Sabtu, 10 Juni 2017

NOVIA HERUAGNI JAYANTI


#cerpen
2017
Masih dengan rasa yang sama
“Halo Vi selesai kuliah kita bertemu di koridor. Ok.”
            Baru saja aku membaca sms dari Arga, sepertinya dia ingin membahas tempat les biola seperti yang kami rencanakan kemarin.
“Oke, aku masih punya satu mata kuliah lagi. Kita bertemu setelah kuliahku selesai yah.” Sebuah sent item yang akhirnya menjadi penghuni inbox pada ponsel Arga. Tak ada salahnya jika sesekali melepas penat dengan berjalan-jalan mengelilingi kota Makassar. Karena ini akan lebih menyenangkan dari pada harus diam di rumah.
Mata kuliah telah selesai, aku bergegas keluar dari ruangan dg 105 menuju koridor yang letaknya tak jauh dari ruanganku. Masih tampak seperti biasanya, koridor memang tempat yang paling strategis, berlatar pohon begitu lebat yang tak pernah henti memberi kesejukan walaupun jam menunjukkan pukul 12.00 siang.
Aku mencari-cari sosok tinggi dengan rambut bak boyband korea. ‘Arga, ah anak ini kemana sih’. Aku menyipitkan kedua mataku dibalik lensa kacamata yang cukup tebal yang aku kenakan, aku melemparkan tatapanku ke segala penjuru kampus yang dapat dijangkau oleh mataku ini. Ekor mataku bergerak dari kiri ke kanan, cukup lama aku mengamati barangkali aku akan menemukan Arga.
’Apa ini terlalu cepat?’. Sekali lagi aku mencari. Ekor mataku bergerak lagi dari kiri ke kanan berharap aku menemukan sosok Arga.
‘apa itu Arga?’. Aku terhenti. Seorang laki-laki memakai poloshirt dengan pola garis-garis biru dan putih. Dari kejauhan aku sangat yakin bahwa aku kenal dengan orang itu. Aku berjalan semakin dekat dengan punggung itu. Langkah kakiku yang terdengar keras dan terburu-buru membuatnya menoleh ke arahku.
“Via, kenapa lama sekali?” Arga mengalihkan pandangannya pada arjoli yang ia pakai, “Aku sampai lumutan nungguin kamu.” Lanjutnya dengan nada ngambek.
“Ahehehe maafkan aku, tadi Pak Kris terlalu lama berpidato.” Jawabku mencoba menjelaskan, “Lagipula dari tadi aku juga mencarimu. Lalu kenapa kau disini? Bukankah tadi kita sepakat bertemu di koridor?”
“Ah itu, tadi aku ada urusan sedikit dengan Fira.” Terang Arga.
“Apa?” Tanyaku penasaran.
“Ada deh, tak perlu kau tau”. Arga menyentil jidatku lalu memalingkan wajahnya. “Ayo berangkat, takut nanti kemalaman”. Lanjut Arga. Sepertinya ia tak ingin di interview  lagi. Aku mengangkat bahu dan tanganku pertanda menyerah.
--
Kali ini dia sedang asik dengan ponselnya, sungguh berbeda dari rutinitas yang ia lakukan seperti biasanya. Ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku ‘apa dia sedang jatuh cinta? Dengan siapa? Fira?’, namun tanpa sadar kami sudah tiba di parkiran. Tak sempat ku tanyakan, Arga segera menuju ke motornya, sehingga pertanyaanku padanya aku kubur dalam-dalam. Ah sudahlah.
--
Aku terduduk lunglai di kursi dekat gerbang kampus. Ini karena Pak Kris dosen mata kuliah Kewarganegaraan  terlalu lama menerangkan sejarah Pancasila. Sebenarnya aku menyukai mata kuliah ini, tapi Pak Kris dengan ajaibnya membuat mata kuliah ini menjadi sebuah dongeng atau bisa dikatakan itu sangat membosankan dengan cara bicaranya yang saaannngaaaaaat pelan.
.“Vi.” “Vi!” “VIAAA!!” Teriak suara Arga nyaring terdengar dan aku hampir melompat dari kursi saking kagetnya. Ternyata Arga dan motornya sudah ada di depanku. “Kamu kenapa ngelamun sih? Sekarang kita mau kemana dulu?” Tanya Arga dengan sedikit kesal bercampur khawatir.
“Kita ketempat yang aku ceritakan kemarin.”
“Oh oke. Ayo naik.” Tanpa aba-aba Arga menarik lenganku.
--
“Hei Vi. Apa kamu yakin tempatnya di daerah ini?”
“Iya, seingatku entar pertigaan belok kanan.” Jawabku sambil mengingat-ingat kembali. ‘Apa di belokan sebelumnya? Ah tidak, sepertinya memang pertigaan di depan.’
“Oke. Pegangan.” Arga mempercepat laju motornya. Tapi tiba-tiba ngerem  mendadak yang membuatku hampir melompat dari motor dan terpaksa memeluknya.
“HEI!!” Teriakku sambil memukul helmnya. “Apa kau sengaja?!” Lanjutku dengan nada suara yang ku tinggikan.
“Hehe maaf, di depan ada polisi tidur. Aku tidak melihatnya” Arga mencoba beralasan. ‘Ah menjengkelkan sekali.‘
“Tempatnya ada di mana? Kita sudah hampir sampai di ujung.” Lanjut Arga.
“Entahlah, sedaritadi aku juga tidak melihatnya. Apa mungkin sudah pindah?” Aku pun bingung,’Apa memang sudah pindah? Atau jangan-jangan di belokan sebelumnya?’.
Arga menghentikan motornya, melirikku, melengos, dan menghembuskan napas panjang. “Ah yasudah. Biar nanti aku saja yang mencari di sekitar rumahku, sepertinya kemarin aku melihatnya.”
“Tak apa kalau kamu latihannya jauh?” Lanjut Arga.
Aku mengangguk. “Asal kau mau mengantar jemput ku setiap latihan” Aku tersenyum. Dan Arga memainkan bola matanya pertanda menyerah. “Terserah kau saja” Arga membelokkan motornya.
“Ga… kita mau kemana?”
“Ke pantai yuk,” jawabnya singkat. Aku pasrah dengan laju motor kencangnya. ‘Ah anak ini memang menyebalkan’. 
                                                                       --                                        
Kami berdiri di tepi pantai dan memandang laut lepas. Angin yang bertiup kencang menghempas anak-anak ujung rambutku dengan liar. Arga yang berdiri disampingku mencoba menggenggam erat tanganku. Tak ada yang bicara, napas kami tersengal, sangat letih setelah berjalan cukup jauh.
“Vi…” Arga mengawali pembicaraan, suara gulungan ombak dan hembusan angin menjadi musik pengiringnya.
“Iya…” Jawabku dengan tangan masih berada dalam genggaman Arga. Ku hirup udara pantai dan kembali mendengarkan Arga.
“Kamu baik-baik saja?” Tanya Arga.
“Iya… Aku baik-baik saja.”
Aku duduk di pasir, kakiku terkubur pasir meski hanya sebatas mata kaki. Tanganku sibuk menggali atau sekadar memainkan pasir kering dengan mata yang entah menerawang kemana.
 Kosong.
“Vi..”
“Vi!”
“VIAA!!”
“Ah iya kenapa?” Jawabku setengah kaget. Ternyata sedari tadi Arga memperhatikan aku.
“Apa kamu yakin kamu baik-baik saja? kok bengong? “Arga menyenggol sikuku, aku hanya tersenyum.
“Gak kok.” ‘Sudah ku bilang, kau tak pandai berbohong.’
“Masih gak mau jujur nih? Oke, kalau begitu kita bermain games. Gimana?” Arga mencoba mengambil jalan tengah dari pembicaraan kami.
Games?” Aku setengah kaget mengerutkan alis.
“Iya, games. Kalah aku yang kalah, aku akan traktir kamu makan ice cream  sepuasnya dan kalau kamu kalah, kamu akan bercerita tentang masalahmu.” Deburan ombak semakin liar, seperti degup jantung yang semakin mengusik ketenangan hati kami.
“Hmm begini, bukankah jika bercerita masalahmu akan bisa sedikit berkurang?” Arga memulai dengan mengalihkan pandangannya padaku yang masih menikmati suara ombak, hatiku seakan tak tenang.
Aku menarik napas panjang, menahannya sambil memejamkan mata sebentar dan menghembuskannya kembali. “Tak apa, belum saatnya ku ceritakan padamu Ga.” Aku tersenyum ke arah Arga. Nyanyian ombak yang senada dengan angin pantai menjadi melodi terindah yang mengiringi perkataanku.
“Baiklah, aku menyerah. Tapi ingat, aku siap mendengarkan keluh kesahmu dimanapun dan kapanpun itu” Arga melukiskan senyum simpul di wajahnya yang tampan. Senyum yang sungguh menyejukkan hatiku.
Aku menatap lekat pemilik wajah tampan berlesung pipi dan berkulit kuning langsat itu. “Ga.” Tiba-tiba wajahnya memerah.
“i-iya” Arga terbata.
Aku menarik napas panjang. “Aku ingin kau berjanji sesuatu padaku”
“Apa itu Vi?” Wajahnya semakin memerah. ‘ada apa dengannya?’
“Jika suatu hari nanti, entah esok , lusa, beberapa tahun ke depan, atau bahkan hari ini kau tau masalahku….” Aku terdiam sesaat. Pandanganku beralih ke arah pantai. “Berjanjilah jangan pergi dariku.” Aku menatap Arga penuh harapan.
“…”
Tak ada jawaban.
Aku tertunduk, air mata yang sedari tadi membendung di pelupuk mataku kini lelah juga.’Apa dia akan meninggalkanku juga?’’. Pikirku yang sesekali terisak. Bersamaan dengan itu, entah dari mana datangnya udara hangat yang menjalar di setiap lekuk tubuhku. Dalam setiap aliran darah, getaran itu semakin terasa, dalam jarak yang hanya selapis kain punggungku dipeluk oleh Arga. Yang sesekali mengusap kepalaku.
Aku mendengar suara detakan jantung. Sangat kencang. ’Suara jantung siapa? Aku? Atau Arga?.’
“Berapa lama kita temenan Vi?” Arga memecahkan keheningan.
Aku memandangi jari-jariku seraya menghitung dengan mulut yang berkomat kamit. “Satu… dua… ti… lima puluh tahun Ga.”
Arga melepaskan pelukannya.”hampir dua tahun doang. Ndut ” Arga mencubit pipiku. Aku terkekeh sambil terus membiarkan air mataku terkuras habis.
“Nah itu kamu tau, pake sok-sok nanya segala. Memangnya ada apaan sih kok drama banget?” Arga kembali membalikkan badan dan menyandarkan kepalanya di punggungku.
“Kamu tuh yang drama dari tadi” umpat Arga kesal.
“ Tapi ada yang perlu kamu ketahui Vi, sampai mati pun aku akan selalu bersamamu. Aku akan menunggu kapan pun kamu siap menceritakan masalahmu. Tak perlu khawatir.” Arga menggenggam tanganku lalu  mengembangkan senyum ke arahku.
Sejak kecil, aku tak pernah mendapatkan apa yang menjadi keinginanku. Terlahir dan bertumbuh besar seperti Burung dalam Sangkar. Kadang aku takut bermimpi terlalu tinggi. Boro-boro bermimpi besar, impian sederhana pun tak mungkin bisa aku capai. Seakan-akan semuanya telah terlambat.
Pemikiran-pemikiran picik semacam, kenapa ayah meninggalkanku, aku bukan terlahir dalam keluarga yang sempurna, kenapa mereka hanya datang disaat aku sedang berada di atas awan saja, serta banyak lagi argumen-argumen negatif lainnya yang telah mengalir deras dalam cara berpikirku.
“Hei… Hei… Kenapa malah nangis lagi.” Arga mendekap bahuku, menatap mataku tajam, namun aku tak sanggup memandangnya. Lagi-lagi aku tertunduk dan terisak.
“Maaf. Hehe… Padahal niatnya gak kayak gini,” Aku menyeka air mataku dan mencoba tersenyum. Senyuman yang terasa sangat getir.
“Vi, jangan sedih gitu dong. Aku akan selalu ada buat kamu kok. Aku akan siap kapan saja. Kamu harus selalu kuat, jangan galau terus. Sesulit apapun masalahmu, kamu harus kuat melawannya. Paham?” Arga berusaha keras meyakinkanku.
“Sudah, jangan nangis lagi.” Arga mengusap punggungku dalam pelukannya.
Aku menerawang, jemariku menunjuk sang laut.”Kadang aku malu sama laut, kalau seandainya kau ingkar janji. Memangnya kau tidak merasa?” Aku tak lagi bersandar di pelukannya.
“Ga” Aku menggenggam kedua tangan Arga, sambil menatap matanya lekat-lekat.
“I-iya Vi”. Jawab Arga terbata.
“Sebenarnya…. Aku…”. Aku terdiam sesaat.
“A-aku? Hmm.. M-maksud kamu apa Vi?” Dengan terbata Arga melempar pandangan dariku, merasa seakan aku memvonisnya dengan hukuman paling berat.
Detik ini juga, aku merasa jantung Arga akan berhenti berdegup karena saat aku menggenggam tangannya yang terasa sangat dingin. Bahkan aku melihat ia tak mampu mengendalikan rona wajah yang bersemu merah itu ‘Tunggu dulu. Kenapa Arga begitu malu? Apa dia jatuh hati kepadaku? Ah mana mungkin.’. Sepertinya Arga tak sabar menunggu akhir dari perkataanku.
Aku menarik napas panjang kemudian, “AKU HANYA BERCANDA HAHAHA” aku tertawa lepas melihat ekspresi Arga yang begitu kaget bercampur kesal.
“KAU!” Lagi-lagi Arga mencubit pipiku. Tapi kali ini sangat menyakitkan. Mungkin dia sangat kesal. ‘Hahaha aku sangat suka melihatnya seperti ini.’
Ga. sungguh, aku tak ingin kau jauh dariku. Terimakasih jika benar kau ingin selalu menemaniku. Tapi belum saatnya aku memberitahumu. Aku masih ingin bercanda seperti ini denganmu. Aku tak mau kehilanganmu Arga. Seperti yang terjadi dengan Sabda Rasul yang pergi karena satu kesalahanku. Dan beberapa orang yang hanya menikmati tubuhku lalu pergi. Aku ingin bersamamu. Sebagai sahabatku, yang menemaniku menuju sang kekasih yang siap menerima ketidakperawanku ini. Aku melukiskan senyum kearahnya.
Terasa pantat kami mulai lembab oleh pasir yang basah. Senja perlahan menggelap, menyisakan langit petang yang serabutan kemerahan. Membiarkan angin menghempaskan tubuh kami. 
“Vi, ayo pulang. Sudah larut” Arga mengulurkan tangannya kearahku. Akupun menerimanya.
Senja di pantai Tanjung Bayang kami tutup dengan makan ice cream kesukaanku. Tak ada sore yang paling berarti selain sore bersama sahabat tersayang.
--
            Selamat tinggal, kepada kau yang pernah mampir di hatiku. Aku tak mau berbasa basi dengan berkata ‘Semoga bisa bertemu lagi’. Tidak. Sebab nyatanya, aku memang tak ingin berjumpa lagi denganmu. Aku tak ingin ada nostalgia jika kita saling menyapa. Setelah aku bertemu jodohku, cerita kita sudah mati. Dan kenangannya sudah kukubur di tanah antah berantah. Sehingga, tak akan pernah kuziarahi lagi. Sungguh tak akan.
Sebab pada akhirnya, kita akan menjadi orang yang tak saling mengenal. Setelah banyak kenangan indah yang pernah kita rangkai sebelumnya. Setelah banyak canda tawa yang pernah kita ciptakan sebelumnya.
            Kini, entah mengapa kenangan manis yang tersusun rapi itu telah dirombak habis oleh kejamnya waktu.
            Aku bersyukur, sebab aku tak perlu lagi merasakan pedihnya mengagumimu. Setidaknya rasa yang indah namun menyiksa ini terkuras perlahan dalam hatiku. Walaupun nyatanya terkadang aku masih mengkhawatirkan keadaanmu.
            Dimana….
            Sedang apa….
            Apakah baik-baik saja….
            Namun, mengertilah bila aku tak bisa lagi menyapamu seperti dulu. Mengertilah bila aku tak bisa lagi memberikan senyum tertulusku saat bertemu denganmu seperti dulu. Aku hanya bisa membuat seulas senyuman yang tampak dipaksakan. Menekan semua rasa pilu yang kian menyedihkan. Dan aku hanya bisa memalingkan wajahku seolah tak peduli denganmu. Berlari sejauh mungkin darimu.
            Bukan, bukan karena aku membencimu. Sebab setelah kita saling melambaikan tangan, aku dan kau sudah sepakat untuk saling memaafkan, bukan? Tidak ada dendam, amarah, apalagi benci. Tidak ada. Aku hanya sedang ingin memantapkan hati, untuk dia yang dipilihkan oleh Tuhan.
            Pahamilah, inilah caraku.
            Caraku untuk melupakan sosokmu. Caraku untuk melupakan seseorang yang dulunya pernah mengukir senyum bahagia di bibirku, seseorang yang dulunya pernah singgah di kalbu. Caraku untuk menghilang. Menghilang dari kehidupanmu, tanpa meninggalkan jejak sedikitpun.
            Aku sudah lelah mengetuk pintu hatimu, namun kau tak sudi membuka. Aku sudah susah payah mengejarmu, tapi kau tak mau berhenti. Bahkan, aku sudah letih menyapa, sedang kau tak berkenan menyahut. Dan aku akan mengemis terus menerus sampai tua, begitu? Oh tentu tidak. Tidak. Aku tidak ingin menghabiskan sisa usia di penjara perasaan. Aku ingin lepas. Aku ingin bebas. Aku ingin merasakan manisnya dicintai, setelah bosan mencicipi pahitnya mencintai.
            Kuharap kau akan terbiasa dengan hal ini. Tak menyapamu kembali. Tak tersenyum padamu kembali. Bahkan tak pernah menganggapmu ada kembali.
            Aku pergi… Sebab kau telah menemukan titik bahagiamu. Dan kini, aku juga mulai menemukan titik bahagiaku sendiri.
            Biarlah kini kita saling menjauh. Melupakan sebuah perasaan yang dulu pernah membumbung itu. Biarlah kini kita saling berpisah. Berpisah untuk menghadirkan sebuah kebahagiaan yang baru.
            Yaa….. Aku memang tak akan bisa melupakanmu. Namun bagiku, melepaskan bukan tentang bisa tidaknya melupakan. Melepaskan adalah tentang sebuah pilihan. Dan kau tau? Ya. Sudah putuskan untuk memilih bahagia.
            Semoga kau dan aku bahagia.
Kebohongan terbesarku adalah telah mengatakan hal itu. Entah apa yang merasukiku hingga saat ini aku tak bisa melupakannya.
“Aku merindukanmu”
“Sungguh…”
Nyatanya hanya dia yang selalu kupikirkan hingga detik ini. Sabda Rasul
--to be continue--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUH. RIDHO S

#TugasIndividu ANALISIS NOVEL RADEN MANDASIA SI PENCURI DAGING SAPI BERDASARKAN PENDEKATAN RESEPSI SASTRA Landasan Teori Secara d...