Sabtu, 10 Juni 2017

MUHAMMAD MURSYID

#cerpen

LUKA ADALAH DEWASA

Aku berjalan menjauh dari jalan raya menuju gerbang kampus dengan wajah yang entah seperti apa sekarang, berangkat pagi-pagi dari kos menuju kampus untuk pertama kalinya mungkin akan membuatku sedikit gugup dicampur beberapa perasaan lain yang tak bisa kusebutkan satu persatu. Embun pagi masih enggan meninggalkan dedaunan yang baru saja ia hinggapi di penghujung malam tadi, hangat belum sempat meyapanya memaksaya beranjak dari pucuk pohon-pohon yang berjejeran di jalan masuk ke gerbang kampus, jam sudah menunjukkan angka 07:36, biasanya
matahari sudah cukup hangat untuk membakar embun yang hinggap di pucuk-pucuk dedaunan, namun entah mengapa matahari enggan manampakkan hangatnya sepagi ini di hari ini. Dari jarak 30 meter dari gerbang, nampak jelas seorang pria berbaju lusuh sedang menggenggam sapu di tangannya melangkah keluar pagar, pikirku ia seorang petugas kebersihan, dan aku yaikin orang lain akan berfikir sama sepertiku sebab kebanyakan orang menyimpulkan sesuatu dari kesan pertama yang ia lihat.
Gerbang setiggi kurang lebih 4 meter itu belum terbuka lebar, namun cukup untuk melintas sepeda motor lalu lalang keluar masuk kampus, beberapa langkah melewati gerbang sebuah pondok di antara bangunan kelas sebelah kiri jalan masuk menyedot perhatianku, aku yakin setiap orang baru akan melempar pandangan padanya, mengingat pondok itu memang agak ganjil dengan bentuk yang kontras jika dibandinkan dengan bangunan kampus yang di cat warna ungu disekitarnya, ada sebuah topeng hitam putih yang sempat di tangkap ekor mataku saat melintas di sampingnya, tak sadar sembari aku memikirkan tentang pondok itu aku sudah hampir sampai di kerumunan mahasiswa baru yang duduk rapih untuk persiapan pembekalan mahasiswa baru, aku salah satu bagian dari mereka, dengan status mahasiswa baru di kampus ini ditambah pakaian yang senada membuat aku berani menyebut diriku bagian dari mereka.
Aku bergabung dengan rombongan dan langsung mengambil tempat duduk sesuai dengan program studi yang telah di tentukan. Pembekalan ini atau entah apa namanya berlangsung sangat membosankan, pihak kampus memberikan peraturan-peraturan yang begitu ketat untuk kami para mahasiswa baru, dari dulu aku sangat benci dengan peraturan, terlebih peraturan untuk menggunakan seragam hitam putih untuk mahasiswa baru selama satu tahun, entah apa maksud dan tujuannya. Aku kebanyakan diam tak seperti kebiasaanku yang sebenarnya banyak bicara, ini salah satu caraku mempelajari lingkungan baru.
haii..”
                Sapa seseorang yang separuh mengagetkanku.
                “iya?”
                Entah apa yang membuat sosok kurus itu menyapaku, mungkin mahasiswa baru yang sedang mencari teman bicara karena cukup merasa bosan dengan pembekalan ini, namun apa yang membuatnya berfikir bahwa aku adalah sosok yang baik untuk dijadikan teman bicara.

                “Aku Rizal, Siapa namamu?”
                “Aku Reza”
Aku meladeninya untuk bercakap lebih lama dengan sebuah pertanyaan diselingi basabasi, karena perasaan tidak enak sebab dari tadi ia terus bertanya, setdaknya hari ini dia telah membantu menghlangakn rasa bosan dengan duduk berjam-jam mendengar peraturan-peraturan yang di paparkan pihak kampus.
“kenapa memilih bahasa Indonesia”
Aku berfikir sejenak, namun tidak memiliki jawaban sepertinya.
“hmmm… entahlahh”
                “ahahahah.. semoga kita satu kelas”
                Aku hanya tersenyum tipis dan memalingkan pandangan kearah depan, mungkin waktunya untuk sedikit fokus mendengarkan. Hingga 2 jam yang terasa lebih lama dari biasanya dan sangat membosankan itu akhiranya berlalu, kami dibagikan kotak makanan berisi kue dan air gelas tanda waktunya untuk istrahat.
15 menit selanjutnya, pihak kampus menyampaikan bahwa pembagian kelas dan jadwal mata kuliah dapat dilihat di mading
                “Di mading telah tercatat seluruh nama mahasiswa baru angakatan 2015, bagi yang ingin mengetahui kelasnya harap ke mading untuk memerikasa nama, kelasnya, dan jadwal mata kuliah juga tertera di mading, harap mahasiswa antri dan tetap menjaga ketertiban” kata birokrasi kampus dengan  menggunakan pengeras suara.
                Cukup hitungan detik saja, mahasiswa baru langsung bergegas menuju mading yang tersebar di beberapa penjuru kampus, hahahah aku tertawa dalam hati, sepertiya agak susah menjaga ketertiban dengan dengan massa sebanyak ini yang tidak diimbangi dengan jumlah mading yang memadai, dari belakang aku melihat mahasiswa kelihatannya antusias melihat daftar nama mereka meski sebenarnya mereka belum tau pasti dengan siapa mereka akan satu kelas, aku memutuskan untuk menunggu dibelakang, lagi pula semua pasti akan mendapat giliran.
                “Halo reza”
                Aku akrab dengan suara itu, aku menoleh dan tersenyum lebar
                “Farid, jadi kau kuliah disini juga?”
                “hahahah iya begitulah, sebenarnya ini jurusan terakhir yang aku pilih namun ternyata aku diterima di jurusan bahasa asing di fakultas ini”
                “kupikir kau sudah ke pulau Jawa”
                Aku bertanya iseng, aku tau Farid benar-benar ingin kuliah di Jawa.
                “hahahaha apa boleh buat, ohh iya, kau sudah mengecek kelasmu?”
                “belum, aku masih menunggu kerumunan mahasiswa berkurang”
                “kalau begitu aku duluan, aku sudah mengecek kelasku, sekarang ingin mengecek jadwal kuliah, sampai ketemu nanti”
                Dia tertawa sambil berjalan meniggalkanku yang sedang menunggu mading sepi untuk mengecek kelas dan jadwal mata kuliah, aku tak menyangka akan bertemu dia disini, meski beda sekolah aku cukup mengenalnya sebagai orang yang baik, sepertinya kampung halaman akanmenjadi alasan untuk membuatku dengannya menjadi teman yang lebih akrab lagi.
                15 menit berlalu, sepertinya waktu yang tepat untuk mengecek kelas dan jadal mata kuliah di mading, terlihat tinggal bebrapa mahasiwa yang ada disana, aku berjalan menuju mading dan mengeluarkan buku dan pulpen dari tas, bersiap mencatat kelas dan jadwal matah kuliah. Tak perlu lama mencari namaku, cukup beberapa detik berdiri di depan mading aku sudah mendapatykannya tepatnya urutan ke 27 di absen kelas, ternyata aku kelas B, iseng aku membaca nama-nama yang juga ikut tercatat disana berharap masih ada nama yang aku kenal, aku membaca daftar nama yang tercatat di kelas B secara sekilas namun konsentrasiku buram saat ekor mataku menangkap ada seorang permpuan yang berdiri di dekatku, sengaja aku menyempatkan menoleh dan melhatnya baik-baik, tingginya sedikit diatas daguku, rambutnya diikat, kulitya putih dengan polesan bedak tipis yang sepertinya di lakukannya denagn buru-buru pagi tadi, dengan mata yang teduh melihat buku sambil menulis jadwal perkuliahan pikirku, aku terdiam sejenak menatapnya, entah apa yang membautnya terlihat berbeda dibanding perempuan lainnya, hari ini seluruh mahasiswa baru menggunakan kostum yang sama, seragam hitam-putih dengan almamater orange kebaggaan kampus ini, namun ia seperti berbeda bagiku, aku mesih terdiam dengan tanda tanya mengapa ia begitu berkesan, aku tak sadar mungkin barusaja aku memandangnya terlalu lama dengan cara yang ganjil hingga membuatnya menoleh dengan ekspresi wajah yang agak heran melihatku, beberapa detik mata kami bertemu, seketika aku memalingkan pandangan ke arah mading dan kembali berpura-pura bersikap normal, meski aku tau aku pasti benar-banar tampak tidak normal sekrang. Ia kembali melanjutkan aktifitasnya lalu menyisipkan pulpen di cela buku kemudian menutup bukunya, pertanda ia telah selesai dengan urusan mading atau mungkin terusik dengan caraku memandangnya barusan, aku mencuri kesempatan untuk melihatnya sekali lagi, entah apa yang membuatku reflejs melakukan hal itu, seperti candu yang tak bisa kubantahkan aku melihatnya untuk yang kedua kalinya, ia memasukkan buku dengan pulpen terselip di tengahnya masuk kedalam tas dan hendak pergi, ia sempat melihatku dan aku tidak sempat kembali berpura-pura bersikap normal seperti sebelumnya, mata kami kembali bertemu namun dengan durasi yang bebrapa detik lebih lama dibanding sebelumnya, ia sempat tersenyum sebelum melangkahkan kaki beranjak meninggalkanku tanpa kata, waktu terasa tidak berjalan normal saat aku menyaksikan langkah kecil-kecil itu yang semakin menjauh dan hilang ditelan dinding kampus.
                Sepasang mata itu ternyata lebih teduh dari yang kukira , tempak membulat seketika ia tersenyum ramah padaku, aku membatin, aku masih terdiam menyaksika sisa-sisa bayangannya yang membentuk garis sesuai pola langkahnya menjauh hingga hilang diantara bangunan kampus ini. Entah bagaimana caramu melakukannya, kau membunuhku dengan cara yang begitu masis.
Awal yang baik di dunia kampus, aku berkata lirih.
                12:30 dini hari aku masih terjaga dari tidur yang ngantuknya mulai mengusik, otakku seakan megeluarkan akar-akar dan merabah langit-langit kamar yang kecil namun cukup nyaman sejauh ini, aku berbikir namun entah memikirkan apa, mataku menatap lampu redup yang menggantung tepat diatas kepalaku, berjam-jam tanpa suara dengan posisis terlentang yang sama membuatku merasa kosong, sesekali terdengar percakapan tetangga kamar dengan teman kamarnya, suara handphone dan sesekali TV yang yang berganti chanel, indraku terasa sangat peka di tengah kesunyian malam selarut ini, cukup aneh rasanya, perempuan bermata teduh itu berhasl membuatku terjaga di jam yang biasanya aku sudat tertidur pulas.
                Aku mencoba membailik badan keadah kiri manatap layar handphone yang telah menunjukkan puku 1:00 dinihari, aku mulai berfikir bisakah besok masuk kuliah dengan tepat waktu mengingat aku belum tidur di jam yang selarut ini, aku menyetel alarm pada pukul 07:00 pagi, berharap cuma butuh 1 Jam untuk sarapan, mandi dan berjalan ke kampusku, aku mamatikan layar hadphone, dan menapat tembok yang dicat kuning namun kini agak pudar di sampingku. Imajinasiku kembali menghadirkan perempuan dengan tinggu sedaguku, dengan rambut yang diikat, mata yang membulat saat ia tersenyum. Perlahan imajinasiku memunculkan garis dan warna yang bergnatian seperti ia memiliki pola yang indah namun tdak beraturan. Ahh. Cukup, waktunya untuk tidur, aku harus kekampus pagi-pagi sekali, kini selain kuliah ada alasan lain yang membuatku bersemangat ke kampus.
                Aku belum tau siapa namamu.
                08:17 pagi, terpongoh-ponghoh nafasku tak beraturan sambil berlari kecil-kecil menuju gerbang kampus, alaram yang ku atur semalam ternyata tak berhasil membangunkanku tepat waktu, suara handphone milikku ternyata masih terlampau kecil untuk membangunkanku yang tidur terlambat semalam, mataku mulai menangkap bangunan kelas yang jika tidak salah jadwalnya hari ini menjadi tempat pertemuan mata kuliah Fonologi, ruang DG 102 tepatnya, banyak mahasiswa berseragam hitam-putih duduk di depan ruangan itu, entah apa yang mereka duduk perbincangkan disana. Bergegas aku kembali memfokuskan lariku diatas batu bata yang licin akibat hujan deras semalam, salah sedikit aku bisa jatuh dan tentunya akan menjadi sejarah memalukan dalam hidupku selama masih kuliah di tempat ini, kampus ternyata sudah ramai di jam sepagi ini, atau memang mungkin akau yang terlambat bangun, beberapa langkah dari pintu ruangan DG 102 aku merapikan pakaian yang berantakan sembari melap keringat yang bercucuran, aku benar-benar sangat berantakan, jatungku berdegup kian mengencang sambil menyondongkan kepala megintip isi ruangan, tidak ada orang didalam, aneh seharusnya benar, ini ruangan yang tertulis di jadwal mata kuliah, aku mengecek kembali jadwal mata kuliah yang sempat kutulis di buku catatanku, ini tidak salah sudah benar ini ruangannyakan? Lelau mengapa tak ada seorangpun di dalam kelas, aku menghembuskan nafas kesal.

                “hai kawan, jangan terlalu terburu-buru, hahahhaha”
                Sosok tinggu kurus yang kukenal menyapaku dari belakang
                “kau rizalkan?”
                “iya ini aku, wajar kalau kau belum terlalu hafal dengan wajahku, kita baru bertemu kemarin waktu perkenalan mahasiswa baru”
                “aku tertawa tipis, tawa yang terkesan dipaksakan”
                Aku kini benar-benar ingat, sosok kurus yang menyapaku kemarin, aku tak menyangka dia ternyata setinggi ini.
                “ohh iya kenapa tidak ada mahasiswa di dalam kelas?” aku memulai percakapan.
                “hari ini dosen tidak masuk, tadi aku mengecek di ruangan jurusan, ternyata bapak yang mengajar hari ini tidak sempat masuk, ada urusan mendadak katanya”
                Lalu untuk apa aku berlari sejauh ini, pikirku aku akan terlambat masuk kuliah dan dimarahi di depan kelas di hari perkuliahan pertama, aku hampir saja menabrak tukang becak dijalan karena terlalu terburu-buru berlari dari kos menuju kampus, dan ternyata dosen tidak masuk? Ini sungguh menyebalkan.
                “kau tidak apa-apa?”
                Rizal membuyarkan lamunanku.
                “aaa iya aku tidak apa-apa”
                “ohh iya, ternyata  kita benar-benar satu kelas”
                “ohh jadi kau kelas B juga?”
                Ia tersenyum lebar
                “bagaimana kalau kita ngopi saja disana, tamapaknya berdiri disini tidak ada gunanya”
                Aku mengangguk.
                “Ide yang bagus”
                20 menit berlalu aku dan Rizal duduk di koridor kampus depan DG sambil bercakap tentang kampus ini, kami membahas tentang senioritas, doktrin serta isu tentang perang antara fakultas di kampus ini, aku tak tahu ternyata sebelum ia masuk kuliah ternyata ia sempat menganggur satu tahun, waktu yang cukup lama untuk membuatnya lebih matang dibanding mahasiswa baru lainnya, apa lagi dia warga asli Makassar, dia tentunya banyak tau dibanding mahasiswa baru lainnya yang jauh dari desa, seperti aku.
                “Rokok?”
                ia menyodorkan sbatang rokok kepadaku yang diraihnya dari saku celananya
                “boleh”
                Aku menerimanya seperti menerima rokok dari kawan yang sudah lama akrab, apa salahnya mengisap satu batang rokok, lagi pula tidak enak jika tidak menerim pemberian orang, akupun kurang sepakat kalau rokok selalu dikaitkan dengan keperibadian yang buruk, bagiku ini hal yang wajar saja, kadang orang terlalu menyimpulkan terlalu cepat berdasarkan apa yang pertama ia lihat.
                Ini adalah aku, aku yang terlihat bukan berarti aku yang kebanyakan orang tau, aku adalah aku yang hanya sebagian kecil yang benar-benar mengenalku.
                Kami menghabiskan sebatang rokok kebanyakan dengan diam tanpa percakapan, sepertinya ia juga menikmatinya, setengah batang rokokku mulai menjadi debu sisa api, asapnya mengepul di atas kepala, aku seolah menikmati mentap kepulan asap itu, terasa ada hal yang mengganjal yang sepertinya belum kutuntaskan hari ini, aku tersadar, astaga bagaimana mungkin aku melupakannya. Dia, aku belum tau siapa namanya. Bola mataku bergerak lincah kekiri dan kekanan mencari sosok yang tak mungkin aku lupa bagaimana bentuknya, dimana dia, apa kah ia juga punya jadwal kulihah pagi ini, apakah mungkin dia sudah masuk di dalam kelas dan sedang mengikuti perkuliahan di kelas lain, DG 101 mungkin atau DG-DG lainnya, aku masih mencari, otot mataku masih kuat untuk melirik kanan dan kiri tanpa henti, namun tidak kelihatan, dimana dia?.
                Rombongan mahasiswa putri dari arah kantin berjalan menuju samping koridor sambil tertawa dan membawa cemilan ringan, masing-masing menggenggam satu, mereka bercakap dan sesekali tertawa sebagaimana wajarnya saat para perempuan bertemu, mereka selalu punya bahan pembahasan yang tempaknya kelihatan menarik jika disaksikan pria, mereka duduk di koridor namun di sisi satunya selain tempatku dan Rizal duduk, meski tak benar-benar berhadapan wajah mereka tampak jelas jika ingin diperhatikan satu-persatu dari arah sini, akhirnya aku melihatnya, perempuan pemilik mata teduh yang membuatku semalaman tak tidur dan harus belari-lari menuju kampus karena takut terlambat, seketika aku meluapakan rasa kesal akibat peristiwa pagi ini. Sepertinya dosen di kelasnya juga tidak masuk pagi ini.
                “setelah fonologi, apa lagi?”
                “apa?” aku membalas pertanyaan Rizal dengan pertanyaan.
                “setelah fonologi, mata kuliah apa lagi?” sambil tersenyum menyelidik ia memperjelas pertanyaannya, tampaknya dari tadi ia memperhatikan gerak gerikku”
                “Agama” aku menjawab singkat tampa melihat ke wajahnya.
                “apa kau merasa gugup?, Rizal bertanya setengah berbisik”
                “apa maksudmu?”
                “sudahlah kawan, kupikir kini kita berteman, jangan sembunyikan hal-hal seperti ini lagi padaku”
                Ia kembali memasang senyum menyelidik yang kali ini tampak melebar
                “aku tidak mengerti apa yang kau katakan” aku menjawab ketus padanya
                “perempuan yang mana? Tunjukkan padaku, mungkin aku bisa saja membantumu.
                Kali ini dia benar-benar tertawa.
                Aku membalas tawanya dengan tawa yang sejak tadi coba kuredam.
                “ahh sudahlah, aku tidak ingin mebahasanya sekarang”
                “baiklah kalau begitu, jangan terlalu memaksakan, birkan mengalir apaadanya, cinta selalu punya jalan ceritanya sendiri”
                Aku tersenyum mendengar pernyataannya kali ini, namun dalam hatiku aku benar-benar memikirkan pernyataan Rizal, lalu apa yang harus aku lakukan, menyebutnya cinta juga mungkin terlalu terburu-buru aku bahkan belum tau siapa namanya.
Aku memutuskan untuk tidak melakukan apa-apa, lagi pula aku masih belum cukup punya keberanian untuk itu, salah satu sifat pecundang yang aku miliki, aku selalu saja kalah dengan ketakutanku disaat seperti ini. Aku lebih memilih melihatnya diam-diam, memperhatikan dari jarak sejauh ini rasanya sudah cukup, aku melihat matanya yang membulat saat ia tertawa bersama teman-temannya, aku menikmati tawa renyah itu meski tawanya tidak untukku, lagi pula tawa itu bukan milik siapa-siapa, ia tertawa didepanku bukan salahku jika aku memandangnya baik-baik, pria normalpun pasti akan memperhatikan tawanya sama sepertiku, aku tidak melakukan kesalahan bukan, ahh selalu saja orang mencari-cari alasan untuk mempertahankan hal yang disukainya agar nampak benar.
Dua puluh menit tersingkat yang pernah kurasakan seumur hidupku, salah seorang dari mereka mulai beranjak berdiri dari tempat duduknya dan tampaknya yang lain mengikutinya, sepertinya mereka akan pergi bersama-sama, dan tentunya perempuan bermata teduh itu juga akan beranjak dari tempat duduknya, lagi pula tak ada alasan untuk ia tetap tinggal disana, kecuali ia ingin berbaik hati memperlihatakan tawanya padaku beberapa menit lagi, perlahan mereka melangkah masuk kedalam ruangan DG 104, ruangan yang sepertinyaakan  menjadi ruangan perkuliahannya yang kedua untuk hari ini, tak apalah setidaknya ini sudah cukup, setelah memperhatiakannya dengan jarak sedekat ini, menyimak perbincangan gadis-gadis tadi, lagi pula itu memenuhi salah satu tujuanku hari ini untuk datang pagi-pagi kekampus, kini aku tau siapa namanya.
Selain nama dan temat tinggalnya yang ia ceritakan dengan teman-temannya aku juga menemui satu fakta yang tak kusadari saat mata kami sailing bertemu tempo hari, ternyata mata yang nampak teduh itu berwarna coklat gelap, perpaduan yang indah dengan alis tebal di atasnya, aku berkata dalam hati.
Terbata aku kembali mengeja namanya “Viera”.
                Badanku terasa ringan saat berjalan pulang ke rumah, entah seperti ada yang menghilangkan sebagian bobot tubuhku saat ini, semuanya terasa ringan dan begitu melegahkan, dua jadwal mata kuliah hari ini dan dosen keduanya tidak masuk, tapi tak masalah bagiku, lagi pula misiku berhasil hari ini,  aku telah mengetahui namanya, jika saja seseorang memperhatikanku dari tadi mungkin aku akan diteriakinya orang gila, untunglah masyarakat perkotaan umumnya acuh tak acuh dengan keadaan sekitarnya, mereka terlalu sibuk dengan urusan masing-masing, kadang aku merasa sendiri di kota ini, tak ada teman tak ada keluarga dan tak jarang aku berfikir bahwa yang ada itu hanya aku dan Tuhan, dan beranggapan bahwa dunia ini tak lebih hanya gambaran audio visual yang sedang Tuhan perlihatkan untuk, mengujiku menghadapi masalah, rintangan dan segla cobaan yang ada dalam rekaan audio visual ini, entah apakah hanya perasaanku atau mungkin ada orang lain yang merasakan hal serupa, ahhh pikiranku memang agak aneh akhir-akhir ini, mungkin memang benar jika jatuh cinta dapat mempengaruhi akal sehat.
                “ada yang bisa dibantu?” Rizal tertawa lebar di atas motor vespa yang dinaikinya, ia tampak cocok memakai helm tua dan mengendarai motor vespa.
                Tanpa menjawab pertanyaannya aku langsung menaiki kursi bagian belakang motornya. Tampaknya benar apa yang ia katakan waktu PMB beberapa hari yang lalu, kami ternyata benar-benar berteman baik, setidaknya sejauh ini. Diperjalanan aku dan Rizal berbincang-bincang tentang kota Makassar, yang kebanyakan percakapan didominasi oleh dia, untuk pertama kalinya aku tak mampu mengimbanginya dalam bercakap, dalam hal ini tentu dia lebih unggul, ia sedikit bercerita tentang neneknya yang merupakan orang yang dituakan di Makassar, bercerita tentang orang tuanya yang sibuk dengan urusan kantor dan tak jarang harus meninggalkan rumah dalam waktu yang berbulan-bulan lamanya, ia juga menceritakan tentang kesepian mencari teman di kota Makassar, ia mengatakan kita harus pandai-pandai mencari teman bergaul di kota ini, sebab salah sedikit kita dapat terjebak di pergaulan yang kurang sehat, aku takhjub mendengar percakapan di atas motor vespa ini, tak bisa kupungkiri ia memang lebih dewasa dari pada aku, dan yang mebuatku lebih takhjub lagi ternyata ia mampu memandang kota yang dihuninya sejak kecil dengan sudut pandang yang berbeda, hal yang sepertinya tak kebanyakan pendududk kota dapat menyadarinya karena telah terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan yang mendarah daging tumbuh di kota daeng ini.
                “Stop!”
                Bergegas Rizal mengerem motornya.
                Aku langsung menuruni kursi belakang
                “Terima kasih Rizal antas tumpangannya, setidaknya aku sampai dirumah dengan keadaan yang tidak bercucuran keringat seperti kemarin, aku mencoba bercanda”
                “Aku tak menyangka kau berjalan sejauh ini tiap pagi ke kampus dan pulang di sore hari yang masih panas”
                “aku sudah terbiasa, lagi pula berjalan kaki itu sehat”
                Ia tertawa menyeringai
                “ohh iya rumahku tidak terlalu jauh dari sini, kapan-kapan akan kuajak kerumah”
                Aku mengacungkan dua jempol dan ia pun pergi.
                Aku bergegas melewati lorong kecil yang mengantarku menuju kos tempatku tinggal, aku butuh istrahat, tidur terlambat dan bangun terlalu pagi membuatku sangat mengantuk sore ini.
                Keesokan harinya, aku ke kampus dengan begitu cerah dan lebih segar dibanding kemarin, dengan keadaan seperti ini, tampaknya kau telah siap menyapa perempaun yang telah lancar kueja namanya itu. Aku disambut dengan pepohonan yang rindang dan bangunan-bangunan yang tak ada bedanya dengan kemarin, burung-burung dengan kicaunya dan angin yang berhembus seperti mengajakku berbicara, mungkin ia bertanya “Seberapa siap aku hari ini untuk menyapanya?”. Atmosfir kepercayaan diriku yang bertambah pagi ini, tentu memantaskan pertanyaan itu kujawab “aku siap”. Segalanya telah keprsiapkan termasuk pertanyaan-pertanyaanku yang kubuat sebisa mungkin tidak terdengar basa basi, saat memuali percakapanku nanti. Aku benar-benar tidak sabar untuk waktunya.
                Aku memperlambat langkah kakiku dan memastikan apa yang kulihat benar-benar nyata bukan sekedar ilusi optik yang mungkin diakibatkan khayalan tingkat tinggi yang kumulai sejak tadi malam, perempuan itu berjalan persis kearahku.
                Aku tak menyangka waktunya akan seceapat ini, aku mempu merasakan aliran darah yang naik ke ubun-ubun dan hangat mulai merambat kedalam tubuhku, aku seperti bom waktu yang siap meledak, mataku menangkap sosok yang tidak asing berjalan di sampingnya, beberapa saat kupastikan aku benar-benar tidak keliru, ia Farid teman lama yang entah apakah ia cocok kusebut teman, berjalan di samping gadis yang menghantuik akhir-akhir ini, banyak tanya dan kemungkinan-kemungkinan yang terlintas dikepalaku, terutama pertanyaan “mengapa mereka bisa berjalana bersama?” yahh, aku tidak salah, jarak sedekat itu tentunya tanda mereka berjalan bersama, aku mematung sesaat untuk waktu yang tidak kuingat berapa lamanya.
                “Hay Reza”
                Farid menyapaku dengan tawa yang kubalas seadanya
                “Halo”
                “ada kuliah pagi ini?”
                “yah begitulah, apapula yang kulakukan di kampus sepagi ini jika tak ada jadwal”
                Aku membalasnya ketus.
                Aku sebenarnya masih mencoba menuntaskan tanya yang tak sempat kutuntaskan, mengapa mereka bisa bersama, bukannya Farid dari bahasa Asing tentunya mereka tidak satu kelas kenapa bisa secepat ini mereka bersama?
                “Oh iya, apa kalian sudah kenal?”
                Ia mematahkan lamunanku dengan pertanyaannya pada perempuan disampingnya.
                “Perkenalkan, ini Viera, dia Pacarku, cantikkan?”
                Farid berkata dengan penuh percaya diri padaku.
                “Viera Fatikasari, panggil saja Viera”
                Perempuan itu mengulurkan tangannya, aku menyambutnya dengan jabatan senormal mungkin. Beberapa detik setelah jari kami bertemu, aku masih mematung di tengah kesendirian yang terbungkus keramain kampus, aku bisa merasakan hembusan angin begitu jelas dari pada biasanya, aku jadi bisa mendengar suara burung yang biasanya tidak aku hiraukan, bangunan-bangunan kampus dengan diamnya namun mereka semua seolah berinteraksi padaku, aku baru sadar ternyata sejak pagi mereka hanya menertawakan pecundang yang begitu naif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUH. RIDHO S

#TugasIndividu ANALISIS NOVEL RADEN MANDASIA SI PENCURI DAGING SAPI BERDASARKAN PENDEKATAN RESEPSI SASTRA Landasan Teori Secara d...