#TugasIndividu
UNSUR-UNSUR
KEBUDAYAAN
DALAM
NOVEL “SUTI”
Abstrak
Dari
hasil analisis akan diketahui kondisi kehidupan masyarakat Jawa dalam novel Suti karya Sapardi Djoko Damono. Tujuan
utama dari analisis ini adalah mendeskripsikan analisis unsur-unsur kebudayaan Jawa
yang terdapat dalam novel Suti karya
Sapardi Djoko Damono. Dalam hal ini digunakan unsur-unsur kebudayaan menurut koentjaraningrat
yakni sistem teknologi dan peralatan dan hidup manusia, mata pencaharian hidup,
sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan religi. Dalam
novel Suti karya Sapardi Djoko Damono
mengandung unsur- unsur kebudayan Jawa yakni sistem bahasa berupa bahasa Jawa
Ngoko halus, bahasa Karma lugu, dan bahasa Madya krama. Mata pencaharian dalam
novel Suti terdiri atas berbagai
macam pekerjaan seperti kuli bangunan, penarik becak, menggali sumur, dan pemanjat kelapa, dan sebagainya. Sistem teknologi berupa alat untuk memperoleh informasi dan komunikasi alat transportasi, serta perlengkapan dan peralatan hidup manusia. Dalam sistem kemasyarakatan terdapat dua golongan, yakni golongan Priyayi dan Wong Cilik. Kesenian berupa pewayangan dan seni Kethoprak. Sistem religi dalam Novel Suti, masyarakat menganut agam Islam dan percaya pada makhluk yang telah meninggal. Dan untuk sistem kekerabatan mengenai system perkawinan kawin paksa dan menikah secepat mungkin atau menikah muda.
macam pekerjaan seperti kuli bangunan, penarik becak, menggali sumur, dan pemanjat kelapa, dan sebagainya. Sistem teknologi berupa alat untuk memperoleh informasi dan komunikasi alat transportasi, serta perlengkapan dan peralatan hidup manusia. Dalam sistem kemasyarakatan terdapat dua golongan, yakni golongan Priyayi dan Wong Cilik. Kesenian berupa pewayangan dan seni Kethoprak. Sistem religi dalam Novel Suti, masyarakat menganut agam Islam dan percaya pada makhluk yang telah meninggal. Dan untuk sistem kekerabatan mengenai system perkawinan kawin paksa dan menikah secepat mungkin atau menikah muda.
Kata kunci:
analisis, unsur-unsur kebudayaan,
kebudayaan Jawa
A. PENDAHULUAN
Dalam teori kesusastraan, Rene Wellek
dan Austin Warren, Gramedia, Jakarta, 1989, 3, menuliskan bahwa, “Sastra adalah
suatu kegiatan kreatif, sebuah cabang seni. Sastra adalah segala sesuatu yang
tertulis dan tercetak (11). Sastra adalah karya imajinatif.” (Purba, 2010:3).
Dalam metode pengajaran sastra, penerbit
Kanisius, Yogyakarta, 1998, B. Rahmanto mengungkapkan bahwa sastra, tidak
seperti halnya ilmu ilmiah atau sejarah tidaklah menyuguhkan ilmu pengetahuan
dalam bentuk jadi. Sastra berkaitan erat dengan semua aspek manusia dan alam
dengan keseluruhannya. Setiap karya sastra selalu menghadirkan sesuatu yang
kerap menyajikan banyak hal yang apabila di hayati benar-benar akan semakin
menambah pengetahuan orang yang menghayati (Purba, 2010:3).
Karya sastra bukan hanya berfungsi
sebagai media alternatif yang dapat menghubungkan kehidupan manusia masa
lampau, masa kini, dan masa yang akan datang, tetapi juga dapat berfungsi
sebagai bahan informasi masa lalu yang berguna dalam upaya merancang peradaban
manusia ke arah kehidupan yang lebih baik dan bergairah di masa depan (Tang,
2005: 1).
Novel merupakan karya prosa rekaan
panjang yang dibangun dengan unsur-unsur instrinsik meliputi tema, latar,
penokohan, sudut pandang, gaya bahasa, alur, pusat pengisahan dan lain-lain
yang bersifat fiksi. Sebagai sesuatu yang bersfat rekaan, sebuah karya sastra
dibangun pengarang dai realitas kehidupan yang ada disekitarnya yang ia
munculkan dalam imajinasi-imajinasi berbentuk tokoh dan peristiwa, serta latar
yang nampak nyata. Setiap unsur tersebut terjalin secara struktural yan mana
antara satu dengan yang lainnya saling berkaitan satu sama lain. Penggambaran
cerita yang ada di dalamnya bermacam-macam, hal tersebut bergantung pengarang
yang menciptakannya.
Novel Suti karya
Sapardi Djoko Damono berkisah tentang seorang gadis remaja yatim bernama Suti
yang tinggal di pinggiran kota Solo. Suti yang masih gadis harus dihadapkan
pada kehidupan rumah tangga dan kisah percintaan yang begitu rumit.
Novel Suti karya Sapardi menarik untuk dianalisis karena
tokoh Suti adalah cerminan dari kisah hidup penulis sendiri, seperti setting
tempat yang merupakan tempat tinggal penulis sebelum pindah ke Jogya,
Ngadijayan.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari analisis ini adalah
untuk mendeskripsikan unsur-unsur
kebudayaan dalam novel Suti karya
Sapardi Djoko Damono.
Manfaat penelitian ini adalah bagi peneliti, penelitian ini
bermanfaat untuk menambah wawasan yakni lebih mendalam mengenai unsur-unsur kebudayaan
khususnya kebudayaan Jawa yang terkandung dalam novel Suti karya Sapardi Djoko Damono. Bagi pembaca khususnya peminat
karya sastra, penelitian ini diharapkan bisa menambah wawasan tentang kebudayaan
dan implementasinya yang terkandung dalam bentuk novel.
Pada hakekatnya manusia merupakan ciptaan manusia yang
terdiri dari tubuh dan jiwa sebagai satu kesatuan yang utuh dan memiliki
perasaan indrawi dan perasaan rohani. Manusia juga merupakan makhluk
biokultural yaitu makhluk hayati yang berbudaya. (Juanda, 2014: 5).
Menurut Koentjaraningrat, kebudayan adalah keseluruhan
gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar beserta
keseluruhan budi pekertinya. Menurut Selo Sumarjan dan Soelaeman Sumarno,
kebudayaan adalah sebagai hasil karya, rasa, dan cipta manusia Menurut E.B
Taylor, kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain serta
kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Menurut Sutan takdir Alisjahbana, kebudayaan adalah manifestasi dari cara
berpikir (Juanda, 2014:6).
Hubungan antara manusia dan kebudayaan, adalah: secara sederhana, manusia sebagai pelaku
kebudayaan dan kebudayaan merupakan obyek yang dilaksanakan manusia. Menurut
sosiologi, manusia yang menciptakan kebudayaan dan kebudayaan mengatur hidup
manusia (Juanda, 2014:15).
Kebudayaan berperan dalam hidup manusia, diantaranya sebagai
pedoman hubungan antara manusia dengan kelompoknya, sebagai wadah untuk
menalurkan kemampuan dan perasaan manusia, sebagai pembimbing kehidupan dan
penghidupan manusia, sebagai pembeda manusia dengan binatang, sebagai petunjuk
bagaimana manusia bertindak dan berperilaku dalam pergaulan, dan sebagai modal
dasar pembangunan (Juanda, 2014: 11)
Menurut pandangan Koentjaraningrat,
kebudayaan itu memiliki 3 (tiga) wujud, yaitu: (1) Keseluruhan ide, gagasan,
nilai, norma, peraturan dan sebagainya yang berfungsi mengatur, mengendalikan
dan memberi arah pada perbuatan manusia dalam masyarakat, yang disebut “Sistem
Budaya”. (2) Keseluruhan aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam
masyarakat, yang disebut “sistem sosial”. (3) Wujud kebudayaan fisik berupa aktivitas manusia yang saling
berinteraksi tidak lepas dari berbagai penggunaan peralatan sebagai hasil karya
manusia untuk mencapai tujuannya. Hasil karya manusia tersebut pada akhirnya
menghasilkan sebuah benda dalam bentuk yang konkret (Juanda,
2014:7).
Menurut Koentjaraningrat, unsur-unsur
kebudayaan terdiri atas 7, yakni: (1) Bahasa. Bahasa adalah suatu pengucapan
yang indah dalam elemen kebudayaan dan sekaligus menjadi alat perantara yang utama
bagi manusia untuk meneruskan atau mengadaptasikan kebudayaan. Bentuk bahasa
ada dua yaitu bahasa lisan dan bahasa tulisan.(2) Sistem Pengetahuan. Sistem
pengetahuan itu berkisar pada pegetahuan tentang kondisi alam sekelilingnya dan
sifat sifat peralatan yang dipakainya. Sistem pengetahuan meliputi ruang pengatahuan
tentang alam sekitar, flora dan fauna, waktu, ruang dan bilangan, sifat sifat
dan tingakh laku sesame manusia, tubuh manusia. (3) Sistem Kemasyarakatan atau
Organisasi Sosial. Organisasi Sosial adalah sekelompok masyarakat yang anggotanya
merasa satu dengan sesamanya. Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial yang
meliputi: kekerabatan, asosiasi dan perkumpulan, sistem kenegaraan, sistem
kesatuan hidup, perkumpulan. (4) Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi. Yang dimaksud dengan teknologi
adalah jumlah keseluruhan teknik yang dimiliki oleh para nggota suatu
masyarakat, meliputi keseluruhan cara bertindak dan berbuat dalam hubungannya
degnan pengumpulan bahan bahan menta, pemrosesan bahan bahan itu untuk dibuat
menjadi alat kerja,penyimpanan, pakaian, perumahan, alat transportasi dan kebutuhan
lain yang berupa benda meterial. Unsur teknologi yang paling menonjol adalah
kebudayaan fisik yang meliputi, alat alat produksi, senjata, wadah, makanan dan
minuman, pakaian dan perhiasan, tempat berlindung dan perumahan serta alat alat
transportasi. (5) Sistem mata pencaharian hidup. Sistem mata pencaharian hidup
merupakan segala usaha manusia untuk mendapatkan barang dan jasa yang dibutuhkan.
Sistem mata pencaharian hidup atau system ekonomi yang meliputi, berburu dan
mengumpulkan makanan, bercocok tanam, peternakan, perikanan,perdagangan. (6)
Sistem Religi. Sistem religi dapat diar tikan sebagai sebuah sistem yang terpadu
antara keyakinan dan praktek keagamaan yang berhubungan dengan hal hal suci dan
tidak terjangkau oleh akal. Sistem religi yang meliputi, sistem kepercayaan, system
nilai dan pandangan hidup, komunikasi keagamaan, upacara keagamaan. (7)
Kesenian. Secara sederhana eksenian dapat diar tikan sebagai segala hasrat
manusia terhadap keindaha. bentuk kendahan yang beraneka tagam itu timul dari
permainan imajinasi kreatif yang dapat memberikan kepuasan batin bagi manusia. Secara
garis besar , kita dapat memetakan bentuk kesenian dalam tiga garis besar ,
yaitu seni rupa, seni suara dan seni tari (Suhendar, 2013: https://pemulungelitd19kk.wordpress.com)
B.
METODE
PENELITIAN
Metode
analisis yang digunakan untuk mengkaji novel Suti karya Sapardi Djoko Damono adalah
metode kualitatif deskriptif. Metode kualitatif deskriptif artinya data yang
dianalisis dan hasil analisisnya berbentuk deskripsi fenomena, tidak berupa
angka-angka atau koefisien tentang hubungan antar variable.
Novel
Suti karya Sapardi Djoko Damono
merupakan objek dari analisis ini. Data dalam analisis novel ini berupa data
yang berupa paragraf yang terdapat dalam novel Suti karya Sapardi Djoko Damono. Sumber
data dalam analisis ini adalah sumber data primer yaitu teks novel Suti karya Sapardi Djoko Damono terbitan Kompas,
tahun 2015, dan tebal 192 halaman dan data sekunder dalam penelitian ini adalah
tulis-tulisan atau artikel yang diperoleh dari internat dan pustaka yang
berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini.
Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pustaka,
baca dan catat. Teknik pustaka adalah teknik pengambilan data dari berbagai
sumber, baik dari novel itu sendiri maupun sumber lain yang berhubungan dengan
novel yang akan dianalisis. Teknik baca adalah teknik pemahaman terhadap isi
dari novel kemudian mencatat hal-hal penting dari novel. Teknik baca dan catat
juga termasuk dari teknik analisis data.
C.
Hasil
dan Pembahasan
Unsur-unsur kebudayaan yang terdapat
dalam novel Suti karya Sapardi Djoko
Damono, diantaranya:
1.
Sistem
Bahasa
Bahasa yang digunakan tokoh-tokoh dalam novel
Suti karya Sapardi Djoko Damono ialah
percampuran bahasa. Dari beberapa kutipan yang ada dalam novel, penulis tidak
menggunkan bahasa Jawa secara utuh. Akan tetapi perpaduan antara bahasa Jawa
dengan bahasa Indonesia.
Berikut kutipannya:
“
Ganteng banget priyayinya, edan tenan!
Cakrak seperti prabu kresno hehehe.”
(Suti, 2015:1)
“
Waktu ke rumah manggil suamiku aku kan ketemu. Cakrak dan bening kulitnya. Edan
tenan! (Suti, 2015: 2)
Dalam bahasa Jawa dikenal beberapa
tingkatan dalam bahasanya, yakni bahasa Ngoko (kasar) , Madya (biasa), dan
Krama (halus). Kutipan di atas termasuk bahasa Ngoko lugu, karena didalam
kutipan di atas mengandung kutipan antara teman dengan teman yang sudah akrab.
Dalam novel Suti karya Sapardi Djoko
Damono, kutipan di atas termasuk percakapan antara dua teman yang sudah sangat
akrab yakni Suti dengan Tombolok yang sudah berteman sejak dari kecil. Bahasa
yang digunakan antara keduanya cenderung lebih santai. Kutipan di atas
merupakan percakapan antara Suti dan Tombolok yang memuji sosok Sastro.
“
Cah Ayu, kakakmu Kunto mau sekolah di
Gadjah Mada.” (Suti, 2015:60)
“ Suti, kamu anak cantik, gak suka
ribut-ribut. Kami sayang padamu, kamu tahu, kan?” Suti, 2015: 49)
Kutipan di atas juga termasuk bahasa Ngoko
halus, karena dalam kutipan di atas mengandung percakapan antara orang tua kepada
yang lebih muda yang sudah akrab, yakni percakapan Ibu Sastro kepada Suti,
gadis remaja yang tinggal di rumahnya. Bahasa yang digunakan cenderung lebih
halus dan sopan.
“
Nggih, Bu!” (Suti, 2015: 50)
“
Kalau begitu biar mas Kunto saja yang mengantar Bapak, Bu,” katanya. (Suti, 2015:101)
Kutipan di atas termasuk bahasa karma lugu,
karena dalam kutipan di atas mengandung percakapan antara orang muda terhadap
orang tua, yakni percakapan Suti kepada Ibu Sastro, Ibu yang sudah
menganggapnya sebagai anak. Bahasa yang digunakan Suti kepada Bu Sastro lebih
sopan.
“ Kemenakan bapak jadi ikut kita? Kapan?”
(Suti, 2015: 28)
“ Ya, kalau dia jadi ikut sekolahnya juga
tidak dekat. Aku sebenarnya mikir, syukur
saja kalau dia tidak jadi ikut kita. Lastri yang pernah ikut kita dulu itu kan
malah bikin repot. Ya, kan, Pak? Kalau Tari suka juga menggedel seperti
Lastri, gimana, hayo?” (Suti, 2015: 29)
Kutipan di atas termasuk bahasa madya
krama, karena di dalam dialog tersebut mengandung percakapan istri kepada
suaminya, yakni Ibu Sastro kepada Pak Sastro. bahasa yang digunakan Bu Sastro
dalam kutipan di atas cenderung santai dan terdengar sangat akrab.
2.
Sistem
Mata Pencaharian
Masyarakat Jawa menjadikan bertani
sebagai pekerjaan pokok sebagai sumber penghasilan. Namun, selain bertani ada
pula sumber pendapatan lain
yang diperoleh dari
usaha-usaha kerja sambilan membuat
makanan tempe kara
benguk, mencetak batu merah,
mbotok atau membuat
minyak goreng kelapa,
membatik, menganyam tikar dan
menjadi tukang-tukang kayu,
batu atau reparasi sepeda dan lapangan-lapangan
pekerjaan lain yang mungkin dilakukan.
Berikut kutipannya:
Setelah
menikah, Sarno tinggal di rumah Parni dan lebih giat mencari rupa-rupa jenis
kerja lain lagi. Tidak sebatas memanjat kelapa atau menggali sumur, tetapi juga
nukang (Suti, 2015:12)
Mereka bekerja sebagai penarik becak,
tukang jual jajanan malam hari, pencari pasir, pemecah batu, pembakar bata,
pencari ikan, pemanjat kelapa, pembantu, dan kerja serabutan – kerja apa saja
diambil (Suti, 2015:19)
Pada novel Suti karya Sapardi Djoko Damono menggambarkan kehidupan masyarakat
Jawa khususnya di Desa Tungkal, pinggiran Solo tahun 1960-an yang menyambung
hidupnya dengan berbagai mata pencaharian. Namun, tidak menjadikan pekerjaan
bertani sebagai sumber utama mata pencaharian. Padahal, bertani merupakan
pekerjaan sebagian besar masyarakat Jawa di desa-desa. Dalam novel Suti terdapat tokoh Sarno, suami Suti
yang bekerja dengan berbagai profesi untuk menambah penghasilan. Kadang menjadi
kuli bangunan, memanjat kelapa, menggali sumur, menjadi tukang, penarik becak,
bahkan ada warga desa Tungkal yang menjadi pencari pasir, pembantu, dan
mengurus makam.
3.
Sistem
Teknologi dan Peralatan
Dalam novel Suti karya Sapardi Djoko Damono yang mengangkat latar tahun 1960-an
menggambarkan kehidupan masyarakat Jawa yang ada di daerah Tungkal, pinggiran
Solo begitu juga dengan masyarakat di daerah perkotaan yang menggunakan
beberapa alat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, beberapa macam alat
transportasi, serta peralatan dan perlengkapan hidup.
Berikut
kutipannya:
Radio adalah media paling popular di
masa itu, di beberapa rumah selalu terdengar suara radio sejak bangun tidur
sampai bunyinya kresek karena lupa mematikannya (Suti, 2015: 20)
Kunto
akan datang besok, Dewo telah kirim telegram
ke rumah pondoknya, ujarnya. (Suti, 2015:101)
Dari pernyataan dan kutipan di atas, dalam
novel Suti menggambarkan kehidupan
masyarakat yang menggunakan radio, koran dan menggunakan telegram untuk
mendapatkan informasi dan saling berkomunikasi. Hal ini berdasarkan atas
kondisi masyarakat tahun 1960-an.
Pak Sastro mencari akal untuk membeli
rumah yang sudah jadi Grobongan. Di sana ada kampung yang tampaknya membangun
rumah jati hanya untuk dijual….( Suti, 2015: 33)
Bu sastro suka sekali memasak, menikmati
asyiknya bara kayu yang berkedip-kedip kalau ia menggerak-gerakkan kipas
bambunya. Kebiasaanya sejak di Ngadijayan itu terus berlanjut meskipun
berkali-kali disarankan untuk memakai kompor minyak saja (Suti, 2015: 37)
Dari beberapa pernyataan dan kutipan di
atas, novel Suti yang menggambarkan
kondisi masyarakat tahun1960-an menggunakan peralatan perlengkapan seperti
lampu senter dan teplok untuk penerangan, masih menggunakan kayu bakar untuk
memasak karena menurut mereka khususnya tokoh Ibu Sastro beranggapan memasak
menggunakan kayu bakar lebih enak dari dari pada menggunakan kompor minyak.
Dalam Novel Suti juga keluarga Sastro
menggunakan rumah yang yang terbuat dari kayu jati, yang pada umumnya rumah di
daerah Jawa menggunakan bahan batang bambu, glugu (batang pohon nyiur), dan
kayu jati sebagai kerangka atau pondasi rumah. Selain itu, terdapat pula
bioskop sebagai media hiburan dan masjid yang digunakan untuk beribadah.
Namun
orang-orang yang setiap hari naik sepeda sepanjang jalan di tepi kebun itu
tampaknya tidak menyadari sedang sedang menyaksikan tontonan yang menakjubkan…(Suti,
2015:18)
Menjelang
magrib kereta api baru sampai Jakarta. Dalam keadaan capek mereka bertiga masih
harus berebut lagi naik bis arah Kampung Minangkabau. (Suti, 2015:127)
Selain rumah, alat memperoleh informasi,
dan perlengkapan lainnya dalam Novel Suti terdapat pula alat transportasi yang
digunakan tokoh seperti becak dan sepeda yang
digunakan oleh warga desa Tungkal dan pada saat itu belum ada kendaraan
yang menggunkan mesin. Berbeda dengan di kota, yang sudah menggunakan kereta
api dan bus yang lebih modern.
4.
Sistem
Kemasyarakatan
Dalam sistem kemasyarakatan Jawa,
dikenal 4 tingkatan yaitu Priyayi, Ningrat atau Bendara, Santri, Kejawen dan
Wong Cilik. (1) Priyayi. Priyayi ini mengacu kepada suatu kelas sosial
tertinggi di kalangan masyarakat biasa. Biasanya kaum priyayi ini terdiri dari
para pegawai negeri sipil dan para kaum terpelajar yang memiliki tingkatan
pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang disekitarnya. (2)
Ningrat atau Bendara adalah kelas tertinggi dalam masyarakat Jawa. pada
tingkatan ini biasanya diisi oleh para anggota keraton, atau
kerabat-kerabatnya, baik yang memiliki hubungan darah langsung, maupun yang
berkerabat akibat pernikahan. (3) Golongan santri. Golongan ini tidak merujuk
kepada seluruh masyarakat suku Jawa yang beragama muslim, tetapi, lebih mengacu
kepada para muslim yang dekat dengan agama, yaitu para santri yang belajar di
pondok-pondok yang memang banyak tersebar di seluruh daerah Jawa. (4) Wong
cilik. wong cilik atau golongan masyarakat biasa yang memiliki kasta terendah
dalam pelapisan sosial. Biasanya golongan masyarakat ini hidup di desa-desa dan
bekerja sebagai petani atau buruh.
Berikut kutipannya:
Bu
Sastro seorang Priayi tulen yang tidak pernah menyimpan gagasan kasta atau
silsilah usul atau kekayaan. Keduanya lulusan HIS, sekolah dasar zaman Belanda,
yang sesekali kelepasan juga memandang rendah orang-orang yang kebanyakan masih
buta huruf di sekitarnya. (Suti, 2015: 31)
Ia
dipanggil ‘Mas’ oleh berandal-berandal laintidak karena umurnya lebih tua,
tetapi karena dianggap putra priayi kota. (Suti, 2015: 47)
Dalam novel Suti karya Sapardi Djoko Damono menceritakan keluarga Sastro yang
tergolong Priyayi. Dalam novel,
tergambar keluarga Sastro memiliki tingkatan tertinggi dari masyarakat biasa di
desa Tungkal. Hal ini tergambar dari latar belakang Bu sastro dan Pak sastro
yang sama-sama memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Kedua anaknya
juga bersekolah sampai SMA dan kuliah.
Perempuan muda konyal-kanyil yang pernah
diceritakan sedang mencuci pakaian di sungai itu akhirnya sedang mencuci
pakaian di sungai itu akhirnya bekerja juga membantu meringankan pekerjaan Bu
Sastro. suaminya juga sering dimintai tolong untuk membereskan pekarangan. (Suti,
2015: 36)
Bu
Sastro minta mulai besok Tombolok membantunya, mengerjakan segala sesuatu yang
salama ini dilakukan Suti. Bu Sastro tahu bahwa Tombolok sering diminta
membantu tetangga mengerjakan ini-itu. Ia merasa lega ketika perempuan muda itu
menyatakan akan sepenuhnya bekerja di keluarga Sastro. (Suti, 2015:133)
Kutipan di atas diceritakan Suti sebagai
sosok perempuan muda yang tinggal di rumah keluarga Sastro untuk meringankan
pekerjaan Bu Sastro begitu juga dengan Suaminya. Tidak hanya Suti dan Sarno,
Tombolok juga bekerja sebagai pembantu di rumah keluarga Sastro menggantikan
Suti ketika Suti ke Surabaya mengantar Pak Sastro untuk bekerja.
Selain itu priyayi, ada juga yang termasuk
golongan Wong Cilik, seperti masyarakat Tungkal umumnya yang status sosialnya
rendah. Beberapa kutipan di atas menunjukkan status sosial masyarakat Tungkal. Dalam
novel Suti karya Sapardi Djoko Damono, tokoh Suti, Tombolok, Sarno, dan
masyarakat lainnya termasuk golongan wong cilik karena status sosialnya yang
rendah yakni sebagai pembantu, penarik becak, pemanjat sumur, dan sebagainya.
5.
Sistem
Religi
Agama dan kepercayaan yang berkembang dan
dianut oleh masyarakat Jawa, antara lain islam sebagai agama mayoritas, selain
itu terdapat pula agama lain yang cukup banyak dianut, seperti kristen
protestan, yang cukup banyak dianut oleh masyarakat di sekitar semarang,
surakarta, dan solo.
Berikut kutipannya:
Di
desa itu ada burung gagak, yang sering kelihatan hinggap di pohon randu alas di
makam. Akhir-akhir ini kalau ada kedengaran suara gagak, orang desa suka
menyebutnya suara Mbah Parmin yang memberi awas-awas kepada warga desa. Karena
mungkin tidak ada lagi yang bisa dipercaya, suara gagak itu pun menawarkan
pilihan. Buktinya banyak orang dari kota lain yang datang ke makamnya untuk
menghayati suara gagak sebagai wejangannya yang konon terdengar jernih bagaikan
ricik air kalau kita mendengarkannya dengan hati terbuka dan bersih. (Suti,
2015: 83)
Rupanya
kalau ada sesuatu yang tidak bisa dipecahkan oleh kelugasan berpikir warga
kampung itu, dengan yakin mereka putuskan saja bahwa semua sudah diatur oleh
yang di sana, lha yang ‘disana’ itu
tidak lain Mbah Parmin. Itu tidak berarti bahwa banyak diantara mereka tidak
suka ke masjid, misalnya, tetapi karena selama ini Mbah Parmin adalah bagian
penting dari kesejahteraan hidup mereka. (Suti, 2015: 86)
Dalam Novel Suti karya Sapardi Djoko Damono Pada umumnya masyarakat Tungkal,
pinggiran Solo menganut agama Islam. Hal ini dikarenakan adanya bangunan masjid
yang berdiri kokoh di desa itu. Berdasarkan salah satu falsafah orang Jawa “
memayu hayuning bawana, ambrasta dur hangkara” artinya manusia hidup di dunia
harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan, serta
memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak. Dari falsafah tersebut,
orang Jawa berusaha untuk mendapatkan kesejahteraan hidup. Dalam novel Suti
karya Sapardi Djoko Damono, terdapat tokoh Mbah Parmin yang telah meninggal
dipercaya dapat memberikan petunjuk bagi kehidupan masyarakat. Sehingga
makamnya sangat dikeramatkan. Oleh karena itu, masyarakat setempat maupun
masyarakat dari luar daerah banyak yang mengunjungi makam Mbah Parmin.
6.
Kesenian
Secara garis besar bentuk kesenian dalam
tiga garis besar , yaitu seni rupa, seni suara dan seni tari. Dalam kesenian Jawa,
khususnya Jawa tengah mengandung beberapa kesenian seperti tari Serimpi, tari
bambang cakil, tari Jaipong. Seni tembang, berupa lagu-lagu daerah Jawa,
misalnya lagu-lagu suwe ora jamu, gek kepiye dan pitiktukung. Seni pewayangan
merupakan wujud seni teater di Jawa Tengah. Seni teater tradisional di Jawa
tengah antara lain kethoprak.
Berikut
kutipannya:
Parni
senang anaknya tumbuh menjadi gadis cerdas, suka omong aneh-aneh yang tidak
mudah dipahaminya. Suka nonton wayang di kelurahan, suka nonton kethoprak di Balekambang, ……. (Suti,
2015:12)
Dan
pemain kethoprak ini ngajak Suti ikut
memainkan peran Roro Mendut yang harus menuruti perintahnya. (Suti, 2015:74)
Dalam novel Suti karya Sapardi Djoko Damono
membahas mengenai kesenian kethoprak
dan wayang yang disukai oleh tokoh Suti. Kethoprak
merupakan seni pertunjukan rakyat tradisional yang sangat terkenal, khususnya
di daerah jawaTengah, Jawa Tengah, dan DIY. Kethoprak berupa pertunjukan seni
yang sederhana yang meliputi unsur tradisi Jawa, baik struktur dialog, busana
rias, maupun bunyi-bunyian musik tradisional yang dipertunjukan oleh rakyat.
Sedangkan wayang merupakan boneka yang dipertunjukkan dalam berbagai bentuk,
dan biasanya mengandung berbagai wejangan dan nasihat-nasihat dalam hidup.
7.
Sistem
Kekerabatan
Sistem perkawinan selain pelamaran
dikalangan orang Jawa, dikenal juga istilah (1) sistem perkawinan magang atau
ngenger ialah seorang jejaka yang sudah mengabdikan dirinya pada kerabat si
gadis. (2) Sistem perkawinan triman, yaitu seorang yang mendapatkan istri
sebagai pemberian atau pemberian atau penghadiahan dari salah satu lingkungan
keluarga tertentu, misalnya keluarga keratin atau keluarga priayi agung yang
sudah di santapnya terlebih dahulu. (3) Sistem perkawinan ngunggahi, dimana
justru dari pihak kerabat si gadis yang melamar si jejaka. (4) Sistem perkawinan
paksa (peksan) yaitu suatu perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita
atas kemauan kedua orang tua mereka.
Berikut kutipannya:
Mereka
sebenarnya tahu bahwa ibu Suti suka malu kalau anaknya tidak lekas-lekas dikawinkan, takut kalau oleh orang kampung
dianggap tidak laku, takut kalau ibunya dianggap tidak becus mencarikan suami
untuk anaknya (Suti, 2015: 3)
Hanya
saja ibumu pernah bilang ia khawatir kamu nanti telat kawin,” lanjut Pak Sastro
yang tampaknya tidak bisa menahan tawa lantaran rasa gelinya berkaitan dengan
sikap istrinya. Prabu Kresno itu rupanya sama sekali tidak tahu maksud di balik
ucapan istrinya yang terus terang saja, pernah agak meragukan kejantanan
bungsunya. Dalam pikiran Kunto, juga dalam pikiran Pak dan Bu Sastro, tidak
pernah ada ungkapan ‘laki-laki telat kawin’. (Suti, 2015:182)
Dalam novel Suti karya Sapardi Djoko Damono
menjelaskan sistem perkawinan masyarakat Jawa, diantaranya: Cenderung ingin
menikahkan anaknya secepat mungkin. Hal ini disebabkan karena takut anaknya
menjadi perawan tua dan orang tua yang tidak mau dianggap tidak becus
mencarikan jodoh untuk anaknya. Seperti halnya Parni, ibu Suti yang langsung
menerima lamaran Sarno yang ingin menjadi istri Suti walaupun Sarno memiliki
umur yang jauh lebih tua.
“ Ingat Jeng Partiah yang di Surabaya itu,
kan? Dia itu punya putri yang umurnya kira-kira sama dengan Kunto. Itu lho,
yang namanya Sarah. Kan bagus kalau kita mulai nglumpukke balung pisah. Keluarga kita menyebar ke mana-mana, kalau
tidak dikumpulkan lama-kelamaan trah kita
tak bisa dilacak lagi. Betul, lho Jeng Sastro, tidak semstinya membiarkan Kunto
bergaul terlalu rapat dengan pembantunya.” (Suti, 2015:116)
Dalam novel Suti terdapat sistem
perkawinan paksa (peksan) yaitu suatu perkawinan antara seorang pria dengan
seorang wanita atas kemauan kedua orang tua mereka. Dalam novel, tokoh Kunto
ingin dijodohkan dengan mindho-nya,
Sarah. Selain itu, adanya kecenderungan ingin mengawinkan anaknya dengan
kerabat. Hal ini bermaksud agar hubungan keluarga tetap terjalin dengan baik.
D. SIMPULAN
DAN SARAN
Dalam
novel Suti karya Sapardi Djoko Damono, tidak hanya ditemukan unsur-unsur
kebudayaan Jawa sebagaimana yang disebutkan oleh Koentjaraningrat seperti
bahasa, mata pencaharian, teknologi dan peralatan hidup, sistem religi, sistem
pengetahuan, sistem kemasyarakatan dan kesenian. Tetapi ditemukan juga sistem
perkawinan dan makanan khas Jawa Tengah khususnya di desa Tungkal.
Dari
segi bahasa, menggunakan percampuran antarabahasa Jawa dengan bahasa Indonesia.
Sehingga pembaca cukup mengerti dengan isi novel. Dari segi mata pencaharian
yang beraneka ragam baik di darat maupun di laut, teknologi dan peralatan
hidup, sistem religi, sistem pengetahuan, sistem kemasyarakatan, kesenian,
sistem perkawinan dan makanan memiliki kekhasan, yang berbeda dengan kebudayaan
lain. dari beberapa unsur kebudayaan yang ditemukan dapat menggambarkan kondisi
kehidupan masyarakat Jawa, khususnya di desa Tungkal, pinggiran Solo.
Hasil
analisis novel Suti ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca, agar dapat
mengambil hikmah yang terdapat dalam novel. Penelitian ini diharapkan
dimanfaatkan sebagai alternatif bahan pengajaran teori dan apresisasi sastra,
yaitu: membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, dan
mengetahui nilai-nilai dalam kebudayaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Juanda,
2014. “Bahan Ajar Ilmu Sosial dan Budaya Dasar”. Makassar: UNM
Koentjaraningrat
dkk. 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djambatan: Jakarta
Purba,
Antilan. 2010. “Sastra Indonesia Kontemporer”. Yogyakarta.
Sapardi, Damono Djoko. 2015. Suti. PT Kompas Media Nusantara: Jakarta
Suhendar, Kaka.
2013. “Kebudayan Masyarakat Jawa”. https://pemulungelitd19kk.wordpress.com.
Diakses 14 November 2016
Tang,
Muhammad, Rapi. 2007. Pengantar Teori
Sastra yang Relevan: sebuah alternative
pengkajian ilmiah. Makassar: UNM.
Yon,
2011. “Ragam Krama Bahasa Jawa”: http://abudaud2010.blogspot.co.id/2011/05/ragam-krama-basa-jawa.html?m=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar