Sabtu, 10 Juni 2017

NOVIA HERUAGNI


#cerpen


JENDELA KEIKHLASAN
Kala itu. Selalu, pada akhirnya kita akan pulang pada kesendirian, setalah berakhirnya seragam putih abu-abu. Setelah mendapatkan kalimat “selamat anda diterima” disalah satu perguruan tinggi Negeri di Makassar. Setelah mendapat pelukan tulus dari bidadari tanpa sayap dan sang ksatria tanpa kuda, setelah memilih rantau sebagai tujuan selanjutnya dan rumah panggung dijalan setapak menuju ke sebuah sekolah dasar negeri hanya tinggal simbol kekokohan yang sebenarnya teramat rapuh dan jauh.
Disanalah tempat segala rasa yang terkumpul menjadi warna, warna yang selalu menyertaiku setelahnya. Dengan ocehan setiap pagi, keluhan setiap siang, dan bunyi dering gawai menjelang dini hari. Membayangkan tentang waktu yang tak terukur, berimajinasi tentang waktu yang tak terkira. Lengang dan sepi. Tapi hidup tentu akan terus berjalan.
Begitupun dengan sahabat-sahabatnya, bahkan beberapa diantarnya lulus di perguruan tinggi terkenal yang ada diluar Sulawesi.. 
Sebuah jam dinding di atas pintu kamar menunjukan pukul satu dini hari, seketika terlihat sehelai daun jatuh begitu santun dan pasrah yang ditiup angin masuk ke tempat peraduan melalui bibir jendela yang masih terbuka lebar. Dalam hati Ia berkata “mungkin angka-angka selalu membuat kehilangan menjadi lebih nyata”, Setelah mengamati angka demi angka, menghayati nada detak jarum detik pada jam tersebut, perhatiannya beralih pada foto keluarga dengan bingkai yang lumayan besar disisi dinding yang lain dan dibagian bawah foto keluarga, pas di atas meja belajar terdapat foto para sahabatnya sajak SD, SMP, bahkan sampai SMA. Sahabatnya itu bernama Hafiz, Jarwo, Wawan, dan Soni. Mereka berlima bisa dibilang tetangga karena jarak rumah mereka tidak terlalu jauh dari rumah masing-masing, bahkan meraka selalu sekelas mulai dari bangku SD, SMP, SMA. Namun hal yang terfikirkan dahulu yang tak terasa sudah diujung rasa. Ya, benar mereka pada akhirnya dipisahkan oleh bangku kuliah. Hafiz yang ke Kalimantan bersama ayahnya, Jarwo yang lulus di salah satu Universitas di Gorontalo. Wawan yang memilih untuk menjadi perantau di Malaysia dan Soni yang diterima di salah satu Universitas ternama di Pulau Jawa.
Ia mengamati satu persatu setiap wajah yang terpampang dalam foto tersebut. Kedua orang tuanya yang sudah mulai dimakan tua dan kedua adiknya yang pada akhirnya mungkin akan merasakan pula apa yang Ia rasakan saat ini. Tak lupa pula iya menatap foto para sahabatnya. Entah mengapa mereka sama-sama tersenyum saat berfoto, ia pun menghela nafas panjang.
Kepergian barangkali mendatangkan kesunyian tapi sunyi  sudah pasti akan mendatangkan rindu. Jauh dari rumah dan suara para saudara serta candaan keluarga yang barangkali adalah arus kebahagiaan yang hanyut terbawa cita-cita masa depan sejauh kurang lebih 300 km dari rumah. Dan para sahabat yang pergi satu persatu tanpa kabar dan kontak sedikitpun, mungkin ini yang dinamakan lupa yang tak disengaja. Adakah kepergian atau kesendirian dapat melunasi itu? Ia bergumam sendiri, lalu berjalan kesaklar lampu untuk menciptakan suasan kamar sebagai cermin suasana hati, kemudian baring di atas kasur sambil memutar lagu-lagu indie sebagai perintang waktu sebelum larut mengirim kantuk. Sebelum ia benar-benar jenuh dengan rangkak malam yang akhir-akhir ini begerak sangat cepat.
Akhirnya tibalah pada suatu hari yang entah apa namanya, tentang keiklasan yang yang masih belum teriklaskan. Kepalanya menunduk merangkul kemudian mencium 2 pasang tangan yang senantiasa mendoakannya tanpa henti, senantiasa memberi yang tak terberi, pelukan saat tertatih, bahkan masih menghapus beberapa tetesan air mata yang seketika jatuh yang memberikan basah kepada wajahnya yang memaksakan kering. Ibunya pun berkata “ Nak, baik-baiklah di kampung orang”.
Awal  ia diperantauan, ia mulai menyesuaikan diri dengan lingkungan baru yang sangat jauh beda dengan lingkungannya dahulu. Menjadi mahasiswa yang tinggal  di kos-kosan jauh berbeda dengan hidup bersama keluarga. Hanya Upik, seorang mahasiswa baru dari daerah atas yang selalu menjadi teman candaan setelah kembali dari kampus.
Tak terlalu banyak kesulitan yang ia rasakan karena orang tuanyapun tak pernah absen  mengirim  uang saku tiap bulan kepadanya. Tapi kesunyiaan apa ia harus membayarnya ?
Tiap hari dilalui. Ia sudah punya teman baru satu kelas atau satu kampus gari berbagai daerah di Sulawesi Selatan bahkan diluarnya. Tapi ketika malam datang sekeping jiwa larut dan lengan. Sering perasaan itu mendatangi dan mengganggu istratnya sebelum besok rutinitas yang cukup melelahkan kembali menyapanya.
 “Ya, mungkin ini yang remaja lupa. Yang kita lupa. Bahwa suatu saat nanti sahabat-sahabat terdekat satu persatu akan pergi untuk cita-cita dan kehidupannya kelak” gumamnya lalu kembali tersenyum sendiri.
Di suatu tempat dekat dengan kontraknnya, ia menatap jauh ke sebuah lapangan. Anak-anak bermain bola, bermain lumpur. Waktu itupun menyegapnya. Sesuatu yang benama kenangan. Lembar-lembar disuatu kurun yang disebut lampau. Ketika ia diajak oleh ayahnya ke ladang, berjalan di pematang. Bertemu para sahabat  mencari rumput untuk makanan ternak dan mengantarnya sampai ke kandang. Setelah itu mereka bermain bola, bermain limpur, mengejar layang-layang, mandi disungai. Lalu mereka pulang setelah senja. Setelah pelangi melengkungi hamparan ladang kol, bawang merah dan tomat yang luas.
”Ah, kenangan! ”ujarnya dalam hati ketika suara adzan maghrib memecah hayalnya.
 Haripun mulai jingga, ia meninggalkan tempat itu kembali menuju kontrakannya dan melihat jam dinding di atas pintu persis seperti yang ada dikamarnya dikampung. Matanya tak lepas dari angka-angka tersebut seolah-olah ada harapan yang ingin langsung tercapai. Sebentar lagi akan lebaran. Ia akan akan pulang melepas rindu dengan keluarga dan para sahabatnya dikampung. Gumpal lengang yang selama ini menyesak dada akan mencair dan mengalir. Ia sudah tak sabar. Ia tersenyum puas. Sangat lepas.
“Akhir-akhir ini, saya melihat susuatu yang tak pernah saya lihat dari raut wajahmu, mungkin kamu sudah mendapat seorang kekasih” ujar Upik dengan tawa candanya yang tak henti menemani pulang kuliahnya.
“bisa saja kamu!, ini lebih dari tentang kekasih tapi ini tentang rasa yang  sebentar lagi akan terasa oleh masa” balasnya!”.
“Maksud kamu?” jawab Upik yang agak bingung.
“beberapa hari lagi kan libur semester juga akan libur lebaran itu tandanya sebentar lagi kita akan kembali ke kampung halaman menuntaskan rindu kepada keluarga yang belum sempat tertuntaskan selama ini melalui gawai dan juga satu hal yang paling penting, tentang meraka berempat pasti akan kembali ke kampung merayakan kemenangan bersama-sama” jawabnya dengan fasih dan sangat gembira.
“mereka berempat?” ujar Upik memotong beberapa bait senyum dari bibir pemuda itu.
“Ia... mereka berempat, sahabat saya dikampung yang sangat saya rindukan, kami berteman mulai dari kecil sampai dewasa seperti sekarang.” dan “Ahh, sudahlah”, iya memotong perkataannya sendiri. “Saya percaya bahwa perpisahan bukanlah rekaan jarak antara satu orang pergi dan satu orang ditinggalkan juga bukan perenggangan jarak antara satu orang pergi dan satu orang juga pergi namun perpisahan adalah bertemunya kenangan bersama dan harapan yang selesai dalam satu kisah yang terputus” ujar pemuda tersebut kepada Upik.
Setelah beberapa saat berbincang-bincang akhirnya keduanya meninggalkan tempat duduk mereka dan kembali ke kamar masing-masing. Seperti biasanya sebelum menutup hari pemuda itu membersihkan beberapa bagian tubuh seperti membasuh muka dan menyikat gigi. Namun disisi lain upik agak bingung dengan pemuda itu, “sepertinya pengharapan yang iya cerita terlalu berlebihan atau itu hanya perasaan saya saja, ah, entahlah”, gumam Upik yang mencoba memahami pemuda tersebut sebelum ikut dengan pemuda itu mengakhiri hari ini.
Libur tiba, Upik dan si pemuda sudah mulai sibuk mempersiapkan beberapa pakaian yang akan digunakan selama menikmati libur dikampung. Keduanya pun saling berpamitan mereka berlawanan arah, Upik menuju selatan sedangkan Si Pemuda menuju utara, “sampai jumpa” teriak Upik sebelum naik kesebuah angkot diterminal batas kota.
Si Pemuda itu pun sampai ke kampung halaman, ternyata selama satu tahun meninggalkan kampung halaman banyak perubahan yg terjadi mulai dari pembangunan daerah, alokasi lahan dan lain sebaginya tapi itu tidak menjadi masalah untuk Si Pemuda itu, iya hanya bertemu secepatnya dengan yang dimaksudnya. “Kerinduan ini akan pecah!”, ucapnya, seakan-akan baru saja memenagkan pertarungan yang panjang. Sampainya dirumah iya langsung mencium kedua tangan orang tuanya lalu masuk ke kamar dengan jendela yang sudah agak lama mungkin tak pernah terbuka lagi.
Jendela kamar rumah. Sebuah bingkai tempat menatap masa lampau yang enggan kembali. Keramaian dan kesunyian, keindahan dan kepahitan. Segala yang beratas namakan masa lampau, hari ini, maupun menjelang esok, akan tergambar sebagai sebuah potret. Refleksi dari sebuah perjalanan perjalanan yang dititahkan oleh Tuhan dan setiap pergulirannya akan menjelma menjadi gambar kehidupan.
Tapi pemuda itu mungkin lupa dengan gerak yang bernama perubahan. Ketika berkumpul dirumah Jarwo yang memang dahulu tempat mereka merangkai cerita menjadi rasa, Si Pemuda itu sama sekali tidak mendapatkan harapannya selama ini teriyakan, atau mendapatkan iya yang selamani dia terharapkan. Tak ada yang mengalir ke muara. Hanya diam yang kejam. Justru yang iya dapat adalah siksaan yang bernakan keasingan.
Ia tidak mengerti lagi dengan bahasa sahabat-sahabatnya yang jauh tertukar. Dengan ucapan-ucapan mereka yang terdengar aneh. Sikap dan tingkah laku mereka terlihat sangat berjauhan dengan kebiasaan orang-orang dikampung. Mereka telah meyusun negeri seberang ke kampungnya sendiri. Pemuda itu sedih, ia merasa rindunya telah menghantam kepalanya. Panas.
Ia lebih memilih memendam sendiri masalahnya dengan tetap mencerminkan keceriaan didepan kedua orang tua dan dua saudaranya. “Saya masih memiliki keluarga yang juga masih memiliki saya”. Ujarnya dalam hati.
Liburan pun hampir selesai. Keempat sahabatnya itu lebih dahulu meninggalkan kampung. Di jendela kamar Pemuda tersebut, ia tertegun, menatap jauh kehalaman.
Masih di jendela kamar sehari sebelum Si Pemuda kembali ke kota. “Perubahan adalah kesunyian. Serupa usia atau mungkin waktu yang mungkin juga sudah tua. Pada akhirnya kita tidak bisa mengelak dari perubahan. Rindu hanyalah sebatas keinginan, apapun selebihnya adalah milik Tuhan” gumam Pemuda itu. Ia pun menutup jendela kamarnya sesaat setelah senja menutup hari terakhirnya dikampung halaman.

Makassar, 5 April 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUH. RIDHO S

#TugasIndividu ANALISIS NOVEL RADEN MANDASIA SI PENCURI DAGING SAPI BERDASARKAN PENDEKATAN RESEPSI SASTRA Landasan Teori Secara d...