Kamis, 08 Juni 2017

ISLAMIYAH SAHAB


#cerpen                                

BELUM SELESAI                                  

Sabana sering bertengkar dengan malam, dan parahnya dia yang kalah. Setiap kali mereka jatuh dan menjatuhkan, dia yang menyerahkan diri pada malam tanpa mereka terjamin untuk dibebaskan. Ahh... benar sekali itu seperti sebuah penyerahan diri yang sia-sia. Tiap malam dia mengutuki diri sendiri bahwa dirinya ditakdirkan menjadi seseorang  tak berguna.  Tidak semata-mata tanpa alasan, mengapa Sabana merasa tak berguna. Beberapa kejadian membuatnya putus asa.
Kisah tentang Sabana, Gadis yang senang sekali menangis tapi benci pada airmata. Sabana adalah seorang santriwati di sebuah pondok pesantren, selama tiga tahun dia akan lebih banyak mengahabiskan waktu di pondok daripada di rumah sendiri. Jelas saja seseorang yang sudah memutuskan mondok di pesantren harus terima konsekuensi bahwa selama sebulan ia harus di pondok, awal bulan baru bisa kembali ke rumah, itu pun hanya sehari semalam antara kamis dan jumat.
Tidak sedikit orang-orang yang menggambarkan suasana pondok pesantren adalah sebuah kota kecil, hati akan damai sekali melihat gulungan sarung, kopia, baju koko dan setiap tangan seorang anak (santri) menggenggam al-Qur’an berbondong-bondong ke mesjid. Orang tua mana yang tidak bangga?  Namun, tidak banyak orang yang tahu lebih daripada itu, banyak pelajaran dan perjalanan yang tidak umum seperti pada anak-anak seusia Sabana yang hanya sibuk belajar, urusan lain adalah urusan masing-masing. Di Pondok Pesantren satu urusan bisa melibatkan banyak orang, hal ini secara tidak langsung menumbuhkan sikap solid pada diri santri-santriwatinya. Hal ini pula yang membentuk Pribadi Sabana.
Pindah kepada kehidupan barunya berpondok pesantren, Sabana benar-benar menemui banyak hal baru. Seperti segala sesuatu waktunya terbatas, dan diatur. Segala hal serba berbagi, antri, Segala hal serba hukuman bahkan hanya karena bahasa, yang sebenarnya di luar sana jika kamu menegur orang-orang yang menggunakan bahasanya, mereka mungkin akan berkata dengan sewot “mulut, mulut saya”. Maka di pesantren ada begitu banyak aturan, kamu bisa punya tiga pilihan, jadi santri disiplin, jadi santri yang paling banyak pelanggarannya atau jadi santri yang cerdik melanggar cantik. Ah kita tidak akan memperpanjang membahas itu, semuanya akan terbahas dan terbahasakan setelah cerita ini selesai.
Pribadi Introvert dalam diri Sabana mulai ia temukan setelah beberapa minggu mondok, selama setelah melewati berbagai  tahap seperti khutbatul Arsy (Pekan Perkenalan), Penggamblengan, Lepas sambut dan lain-lain, Ia baru sadar bahwa dirinya adalah seseorang yang terbiasa sepi di kamar, merenungi banyak hal, bahkan tentang mengapa hujan  mampu jatuh ketika matahari terang? sedang di pondok ia tinggal berasrama, hawa kesepian yang ia sukai harus terbagi pula dengan puluhan santriwati lainnya.  
Menjadi seseorang Introvert dalam asrama yang dihuni puluhan orang, membuatnya berkali-kali mengurung wajahnya di bawah bantal, atau menatap keluar jendela. Saat keadaannya seperti itu, matanya mengunjungi setiap harapan dan kecemasannya pada segala hal, tidak termasuk dirinya. Kesedihan lahir entah dari rahim masalah mana, ataukah segala yang lahir telah bernama masalah. Apakah Sabana takut menghadapi itu semua? Tidak ada yang tahu... sebab pada dirinya sendiri pun ia bertanya, jawabannya hanya ada pada akhir cerita yang kau tunggu dan kau keluhkan jalannya.
Cahaya-cahaya malam yang malang, ia jadi tak ada gunanya ketika  masalah tetiba di telinga Sabana. Malam yang seharusnya terang dan tenang sebab bintang-bintang , bulan, lampu-lampu di taman pondok menjadi gugur ditegur airmata Sabana yang pedih. Setelah dua tahun hidup mondok, melewati susah senang sama-sama, saling merangkul sampai saling bertengkar telah diselesaikan bersama lalu kabar perpisahan datang begitu saja sebelum waktunya. Bukankah Kesalahan seorang adalah kesalahan yang lainnya pula? Sebagai seorang teman bahkan semenjak mondok statusnya jadi saudara, apakah bukan kesalahan bagi seorang teman atau saudara yang tidak mencegah saudaranya melakukan kesalahan? Apakah sebegitu cepat seseorang rela melepaskan orang-orang yang sudah berjanji berakhir bersama, sementara pada kenyataannya ada yang berakhir lebih dulu sebelum waktunya? Cerita rasanya kurang lengkap jika Skenario Tuhan malam itu benar-benar menjadikan masalah ini sebagai ending. Toh Sabana yang malam itu sedang berulang tahun harus menerima kabar bahwa tiga orang dari 33 orang bersaudara (teman seangkatan di pondok) harus mengakhiri cerita mereka terlebih dahulu.
Bukan soal perpisahan saja, ini masalah kenangan. Kenangan tidak begitu saja hilang bersama kepergian para perintisnya. Tiap hari makan bersama, belajar bersama, beradu masalah dan bertukar solusi, duduk di bawah beringin dan saling menjaili tidak semudah itu didrop Out dari ingatan seperti mudahnya ketiga orang itu di Drop Out dari Madrasah. Kesakitan lainnya adalah rasa kehilangan menjadi kado ulang tahun paling sakit. Di saat seharusnya semua Kawan merayakan hari bahagia, malah airmata begitu  mampu merayakan kesedihan.
Malam itu, seharusnya teman-teman Sabana mengucapakan Selamat Ulang Tahun bukan Selamat tinggal. Malam itu harusnya mereka kompak latihan sebagai petugas upacara keesokan harinya. Tapi malam itu tidak ada kerumunan pasukan pengibar bendera, tak ada pasukan vocal grup atau pasukan pembaca yang tiap malam sabtu melakukan latihan persiapan upacara keesokan harinya. Semua kawannya duduk terpisah dan memisah-misah. Ada yang merenungi, ada yang mencari solusi, ada yang saling menyalahkan sampai Sabana yang duduk menangis di sisi lapangan sendirian.
            Malam itu hanya remang-remang, tak ada gelap ataupun terang, masih abu-abu. Tapi abu-abu tetap saja membuat semuanya tidak jelas dan ia cenderung menghitam. Salah seorang teman yang dikabarkan sebagai salah satu calon Santri DO (Drop Out) menghampiri Sabana, di sisi Sabana beberapa orang Santri Perempuan mendekat lalu Santri yang terancam Drop Out itu berlutut di hadapan saudara-saudara (teman-teman seangkatan) perempuannya.
“Saya minta maaf karena mengulangi pelanggaran yang sama. Dan kali ini Ustadz dan Ustadzah mungkin tidak akan memberi ampun. Saya sudah berulangkali didapati kabur dari pondok, merokok dan lain sebagainya.” Tuturnya.
Beberapa orang menitikan air mata.
“kalian tahu rasanya menjadi saya malam ini?  Bukan semata karena hadiah ulang tahun yang kalian kirimkan lewat mikrofon mesjid atau lewat raut wajah kecewa mudir ma’had (Direktur Pondok Pesantren) tetapi kalian membuat saya menjadi saudara tak berguna. Saudara yang tak mampu mencegah saudaranya berbuat mungkar, saudara yang tak mampu mempertahankan saudaranya. Jika sudah sejauh ini... apa lagi yang harus kita lakukan?”. Perasaan Sabana jebol lewat ucapannya, serta airmatanya yang tak terbendung lagi.
“sekali lagi maaf... “ mereka lalu tertunduk sama-sama.
“sekarang bagaimana? Besok adalah Tugas upacara kita! Dan sekarang kita hanya mampu saling berfikir sendiri-sendiri, nama angkatan rusak, dan kita juga akan menghancurkan pelaksanaan upacara penaikan bendera esok, jika terus begini!” Ucap salah seorang Santri Perempuan yang duduk di sebelah kanan Sabana. Sabana yang tak tahan melihat suasana dan raut wajah kecewa teman-temannya langsung meninggalkan lapangan, terburu-buru menuju asramanya.
Tidak hanya di Lapangan... setelah Sabana menjatuhkan diri di ranjang, ia kembali menyembunyikan wajahnya di bawah bantal dan membuat adik-adik binaannya terheran-heran dengan sikapnya. Sabana sebagai Santriwati (siswi) aliyah (M.A) diberi amanah untuk membina asrama kelas VII Tsanawiyah (Mts) yang kesemuanya adalah orang-orang yang baru hidup beberapa bulan di pondok, masih manja, dan masih mudah rindu rumah. Karena malam itu  ulang tahun Sabana, dan Sabana terlihat sedih, Adik-Adik binaannya yang berjumlah 41 orang berniat menghibur Sabana dengan membuat suprise tepat di pukul 24.00 wita. Namun, ketika persiapan itu selesai dirancang tiba-tiba pintu depan asrama dibuka dengan kasar.
“Assalamu alaikum...” itu suara Sarah, dia yang telah membuka pintu. Sarah adalah salah satu  anggota dari Kismul Amni (Bagian Keamanan) dan Bagian keamanan pula dalam struktur keorganisasin santri-santriwati pondok pesantren merupakan bagian yang sangat disegani, mereka adalah orang-orang pilihan dan konsekuensinya bagi keamanan lebih baik meminimalisir pelanggaran. Konsekuensi lainnya mereka harus siap dibenci karena tiap hari memajang ekspresi harimau lapar.
Tanpa basa-basi dan tanpa bertanya, Sarah langsung saja marah-marah.
“mau jadi apa kalian safful awwal (kelas satu) masih kecil-kecil sudah belajar make up. Ayo ikut mahkamah! Malam ini kalian akan dapat hukumannya.” Dengan sangat ketakutan keempat puluh satu orang adik-adik binaan Sabana ini tunduk kikuk dan bergegas ke tempat penghukuman. Sabana yang mendengar ini tiba-tiba bangkit dan menghapus airmatanya ia begitu kaget mendengar kedatangan Sarah yang masuk asrama tanpa permisi, karena aturannya bagi siapa pun yang masuk asrama orang lain ia harus mendapat izin dari pembina asrama. Setelah prosesi mahkamah dan anak-anak itu kembali, Sabana sudah duduk di atas ranjang dengan kakinya di lantai.
“saya beri waktu sampai jarum jam tepat di pukul 22.00, yang mau cuci-cuci, buang air dan aktifitas lainnya di luar asrama pergunakan dengan baik. Yang terlambat atau lewat dari waktu yang ditentukan akan kena hukuman tambahan dari saya. Setelah urusan selesai langsung ambil tempat dan duduklah kalian semua di tengah, tepat di depan ranjang saya”. Dengan suara tegas dan penuh penekanan Sabana  membuat anak-anak itu kembali merasa takut, terburu-buru  menyelesaikan pekerjaan lain. Setelah tepat pukul 22.00 seperti biasa Sabana akan menghitung menggunakan bahasa Arab  dan mereka yang di luar asrama akan bersegera masuk asrama, ntah itu tidur atau mungkin masih ada yang melanjutkan belajar meskipun sudah diperintahkan untuk tidur.
“wahid.. isnain.. tsalasa ... arba... khamsah... si’ta... sab’ah.. samaaaniiiaaaa... tis’a.... “
Biasanya di angka 9 Sabana akan berhenti untuk memperingati, angka sembilan kadang diulang
“Tis..aaaa......., tis’a wannisfi, aaa.....syaroh” maka bersiaplah yang terlambat kadang dapat hukuman menghafal atau membersihkan hammam (toilet) atau kalau beruntung hanya menyapu asrama.
Mereka kini telah berkumpul di tengah-tengah tepat pada waktunya. Ada yang tertunduk, ada yang kebingungan. Karena baru kali ini Sabana mengumpulkan mereka dengan raut wajah menakutkan. Biasanya  mereka berkumpul hanya untuk berbagi cerita, bercanda atau mungkin mendiskusikan bagaimana asrama ke depannya. Malam ini Sabana benar-benar berbeda bagi mereka.
“Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh...” Sabana membuka pembicaraan.
“saya tidak akan berbasa-basi sama kalian. Langsung saja... Siapa yang bisa bicara dan mempertanggungjawabkan kejadian malam ini? “
Tidak ada yang menjawab kecuali tertunduk.
“tidak ada yang mau bicara? Berarti kalian kompak melanggar? Sekali lagi saya beri kesempatan, angkat tangan yang mau bicara!” mereka kembali tertunduk. Sabana menghela nafas panjang...
“apa maunya kalian?. Kalian mau apaaaaa?” nada bicara Sabana meninggi
“saya kira setiap malam saya selalu ingatkan, ini itu adalah pelanggaran termasuk bawa alat make up. Kalian lupa atau sengaja mau lihat saya dan kak Uli kalian seperti tak becus mengurus kalian? Saya kira kalian setiap hari melihat. Saya tidak pernah mengajarkan kalian hal-hal yang seperti itu. Atau hanya perasaan saya? Apa kakak yang kurang becus dan tidak bisa kalian dengarkan? Jawaaabbb!” airmatanya kini jatuh, begitu pula semua adik-adiknya mereka menangis bersama.
“Apa kalian pernah kakak beri contoh menggunakan lipstik, cella, dan make up lainnya? Tidak kan? Kalian ini masih kelas satu dik... kulit kalian bisa rusak jika terlalu cepat  menggunakan make up. Kalian tahu tidak bagaimana perasaan kakak waktu tiba-tiba bagian keamanan masuk begitu saja dan saya tak tahu apa-apa, kalian dihukum karena bawa alat make up?.... saya tak habis fikir  kalian tak mengindahkan sedikitpun yang selalu saya ingatkan.”
“ada yang bisa menjawab?” Sabana melanjutkan tetapi adik-adiknya semakin tertunduk.
“kalian kenapa menangis? Kalau tidak salah kenapa mesti menunduk? Tidak usah menunduk tapi menanduk...” Sabana terbawa emosi, sebenarnya masalah ini tidak semestinya ia besarkan tapi kejadian sebelumnya sudah menaikkan suhu amarahnya hingga ke ubun-ubun. Hingga ia hanya akan kembali mendebat malam. Karena banyak yang tersedu-sedan, dan ia pun sudah tak mampu menahan tangis, Sabana kemudian menghela nafas panjang, lalu memerintahkan semua untuk tidur. Suara tangisan dari atas ranjang samar masih Sabana dengar, ia tak berhenti menghela nafas hingga akhirnya mereka terlelap dengan fikiran masing-masing dan mimpi masing-masing.
            Jam 4.30 waktu subuh mulai menyentuh dan membangunkan setiap santri. Suara Mudir ma’had menyanyikan syair abunawas  lantang dan damai menjadi sepercik kenangan tersendiri, menjadi salah satu hal yang paling dirindukan para alumni pondok. Selanjutnya Mudir ma’had akan membangunkan santrinya dengan bahasa Arab “ Kum.. kum.. kum... sholat.. sholat... sholat... assholatu khairumminannaum....” itu akan diulangnya sampai masuk waktu adzan. Jika masuk waktu adzan tak ada yang adzan, biasanya mudir ma’had sendiri yang adzan, atau membangunkan pembina lainnya untuk menggedor-gedor satu persatu asrama santri.
            Subuh itu, ketika Sabana terbangun, tiang di dekat ranjangnya sudah penuh tempelan ucapan selamat ulang tahun, di pintu lemari pun begitu. Ia merasa senang dan sakit bersamaan. Pasalnya tempelan-tempelan itu dari adik-adiknya yang semalam ia marahi habis-habisan. Beberapa orang memberi kado kecil berupa bros, gantungan kunci, pin dan lain-lain. Salah satu tempelan yang begitu menyengat berbentuk kue ulang tahun warna pink berbunyi
“Selamat ulang tahun kak Sabana. Kullu aminu wa antunna bi khair. Semoga Tuhan selalu melindungimu dan tetap Sabar mengahdapi saya dan teman-teman J
Tiba-tiba tiga orang memeluk dari belakang.
“Happy birthday kak...” Sabana teriris hingga menangis.
Mengikut yang lain memeluk... lalu mengadu satu persatu.
“kak.... sebenarnya semalam kami hendak memberi kejutan. Kami akan membuat drama lalu membentang kertas bertuliskan Happy birthday. Maka dari itu kami pakai make up.” Yang lain mengiyakan dengan manja. Lalu ada yang menambah.
“iya kak... tetapi rencana kami berantakan begitu saja, gara-gara anak asrama atas melapor ke bagian keamanan...”
Suasana ini berakhir karena waktu sholat subuh yang mendekat.
            Tidak hanya kejadian ini, kejadian lainnya yang begitu mengejutkan usai shalat subuh ketika Sabana keluar asrama menikmati suasana pagi pondok, dari jarak 20 meter, di lapangan depan terlihat saudara-saudaranya (teman seangkatan) sedang latihan mengibarkan bendera sebelum upacara benar-benar dimulai. Ada sesuatu yang tiba-tiba rasanya begitu hangat membasuh hatinya. Malam hari kemudian ketiga orang tersebut dikabarkan batal di drop-out   diganti dengan hukuman lain. Salah satunya botak. Masalah tidak begitu saja selesai, pasalnya seperti rantai ada-ada saja yang menyambung, sebab cerita mungkin akan lain lagi jadinya kalau rantai masalah itu putus. Sebelum tamat dan menjadi alumni beberapa pelanggaran sampai membuat 9 orang harus botak sampai tamat. Kesembilannya  pun harus tertunduk malu di hadapan para orang tua saat itu, 3 orang di antaranya 2 santri laki-laki 1 santri perempuan pada akhirnya tak bisa lagi ditoleransi pelanggarannya harus hidup terpisah dengan ketigapuluh orang teman lainnya. Mereka pergi di detik-detik menuju ujian akhir.
            Agenda terbesar sebelum tamat pun sempat terkendala. Agenda itu adalah pentas dan pameran para santri setiap tahunnya, namun tiga hari sebelumnya properti-properti dirusak oleh orang-orang tak bertanggung jawab. Hal paling menyakitkan adalah ketika Ujian Akhir usai, Sabana dan teman-temannya ingin berpamitan. Mereka menunggu untuk mencium tangan orang yang telah dianggap Ayahanda tersebut. Beliau adalah Mudir ma’had. Namun, tanpa bisa terbaca entah karena marah atau merasa akan kehilangan anaknya ia sama sekali tak menyambut tangan-tangan itu malah memalingkan wajahnya. Sabana lebih kepada yakin bahwa Mudir ma’had merasa kehilangan seperti yang sering beliau sampaikan di ceramah-ceramahnya namun apa boleh buat, apa mau dikata sudah saatnya anak-anaknya pergi dan mencari ilmu di tempat lain. Meskipun perawakan wajahnya Sangar namun Mudir ma’had adalah seseorang yang hangat, dan tulus. Meskipun sejuta kesalahan santrinya, sejuta kali itu pula ia marah tapi santrinya tetaplah seorang anak dan iya seorang Ayah yang punya tanggung jawab besar..
“Pada akhirnya para santri yang terganggu dengan pertanyaan pertama saat mereka menginjak pondok yakni: Ke Pondok, Apa yang Ananda Cari? Akan menemukan lima jiwa seperti dalam panca jiwa pondok yang tiap sabtu pagi pada upacara pengibaran bendera dibacakan.
PANCA JIWA PONDOK
1.      Jiwa Keikhlasan
2.      Jiwa Kesederhanaan
3.      Jiwa Berdikari
4.      Jiwa Ukhuwah Islamiyah
5.      Jiwa Bebas
Tidak ada yang selesai seperti akhir cerita yang kau terka, karena cerita sebenarnya adalah kehidupan setelah tamat dari pondok, ketika mereka punya cita-cita yang berbeda, takdir yang berbeda, mereka terpisah pulau bahkan mungkin negara, namun jiwa mereka tetap sepondok. Dan Sabana ia masih dengan keadaannya selalu bertengkar dengan malam.
Sebuah mahfuzad berbunyi “Man arofa buddassafari ista’adda” yang artinya “Barang siapa yang mengetahui jauhnya perjalanan maka bersiap-siaplah ia”. 
“Belum ada yang selesai sebab kami masih mencari apa yang kami cari sebagai seorang santri”.  - Sabana



























Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUH. RIDHO S

#TugasIndividu ANALISIS NOVEL RADEN MANDASIA SI PENCURI DAGING SAPI BERDASARKAN PENDEKATAN RESEPSI SASTRA Landasan Teori Secara d...