#TugasIndividu
UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN MINANGKABAU PADA ROMAN MEMANG JODOH KARYA
MARAH RUSLI
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk menggambarkan falsafah kehidupan masyarakat suku Minangkabau
melalui adat istiadat suku Minangkabau
yang mempunyai pandangan hidup tersendiri bagi masyarakatnya. Penelitian ini juga
bertujuan untuk menggambarkan adat istiadat suku Minangkabau yang paling
menonjol dalam roman ini yaitu adat perkawinan masyarakat Minangkabau. Dimana
tokoh utama dalam roman Memang Jodoh Karya Marah Rusli ini mengalami banyak
penderitaan akibat dari adat istiadat yang tak sepaham lagi dengannya.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan
data yang digunakan adalah analisis dokumen melakukan pembacaan. Teknik
analisis data yang digunakan adalah model analisis interaktif yang meliputi
empat komponen, yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan
verifikasi. Kesimpulan dari penelitian ini adalah mengetahui adat istiadat
masyarakat Minangkabau terutama dalam adat perkawinan melalui tokoh utama dalam
roman Memang Jodoh Karya Marah Rusli.
Kata
kunci : Unsur-unsur Kebudayaan, Adat Istiadat Minangkabau
PENDAHULUAN
Setiap suku bangsa, sejak yang (tertutup) primitif sampai yang
(terbuka) masyarakatnya modern, mempunyai pandangan hidup sendiri, yang berbeda
antara satu dan yang lainnya. Pandangan hidup suatu suku bangsa merupakan
perpaduan dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh suku bangsa yang mereka yakini
kebenarannya, dan menimbulkan tekad pada suku bangsa untuk mewujudkannya.
Sebelum kedatangan
bangsa-bangsa Barat di kawasan Nusantara ini, adat adalah satu-satunya sistem
yang mengatur masyarakat dan pemerintahan, terutama di kerajaan-kerajaan
Melayu, mulai dari Aceh, Riau, Malaka, Jawa, Banjar, Bugis, hingga Ambon dan
Ternate. Agama islam pada umumnya terintagrasi dengan adat-adat yang
dipakai di kerajaan-kerajaan tersebut. Indonesia
merupakan negara yang kaya akan suku dan budaya. Namun kesadaran masyarakat
Indonesia sendiri untuk menggali kekayaan bangsanya masih sanagat kurang.
Penulis memilih untuk membahas kebudayaan Minangkabau karena penulis tertarik
untuk mendalami salah satu budaya dari beragam suku di Indonesia. Suku Minangkabau merupakan suku asli provinsi Sumatra Barat. Sebutan Minangkabau
merupakan gabungan dari dua kata dalam bahasa Minangkabau yaitu minang
yang berarti “menang” dan kabau yang beraeti “kerbau”.
Kebudayaan
Minangkabau sendiri memiliki keunikan dibandingkan kebudayaan lain. Budaya
Minangkabau adalah satu-satunya budaya di Indonesia yang menganut sistem
matrilineal, dimana harta dan tanah diwariskan dari ibu kepada anak perempuan.
Sementara perihal agama dan politik adalah tanggung jawab laki-laki.
Masyarakat Minangkabau ini pun merupakan masyarakat matrilineal terbesar di
dunia.
Kita paham sekali untuk masuk ke
dalam unsur kemasyarakat di Minangkabau bukanlah perkara yang mudah. Karena
kebudayaan dan adat yang kuat harus bisa menampik hal-hal yang akan merusak
ketatanan daerah dan adatnya. Untuk itu, kita harus bisa memahami peraturan
yang berlaku. Sebab, aturan tiap nagari di
Minangkabau memiliki perbedaan yang lumayan signifikan. Apalagi jika suatu nagari di Minangkabau mempunyai suku
yang berbeda pula.
Dalam perjalanan sejarah yang cukup
panjang menjelaskan bangsa pertama datang menginjaki kaki di tanah Minangkabau
ialah bangsa yang serumpun dengan bangsa Austronesia yang datangnya itu
bertahap-tahap dengan kurun waktu yang berbeda. Dengan kedatangan seperti ini
turut membawa perubahan kebudayaan yang cukup besar bagi Minangkabau. Begitu
halnya dengan orang Minangkabau yang katanya bahwa nenek moyangnya menggunakan
perahu bercadik dan berkemudi ganda di kedua sisi bagian belakangnya sebagai
perahu yang digunakan sama dari bangsa di kepulauan Asia Tenggara itu.
Budaya Minangkabau adalah sebuah budaya yang berkembang di Minangkabau
serta daerah rantau Minang. Daerah rantau ini mencakup wilayah-wilayah yang ada
di Indonesia dikarenakan masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang suka
merantau. Salah satu pepatah masyarakat Minang yang terkenal adalah : labiah
elok susah
di nagari urang dari pado susah di nagari surang, karena itulah masyarakat Minang terkenal dengan budaya merantaunya. Berbeda dengan kebanyakan budaya yang berkembang di dunia, budaya Minangkabau menganut sistem matrilineal baik dalam hal pernikahan, persukuan, warisan dan sebagainya.
di nagari urang dari pado susah di nagari surang, karena itulah masyarakat Minang terkenal dengan budaya merantaunya. Berbeda dengan kebanyakan budaya yang berkembang di dunia, budaya Minangkabau menganut sistem matrilineal baik dalam hal pernikahan, persukuan, warisan dan sebagainya.
METODE
PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan selama 3 minggu yaitu pada tanggal 28 November
2016 sampai 18 Desember 2016. Objek penelitian ini adalah Roman Memang Jodoh Karya Marah Rusli yang
memiliki halaman sebanyak 535 halaman yang diterbitkan oleh Penerbit Qanita PT
Mizan Pustaka pada tahun 2013.
Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini berupa penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif.
Data dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa dokumen dan buku-buku
referensi mengenai adat istiadat Minangkabau dengan menggunakan teknik membaca. Data
dikumpulkan dengan cara mengkaji dokumen yang berupa roman Memang Jodoh karya
Marah Rusli untuk mengungkapkan dan mendeskripsikan konflik batin yang dialami
oleh tokoh utama akibat dari adat istiadat Minangkabau dalam roman Memang Jodoh.
Selanjutnya, data divalidasi dengan menggunakan teknik triangulasi teori dan
triangulasi sumber untuk membandingkan informasi yang diperoleh dari berbagai
pihak dan sumber agar ada jaminan tentang tingkat kepercayaan atau kevalidan
data. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis
interaktif yang terdiri dari empat tahap yaitu pengumpulan data, reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.
HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian kebudayaan ini merupakan analisis unsur-unsur kebudayaan
yang terdapat dalam roman Memang Jodoh Karya Marah Rusli. Terdapat beberapa
unsur kebudayaan dan adat istiadat Minangkabau dalam roman tersebut diantaranya
sebagai berikut :
1. Peralatan
dan Perlengkapan Hidup
Terdapat rumah adat yang digambarkan Marah Rusli sebagai perlengkapan
hidup dalam karyanya yang berjudul Memang Jodoh. Rumah adat Minangkabau ialah rumah
gadang yang dibangun sesuai keinginannya masing-masing, setiap rumah memiliki
ukiran di dindingnya berupa tanaman-tanaman. Di depan halaman rumah mereka
terdapat rangkiang untuk menyimpan padi.
Dalam roman Memang Jodoh Karya Marah Rusli terdapat kutipan yang menggambarkan
rumah adat Minangkabau, kutipan tersebut ialah :
“Di celah-celah pohon-pohon yang merimba
itu, mengintip sekali-kali rumah Minangkabau dengan lumbung padi beratap ijuk
atau seng, bertingkat-tingkat dan melengkung seperti tanduk kerbau, sedangkan
dindingnya terbuat dari kayu yang berukir-ukir.” (Marah, Rusli. Memang Jodoh,
Hal. 49).
Kutipan di atas jelas
seorang Marah Rusli telah berhasil menggambarkan rumah adat Minangkabau.
2. Mata
Pencaharian
Sistem mata pencaharian adalah cara
yang dilakukan oleh sekelompok orang sebagai kegiatan sehari-hari guna memenuhi
kebutuhan hidup. Mata pencaharian masyarakat Minangkabau sebagian besar sebagai
petani atau dapat dikatakan sebagian terbesar dari orang minagkabau hidup dari
tanah. Di daerah yang subur dengan cukup air tersedia , kebanyakan orang
mengusahakan sawah, sedangkan pada daerah subur yang tinggi banyak orang
menanam sayur mayur . Pada daerah- daerah yang tidak begitu subur , kebanyakan
penduduknya hidup dari tanaman- tanaman seperti pisang, ubi kayu, dan
sebagainya. Pada daerah pesisir , kalau mereka hidup dari tanah maka mereka
hidup juga dari hasil kelapa.Di samping hidup dari pertanian , penduduk yang
diam di pinggir laut atau pinggir danau-danau juga dapat hidup dari hasil
penagkapan ukan, tetapi kebanyakan bagi mereka penagnkapan ikan adalah mata
pencarian sambilan saja.
Ada beberapa hal yang menyebabkan
banyak orang Minangkabau kemudian meninggalkan sektor pertanian. Ada yang
disebabkan karen tak ada tak ada tanah pertanian yang memberikan cukup hasil,
ada yang disebabkan karena kesadaran bahwa dengan pertanian mereka tak mungkin
bida menjadi kaya. Orang- orang semacam ini lari ke sektor perdagangan. Selain
itu pertambahan penduduk yang tidak diiringi dengan pertambahan sumber daya
alam yang ada dalambercocok tanam, menyebabkan suku minang beralih profesi
menjadi pedagang dalam memenuhikebutuhan hidupnya.
Kebanyakan
masyarakat minangkabau mengadu nasib/merantau ke Jakarta, Bandung, dan
kota-kota besar lainnya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak pada zaman era
modern ini. Dalam roman Memang Jodoh
Karya Marah Rusli terdapat kutipan yang menggambarkan mata pencaharian
masyarakat Minangkabau dengan cara merantau, kutipan tersebut ialah:
“Bagiku, perasaan pilu yang sering
datang bukan karena ingin mati, tapi karena teringat rantau yang jauh, yang
melambai menyuruhku pergi dari kampung halamanku, mengembara ke negeri orang ,
jauh di seberang laut di balik gunung yang tinggi. Seperti ada yang memanggilku
berkelana dari rantau ke rantau, dari teluk ke teluk, sampai kutemukan sesuatu yang
akan menambatku selamanya.” (Marah Rusli. Memang Jodoh, Hal. 36).
Kutipan
di atas seorang Marah Rusli menggambarkan mengenai filsafat adat Minangkabau
yang salah satunya ialah merantau. Di mana penyebaran orang-orang Minangkabau
hingga jauh dari daerah asalnya dikarenakan adanya kebiasaan dan dorongan untuk
merantau dalam rangka mendapatkan kekayaan serta pengetahuan di luar daerah.
Tradisi merantau ini bagi laki-laki Minangkabau disebabkan oleh keharusan adat
yang menempatkan laki-laki tidak memiliki hak atas tanah. Karena tidak memiliki
hak atas tanah waris, mereka merantau untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.
Laki-laki Minangkabau memiliki semboyan apabila telah dilangkahkan untuk
merantau, pantang kembali pulang tanpa membawa hasil. Artinya, mereka akan
tetap bekerja keras sampai dapat kembali pulang ke kampung dengan keberhasilan
yang telah dicita-citakan.
Pedagang
Minangkabau merujuk pada profesi sekelompok masyarakat yang berasal dari ranah
Minangkabau. Disamping profesi dokter, guru, dan ulama, menjadi pedagang
merupakan mata pencarian bagi sebagian besar masyarakat Minangkabau. Biasanya
profesi ini menjadi batu loncatan bagi perantau Minangkabau setibanya di
perantauan.
3. Sistem
Kemasyarakatan
Masyarakat Minangkabau menganut sistem kekerabatan
matrilineal. Sistem matrilineal adalah suatu sistem yang mengatur kehidupan dan
ketertiban suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jalinan kekerabatan dalam
garis ibu. Seorang anak laki-laki atau perempuan merupakan klen dari perkauman
ibu. Ayah tidak dapat memasukkan anaknya ke dalam sukunya sebagaimana yang
berlaku dalam sistem patrilineal. Dengan kata lain seorang anak di Minangkabau
akan mengikuti suku ibunya.
Terdapat beberapa golongan dalam masyarakat Minang,
berupa pelapisan sosial secara vertikal dan horizontal. Dalam roman Memang Jodoh Karya Marah Rusli terdapat
beberapa kutipan yang menggambarkan mata pencaharian masyarakat Minangkabau
dengan cara merantau, kutipan tersebut ialah :
“...Adat Padang ini, adalah adat
keibuan, di mana ibu lebih berkuasa dari pada ayah..” (Marah Rusli. Memang
Jodoh, Hal. 51).
Perempuan dalam suku Minangkabau
dijadikan orang yang pertama dan laki-laki menjadi pengikut yang tak berarti.
Sehingga terjadilah peraturan keibuan, yang sebenarnya bertentangan dengan
khuluk. Karena wujud kewajiban perempuan dan sifat-sifatnya adalah mengandung
dan melahirkan. Sedangkan laki-laki menjadikan, melindungi, dan membela. Perempuan
suku Minangkabau menjadi seperti itu karena peraturan keibuan yang dipakai di
sana. Perempuanlah yang memegang peranan penting dalam kehidupan rumah tangga
mereka.
“Perempuan
negeriku menjadi seperti itu karena peraturan keibuan yang dipakai di sana.
Perempuanlah yang memegang peranan penting dalam kehidupan rumah tangga
mereka.” (Marah Rusli. Memang Jodoh, Hal. 171).
Pada dasarnya sistem matrilineal bukanlah untuk
mengangkat atau memperkuat peranan perempuan, tetapi sistem itu dikukuhkan
untuk menjaga, melindungi harta pusaka suatu kaum dari kepunahan, baik rumah
gadang, tanah pusaka dan sawah ladang. Dalam sistem matrilineal perempuan
dijadikan sebagai pengikat, pemelihara dan penyimpan, sebagaimana diungkapkan
pepatah adatnya amban puruak atau tempat penyimpanan. Itulah kenapa dalam
penentuan peraturan dan perundang-undangan adat, perempuan tidak diikut
sertakan. Perempuan menerima bersih tentang hak dan kewajiban di dalam adat
yang telah diputuskan sebelumnya oleh pihak ninik mamak. Hal ini disebabkan hak
dan kewajiban perempuan itu begitu dapat menjamin keselamatan hidup mereka
dalam kondisi bagaimanapun juga. Semua harta pusaka menjadi milik perempuan,
sedangkan laki-laki diberi hak untuk mengatur dan mempertahankannya. Perempuan
tidak perlu berperan aktif seperti ninik mamak.
“Bukankah kita perempuan Padang berkuasa
atas kaum keluarga kita yang laki-laki? Ibu kuasa atas anaknya, saudara
perempuan kuasa atas adiknya yang laki-laki, karena merekalah yang mengawinkan
anak atau adiknya itu.” (Marah Rusli. Memang Jodoh, Hal. 338).
Pada kutipan di atas telah membuktikan
bahwa pada adat istiadat Minangkabau memang ibu lebih berkuasa dari pada
ayahnya sesuai aturan dari adat istiadat Minangkabau itu sendiri yang
menggunakan garis keturunan ibu (matrilineal). Segala sesuatunya
diatur menurut garis keturunan ibu. Tidak ada sanksi hukum yang mengikat bila
seseorang melakukan pelanggaran terhadap sistem ini. Sistem ini hanya diajarkan
secara turun temurun kemudian disepakati dan dipatuhi, tidak ada buku rujukan
atau kitab undang-undangnya. Namun, sejauh manapun sebuah penafsiran dilakukan
atasnya, pada hakekatnya tetap dan tidak beranjak dari fungsi dan peranan
perempuan itu sendiri.
“Tetapi seorang laki-laki bangsawan,
seorang Sutan atau seorang Marah, tak layak berbuat demikian.” (Marah Rusli.
Memang Jodoh, Hal. 55).
Dalam pelapisan sosial secara vertikal terdiri atas
golongan raja-raja bangsawan (dengan gelar Bagindo, Sidi, Sutan Dan Marah),
serta rakyat biasa. Secara horizontal masyarakat Minang dibedakan atas golongan
Ninik Mamak yang mengatur urusan adat-istiadat, golongan cerdik pandai (candiak
candokio) tempat bertanya mengenai masalah umum dan golongan Ulama yang
mengatur masalah agama. Marah Rusli
menggambarkan tokoh utamanya sebagai seorang bangsawan yang diberi gelar Marah
Hamli. Marah Rusli pun berlatar belakang Minangkabau dan berasal dari keluarga
bangsawan sehingga dia pun bergelar Marah.
4.
Sistem Perkawinan
Sistem perkawianan (Baralek Gadang) merupakan
hal yang selalu dipermasalahkan dalam hukum adat orang Minang. Hal ini
berhubungan dengan pelanggaran terhadap pembatasan yang ada, yaitu :
a.
Apabila seorang laki-laki menikahi
wanita dari kelompok yang sama, maka pernikahan keduanya tidak mungkin
dilakukan di desanya sendiri
- Apabila seorang wantia menikah dengan laki-laki dari luar, wanita tersebut akan diusir dan pihak laki-laki hanya dimusuhi oleh keluarganya saja
- Harta pusaka diberikan kepada wantia, sedangkan laki-laki hanya diberi gelar pusaka
- Pernikahan harus dilakukan di rumah mempelai wanita
Sesudah
upacara perkawinan yang pertama dilakukakn di rumah pengantin peremuan, si
suami menumpang tinggal di rumah isterinya. Pada masa dulunya ia datang
berkunjung ke rumah isterinya pada waktu malam saja, yaitu selagi ia tetap
tinggal di dalam desanya sendri. Kalau terjadi perceraian, si suami harus
meninggalkan rmah isterinya dan anak-anak dari perkawinan itu akan tinggal
bersama ibunya.
Dalam roman Memang Jodoh Karya Marah Rusli terdapat
beberapa kutipan yang menggambarkan adat istiadat perkawinan masyarakat
Minangkabau, kutipan tersebut ialah :
“sebagai
bangsawan Padang, aku tak perlu membiayai perkawinanku, memberi nafkah istriku
atau memelihara anakku, bahkan sebaliknya aku yang akan dibiayai, diberi
nafkah, dan dipelihara oleh mamak istriku atau mertuaku, dimuliakan, disanjung
tinggi, dan dituruti seluruh keinginan hatiku” (Marah Rusli. Memang Jodoh, Hal.
31).
Memiliki
kedudukan yang tinggi dalam masyarakat dan sering mendapat kemudahan dalam
segala urusan, misalnya : memperolah uang jemputan yang tinggi jika menikah,
boleh tidak memberi belanja kepada isterinya dan anaknya, memperoleh gelar
kebangsawanan juga. Ia boleh kawin dengan/dari kelas mana saja. Sebaliknya
seorang wanita bangsawan dilarang kawin dengan seorang laki-laki biasa, apalagi
kelas terendah. Yang termasuk golongan bangsawan ialah orang-orang yang
mula-mula datang dan mendirikan desa-desa di daerah Minangkabau. Karena itu
mereka disebut sebagai urang asa (orang asal).
“...
suami dipandang sebagai orang semenda, orang datang, yang tak punya hak apa-apa
atas istri dan anaknya, sehingga dia tidak punya tanggungjawab atas anak dan
istrinya itu.” (Marah Rusli. Memang Jodoh, Hal. 59)
Adat Minang adalah falsafah kehidupan yang
menjadi budaya atau kebudayaan Minang. Ia merupakan aturan atau tata cara
kehidupan masyarakat Minang yang disusun berdasarkan musyawarah dan mufakat, diturunkan
secara turun temurun dan alamiah.
“Mendengar
kau telah menjadi guru, ibu-ibu Padang ini, yang mempunyai anak gadis, tidak
sedikit yang telah datang kepadaku, meminangmu.” (Marah Rusli. Memang Jodoh,
Hal. 64)
Ibu-ibu pada umumnya di Minangkabau
setelah mendengar dan mengetahui mengenai laki-laki yang telah berpangkat maka
ia akan segera meminangnya untuk anaknya. Sesuai adat istiadat Minangkabau
perempuan meminang laki-laki pilihan ibunya. Dan laki-laki yang dipinangnya
haruslah berasal dari suku Minangkabau.
“Lazim bangsawan Padang beristri dua-tiga.
Tanda baik turunannya. Lagi pula, istrinya ini bukan bangsa awak.
Sepatutnyalah, kalau kita memberi istri perempuan Padang kepadanya. Tanda kita
menghormati dan menghargai kebangsawanannya”. (Marah Rusli. Memang Jodoh, Hal.
274)
Dalam
masyarakat Minangkabau tidak ada larangan seseorang untuk mempunyai lebih dari
satu orag isteri. Orang-orang dengan kedudukan sosial tertentu, memang
kadang-kadang suka melakukan perkawinan poligini.
“Berapa
kira-kira akan diminta beliau uang jemputan?” (Marah Rusli. Memang Jodoh, Hal.
339)
Di beberapa daerah, keluarga pengantin
perempuan memberi kepada keluarga pengantin laki-laki sejumlah uang atau barang
sebagai alat, untuk menjemputnya supaya suka mengawini perempuan tadi. Ini
biasanya disebut uang jemputan, tetapi yang penting dalam perkawinan dalam
masyarakat Minangkabau ialah pertukaran benda lambang antara dua keluarga yang
bersangkutan, berupa cincin atau keris.
“Memang
telah diketahuinya, bahwa perkawinan orang Padang kadang dapat dilakukan dari
jauh, apabila pengantin laki-laki berhalangan hadir dalam upacara perkawinan.
Dalam hal itu, dia dapat diwakili oleh laki-laki lain atau sebilah keris...” (Marah
Rusli. Memang Jodoh, Hal. 441).
Di
dalam roman Memang Jodoh karya Marah Rusli terdapat banyak kutipan yang
membahas mengenai perihal adat istiadat perkawinan Masyarakat dan keturunan
Minangkabau seperti yang terlihat di atas. Tetapi dalam roman tersebut juga
seorang Marah Rusli menggambarkan tokoh utamanya tidak setuju lagi dengan adat
istiadat tanah kelahirannya itu karena adanya ramalan dan dorongan merantau
untuk mencari jodohnya. Setelah Hamli menemukan jodohnya dan memutuskan untuk
menikahi perempuan sunda itu maka Hamli harus di ceraikan dalam keluarganya
sesuai adat istiadat yang berlaku dan apabila ia tak ingin beristrikan lebih
dari satu maka kebangsawanannya di anggap tak di hormati dan tak dihargai lagi.
5. Sistem
Kesenian (Seni Sastra)
Pantun biasa
digunakan dalam upacara perkawinan
Dalam roman Memang Jodoh Karya Marah Rusli terdapat
beberapa pantun, diantaranya ialah :
Anak ikan dimakan ikan,
Anak tenggiri di dalam laut
Sanak bukan, saudara bukan,
Karena budi badan terpaut.
Kebanyakan
pantun yang terdapat dalam roman Memang Jodoh berupa pantun nasehat. Contoh
kutipan pantun di atas bermakna meskipun bukan keluarga dan saudara tetapi
karena bantuan budi sehingga dia akrab dengan seseorang yang bukan keluarganya.
SIMPULAN
DAN SARAN
Dalam Roman Memang Jodoh Karya Marah
Rusli ada banyak unsur-unsur kebudayaan yang digambarkan oleh Marah Rusli di
dalamnya. Terutama dalam adat istiadat perkawinan. Dimana Tokoh utamanya yaitu
Hamli tidak sependapat mengenai adat istiadat tanah kelahirannya itu. Karena
menurutnya tidak sesuai dengan realita yang sebenarnya. Adatnya bukan lagi
memberi kebahagiaan buatnya melainkan kesedian dan enderitaan yang amat
menyedihkan untuk ia terima karena dimana pun ia berada ia tidak pernah lepas
dari perkara adat istiadat perkawinan tanah elahirannya itu.
Orang Minangkabau itu ialah
orang-orang yang diterima secara adat dan peraturan suatu kaum di Minangkabau
dalam sistem Matrilineal. Orang-orang yang belum dikukuhkan sebagai orang
Minang dalam sistem adat yang mana ayahnya orang Minang dan ibunya non-Minang.
Pada hal ini bisa saja berdarah Minang dan dikukuhkan sesuai dengan adat, serta
juga bisa dengan proses malakok di
Minangkabau.
Kita paham sekali untuk masuk ke
dalam unsur kemasyarakat di Minangkabau bukanlah perkara yang mudah. Karena
kebudayaan dan adat yang kuat harus bisa menampik hal-hal yang akan merusak
ketatanan daerah dan adatnya. Untuk itu, kita harus bisa memahami peraturan
yang berlaku. Sebab, aturan tiap nagari di
Minangkabau memiliki perbedaan yang lumayan signifikan. Apalagi jika suatu nagari di Minangkabau mempunyai suku
yang berbeda pula.
Merantau telah turun temurun menjadi
pengadaptasian untuk melakukan perubahan dan kepentingan. Orang Minang yang
merantau memang dilakukan sudah lama. Banyak perantau Minang yang mapan dan
bisa menjadi pemimpin di daerah orang. Denga demikina, orang Minang yang lebih
banyak membuka rumah makan dengan mudah menamai dengan rumah makan Padang, dan
mereka kembali menyampaikan identitas diri sebagai orang Padang.
Saran
Jurnal ini dibuat agar pemahaman
orang di luar Masyarakat Minangkabau dapat mengerti dan mengetahui atas
penamaan yang sering tertutur dari lisan orang Minangkabau itu sendiri. Somoga
apa yang telah di gambarkan Marah Rusli dalam romannya yang berjudul Memang
Jodoh itu menjadi bahan pelajaran untuk masyarakat di luar Minangkabau untuk
mengetahui kekhasan dan kekentalan adat istiadat Minangkabau
DAFTAR PUSTAKA
Heny,
G.N., Alfan, Muhammad. (2013). Studi
Budaya di Indonesia.Bandung:
Pustaka Setia.
Koentjaraningrat.
(2010). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Rusli,
Marah. (2013). Memang Jodoh. Bandung:
Qanita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar