Rabu, 07 Juni 2017

RAHMA SARI USMAN


#TugasIndividu 

ANALISIS FEMINISME
PENGAKUAN EKS PARASIT LAJANG: AYU UTAMI

Identitas Novel :



Judul                 : Pengakuan Eks Parasit Lajang
Penulis              : Ayu Utami
Penerbit            : KPG

Jenis                  : Novel (Autobiografi)
Tahun Terbit     : 2013
Kota Terbit       : Jakarta
Tebal                 : 328 halaman
ISBN                : 978-979-91-0537-0
Harga                : Rp 60.000
Sinopsis Novel "Eks Parasit Lajang" karya Ayu Utami.
            A adalah seorang anak yang hidup dan mengenyam pendidikan di kota hujan. A memiliki Ayah yang sangat galak, maklum dia memiliki wibawa seorang jaksa yang berduit, kontras dengan Ibunya yang lemah lembut seperti bidadari. Ayah A memiliki dua orang kakak yang hidup bersama mereka tetapi berbeda atap. Dinamakannya Bibi kurus dan Bibi gendut. Kedua orang bibi yang baik menurutnya itu berubah menjadi jahat, tatkala kakaknya bilang bahwa tante mereka telah mengadu domba Ayah dan Ibunya. Mereka mengatakan bahwa Ibunya selingkuh ketika ayahnya tugas keluar kota, sehingga Ayahnya menjadi murka. Si A melihat ada yang salah dengan kedua Bibinya yang baik itu. Mereka iri.
            Setelah berusia dua puluh dan memasuki jenjang kuliah, A bertekad untuk melepas keperawanannya, A ingin melawan budaya ketidakadilan Patriarki. Menurutnya, mengapa keperawanan sangat diagungkan oleh budaya patriarki, dan seolah-olah dengan tidak perawan wanita menjadi tidak terhormat. Padahal menurutnya vagina adalah organ sama seperti mata, mulut dan telinga. Lalu terjadilah proses pencarian kepada siapa keperawanannya akan diberikan?
            Si A punya pacar di kampus, dua sekaligus, tetapi A harus tetap memilih siapa lelaki pertamanya? A memilih Nik, pria selingkuhan dari pacar petamanya. Pada akhirnya A dan Nik terus berpacaran selama kurang lebih 1 dekade. A tidak bisa setia kepada lelaki, dia terus saja selingkuh dan menjadi wanita gelap pria beristri. Sampai akhirnya A bertemu dengan Rik, pria yang mendampingi hidupnya sampai saat ini. A pernah menghianati Rik, tetapi kemudian A sadar bahwa lelaki (yang enggan untuk dia setiakan) adalah juga manusia. "Aku bisa menghianati lelaki, tetapi aku tidak bisa menghianati manusia." 
            Walau A berfikir untuk tidak percaya pada Tuhannya, A tetap senang datang ke Gereja dan membaca Alkitab. Pada eranya banyak kejadian Gereja-Gereja yang diserang oleh segelintir orang yang tidak senang akan keberadaan agama minoritas. A tidak bisa membiarkan ketidakadilan tersebut. A ingin membela komunitasnya, tetapi A tidak punya daya dan pengaruh apa-apa di gereja. Dia merasa bukan orang yang taat, tidak menikah dan sebagainya yang membuatnya merasa rendah diri untuk membela. Akhirnya, karena hal tersebut, A memutuskan untuk menikah di gereja (tidak secara negara). A menikah dengan satu syarat: tidak ada catatan tertulis di Gereja jika lelaki dan wanita menikah, lelaki yang harus menjadi kepala rumah tangga.
            "Tapi percakapan hari itu memberiku pelajaran besar tentang lelaki dan perempuan. Yaitu bahwa ada yang tidak beres dengan nilai-nilai masyarakat. Nilai-nilai yang mengharuskan lelaki menjadi pemimpin perempuan. Lelaki dibebani tuntutan tidak proporsional untuk menjadi lebih dari perempuan. Akibatnya, lelaki jadi gampang minder. Dan perempuan dibebani tuntutan tak adil untuk merendahkan diri demi menjaga ego lelaki. Itu sungguh tidak benar dan tidak adil. Sampai dewasa, sampai hari ini, aku tetap mengatakannya itu sungguh tidak benar dan tidak adil."

ANALISIS FEMINISME
PENGAKUAN EKS PARASIT LAJANG: AYU UTAMI
            Novel ini bercerita tentang perjalanan kesadaran yang merupakan otobiografi seksualitas dan spiritual. Cerita yang dituliskan oleh penulis, merupakan kisah nyata tentang seseorang  perempuan yang melepas keperawanannya di usia duapuluh, sekaligus menghapus konsep keperawanan yang baginya tidak adil.
            Salah satu unsur yang cukup menarik untuk dianalisis adalah feminisme, karena ia menjadi warna yang cukup dominan di dalam novel “Pengakuan Eks Parasit Lajang” karya Ayu Utami. Secara sederhana, feminisme adalah ideologi pembebasan perempuan, karena dalam pendekatannya, ia memiliki keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya. Aliran-aliran tersebut muncul juga dikarenakan, feminisme menggabungkan berbagai metode analisis dan teori, khususnya dari sudut pandang perempuan.
            Di dalam novel ini terdapat satu tokoh perempuan yang bernama A. Dia merupakan pelaku utama atau tokoh utama yang serba tahu. Dalam ceritanya, A menyampaikan pengakuan-pengakuan terhadap dunia yang kurang adil. Agama yang memosisikan kaum perempuan dibawah kaum laki-laki. Memandang wanita sebagai objek bukan sebagai subjek dalam kehidupan. Ketidaksetaraan mengenai perempuan pada konsep agama yang problematis. Agama membangun nilai-nilai yang tidak adil kepada perempuan secara umum. Melarang perempuan jadi imam. Menjadikan lelaki imam atas perempuan. Agama membesarkan dirinya atas ketakutan umat. Agama menebar  ancaman dan menjadi dasar tindak kekerasan. Dan pada praktiknya, banyak kasus pemimpin agama yang korup dalam hal moral maupun uang. Banyak pastor yang terlibat skandal pedofilia. Tidak hanya masalah agama saja, namun juga masalah kebudayaan yang dirasa kurang seimbang dalam memosikan perempuan.
Status atau kedudukan tokoh A dalam novel ini adalah seorang perempuan yang berjuang untuk mencari keadilan. Seorang perempuan yang mencari jati dirinya akibat benturan dengan kebudayaan yang kurang sesuai dan nilai-nilai agama yang kurang sejalan.
            Kisah ini bermula dari tokoh A yang mulai melepas keperawanannya di usia duapuluh. Hal ini terbukti seperti dalam pengakuannya:
“maka tibalah masa itu. Umurku memasuki tahun ke keduapuluh. Aku telah siap untuk menutup masa perawanku. Aku telah berani untuk mengalami persetubuhan yang sesungguhnya. ... ” (Ayu Utami, 2013:18)
            Dari pengakuan tokoh A tersebut diatas, kisah ini dimulai dimana tokoh A melepas keperawanannya. Hal pertama yang terjadi diawal usianya yang ke duapuluh. Pengakuan ini menyebabkan dirinya untuk menjauhkan diri dari agama. Sedangkan dia sedari kecil adalah bocah yang memiliki ketertarikan lebih terhadap agama. Namun seiring berjalannya waktu, dia semakin kritis dalam menyikapi permasalahan dan nilai-nilai yang diterapkan oleh agama.
            Kemudian hal yang mendasari dari tokoh A sehingga dia memutuskan untuk mencari keadilannya adalah pertentangan tentang adat istiadat. Tentang nilai-nilai yang dirasa kurang adil dalam penerapannya. Hal tersebut seperti yang ada pada kutipan di bawah ini.
 “Aku selalu merasa ada yang tidak adil setiap kali manusia diterapkan dalam skala nilai kesempurnaan. Itu menempatkan manusia dalam hirarki kesempurnaan. Membayang sebuah kontes di mana manusia dinilai akumulatif baik penampilan fisik, perilaku, maupun intelektualitasnya akan menghasilkan pemenang–mereka yang mendekati sempurna: rupawan, pintar, cerdas, elegan, dan barangkali juga berbudi–serta manusia pecundang –mereka yang buruk rupa, tolol, cacat, tidak terpelajar, kikuk dan barangkali juga pendengki. Dalam hidupku aku memang bertemu manusia-manusia yang begitu kontras. Ada yang sudah keren, pintar, kaya, berbakat, dan baik pula. Ada yang sudah jelek, miskin, bodoh, pengkor, pece, iri hati, dan jahat pula. Betapa tak adil dunia. Dan, betapa mengerikan bahwa manusia masih membikin kompetisi untuk merayakan ketidakadilan itu. Hirarki kesempernuaan.”  (Ayu Utami, 2013:60)
            Perbedaan dalam skala gender memang mengakibatkan manusia mempunyai ruang sekat. Pergerakan yang mereka lakukan akan menjadikan sebuah pergeseran yang berdampak pada perempuan. Dimana perempuan yang sebagai objek laki-laki akan selalu di bawah kaum laki-laki. Nilai-nilai yang kurang relevan terhadap perempuan menjadikan perempuan tidak memiliki ruang gerak untuk bekerja dan berkarya. Hal ini juga seperti yang terkandung pada kutipan di bawah ini.
“Aku jadi tahu bahwa setiap lingkungan memiliki nilainya sendiri. Di dunia peragawati manusia dipuja berdasarkan panjang kaki yang dimiliki. Di dunia tulis menulis berdasarkan berapa banyak buku yang dibaca atau ditulis. Di tempat lain dengan kriteria yang lain. Setiap nilai memiliki pemenang dan pecundangnya masing-masing. Disitulah aku berpikir bahwa, demi keadilan bagi setiap manusia, memang sebaiknya ada banyak sistem nilai. Sehingga orang yang terpinggirkan di satu sistem nilai bisa mendapatkan tempat di sistem nilai yang lain. Setidaknya memperkecil kemungkinan orang kecil terpinggirkan. Tak ada manusia yang ingin terpinggirkan. Dan jangan kita mencoba mencari totalitas nilai. Jangan kita membikin hirarki kesempurnaan. Dari pengalaman inilah aku sungguh-sungguh percaya bahwa keberagaman itu perlu, demi keadilan dan kemanusiaan.” (hal 62)
            Kemudian hal tersebut di perkuat dengan pendapatnya, tentang pertentangan adat dan aturan-aturan yang telah sekian lama menjadi budaya. Inilah yang sempat dirasa kurang adil menurut A. Seperti yang ada dalam kutipan dibawah ini.
“Aku pernah memikirkan pernikahanku dengan Nik. Seperti apa pesta perkawinan kami nanti? Aku tak suka upacara Jawa. Kakak pertamaku menjalani seremoni adat secara penuh. Mulai dari pertunangan, pingitan simbolis, serah-serahan, siraman, dan lain-lain. Aku tidak suka prosesi itu. Terutama pada bagian di mana pengantin perempuan membasuh kaki calon suaminya. Itu tanda bakti dan melayani. Tak ada yang salah dengan berbakti dan melayani. Tapi jika itu tidak dilakukan secara setara, buatku itu tidak benar. Ada yang salah disana. Jika hanya perempuan yang membasuh kaki lelaki, dan tidak sebaliknya juga, maka aku tidak bisa menerimanya. Jadi, aku suka masygul membayangkan harus mencuci kaki Nik. Kenapa pula aku harus mencuci kakinya di depan umum dengan wajah cemong?” (hal 75)
            A merasa kurang adil dengan adat istiadat seperti yang ada di atas. A merasa harus setara antara apa yang ada dilakukan oleh perempuan haruslah sama dengan yang dilakukan perempuan.
            Kemudian hal tersebut ditambah dengan perbedaan kelas, yang mengakibatkan wanita semakin merasa kuang adil dalam posisi dan kurang setara dalam perlakuan. Hal ini juga tersirat dalam kutipan yang ada dibawah ini.
“... perempuan kurang suka pria yang tak punya bagasi lebih. Maka, kita kembali pada persoalan jender dan kelas. Kita bertemu lagi dengan nilai-nilai yang menempatkan lelaki lebih dari pada perempuan. Akibatnya, perempuan mencari lelaki dari kelas yang setidaknya sama atau lebih rendah darinya. Tentu ada pengecualian di sana-sini. Tapi, yang terjadi di kantor A adalah pola umum.” (hal 190)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUH. RIDHO S

#TugasIndividu ANALISIS NOVEL RADEN MANDASIA SI PENCURI DAGING SAPI BERDASARKAN PENDEKATAN RESEPSI SASTRA Landasan Teori Secara d...