#cerpen
BELUM SELESAI
Sabana sering
bertengkar dengan malam, dan parahnya dia yang kalah. Setiap kali mereka jatuh
dan menjatuhkan, dia yang menyerahkan diri pada malam tanpa mereka terjamin
untuk dibebaskan. Ahh... benar sekali itu seperti sebuah penyerahan diri yang
sia-sia. Tiap malam dia mengutuki diri sendiri bahwa dirinya ditakdirkan
menjadi seseorang tak berguna. Tidak semata-mata tanpa alasan, mengapa
Sabana merasa tak berguna. Beberapa kejadian membuatnya putus asa.
Kisah tentang Sabana,
Gadis yang senang sekali menangis tapi benci pada airmata. Sabana adalah
seorang santriwati di sebuah pondok pesantren, selama tiga tahun dia akan lebih
banyak mengahabiskan waktu di pondok daripada di rumah sendiri. Jelas saja
seseorang yang sudah memutuskan mondok di pesantren harus terima konsekuensi
bahwa selama sebulan ia harus di pondok, awal bulan baru bisa kembali ke rumah,
itu pun hanya sehari semalam antara kamis dan jumat.
Tidak sedikit
orang-orang yang menggambarkan suasana pondok pesantren adalah sebuah kota
kecil, hati akan damai sekali melihat gulungan sarung, kopia, baju koko dan
setiap tangan seorang anak (santri) menggenggam al-Qur’an berbondong-bondong ke
mesjid. Orang tua mana yang tidak bangga?
Namun, tidak banyak orang yang tahu lebih daripada itu, banyak pelajaran
dan perjalanan yang tidak umum seperti pada anak-anak seusia Sabana yang hanya
sibuk belajar, urusan lain adalah urusan masing-masing. Di Pondok Pesantren
satu urusan bisa melibatkan banyak orang, hal ini secara tidak langsung
menumbuhkan sikap solid pada diri santri-santriwatinya. Hal ini pula yang
membentuk Pribadi Sabana.
Pindah kepada kehidupan
barunya berpondok pesantren, Sabana benar-benar menemui banyak hal baru.
Seperti segala sesuatu waktunya terbatas, dan diatur. Segala hal serba berbagi,
antri, Segala hal serba hukuman bahkan hanya karena bahasa, yang sebenarnya di
luar sana jika kamu menegur orang-orang yang menggunakan bahasanya, mereka
mungkin akan berkata dengan sewot “mulut, mulut saya”. Maka di pesantren ada
begitu banyak aturan, kamu bisa punya tiga pilihan, jadi santri disiplin, jadi
santri yang paling banyak pelanggarannya atau jadi santri yang cerdik melanggar
cantik. Ah kita tidak akan memperpanjang membahas itu, semuanya akan terbahas
dan terbahasakan setelah cerita ini selesai.
Pribadi Introvert dalam
diri Sabana mulai ia temukan setelah beberapa minggu mondok, selama setelah
melewati berbagai tahap seperti
khutbatul Arsy (Pekan Perkenalan), Penggamblengan, Lepas sambut dan lain-lain,
Ia baru sadar bahwa dirinya adalah seseorang yang terbiasa sepi di kamar,
merenungi banyak hal, bahkan tentang mengapa hujan mampu jatuh ketika matahari terang? sedang di
pondok ia tinggal berasrama, hawa kesepian yang ia sukai harus terbagi pula
dengan puluhan santriwati lainnya.
Menjadi seseorang
Introvert dalam asrama yang dihuni puluhan orang, membuatnya berkali-kali
mengurung wajahnya di bawah bantal, atau menatap keluar jendela. Saat
keadaannya seperti itu, matanya mengunjungi setiap harapan dan kecemasannya
pada segala hal, tidak termasuk dirinya. Kesedihan lahir entah dari rahim
masalah mana, ataukah segala yang lahir telah bernama masalah. Apakah Sabana takut
menghadapi itu semua? Tidak ada yang tahu... sebab pada dirinya sendiri pun ia
bertanya, jawabannya hanya ada pada akhir cerita yang kau tunggu dan kau
keluhkan jalannya.
Cahaya-cahaya malam
yang malang, ia jadi tak ada gunanya ketika
masalah tetiba di telinga Sabana. Malam yang seharusnya terang dan
tenang sebab bintang-bintang , bulan, lampu-lampu di taman pondok menjadi gugur
ditegur airmata Sabana yang pedih. Setelah dua tahun hidup mondok, melewati
susah senang sama-sama, saling merangkul sampai saling bertengkar telah
diselesaikan bersama lalu kabar perpisahan datang begitu saja sebelum waktunya.
Bukankah Kesalahan seorang adalah kesalahan yang lainnya pula? Sebagai seorang
teman bahkan semenjak mondok statusnya jadi saudara, apakah bukan kesalahan
bagi seorang teman atau saudara yang tidak mencegah saudaranya melakukan
kesalahan? Apakah sebegitu cepat seseorang rela melepaskan orang-orang yang sudah
berjanji berakhir bersama, sementara pada kenyataannya ada yang berakhir lebih
dulu sebelum waktunya? Cerita rasanya kurang lengkap jika Skenario Tuhan malam
itu benar-benar menjadikan masalah ini sebagai ending. Toh Sabana yang malam
itu sedang berulang tahun harus menerima kabar bahwa tiga orang dari 33 orang
bersaudara (teman seangkatan di pondok) harus mengakhiri cerita mereka terlebih
dahulu.
Bukan soal perpisahan
saja, ini masalah kenangan. Kenangan tidak begitu saja hilang bersama kepergian
para perintisnya. Tiap hari makan bersama, belajar bersama, beradu masalah dan
bertukar solusi, duduk di bawah beringin dan saling menjaili tidak semudah itu
didrop Out dari ingatan seperti mudahnya ketiga orang itu di Drop Out dari
Madrasah. Kesakitan lainnya adalah rasa kehilangan menjadi kado ulang tahun
paling sakit. Di saat seharusnya semua Kawan merayakan hari bahagia, malah
airmata begitu mampu merayakan
kesedihan.
Malam itu, seharusnya
teman-teman Sabana mengucapakan Selamat Ulang Tahun bukan Selamat tinggal.
Malam itu harusnya mereka kompak latihan sebagai petugas upacara keesokan
harinya. Tapi malam itu tidak ada kerumunan pasukan pengibar bendera, tak ada
pasukan vocal grup atau pasukan pembaca yang tiap malam sabtu melakukan latihan
persiapan upacara keesokan harinya. Semua kawannya duduk terpisah dan
memisah-misah. Ada yang merenungi, ada yang mencari solusi, ada yang saling
menyalahkan sampai Sabana yang duduk menangis di sisi lapangan sendirian.
Malam
itu hanya remang-remang, tak ada gelap ataupun terang, masih abu-abu. Tapi
abu-abu tetap saja membuat semuanya tidak jelas dan ia cenderung menghitam.
Salah seorang teman yang dikabarkan sebagai salah satu calon Santri DO (Drop
Out) menghampiri Sabana, di sisi Sabana beberapa orang Santri Perempuan
mendekat lalu Santri yang terancam Drop Out itu berlutut di hadapan
saudara-saudara (teman-teman seangkatan) perempuannya.
“Saya minta maaf karena mengulangi
pelanggaran yang sama. Dan kali ini Ustadz dan Ustadzah mungkin tidak akan
memberi ampun. Saya sudah berulangkali didapati kabur dari pondok, merokok dan
lain sebagainya.” Tuturnya.
Beberapa orang menitikan air mata.
“kalian tahu rasanya menjadi saya
malam ini? Bukan semata karena hadiah
ulang tahun yang kalian kirimkan lewat mikrofon mesjid atau lewat raut wajah
kecewa mudir ma’had (Direktur Pondok Pesantren) tetapi kalian membuat saya
menjadi saudara tak berguna. Saudara yang tak mampu mencegah saudaranya berbuat
mungkar, saudara yang tak mampu mempertahankan saudaranya. Jika sudah sejauh
ini... apa lagi yang harus kita lakukan?”. Perasaan Sabana jebol lewat
ucapannya, serta airmatanya yang tak terbendung lagi.
“sekali lagi maaf... “ mereka lalu
tertunduk sama-sama.
“sekarang bagaimana? Besok adalah
Tugas upacara kita! Dan sekarang kita hanya mampu saling berfikir
sendiri-sendiri, nama angkatan rusak, dan kita juga akan menghancurkan
pelaksanaan upacara penaikan bendera esok, jika terus begini!” Ucap salah
seorang Santri Perempuan yang duduk di sebelah kanan Sabana. Sabana yang tak
tahan melihat suasana dan raut wajah kecewa teman-temannya langsung
meninggalkan lapangan, terburu-buru menuju asramanya.
Tidak hanya di
Lapangan... setelah Sabana menjatuhkan diri di ranjang, ia kembali
menyembunyikan wajahnya di bawah bantal dan membuat adik-adik binaannya terheran-heran
dengan sikapnya. Sabana sebagai Santriwati (siswi) aliyah (M.A) diberi amanah
untuk membina asrama kelas VII Tsanawiyah (Mts) yang kesemuanya adalah
orang-orang yang baru hidup beberapa bulan di pondok, masih manja, dan masih
mudah rindu rumah. Karena malam itu
ulang tahun Sabana, dan Sabana terlihat sedih, Adik-Adik binaannya yang
berjumlah 41 orang berniat menghibur Sabana dengan membuat suprise tepat di
pukul 24.00 wita. Namun, ketika persiapan itu selesai dirancang tiba-tiba pintu
depan asrama dibuka dengan kasar.
“Assalamu alaikum...”
itu suara Sarah, dia yang telah membuka pintu. Sarah adalah salah satu anggota dari Kismul Amni (Bagian Keamanan)
dan Bagian keamanan pula dalam struktur keorganisasin santri-santriwati pondok pesantren
merupakan bagian yang sangat disegani, mereka adalah orang-orang pilihan dan
konsekuensinya bagi keamanan lebih baik meminimalisir pelanggaran. Konsekuensi
lainnya mereka harus siap dibenci karena tiap hari memajang ekspresi harimau
lapar.
Tanpa basa-basi dan
tanpa bertanya, Sarah langsung saja marah-marah.
“mau jadi apa kalian safful awwal
(kelas satu) masih kecil-kecil sudah belajar make up. Ayo ikut mahkamah! Malam
ini kalian akan dapat hukumannya.” Dengan sangat ketakutan keempat puluh satu
orang adik-adik binaan Sabana ini tunduk kikuk dan bergegas ke tempat
penghukuman. Sabana yang mendengar ini tiba-tiba bangkit dan menghapus
airmatanya ia begitu kaget mendengar kedatangan Sarah yang masuk asrama tanpa
permisi, karena aturannya bagi siapa pun yang masuk asrama orang lain ia harus
mendapat izin dari pembina asrama. Setelah prosesi mahkamah dan anak-anak itu
kembali, Sabana sudah duduk di atas ranjang dengan kakinya di lantai.
“saya beri waktu sampai jarum jam
tepat di pukul 22.00, yang mau cuci-cuci, buang air dan aktifitas lainnya di
luar asrama pergunakan dengan baik. Yang terlambat atau lewat dari waktu yang
ditentukan akan kena hukuman tambahan dari saya. Setelah urusan selesai
langsung ambil tempat dan duduklah kalian semua di tengah, tepat di depan
ranjang saya”. Dengan suara tegas dan penuh penekanan Sabana membuat anak-anak itu kembali merasa takut,
terburu-buru menyelesaikan pekerjaan
lain. Setelah tepat pukul 22.00 seperti biasa Sabana akan menghitung
menggunakan bahasa Arab dan mereka yang
di luar asrama akan bersegera masuk asrama, ntah itu tidur atau mungkin masih
ada yang melanjutkan belajar meskipun sudah diperintahkan untuk tidur.
“wahid.. isnain.. tsalasa ...
arba... khamsah... si’ta... sab’ah.. samaaaniiiaaaa... tis’a.... “
Biasanya di angka 9 Sabana akan
berhenti untuk memperingati, angka sembilan kadang diulang
“Tis..aaaa......., tis’a wannisfi,
aaa.....syaroh” maka bersiaplah yang terlambat kadang dapat hukuman menghafal
atau membersihkan hammam (toilet) atau kalau beruntung hanya menyapu asrama.
Mereka kini telah berkumpul di
tengah-tengah tepat pada waktunya. Ada yang tertunduk, ada yang kebingungan.
Karena baru kali ini Sabana mengumpulkan mereka dengan raut wajah menakutkan.
Biasanya mereka berkumpul hanya untuk
berbagi cerita, bercanda atau mungkin mendiskusikan bagaimana asrama ke
depannya. Malam ini Sabana benar-benar berbeda bagi mereka.
“Assalamu alaikum warahmatullahi
wabarakatuh...” Sabana membuka pembicaraan.
“saya tidak akan berbasa-basi sama
kalian. Langsung saja... Siapa yang bisa bicara dan mempertanggungjawabkan
kejadian malam ini? “
Tidak ada yang menjawab kecuali
tertunduk.
“tidak ada yang mau bicara? Berarti
kalian kompak melanggar? Sekali lagi saya beri kesempatan, angkat tangan yang
mau bicara!” mereka kembali tertunduk. Sabana menghela nafas panjang...
“apa maunya kalian?. Kalian mau
apaaaaa?” nada bicara Sabana meninggi
“saya kira setiap malam saya selalu
ingatkan, ini itu adalah pelanggaran termasuk bawa alat make up. Kalian lupa
atau sengaja mau lihat saya dan kak Uli kalian seperti tak becus mengurus
kalian? Saya kira kalian setiap hari melihat. Saya tidak pernah mengajarkan
kalian hal-hal yang seperti itu. Atau hanya perasaan saya? Apa kakak yang
kurang becus dan tidak bisa kalian dengarkan? Jawaaabbb!” airmatanya kini
jatuh, begitu pula semua adik-adiknya mereka menangis bersama.
“Apa kalian pernah kakak beri
contoh menggunakan lipstik, cella, dan make up lainnya? Tidak kan? Kalian ini
masih kelas satu dik... kulit kalian bisa rusak jika terlalu cepat menggunakan make up. Kalian tahu tidak
bagaimana perasaan kakak waktu tiba-tiba bagian keamanan masuk begitu saja dan
saya tak tahu apa-apa, kalian dihukum karena bawa alat make up?.... saya tak
habis fikir kalian tak mengindahkan
sedikitpun yang selalu saya ingatkan.”
“ada yang bisa menjawab?” Sabana
melanjutkan tetapi adik-adiknya semakin tertunduk.
“kalian kenapa menangis? Kalau
tidak salah kenapa mesti menunduk? Tidak usah menunduk tapi menanduk...” Sabana
terbawa emosi, sebenarnya masalah ini tidak semestinya ia besarkan tapi
kejadian sebelumnya sudah menaikkan suhu amarahnya hingga ke ubun-ubun. Hingga
ia hanya akan kembali mendebat malam. Karena banyak yang tersedu-sedan, dan ia
pun sudah tak mampu menahan tangis, Sabana kemudian menghela nafas panjang,
lalu memerintahkan semua untuk tidur. Suara tangisan dari atas ranjang samar
masih Sabana dengar, ia tak berhenti menghela nafas hingga akhirnya mereka
terlelap dengan fikiran masing-masing dan mimpi masing-masing.
Jam
4.30 waktu subuh mulai menyentuh dan membangunkan setiap santri. Suara Mudir
ma’had menyanyikan syair abunawas
lantang dan damai menjadi sepercik kenangan tersendiri, menjadi salah
satu hal yang paling dirindukan para alumni pondok. Selanjutnya Mudir ma’had
akan membangunkan santrinya dengan bahasa Arab “ Kum.. kum.. kum... sholat..
sholat... sholat... assholatu khairumminannaum....” itu akan diulangnya sampai
masuk waktu adzan. Jika masuk waktu adzan tak ada yang adzan, biasanya mudir
ma’had sendiri yang adzan, atau membangunkan pembina lainnya untuk
menggedor-gedor satu persatu asrama santri.
Subuh
itu, ketika Sabana terbangun, tiang di dekat ranjangnya sudah penuh tempelan
ucapan selamat ulang tahun, di pintu lemari pun begitu. Ia merasa senang dan
sakit bersamaan. Pasalnya tempelan-tempelan itu dari adik-adiknya yang semalam
ia marahi habis-habisan. Beberapa orang memberi kado kecil berupa bros,
gantungan kunci, pin dan lain-lain. Salah satu tempelan yang begitu menyengat
berbentuk kue ulang tahun warna pink berbunyi
“Selamat ulang tahun kak Sabana.
Kullu aminu wa antunna bi khair. Semoga Tuhan selalu melindungimu dan tetap
Sabar mengahdapi saya dan teman-teman J”
Tiba-tiba tiga orang memeluk dari
belakang.
“Happy birthday kak...” Sabana
teriris hingga menangis.
Mengikut yang lain memeluk... lalu
mengadu satu persatu.
“kak.... sebenarnya semalam kami
hendak memberi kejutan. Kami akan membuat drama lalu membentang kertas
bertuliskan Happy birthday. Maka dari itu kami pakai make up.” Yang lain
mengiyakan dengan manja. Lalu ada yang menambah.
“iya kak... tetapi rencana kami
berantakan begitu saja, gara-gara anak asrama atas melapor ke bagian keamanan...”
Suasana ini berakhir karena waktu
sholat subuh yang mendekat.
Tidak
hanya kejadian ini, kejadian lainnya yang begitu mengejutkan usai shalat subuh
ketika Sabana keluar asrama menikmati suasana pagi pondok, dari jarak 20 meter,
di lapangan depan terlihat saudara-saudaranya (teman seangkatan) sedang latihan
mengibarkan bendera sebelum upacara benar-benar dimulai. Ada sesuatu yang tiba-tiba
rasanya begitu hangat membasuh hatinya. Malam hari kemudian ketiga orang
tersebut dikabarkan batal di drop-out diganti dengan hukuman lain. Salah satunya
botak. Masalah tidak begitu saja selesai, pasalnya seperti rantai ada-ada saja
yang menyambung, sebab cerita mungkin akan lain lagi jadinya kalau rantai
masalah itu putus. Sebelum tamat dan menjadi alumni beberapa pelanggaran sampai
membuat 9 orang harus botak sampai tamat. Kesembilannya pun harus tertunduk malu di hadapan para orang
tua saat itu, 3 orang di antaranya 2 santri laki-laki 1 santri perempuan pada
akhirnya tak bisa lagi ditoleransi pelanggarannya harus hidup terpisah dengan
ketigapuluh orang teman lainnya. Mereka pergi di detik-detik menuju ujian
akhir.
Agenda
terbesar sebelum tamat pun sempat terkendala. Agenda itu adalah pentas dan
pameran para santri setiap tahunnya, namun tiga hari sebelumnya
properti-properti dirusak oleh orang-orang tak bertanggung jawab. Hal paling
menyakitkan adalah ketika Ujian Akhir usai, Sabana dan teman-temannya ingin
berpamitan. Mereka menunggu untuk mencium tangan orang yang telah dianggap
Ayahanda tersebut. Beliau adalah Mudir ma’had. Namun, tanpa bisa terbaca entah
karena marah atau merasa akan kehilangan anaknya ia sama sekali tak menyambut
tangan-tangan itu malah memalingkan wajahnya. Sabana lebih kepada yakin bahwa
Mudir ma’had merasa kehilangan seperti yang sering beliau sampaikan di
ceramah-ceramahnya namun apa boleh buat, apa mau dikata sudah saatnya
anak-anaknya pergi dan mencari ilmu di tempat lain. Meskipun perawakan wajahnya
Sangar namun Mudir ma’had adalah seseorang yang hangat, dan tulus. Meskipun
sejuta kesalahan santrinya, sejuta kali itu pula ia marah tapi santrinya
tetaplah seorang anak dan iya seorang Ayah yang punya tanggung jawab besar..
“Pada akhirnya para santri yang
terganggu dengan pertanyaan pertama saat mereka menginjak pondok yakni: Ke
Pondok, Apa yang Ananda Cari? Akan menemukan lima jiwa seperti dalam panca jiwa
pondok yang tiap sabtu pagi pada upacara pengibaran bendera dibacakan.
PANCA JIWA PONDOK
1.
Jiwa Keikhlasan
2. Jiwa
Kesederhanaan
3. Jiwa
Berdikari
4. Jiwa
Ukhuwah Islamiyah
5.
Jiwa Bebas
Tidak ada yang selesai
seperti akhir cerita yang kau terka, karena cerita sebenarnya adalah kehidupan
setelah tamat dari pondok, ketika mereka punya cita-cita yang berbeda, takdir
yang berbeda, mereka terpisah pulau bahkan mungkin negara, namun jiwa mereka
tetap sepondok. Dan Sabana ia masih dengan keadaannya selalu bertengkar dengan
malam.
Sebuah mahfuzad
berbunyi “Man arofa buddassafari
ista’adda” yang artinya “Barang siapa yang mengetahui jauhnya perjalanan
maka bersiap-siaplah ia”.
“Belum
ada yang selesai sebab kami masih mencari apa yang kami cari sebagai seorang
santri”. -
Sabana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar