#cerpen
2017
Masih dengan rasa yang sama
“Halo
Vi selesai kuliah kita bertemu di koridor. Ok.”
Baru
saja aku membaca sms dari Arga, sepertinya dia ingin membahas tempat les biola
seperti yang kami rencanakan kemarin.
“Oke,
aku masih punya satu mata kuliah lagi. Kita bertemu setelah kuliahku selesai
yah.” Sebuah sent item yang akhirnya menjadi penghuni
inbox pada ponsel Arga. Tak ada salahnya jika sesekali melepas penat dengan
berjalan-jalan mengelilingi kota Makassar. Karena ini akan lebih menyenangkan
dari pada harus diam di rumah.
Mata kuliah telah selesai, aku
bergegas keluar dari ruangan dg 105 menuju koridor yang letaknya tak jauh dari
ruanganku. Masih tampak seperti biasanya, koridor memang tempat yang paling
strategis, berlatar pohon begitu lebat yang tak pernah henti memberi kesejukan
walaupun jam menunjukkan pukul 12.00 siang.
Aku mencari-cari sosok tinggi
dengan rambut bak boyband korea. ‘Arga,
ah anak ini kemana sih’. Aku menyipitkan kedua mataku dibalik lensa
kacamata yang cukup tebal yang aku kenakan, aku melemparkan tatapanku ke segala
penjuru kampus yang dapat dijangkau oleh mataku ini. Ekor mataku bergerak dari
kiri ke kanan, cukup lama aku mengamati barangkali aku akan menemukan Arga.
’Apa
ini terlalu cepat?’.
Sekali lagi aku mencari. Ekor mataku bergerak lagi dari kiri ke kanan berharap
aku menemukan sosok Arga.
‘apa
itu Arga?’.
Aku terhenti. Seorang laki-laki memakai poloshirt dengan pola garis-garis biru
dan putih. Dari kejauhan aku sangat yakin bahwa aku kenal dengan orang itu. Aku
berjalan semakin dekat dengan punggung itu. Langkah kakiku yang terdengar keras
dan terburu-buru membuatnya menoleh ke arahku.
“Via, kenapa lama sekali?” Arga
mengalihkan pandangannya pada arjoli yang ia pakai, “Aku sampai lumutan
nungguin kamu.” Lanjutnya dengan nada ngambek.
“Ahehehe maafkan aku, tadi Pak Kris
terlalu lama berpidato.” Jawabku mencoba menjelaskan, “Lagipula dari tadi aku
juga mencarimu. Lalu kenapa kau disini? Bukankah tadi kita sepakat bertemu di
koridor?”
“Ah itu, tadi aku ada urusan
sedikit dengan Fira.” Terang Arga.
“Apa?” Tanyaku penasaran.
“Ada deh, tak perlu kau tau”. Arga menyentil jidatku lalu memalingkan
wajahnya. “Ayo berangkat, takut nanti kemalaman”. Lanjut Arga. Sepertinya ia
tak ingin di interview lagi. Aku mengangkat bahu dan tanganku
pertanda menyerah.
--
Kali ini dia sedang asik dengan
ponselnya, sungguh berbeda dari rutinitas yang ia lakukan seperti biasanya. Ada
sesuatu yang mengganjal di pikiranku ‘apa
dia sedang jatuh cinta? Dengan siapa? Fira?’, namun tanpa sadar kami sudah
tiba di parkiran. Tak sempat ku tanyakan, Arga segera menuju ke motornya,
sehingga pertanyaanku padanya aku kubur dalam-dalam. Ah sudahlah.
--
Aku terduduk lunglai di kursi dekat
gerbang kampus. Ini karena Pak Kris dosen mata kuliah Kewarganegaraan terlalu lama
menerangkan sejarah Pancasila. Sebenarnya aku menyukai mata kuliah ini, tapi
Pak Kris dengan ajaibnya membuat mata kuliah ini menjadi sebuah dongeng atau
bisa dikatakan itu sangat membosankan dengan cara bicaranya yang
saaannngaaaaaat pelan.
.“Vi.” “Vi!” “VIAAA!!” Teriak suara
Arga nyaring terdengar dan aku hampir melompat dari kursi saking kagetnya.
Ternyata Arga dan motornya sudah ada di depanku. “Kamu kenapa ngelamun sih?
Sekarang kita mau kemana dulu?” Tanya Arga dengan sedikit kesal bercampur
khawatir.
“Kita ketempat yang aku ceritakan
kemarin.”
“Oh oke. Ayo naik.” Tanpa aba-aba
Arga menarik lenganku.
--
“Hei Vi. Apa kamu yakin tempatnya
di daerah ini?”
“Iya, seingatku entar pertigaan belok kanan.” Jawabku
sambil mengingat-ingat kembali. ‘Apa di
belokan sebelumnya? Ah tidak, sepertinya memang pertigaan di depan.’
“Oke. Pegangan.” Arga mempercepat
laju motornya. Tapi tiba-tiba ngerem mendadak yang membuatku hampir melompat dari
motor dan terpaksa memeluknya.
“HEI!!” Teriakku sambil memukul
helmnya. “Apa kau sengaja?!” Lanjutku dengan nada suara yang ku tinggikan.
“Hehe maaf, di depan ada polisi
tidur. Aku tidak melihatnya” Arga mencoba beralasan. ‘Ah menjengkelkan sekali.‘
“Tempatnya ada di mana? Kita sudah
hampir sampai di ujung.” Lanjut Arga.
“Entahlah, sedaritadi aku juga
tidak melihatnya. Apa mungkin sudah pindah?” Aku pun bingung,’Apa memang sudah pindah? Atau jangan-jangan
di belokan sebelumnya?’.
Arga menghentikan motornya,
melirikku, melengos, dan menghembuskan napas panjang. “Ah yasudah. Biar nanti
aku saja yang mencari di sekitar rumahku, sepertinya kemarin aku melihatnya.”
“Tak apa kalau kamu latihannya
jauh?” Lanjut Arga.
Aku mengangguk. “Asal kau mau
mengantar jemput ku setiap latihan” Aku tersenyum. Dan Arga memainkan bola
matanya pertanda menyerah. “Terserah kau saja” Arga membelokkan motornya.
“Ga… kita mau kemana?”
“Ke pantai yuk,” jawabnya singkat.
Aku pasrah dengan laju motor kencangnya. ‘Ah
anak ini memang menyebalkan’.
--
Kami berdiri di tepi pantai dan
memandang laut lepas. Angin yang bertiup kencang menghempas anak-anak ujung
rambutku dengan liar. Arga yang berdiri disampingku mencoba menggenggam erat
tanganku. Tak ada yang bicara, napas kami tersengal, sangat letih setelah
berjalan cukup jauh.
“Vi…” Arga mengawali pembicaraan,
suara gulungan ombak dan hembusan angin menjadi musik pengiringnya.
“Iya…” Jawabku dengan tangan masih
berada dalam genggaman Arga. Ku hirup udara pantai dan kembali mendengarkan
Arga.
“Kamu baik-baik saja?” Tanya Arga.
“Iya… Aku baik-baik saja.”
Aku duduk di pasir, kakiku terkubur
pasir meski hanya sebatas mata kaki. Tanganku sibuk menggali atau sekadar
memainkan pasir kering dengan mata yang entah menerawang kemana.
Kosong.
“Vi..”
“Vi!”
“VIAA!!”
“Ah iya kenapa?” Jawabku setengah
kaget. Ternyata sedari tadi Arga memperhatikan aku.
“Apa kamu yakin kamu baik-baik
saja? kok bengong? “Arga menyenggol sikuku, aku hanya tersenyum.
“Gak kok.” ‘Sudah ku bilang, kau tak pandai berbohong.’
“Masih gak mau jujur nih? Oke,
kalau begitu kita bermain games.
Gimana?” Arga mencoba mengambil jalan tengah dari pembicaraan kami.
“Games?” Aku setengah kaget mengerutkan alis.
“Iya, games. Kalah aku yang kalah, aku akan traktir kamu makan ice cream sepuasnya dan kalau kamu kalah, kamu akan
bercerita tentang masalahmu.” Deburan ombak semakin liar, seperti degup jantung
yang semakin mengusik ketenangan hati kami.
“Hmm begini, bukankah jika
bercerita masalahmu akan bisa sedikit berkurang?” Arga memulai dengan
mengalihkan pandangannya padaku yang masih menikmati suara ombak, hatiku seakan
tak tenang.
Aku menarik napas panjang,
menahannya sambil memejamkan mata sebentar dan menghembuskannya kembali. “Tak
apa, belum saatnya ku ceritakan padamu Ga.” Aku tersenyum ke arah Arga.
Nyanyian ombak yang senada dengan angin pantai menjadi melodi terindah yang
mengiringi perkataanku.
“Baiklah, aku menyerah. Tapi ingat,
aku siap mendengarkan keluh kesahmu dimanapun dan kapanpun itu” Arga melukiskan
senyum simpul di wajahnya yang tampan. Senyum yang sungguh menyejukkan hatiku.
Aku menatap lekat pemilik wajah
tampan berlesung pipi dan berkulit kuning langsat itu. “Ga.” Tiba-tiba wajahnya
memerah.
“i-iya” Arga terbata.
Aku menarik napas panjang. “Aku
ingin kau berjanji sesuatu padaku”
“Apa itu Vi?” Wajahnya semakin
memerah. ‘ada apa dengannya?’
“Jika suatu hari nanti, entah esok
, lusa, beberapa tahun ke depan, atau bahkan hari ini kau tau masalahku….” Aku
terdiam sesaat. Pandanganku beralih ke arah pantai. “Berjanjilah jangan pergi
dariku.” Aku menatap Arga penuh harapan.
“…”
Tak ada jawaban.
Aku tertunduk, air mata yang sedari
tadi membendung di pelupuk mataku kini lelah juga.’Apa dia akan meninggalkanku juga?’’. Pikirku yang sesekali
terisak. Bersamaan dengan itu, entah dari mana datangnya udara hangat yang
menjalar di setiap lekuk tubuhku. Dalam setiap aliran darah, getaran itu
semakin terasa, dalam jarak yang hanya selapis kain punggungku dipeluk oleh
Arga. Yang sesekali mengusap kepalaku.
Aku mendengar suara detakan
jantung. Sangat kencang. ’Suara jantung
siapa? Aku? Atau Arga?.’
“Berapa lama kita temenan Vi?” Arga
memecahkan keheningan.
Aku memandangi jari-jariku seraya
menghitung dengan mulut yang berkomat kamit. “Satu… dua… ti… lima puluh tahun
Ga.”
Arga melepaskan pelukannya.”hampir
dua tahun doang. Ndut ” Arga mencubit
pipiku. Aku terkekeh sambil terus membiarkan air mataku terkuras habis.
“Nah itu kamu tau, pake sok-sok
nanya segala. Memangnya ada apaan sih kok drama banget?” Arga kembali
membalikkan badan dan menyandarkan kepalanya di punggungku.
“Kamu tuh yang drama dari tadi”
umpat Arga kesal.
“ Tapi ada yang perlu kamu ketahui Vi,
sampai mati pun aku akan selalu bersamamu. Aku akan menunggu kapan pun kamu
siap menceritakan masalahmu. Tak perlu khawatir.” Arga menggenggam tanganku
lalu mengembangkan senyum ke arahku.
Sejak kecil, aku tak pernah
mendapatkan apa yang menjadi keinginanku. Terlahir dan bertumbuh besar seperti Burung dalam Sangkar. Kadang aku takut
bermimpi terlalu tinggi. Boro-boro
bermimpi besar, impian sederhana pun tak mungkin bisa aku capai. Seakan-akan
semuanya telah terlambat.
Pemikiran-pemikiran picik semacam, kenapa ayah meninggalkanku, aku bukan
terlahir dalam keluarga yang sempurna, kenapa mereka hanya datang disaat aku sedang
berada di atas awan saja, serta banyak lagi argumen-argumen negatif lainnya
yang telah mengalir deras dalam cara berpikirku.
“Hei… Hei… Kenapa malah nangis
lagi.” Arga mendekap bahuku, menatap mataku tajam, namun aku tak sanggup
memandangnya. Lagi-lagi aku tertunduk dan terisak.
“Maaf. Hehe… Padahal niatnya gak
kayak gini,” Aku menyeka air mataku dan mencoba tersenyum. Senyuman yang terasa
sangat getir.
“Vi, jangan sedih gitu dong. Aku
akan selalu ada buat kamu kok. Aku akan siap kapan saja. Kamu harus selalu
kuat, jangan galau terus. Sesulit apapun masalahmu, kamu harus kuat melawannya.
Paham?” Arga berusaha keras meyakinkanku.
“Sudah, jangan nangis lagi.” Arga
mengusap punggungku dalam pelukannya.
Aku menerawang, jemariku menunjuk
sang laut.”Kadang aku malu sama laut, kalau seandainya kau ingkar janji.
Memangnya kau tidak merasa?” Aku tak lagi bersandar di pelukannya.
“Ga” Aku menggenggam kedua tangan
Arga, sambil menatap matanya lekat-lekat.
“I-iya Vi”. Jawab Arga terbata.
“Sebenarnya…. Aku…”. Aku terdiam
sesaat.
“A-aku? Hmm.. M-maksud kamu apa Vi?”
Dengan terbata Arga melempar pandangan dariku, merasa seakan aku memvonisnya
dengan hukuman paling berat.
Detik ini juga, aku merasa jantung
Arga akan berhenti berdegup karena saat aku menggenggam tangannya yang terasa
sangat dingin. Bahkan aku melihat ia tak mampu mengendalikan rona wajah yang
bersemu merah itu ‘Tunggu dulu. Kenapa
Arga begitu malu? Apa dia jatuh hati kepadaku? Ah mana mungkin.’.
Sepertinya Arga tak sabar menunggu akhir dari perkataanku.
Aku menarik napas panjang kemudian,
“AKU HANYA BERCANDA HAHAHA” aku tertawa lepas melihat ekspresi Arga yang begitu
kaget bercampur kesal.
“KAU!” Lagi-lagi Arga mencubit
pipiku. Tapi kali ini sangat menyakitkan. Mungkin dia sangat kesal. ‘Hahaha aku sangat suka melihatnya seperti
ini.’
Ga.
sungguh, aku tak ingin kau jauh dariku. Terimakasih jika benar kau ingin selalu
menemaniku. Tapi belum saatnya aku memberitahumu. Aku masih ingin bercanda
seperti ini denganmu. Aku tak mau kehilanganmu Arga. Seperti yang terjadi
dengan Sabda Rasul yang pergi karena satu kesalahanku. Dan beberapa orang yang
hanya menikmati tubuhku lalu pergi. Aku ingin bersamamu. Sebagai sahabatku,
yang menemaniku menuju sang kekasih yang siap menerima ketidakperawanku ini. Aku melukiskan senyum kearahnya.
Terasa pantat kami mulai lembab
oleh pasir yang basah. Senja perlahan menggelap, menyisakan langit petang yang
serabutan kemerahan. Membiarkan angin menghempaskan tubuh kami.
“Vi, ayo pulang. Sudah larut” Arga
mengulurkan tangannya kearahku. Akupun menerimanya.
Senja di pantai Tanjung Bayang kami
tutup dengan makan ice cream
kesukaanku. Tak ada sore yang paling berarti selain sore bersama sahabat
tersayang.
--
Selamat tinggal, kepada kau yang
pernah mampir di hatiku. Aku tak mau berbasa basi dengan berkata ‘Semoga bisa
bertemu lagi’. Tidak. Sebab nyatanya, aku memang tak ingin berjumpa lagi
denganmu. Aku tak ingin ada nostalgia jika kita saling menyapa. Setelah aku
bertemu jodohku, cerita kita sudah mati. Dan kenangannya sudah kukubur di tanah
antah berantah. Sehingga, tak akan pernah kuziarahi lagi. Sungguh tak akan.
Sebab
pada akhirnya, kita akan menjadi orang yang tak saling mengenal. Setelah banyak
kenangan indah yang pernah kita rangkai sebelumnya. Setelah banyak canda tawa
yang pernah kita ciptakan sebelumnya.
Kini, entah mengapa kenangan manis
yang tersusun rapi itu telah dirombak habis oleh kejamnya waktu.
Aku bersyukur, sebab aku tak perlu
lagi merasakan pedihnya mengagumimu. Setidaknya rasa yang indah namun menyiksa
ini terkuras perlahan dalam hatiku. Walaupun nyatanya terkadang aku masih
mengkhawatirkan keadaanmu.
Dimana….
Sedang apa….
Apakah baik-baik saja….
Namun, mengertilah bila aku tak bisa
lagi menyapamu seperti dulu. Mengertilah bila aku tak bisa lagi memberikan senyum
tertulusku saat bertemu denganmu seperti dulu. Aku hanya bisa membuat seulas
senyuman yang tampak dipaksakan. Menekan semua rasa pilu yang kian menyedihkan.
Dan aku hanya bisa memalingkan wajahku seolah tak peduli denganmu. Berlari
sejauh mungkin darimu.
Bukan, bukan karena aku membencimu.
Sebab setelah kita saling melambaikan tangan, aku dan kau sudah sepakat untuk
saling memaafkan, bukan? Tidak ada dendam, amarah, apalagi benci. Tidak ada.
Aku hanya sedang ingin memantapkan hati, untuk dia yang dipilihkan oleh Tuhan.
Pahamilah, inilah caraku.
Caraku untuk melupakan sosokmu.
Caraku untuk melupakan seseorang yang dulunya pernah mengukir senyum bahagia di
bibirku, seseorang yang dulunya pernah singgah di kalbu. Caraku untuk
menghilang. Menghilang dari kehidupanmu, tanpa meninggalkan jejak sedikitpun.
Aku sudah lelah mengetuk pintu
hatimu, namun kau tak sudi membuka. Aku sudah susah payah mengejarmu, tapi kau
tak mau berhenti. Bahkan, aku sudah letih menyapa, sedang kau tak berkenan
menyahut. Dan aku akan mengemis terus menerus sampai tua, begitu? Oh tentu
tidak. Tidak. Aku tidak ingin menghabiskan sisa usia di penjara perasaan. Aku
ingin lepas. Aku ingin bebas. Aku ingin merasakan manisnya dicintai, setelah
bosan mencicipi pahitnya mencintai.
Kuharap kau akan terbiasa dengan hal
ini. Tak menyapamu kembali. Tak tersenyum padamu kembali. Bahkan tak pernah
menganggapmu ada kembali.
Aku pergi… Sebab kau telah menemukan
titik bahagiamu. Dan kini, aku juga mulai menemukan titik bahagiaku sendiri.
Biarlah kini kita saling menjauh.
Melupakan sebuah perasaan yang dulu pernah membumbung itu. Biarlah kini kita
saling berpisah. Berpisah untuk menghadirkan sebuah kebahagiaan yang baru.
Yaa….. Aku memang tak akan bisa
melupakanmu. Namun bagiku, melepaskan bukan tentang bisa tidaknya melupakan.
Melepaskan adalah tentang sebuah pilihan. Dan kau tau? Ya. Sudah putuskan untuk
memilih bahagia.
Semoga kau dan aku bahagia.
Kebohongan
terbesarku adalah telah mengatakan hal itu. Entah apa yang merasukiku hingga saat
ini aku tak bisa melupakannya.
“Aku
merindukanmu”
“Sungguh…”
Nyatanya
hanya dia yang selalu kupikirkan hingga detik ini. Sabda Rasul
--to
be continue--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar