#TugasIndividu
ANALISIS FEMINISME
PENGAKUAN EKS PARASIT LAJANG: AYU UTAMI
Identitas Novel
:
Jenis :
Novel (Autobiografi)
Tahun Terbit : 2013
Kota Terbit : Jakarta
Tebal : 328 halaman
Tahun Terbit : 2013
Kota Terbit : Jakarta
Tebal : 328 halaman
ISBN :
978-979-91-0537-0
Harga :
Rp 60.000
Sinopsis
Novel "Eks Parasit Lajang" karya Ayu Utami.
A
adalah seorang anak yang hidup dan mengenyam pendidikan di kota hujan. A
memiliki Ayah yang sangat galak, maklum dia memiliki wibawa seorang jaksa yang
berduit, kontras dengan Ibunya yang lemah lembut seperti bidadari. Ayah A
memiliki dua orang kakak yang hidup bersama mereka tetapi berbeda atap.
Dinamakannya Bibi kurus dan Bibi gendut. Kedua orang bibi yang baik menurutnya
itu berubah menjadi jahat, tatkala kakaknya bilang bahwa tante mereka telah
mengadu domba Ayah dan Ibunya. Mereka mengatakan bahwa Ibunya selingkuh ketika
ayahnya tugas keluar kota, sehingga Ayahnya menjadi murka. Si A melihat ada
yang salah dengan kedua Bibinya yang baik itu. Mereka iri.
Setelah berusia dua puluh dan
memasuki jenjang kuliah, A bertekad untuk melepas keperawanannya, A ingin
melawan budaya ketidakadilan Patriarki. Menurutnya, mengapa keperawanan sangat
diagungkan oleh budaya patriarki, dan seolah-olah dengan tidak perawan wanita
menjadi tidak terhormat. Padahal menurutnya vagina adalah organ sama seperti
mata, mulut dan telinga. Lalu terjadilah proses pencarian kepada siapa
keperawanannya akan diberikan?
Si A punya pacar di kampus, dua
sekaligus, tetapi A harus tetap memilih siapa lelaki pertamanya? A memilih Nik,
pria selingkuhan dari pacar petamanya. Pada akhirnya A dan Nik terus berpacaran
selama kurang lebih 1 dekade. A tidak bisa setia kepada lelaki, dia terus saja
selingkuh dan menjadi wanita gelap pria beristri. Sampai akhirnya A bertemu
dengan Rik, pria yang mendampingi hidupnya sampai saat ini. A pernah
menghianati Rik, tetapi kemudian A sadar bahwa lelaki (yang enggan untuk dia
setiakan) adalah juga manusia. "Aku bisa menghianati lelaki, tetapi aku
tidak bisa menghianati manusia."
Walau A berfikir untuk tidak percaya
pada Tuhannya, A tetap senang datang ke Gereja dan membaca Alkitab. Pada eranya
banyak kejadian Gereja-Gereja yang diserang oleh segelintir orang yang tidak
senang akan keberadaan agama minoritas. A tidak bisa membiarkan ketidakadilan
tersebut. A ingin membela komunitasnya, tetapi A tidak punya daya dan pengaruh
apa-apa di gereja. Dia merasa bukan orang yang taat, tidak menikah dan
sebagainya yang membuatnya merasa rendah diri untuk membela. Akhirnya, karena
hal tersebut, A memutuskan untuk menikah di gereja (tidak secara negara). A
menikah dengan satu syarat: tidak ada catatan tertulis di Gereja jika lelaki
dan wanita menikah, lelaki yang harus menjadi kepala rumah tangga.
"Tapi
percakapan hari itu memberiku pelajaran besar tentang lelaki dan perempuan.
Yaitu bahwa ada yang tidak beres dengan nilai-nilai masyarakat. Nilai-nilai
yang mengharuskan lelaki menjadi pemimpin perempuan. Lelaki dibebani tuntutan
tidak proporsional untuk menjadi lebih dari perempuan. Akibatnya, lelaki jadi
gampang minder. Dan perempuan dibebani tuntutan tak adil untuk merendahkan diri
demi menjaga ego lelaki. Itu sungguh tidak benar dan tidak adil. Sampai dewasa,
sampai hari ini, aku tetap mengatakannya itu sungguh tidak benar dan tidak
adil."
ANALISIS FEMINISME
PENGAKUAN
EKS PARASIT LAJANG: AYU UTAMI
Novel ini bercerita tentang
perjalanan kesadaran yang merupakan otobiografi seksualitas dan spiritual.
Cerita yang dituliskan oleh penulis, merupakan kisah nyata tentang seseorang
perempuan yang melepas keperawanannya di usia duapuluh, sekaligus
menghapus konsep keperawanan yang baginya tidak adil.
Salah satu unsur yang cukup menarik untuk dianalisis adalah feminisme, karena
ia menjadi warna yang cukup dominan di dalam novel “Pengakuan Eks Parasit
Lajang” karya Ayu Utami. Secara sederhana, feminisme adalah ideologi pembebasan
perempuan, karena dalam pendekatannya, ia memiliki keyakinan bahwa perempuan
mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya. Aliran-aliran tersebut muncul
juga dikarenakan, feminisme menggabungkan berbagai metode analisis dan teori,
khususnya dari sudut pandang perempuan.
Di dalam novel ini terdapat satu tokoh perempuan yang bernama A. Dia merupakan
pelaku utama atau tokoh utama yang serba tahu. Dalam ceritanya, A menyampaikan
pengakuan-pengakuan terhadap dunia yang kurang adil. Agama yang memosisikan
kaum perempuan dibawah kaum laki-laki. Memandang wanita sebagai objek bukan
sebagai subjek dalam kehidupan. Ketidaksetaraan mengenai perempuan pada konsep
agama yang problematis. Agama membangun nilai-nilai yang tidak adil kepada
perempuan secara umum. Melarang perempuan jadi imam. Menjadikan lelaki imam
atas perempuan. Agama membesarkan dirinya atas ketakutan umat. Agama
menebar ancaman dan menjadi dasar tindak kekerasan. Dan pada praktiknya,
banyak kasus pemimpin agama yang korup dalam hal moral maupun uang. Banyak
pastor yang terlibat skandal pedofilia. Tidak hanya masalah agama saja, namun
juga masalah kebudayaan yang dirasa kurang seimbang dalam memosikan perempuan.
Status atau
kedudukan tokoh A dalam novel ini adalah seorang perempuan yang berjuang untuk
mencari keadilan. Seorang perempuan yang mencari jati dirinya akibat benturan
dengan kebudayaan yang kurang sesuai dan nilai-nilai agama yang kurang sejalan.
Kisah ini bermula dari tokoh A yang mulai melepas keperawanannya di usia
duapuluh. Hal ini terbukti seperti dalam pengakuannya:
“maka
tibalah masa itu. Umurku memasuki tahun ke keduapuluh. Aku telah siap untuk
menutup masa perawanku. Aku telah berani untuk mengalami persetubuhan yang
sesungguhnya. ... ” (Ayu Utami, 2013:18)
Dari pengakuan tokoh A tersebut diatas, kisah ini dimulai dimana tokoh A
melepas keperawanannya. Hal pertama yang terjadi diawal usianya yang ke
duapuluh. Pengakuan ini menyebabkan dirinya untuk menjauhkan diri dari agama.
Sedangkan dia sedari kecil adalah bocah yang memiliki ketertarikan lebih
terhadap agama. Namun seiring berjalannya waktu, dia semakin kritis dalam
menyikapi permasalahan dan nilai-nilai yang diterapkan oleh agama.
Kemudian hal yang mendasari dari tokoh A sehingga dia memutuskan untuk mencari
keadilannya adalah pertentangan tentang adat istiadat. Tentang nilai-nilai yang
dirasa kurang adil dalam penerapannya. Hal tersebut seperti yang ada pada kutipan
di bawah ini.
“Aku
selalu merasa ada yang tidak adil setiap kali manusia diterapkan dalam skala
nilai kesempurnaan. Itu menempatkan manusia dalam hirarki kesempurnaan.
Membayang sebuah kontes di mana manusia dinilai akumulatif baik penampilan
fisik, perilaku, maupun intelektualitasnya akan menghasilkan pemenang–mereka
yang mendekati sempurna: rupawan, pintar, cerdas, elegan, dan barangkali juga
berbudi–serta manusia pecundang –mereka yang buruk rupa, tolol, cacat, tidak
terpelajar, kikuk dan barangkali juga pendengki. Dalam hidupku aku memang
bertemu manusia-manusia yang begitu kontras. Ada yang sudah keren, pintar,
kaya, berbakat, dan baik pula. Ada yang sudah jelek, miskin, bodoh, pengkor,
pece, iri hati, dan jahat pula. Betapa tak adil dunia. Dan, betapa mengerikan
bahwa manusia masih membikin kompetisi untuk merayakan ketidakadilan itu.
Hirarki kesempernuaan.” (Ayu Utami, 2013:60)
Perbedaan dalam skala gender memang mengakibatkan manusia mempunyai ruang sekat.
Pergerakan yang mereka lakukan akan menjadikan sebuah pergeseran yang berdampak
pada perempuan. Dimana perempuan yang sebagai objek laki-laki akan selalu di
bawah kaum laki-laki. Nilai-nilai yang kurang relevan terhadap perempuan
menjadikan perempuan tidak memiliki ruang gerak untuk bekerja dan berkarya. Hal
ini juga seperti yang terkandung pada kutipan di bawah ini.
“Aku jadi
tahu bahwa setiap lingkungan memiliki nilainya sendiri. Di dunia peragawati
manusia dipuja berdasarkan panjang kaki yang dimiliki. Di dunia tulis menulis
berdasarkan berapa banyak buku yang dibaca atau ditulis. Di tempat lain dengan
kriteria yang lain. Setiap nilai memiliki pemenang dan pecundangnya
masing-masing. Disitulah aku berpikir bahwa, demi keadilan bagi setiap manusia,
memang sebaiknya ada banyak sistem nilai. Sehingga orang yang terpinggirkan di
satu sistem nilai bisa mendapatkan tempat di sistem nilai yang lain. Setidaknya
memperkecil kemungkinan orang kecil terpinggirkan. Tak ada manusia yang ingin
terpinggirkan. Dan jangan kita mencoba mencari totalitas nilai. Jangan kita
membikin hirarki kesempurnaan. Dari pengalaman inilah aku sungguh-sungguh
percaya bahwa keberagaman itu perlu, demi keadilan dan kemanusiaan.” (hal 62)
Kemudian hal tersebut di perkuat dengan pendapatnya, tentang pertentangan adat
dan aturan-aturan yang telah sekian lama menjadi budaya. Inilah yang sempat
dirasa kurang adil menurut A. Seperti yang ada dalam kutipan dibawah ini.
“Aku pernah
memikirkan pernikahanku dengan Nik. Seperti apa pesta perkawinan kami nanti?
Aku tak suka upacara Jawa. Kakak pertamaku menjalani seremoni adat secara
penuh. Mulai dari pertunangan, pingitan simbolis, serah-serahan, siraman, dan
lain-lain. Aku tidak suka prosesi itu. Terutama pada bagian di mana pengantin perempuan
membasuh kaki calon suaminya. Itu tanda bakti dan melayani. Tak ada yang salah
dengan berbakti dan melayani. Tapi jika itu tidak dilakukan secara setara,
buatku itu tidak benar. Ada yang salah disana. Jika hanya perempuan yang
membasuh kaki lelaki, dan tidak sebaliknya juga, maka aku tidak bisa
menerimanya. Jadi, aku suka masygul membayangkan harus mencuci kaki Nik. Kenapa
pula aku harus mencuci kakinya di depan umum dengan wajah cemong?” (hal 75)
A merasa kurang adil dengan adat istiadat seperti yang ada di atas. A merasa
harus setara antara apa yang ada dilakukan oleh perempuan haruslah sama dengan
yang dilakukan perempuan.
Kemudian hal tersebut ditambah dengan perbedaan kelas, yang mengakibatkan
wanita semakin merasa kuang adil dalam posisi dan kurang setara dalam
perlakuan. Hal ini juga tersirat dalam kutipan yang ada dibawah ini.
“...
perempuan kurang suka pria yang tak punya bagasi lebih. Maka, kita kembali pada
persoalan jender dan kelas. Kita bertemu lagi dengan nilai-nilai yang
menempatkan lelaki lebih dari pada perempuan. Akibatnya, perempuan mencari
lelaki dari kelas yang setidaknya sama atau lebih rendah darinya. Tentu ada
pengecualian di sana-sini. Tapi, yang terjadi di kantor A adalah pola umum.”
(hal 190)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar