tidak tahu harus bagaimana, perihal rasa sakit aku sudah biasa. Sejak tubuhku ditusuk dengan jarum yang sangat besar, hidupku terasa hampa. Jarum yang tepat menusuk perutku membawa luka yang besar. Sakit itu terasa akan terus menusuk sampai jarum itu berhenti berputar mengikis perihku. Aku bingung mengapa orang itu tiba-tiba menusukku begitu dalam. Kenapa dia begitu tega?. Apa dia tahu aku merasa sakit karenanya?.
            Kejadian itu masih tersimpan dalam memoriku. Itu akan menjadi ukiran sejarah terpahit. Namun aku harus tetap bersyukur sebab masih dapat hidup sampai saat ini. Kejadian itu membuatku harus tetap diam dan mencoba untuk tetap tegar meski sebenarnya aku memberontak dalam hati.
            Aku bagai seorang putri dikeranda kaca yang setiap hari hanya memasang wajah yang menawan. Tapi mereka yang melihatku tidak tahu betapa sakitnya aku terkurung di tempat ini. Tempat yang memang indah. Namun tidak ada yang dapat kulakukan disini. Aku tidak dapat menikmati indahnya dunia, tidak dapat menghirup udara luar, tidak dapat bercanda dan tertawa bersama teman, tidak dapat melihat matahari terbit dan terbenam, tidak dapat menikmati musim panas dan musim dingin, yang kurasakan statis.
            Setiap detik aku hanya tersenyum indah pada semua orang yang melihatku dari luar sana. Mereka menatapku dengan sorotan mata yang berbeda-beda. Namun yang kulakukan hanya terus tersenyum. Apa sebenarnya yang terlintas dalam benak mereka saat menatapku? Apa mereka tahu yang kurasakan? Apa mereka sama sekali tidak peduli? Apa mereka justru mengerti kesedihanku dan ingin menyelamatkanku dari tempat ini? Atau hanya sekadar terpukau dengar senyumku?. Pertanyaan itu akan terus hadir setiap orang-orang menatapku.
            Aku selalu berharap suatu saat nanti ada pangeran yang akan menyelamatkanku dari tempat ini dan memberiku kehidupan yang nyata dan layak. Aku selalu berdoa hari itu akan tiba. Hari yang kunantikan sejak aku dilahirkan. Sejak kebahagiaanku terusik dan saat kumerasa terkurung ditempat ini.
            Tiba-tiba ada seorang pria setengah baya yang berusia sekitar 54 tahun. Dia berdiri tepat dihadapanku. Memandangiku begitu lama. Sesakali ia tersenyum padaku. Ada apa dengan bapak ini? Apa yang dia pikirkan? Aku canggung dan sangat bingung. Ada rasa takut dalam benakku ketika melihat bapak itu. Bapak ini kenapa? Apa dia orang baik? Namun kenapa tatapannya seperti itu?. Aku terus bertanya dalam hati berharap ada yang dapat memberiku jawaban yang pasti.
            Setelah beberapa lama bapak itu memandangiku, dia memberanikan diri manarikku keluar dari tempat ini. “Hey”.. kataku. Aku ingin memberontak dan ingin berteriak kencang agar semua orang mendengarkanku. Bapak yang aneh menarik tanganku dan menyentuhku. Aku merasa sangat gila. Aku merasa bapak ini akan berlaku jahat padaku.
            Aku memang sangat menantikan pangeran untuk mengeluarkanku dari keranda kaca ini. Tapi bukan seorang bapak tua ini. Apa bapak ini adalah pangeran yang menjadi jawaban atas doaku selama ini? Oh... Tuhan. Terimakasih. Tapi kumohon jangan bapak ini.
            Hati berkecamuk. Mataku berkaca-kaca ingin menangis. Wajahku memerah marah. Aku tidak ingin pergi bersama bapak ini. Aku tidak ingin. Namun apa dayaku? Aku tidak punya orang tua yang dapat menahan bapak ini untuk membawaku pergi. Aku tidak punya saudara yang dapat membelaku. Aku hanya punya majikan yang ternyata bahagia ketika bapak ini memintaku darinya. Dia terlihat begitu senang ketika aku hendak dibawa pergi oleh bapak ini. Mungkin ini nasib yang harus kuterima. Inilah akhir hidupku. Yatim, sebatang kara, dan aku merasa tidak ada gunanya lagi aku hidup.
            Mengapa seorang yang menjagaku selama ini rela melepasku untuk pergi bersama bapak ini? Aku takut. Aku kecewa. Aku marah. Aku sangat sedih. Apa dia memang tak menyayangiku? Dia selama ini merawatku hanya untuk dipamerkan, dan akhirnya dijual? Kasihan sekali nasibku ini.
            Aku hanya terdiam mengingat tak ada yang dapat kulakukan lagi. Aku ingin memberontak dan kembali kepada majikanku itu. Namun aku sadar dia tidak mengharapkanku dan mungkin baginya aku hanyalah benalu. Aku pasrah dengan takdirku. Entah apa yang akan terjadi denganku. Bapak ini mengapa terus menatapku dengan pandangan seperti itu? Mau dibawa kemana aku?. Aku hanya memasang wajah murung dan terus bertanya dalam hati.
            Aku sampai pada sebuah istana yang megah. Mungkin ini rumah bapak itu. Sangat indah rupanya. Aku merasa sangat lelah menempuh perjalanan menuju rumah bagai istana ini. Namun lelah yang kurasakan seakan pupus ketika melihat suasana indah yang sebelumnya tak pernah kujumpai. Pepohonan rindang yang mengitari rumah ini. Taman yang dihiasi warna-warni bunga yang elok. Ukiran dan patahan yang memukau menjadi pelengkap indahnya istana ini. Aku disambut dengan cucuran air mancur yang membawaku terlelap dalam kedamaian. Aku tak henti memandangi rumah ini dengan rasa begitu takjub.
Papaaa..!
            Teriakan seorang gadis menghampiri dan langusng memeluk bapak tadi. Gadis yang cantik dengan balutan jilbab biru yang sepadan dengan kaos putih bercelana jeans. Gadis yang berusia 17 tahun itu begitu manis dengan senyumnya yang sangat memukau. Gadis itu putih, wajahnya bersinar bagai rembulan dimalam hari. Bibirnya memerah, bulu mata lentik melindungi indah sorot matanya yang bulat. Gadis itu terlihat sangat bahagia dan mungkin sangat rindu bapak tadi.
Anakku sayang..!
            Ternyata bapak ini adalah ayah gadis itu. Mungkin mereka berdua sudah lama tidak bertemu. Mereka saling melepas rindu dengan berpelukan. Pemandangan yang indah. Kebahagiaan keluarga yang tidak pernah kurasakan. Kebahagiaan memiliki seorang ayah yang menyayangi anaknya. Aku ingin punya ayah seperti gadis itu. Gadis yang sempurna, cantik, shalehah, dan bahagia.
            Ternyata sosok menyeramkan bapak tadi luluh dengan kelembutannya pada gadis itu. Tapi aku masih bingung. Kenapa aku berada di sini? Apa yang kulakukan? Untuk apa bapak itu membawaku ke rumah ini? Untuk menonton adegan mengharukan ini? Aneh.
            Beberapa saat setelah adegan itu aku baru tahu jawaban kenapa aku berada di tempat ini. Bapak itu memperkenalkanku dengan gadis tadi. Ternyata nama gadis itu Rossa. Nama yang indah. Rossa menjabat tanganku. Tangannya begitu halus. Dia tersenyum indah padaku. Matanya berbinar melihatku. Aku merasa dia menyukaiku. Aku sekarang mengerti. Bapak tadi membawaku sebagai kado ulang tahun ke 17 pada Rossa.
            Aku bahagia dapat bertemu dengan Rossa. Sepertinya dia akan menjadi sahabatku dan saudara terindah. Semoga dia dapat menyayangiku juga seperti aku mengagumi dan menyayangi dia. Aku belum pernah mempunyai teman, sahabat, apalagi saudara.
            Hari-hari kujalani bersama saudara baruku ini. Aku sangat bahagia bersamanya. Aku merasa dia sangat menyayangiku. Kami saling berbagi. Dia selalu mengajakku ikut bersamanya kemanapun dia pergi. Merawatku bagaikan aku adik kandungnya. Selalu memerhatikan penampilanku. Selalu membantuku membersihkan bajuku ketika ada noda yang menghampiriku.
            Impian terindah telah kugapai. Aku merasa benar-benar hidup. Aku merasa memiliki jati diri yang selama ini hilang dariku. Kepercayaan diriku ini perlahan tumbuh. Aku sudah mulai merasa berguna bagi orang lain. Aku merasa dibutuhkan dan merasa sangat disayangi. Aku mulai menyadari tak ada hal yang sia-sia. Aku diciptakan karena ada hal yang pasti. Bukan hanya menjadi pelengkap sandiwara dunia. Sakit yang selama ini kurasakan terkikis oleh waktu dan bahagiaku bersamanya.
            Hari yang berbeda. Aku tak pernah melihatnya. Kemana dia? Kenapa dia tidak membangunkanku? Kenapa dia meninggalkanku?, aku hanya terdiam ditempat tidurku seraya berpikir mencarinya. Hari ini sangat sunyi. Tak satupun orang di rumah ini. Aku semakin gelisah. Apa aku terlupakan oleh mereka? Mungkin mereka pergi rekreasi atau pergi acara keluarga? Tapi, mengapa tak satupun yang mengajakku? Apa mereka lupa denganku? Atau mereka terusik dengan keberadaanku?. Semua pikiran menggerogotiku saat ini. Entah rasa cemas, takut, bingung, semua menjadi satu.
            Seminggu aku hanya terdiam di kamar. Tanpa seorangpun melihatku. Ada apa ini? Aku kini merasakan kesedihan yang begitu dahsyat. Tanda tanya besar dalam benakku belum bisa terjawab. Aku menjalani minggu ini sendiri. Tanpa Rossa, orang tuanya, dan adik-adik Rossa yang lucu. Aku tidak lagi mendengar tawa mereka. Tidak lagi melihat kebahagiaan mereka. Tidak lagi pergi bersenag-senang. Tidak lagi menikmati indahnya gulungan ombak setiap malam minggu bersama mereka. Keluarga harmonis yang selalu mengisi hidupku kini perlahan sirna. Kemana mereka?.
            Suara gesekan pintu terdengar memecah keheninganku. Suara yang tidak pernah terdengar seminggu ini. Suara yang diiringi seorang gadis cantik memasuki kamarku. Ya.. seorang yang kucari selama ini. Rossa diikuti ayah, ibu dan adik-adiknya. Aku belum dapat berkata-kata. Aku hanya terdiam melihat Rossa yang terlihat begitu murung dan sedih. Pandangannya kosong, wajahnya pucat, senyum indahnya dulu tak terlihat olehku. Dia sama sekali tak menyapaku. Dia tidak menoleh padaku walau hanya sedetik. Dia dituntun ibunya duduk didepan jendela kamarku. Sesekali tetesan air mata membasahi pipinya. Setelah beberapa saat Rossa ditinggal sendiri oleh keluarganya dengan diakhiri kecupan manis dari orang tuanya.
            Aku ingin sekali memeluk Rossa. Ingin menyapanya, ingin menanyakan kabarnya, ingin tahu kemana dia selama ini. Aku sangat rindu dengannya, rindu dengan senyumnya, rindu dengan binaran indah sorotan matanya. Canda tawanya, keceriaanya, dan kebersamaan dengannya.
            Namun aku hanya dapat menahan itu semua dengan hanya berharap semua akan baik-baik saja. Mengapa dia tidak menyapaku? Dia tidak merasa keberadaanku? Kenapa dia terlihat begitu sedih? Semuanya tanyaku tak dapat terjawab selama dia terus bersikap dingin padaku.
             Tiga jam berlalu dan dia tetap diam terpaku di depan jendela. Pandangan yang kosong dengan tetesan berlian dari matanya menjadi pemandangan yang kulihat selama tiga jam. Kesedihan seakan menusuk jauh dalam hatinya.

Aaaaaarrrrrrrgggghhhhhh!!!!
            Teriakan yang membuatku sangat kaget. Teriakan yang tidak pernah kusangka terlontar dari Rossa. Dia menangis begitu dalam. Dia melempar semua benda disekitarnya. Dia tersandung lalu terjatuh, tersandung lalu terjatuh lagi. Dia memberontak dan terus mengitari kamar ini. Mengambil barang yang dapat dia capai lalu melempar semuanya.
            Selama satu menit kejadian itu membuatku tercengang. Aku ingin menghentikannya namun aku tak berdaya melakukannya. Aku bingung melihat tingkah Rossa yang semakin aneh. Diam dan tiba-tiba memberontak. Kamar inipun terlihat begitu kacau dalam satu menit saja.
            Setiap Rossa melangkah dia selalu tersandung dengan barang yang dia lemparkan tadi. Terjatuh dan terus mencoba berjalan. Namun tetap saja dia terus terjatuh. Sampai pada akhirnya dia terdiam dan duduk sambil menangis sangat dalam.
            Ayah dan ibunya datang melihat Rossa. Ayahnya membantu Rossa berdiri dan membaringkannya ditempat tidur. Sementara ibunya mencoba membereskan kamar yang sangat berantakan karena Rossa. Rossa hanya terus menangis, menangis hingga dia terlelap dalam tidurnya.
            Aku semakin bingung. Mengapa tak kunjung datang jawaban dari semua tanyaku? Aku sedih melihat Rossa yang sangat terpuruk. Aku ingin dia tahu aku akan ada untuknya. Aku ingin dia tahu aku sangat ingin membantu setiap kesulitan yang dia rasakan. Namun mengapa dia seakan tidak merasakan keberadaanku? Aku ingin mengembalikan senyumnya, bukan melihat tangisnya.
            Orangtua Rossa menangis dan sedih melihat Rossa yang sedang terlelap. Aku mencoba mendengar percakapan mereka. Serentak jantungku seakan tak dapat berdetak. Setelah mendengar kebenaran itu, aku kini tahu mengapa Rossa terlihat begitu sedih. Aku kini tahu mengapa Rossa tidak pernah menoleh padaku. Aku kini tahu mengapa Rossa tak lagi memerhatikanku.
            Bukan karena dia tidak peduli denganku. Bukan karena dia melupakanku. Bukan karena dia tidak ingin menceritakan semua kepadaku. Bukan juga karena dia membenciku.
            Tapi karena dia tidak tahu keberadaanku. Dia tidak dapat melihat dimana kini kuberpijak. Dia tidak dapat menyentuhku dan memelukku seperti dulu karena dia tidak tahu. Kini dia tidak dapat menjadi Rossa yang dulu. Dia telah mengalami kecelakaan yang merenggut penglihatannya.
            Mata yang memberi warna dalam hidupnya. mata yang membuat dia bahagia. Mata yang membuatnya dapat tersenyum indah. Mata yang memperlihatkan isi dunia kepadanya. Mata yang membuatnya sangat sempurna.
            Kini dia hanya dapat melihat kegelapan. memiliki mata namun semua tak dapat dia nikmati lagi. Elok mentari yang terbit dan terbenam hanya dapat dia rasakan. Canda tawa dan kebahagiaan hanya dapat dia dengarkan. Aku sangat mengerti betapa sedihnya dia. Betapa perih yang dia rasakan. Betapa hancur jiwanya. Aku mengerti dia pasti terguncang dan belum dapat menerima semua takdir yang menimpanya.
            Aku ingin dia tahu aku selalu menyayanginya dan berharap dia dapat melewati ini semua dengan keikhlasan dan kembali tersenyum. Tidak hentinya aku memandangi wajahnya yang sedang terlelap. Dia begitu polos. Dia anggun dan menawan. Semua yang menimpanya adalah ujian untuknya.
            Aku memang tak dapat berbuat apa-apa yang dapat membuatnya bahagia. Aku juga tak dapat menghibur dan mengembalikan kebahagiaannya yang terenggut. Tapi aku hanya dapat mendoakannya. Aku hanya dapat berharap agar dia diberi ketegaran.
            Tidak ada yang bisa kulakukan untuknya karena aku hanya sebuah benda. “Iya..benda, benda mati lebih tepatnya”. Aku hanyalah sebuah jam tangan yang terpasang di keranda kaca yang dulu dibeli oleh tuanku untuk hadiah ulangtahun putrinya.


Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUH. RIDHO S

#TugasIndividu ANALISIS NOVEL RADEN MANDASIA SI PENCURI DAGING SAPI BERDASARKAN PENDEKATAN RESEPSI SASTRA Landasan Teori Secara d...