#cerpen
JENDELA KEIKHLASAN
Kala
itu. Selalu, pada akhirnya kita akan pulang pada kesendirian, setalah
berakhirnya seragam putih abu-abu. Setelah mendapatkan kalimat “selamat anda
diterima” disalah satu perguruan tinggi Negeri di Makassar. Setelah mendapat
pelukan tulus dari bidadari tanpa sayap dan sang ksatria tanpa kuda, setelah
memilih rantau sebagai tujuan selanjutnya dan rumah panggung dijalan setapak
menuju ke sebuah sekolah dasar negeri hanya tinggal simbol kekokohan yang sebenarnya
teramat rapuh dan jauh.
Disanalah tempat segala rasa yang terkumpul menjadi
warna, warna yang selalu menyertaiku setelahnya. Dengan ocehan setiap pagi,
keluhan setiap siang, dan bunyi dering gawai menjelang dini hari. Membayangkan
tentang waktu yang tak terukur, berimajinasi tentang waktu yang tak terkira.
Lengang dan sepi. Tapi hidup tentu akan terus berjalan.
Begitupun
dengan sahabat-sahabatnya, bahkan beberapa diantarnya lulus di perguruan tinggi
terkenal yang ada diluar Sulawesi..
Sebuah
jam dinding di atas pintu kamar menunjukan pukul satu dini hari, seketika
terlihat sehelai daun jatuh begitu santun dan pasrah yang ditiup angin masuk ke
tempat peraduan melalui bibir jendela yang masih terbuka lebar. Dalam hati Ia
berkata “mungkin angka-angka selalu membuat kehilangan menjadi lebih nyata”,
Setelah mengamati angka demi angka, menghayati nada detak jarum detik pada jam
tersebut, perhatiannya beralih pada foto keluarga dengan bingkai yang lumayan
besar disisi dinding yang lain dan dibagian bawah foto keluarga, pas di atas
meja belajar terdapat foto para sahabatnya sajak SD, SMP, bahkan sampai SMA.
Sahabatnya itu bernama Hafiz, Jarwo, Wawan, dan Soni. Mereka berlima bisa
dibilang tetangga karena jarak rumah mereka tidak terlalu jauh dari rumah
masing-masing, bahkan meraka selalu sekelas mulai dari bangku SD, SMP, SMA.
Namun hal yang terfikirkan dahulu yang tak terasa sudah diujung rasa. Ya, benar
mereka pada akhirnya dipisahkan oleh bangku kuliah. Hafiz yang ke Kalimantan
bersama ayahnya, Jarwo yang lulus di salah satu Universitas di Gorontalo. Wawan
yang memilih untuk menjadi perantau di Malaysia dan Soni yang diterima di salah
satu Universitas ternama di Pulau Jawa.
Ia
mengamati satu persatu setiap wajah yang terpampang dalam foto tersebut. Kedua
orang tuanya yang sudah mulai dimakan tua dan kedua adiknya yang pada akhirnya
mungkin akan merasakan pula apa yang Ia rasakan saat ini. Tak lupa pula iya
menatap foto para sahabatnya. Entah mengapa mereka sama-sama tersenyum saat
berfoto, ia pun menghela nafas panjang.
Kepergian
barangkali mendatangkan kesunyian tapi sunyi sudah pasti akan mendatangkan rindu. Jauh dari
rumah dan suara para saudara serta candaan keluarga yang barangkali adalah arus
kebahagiaan yang hanyut terbawa cita-cita masa depan sejauh kurang lebih 300 km
dari rumah. Dan para sahabat yang pergi satu persatu tanpa kabar dan kontak
sedikitpun, mungkin ini yang dinamakan lupa yang tak disengaja. Adakah
kepergian atau kesendirian dapat melunasi itu? Ia bergumam sendiri, lalu
berjalan kesaklar lampu untuk menciptakan suasan kamar sebagai cermin suasana
hati, kemudian baring di atas kasur sambil memutar lagu-lagu indie sebagai
perintang waktu sebelum larut mengirim kantuk. Sebelum ia benar-benar jenuh
dengan rangkak malam yang akhir-akhir ini begerak sangat cepat.
Akhirnya
tibalah pada suatu hari yang entah apa namanya, tentang keiklasan yang yang
masih belum teriklaskan. Kepalanya menunduk merangkul kemudian mencium 2 pasang
tangan yang senantiasa mendoakannya tanpa henti, senantiasa memberi yang tak
terberi, pelukan saat tertatih, bahkan masih menghapus beberapa tetesan air
mata yang seketika jatuh yang memberikan basah kepada wajahnya yang memaksakan
kering. Ibunya pun berkata “ Nak, baik-baiklah di kampung orang”.
Awal
ia diperantauan, ia mulai menyesuaikan
diri dengan lingkungan baru yang sangat jauh beda dengan lingkungannya dahulu.
Menjadi mahasiswa yang tinggal di kos-kosan
jauh berbeda dengan hidup bersama keluarga. Hanya Upik, seorang mahasiswa baru
dari daerah atas yang selalu menjadi teman candaan setelah kembali dari kampus.
Tak
terlalu banyak kesulitan yang ia rasakan karena orang tuanyapun tak pernah
absen mengirim uang saku tiap bulan kepadanya. Tapi
kesunyiaan apa ia harus membayarnya ?
Tiap
hari dilalui. Ia sudah punya teman baru satu kelas atau satu kampus gari
berbagai daerah di Sulawesi Selatan bahkan diluarnya. Tapi ketika malam datang
sekeping jiwa larut dan lengan. Sering perasaan itu mendatangi dan mengganggu
istratnya sebelum besok rutinitas yang cukup melelahkan kembali menyapanya.
“Ya, mungkin ini yang remaja lupa. Yang kita
lupa. Bahwa suatu saat nanti sahabat-sahabat terdekat satu persatu akan pergi
untuk cita-cita dan kehidupannya kelak” gumamnya lalu kembali tersenyum
sendiri.
Di
suatu tempat dekat dengan kontraknnya, ia menatap jauh ke sebuah lapangan.
Anak-anak bermain bola, bermain lumpur. Waktu itupun menyegapnya. Sesuatu yang
benama kenangan. Lembar-lembar disuatu kurun yang disebut lampau. Ketika ia
diajak oleh ayahnya ke ladang, berjalan di pematang. Bertemu para sahabat mencari rumput untuk makanan ternak dan
mengantarnya sampai ke kandang. Setelah itu mereka bermain bola, bermain
limpur, mengejar layang-layang, mandi disungai. Lalu mereka pulang setelah
senja. Setelah pelangi melengkungi hamparan ladang kol, bawang merah dan tomat
yang luas.
”Ah, kenangan! ”ujarnya dalam hati ketika suara adzan maghrib memecah hayalnya.
”Ah, kenangan! ”ujarnya dalam hati ketika suara adzan maghrib memecah hayalnya.
Haripun mulai jingga, ia meninggalkan tempat
itu kembali menuju kontrakannya dan melihat jam dinding di atas pintu persis
seperti yang ada dikamarnya dikampung. Matanya tak lepas dari angka-angka
tersebut seolah-olah ada harapan yang ingin langsung tercapai. Sebentar lagi
akan lebaran. Ia akan akan pulang melepas rindu dengan keluarga dan para
sahabatnya dikampung. Gumpal lengang yang selama ini menyesak dada akan mencair
dan mengalir. Ia sudah tak sabar. Ia tersenyum puas. Sangat lepas.
“Akhir-akhir
ini, saya melihat susuatu yang tak pernah saya lihat dari raut wajahmu, mungkin
kamu sudah mendapat seorang kekasih” ujar Upik dengan tawa candanya yang tak
henti menemani pulang kuliahnya.
“bisa
saja kamu!, ini lebih dari tentang kekasih tapi ini tentang rasa yang sebentar lagi akan terasa oleh masa”
balasnya!”.
“Maksud
kamu?” jawab Upik yang agak bingung.
“beberapa
hari lagi kan libur semester juga akan libur lebaran itu tandanya sebentar lagi
kita akan kembali ke kampung halaman menuntaskan rindu kepada keluarga yang
belum sempat tertuntaskan selama ini melalui gawai dan juga satu hal yang
paling penting, tentang meraka berempat pasti akan kembali ke kampung merayakan
kemenangan bersama-sama” jawabnya dengan fasih dan sangat gembira.
“mereka
berempat?” ujar Upik memotong beberapa bait senyum dari bibir pemuda itu.
“Ia...
mereka berempat, sahabat saya dikampung yang sangat saya rindukan, kami
berteman mulai dari kecil sampai dewasa seperti sekarang.” dan “Ahh, sudahlah”,
iya memotong perkataannya sendiri. “Saya percaya bahwa perpisahan bukanlah
rekaan jarak antara satu orang pergi dan satu orang ditinggalkan juga bukan
perenggangan jarak antara satu orang pergi dan satu orang juga pergi namun
perpisahan adalah bertemunya kenangan bersama dan harapan yang selesai dalam
satu kisah yang terputus” ujar pemuda tersebut kepada Upik.
Setelah
beberapa saat berbincang-bincang akhirnya keduanya meninggalkan tempat duduk
mereka dan kembali ke kamar masing-masing. Seperti biasanya sebelum menutup
hari pemuda itu membersihkan beberapa bagian tubuh seperti membasuh muka dan
menyikat gigi. Namun disisi lain upik agak bingung dengan pemuda itu,
“sepertinya pengharapan yang iya cerita terlalu berlebihan atau itu hanya
perasaan saya saja, ah, entahlah”, gumam Upik yang mencoba memahami pemuda
tersebut sebelum ikut dengan pemuda itu mengakhiri hari ini.
Libur
tiba, Upik dan si pemuda sudah mulai sibuk mempersiapkan beberapa pakaian yang
akan digunakan selama menikmati libur dikampung. Keduanya pun saling berpamitan
mereka berlawanan arah, Upik menuju selatan sedangkan Si Pemuda menuju utara,
“sampai jumpa” teriak Upik sebelum naik kesebuah angkot diterminal batas kota.
Si
Pemuda itu pun sampai ke kampung halaman, ternyata selama satu tahun
meninggalkan kampung halaman banyak perubahan yg terjadi mulai dari pembangunan
daerah, alokasi lahan dan lain sebaginya tapi itu tidak menjadi masalah untuk
Si Pemuda itu, iya hanya bertemu secepatnya dengan yang dimaksudnya. “Kerinduan
ini akan pecah!”, ucapnya, seakan-akan baru saja memenagkan pertarungan yang
panjang. Sampainya dirumah iya langsung mencium kedua tangan orang tuanya lalu
masuk ke kamar dengan jendela yang sudah agak lama mungkin tak pernah terbuka
lagi.
Jendela
kamar rumah. Sebuah bingkai tempat menatap masa lampau yang enggan kembali.
Keramaian dan kesunyian, keindahan dan kepahitan. Segala yang beratas namakan
masa lampau, hari ini, maupun menjelang esok, akan tergambar sebagai sebuah
potret. Refleksi dari sebuah perjalanan perjalanan yang dititahkan oleh Tuhan
dan setiap pergulirannya akan menjelma menjadi gambar kehidupan.
Tapi
pemuda itu mungkin lupa dengan gerak yang bernama perubahan. Ketika berkumpul
dirumah Jarwo yang memang dahulu tempat mereka merangkai cerita menjadi rasa,
Si Pemuda itu sama sekali tidak mendapatkan harapannya selama ini teriyakan,
atau mendapatkan iya yang selamani dia terharapkan. Tak ada yang mengalir ke
muara. Hanya diam yang kejam. Justru yang iya dapat adalah siksaan yang
bernakan keasingan.
Ia
tidak mengerti lagi dengan bahasa sahabat-sahabatnya yang jauh tertukar. Dengan
ucapan-ucapan mereka yang terdengar aneh. Sikap dan tingkah laku mereka
terlihat sangat berjauhan dengan kebiasaan orang-orang dikampung. Mereka telah
meyusun negeri seberang ke kampungnya sendiri. Pemuda itu sedih, ia merasa
rindunya telah menghantam kepalanya. Panas.
Ia lebih memilih memendam sendiri
masalahnya dengan tetap mencerminkan keceriaan didepan kedua orang tua dan dua
saudaranya. “Saya masih memiliki keluarga yang juga masih memiliki saya”.
Ujarnya dalam hati.
Liburan
pun hampir selesai. Keempat sahabatnya itu lebih dahulu meninggalkan kampung.
Di jendela kamar Pemuda tersebut, ia tertegun, menatap jauh kehalaman.
Masih
di jendela kamar sehari sebelum Si Pemuda kembali ke kota. “Perubahan adalah
kesunyian. Serupa usia atau mungkin waktu yang mungkin juga sudah tua. Pada
akhirnya kita tidak bisa mengelak dari perubahan. Rindu hanyalah sebatas
keinginan, apapun selebihnya adalah milik Tuhan” gumam Pemuda itu. Ia pun
menutup jendela kamarnya sesaat setelah senja menutup hari terakhirnya
dikampung halaman.
Makassar, 5 April 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar