LUKA ADALAH DEWASA
Aku berjalan
menjauh dari jalan raya menuju gerbang kampus dengan wajah yang entah seperti
apa sekarang, berangkat pagi-pagi dari kos menuju kampus untuk pertama kalinya
mungkin akan membuatku sedikit gugup dicampur beberapa perasaan lain yang tak
bisa kusebutkan satu persatu. Embun pagi masih enggan meninggalkan dedaunan
yang baru saja ia hinggapi di penghujung malam tadi, hangat belum sempat meyapanya
memaksaya beranjak dari pucuk pohon-pohon yang berjejeran di jalan masuk ke
gerbang kampus, jam sudah menunjukkan angka 07:36, biasanya
matahari sudah
cukup hangat untuk membakar embun yang hinggap di pucuk-pucuk dedaunan, namun
entah mengapa matahari enggan manampakkan hangatnya sepagi ini di hari ini.
Dari jarak 30 meter dari gerbang, nampak jelas seorang pria berbaju lusuh
sedang menggenggam sapu di tangannya melangkah keluar pagar, pikirku ia seorang
petugas kebersihan, dan aku yaikin orang lain akan berfikir sama sepertiku
sebab kebanyakan orang menyimpulkan sesuatu dari kesan pertama yang ia lihat.
Gerbang setiggi
kurang lebih 4 meter itu belum terbuka lebar, namun cukup untuk melintas sepeda
motor lalu lalang keluar masuk kampus, beberapa langkah melewati gerbang sebuah
pondok di antara bangunan kelas sebelah kiri jalan masuk menyedot perhatianku,
aku yakin setiap orang baru akan melempar pandangan padanya, mengingat pondok
itu memang agak ganjil dengan bentuk yang kontras jika dibandinkan dengan
bangunan kampus yang di cat warna ungu disekitarnya, ada sebuah topeng hitam
putih yang sempat di tangkap ekor mataku saat melintas di sampingnya, tak sadar
sembari aku memikirkan tentang pondok itu aku sudah hampir sampai di kerumunan
mahasiswa baru yang duduk rapih untuk persiapan pembekalan mahasiswa baru, aku
salah satu bagian dari mereka, dengan status mahasiswa baru di kampus ini
ditambah pakaian yang senada membuat aku berani menyebut diriku bagian dari
mereka.
Aku bergabung
dengan rombongan dan langsung mengambil tempat duduk sesuai dengan program
studi yang telah di tentukan. Pembekalan ini atau entah apa namanya berlangsung
sangat membosankan, pihak kampus memberikan peraturan-peraturan yang begitu
ketat untuk kami para mahasiswa baru, dari dulu aku sangat benci dengan
peraturan, terlebih peraturan untuk menggunakan seragam hitam putih untuk
mahasiswa baru selama satu tahun, entah apa maksud dan tujuannya. Aku
kebanyakan diam tak seperti kebiasaanku yang sebenarnya banyak bicara, ini
salah satu caraku mempelajari lingkungan baru.
haii..”
Sapa
seseorang yang separuh mengagetkanku.
“iya?”
Entah
apa yang membuat sosok kurus itu menyapaku, mungkin mahasiswa baru yang sedang
mencari teman bicara karena cukup merasa bosan dengan pembekalan ini, namun apa
yang membuatnya berfikir bahwa aku adalah sosok yang baik untuk dijadikan teman
bicara.
“Aku
Rizal, Siapa namamu?”
“Aku
Reza”
Aku meladeninya
untuk bercakap lebih lama dengan sebuah pertanyaan diselingi basabasi, karena
perasaan tidak enak sebab dari tadi ia terus bertanya, setdaknya hari ini dia
telah membantu menghlangakn rasa bosan dengan duduk berjam-jam mendengar
peraturan-peraturan yang di paparkan pihak kampus.
“kenapa memilih
bahasa Indonesia”
Aku berfikir
sejenak, namun tidak memiliki jawaban sepertinya.
“hmmm…
entahlahh”
“ahahahah..
semoga kita satu kelas”
Aku
hanya tersenyum tipis dan memalingkan pandangan kearah depan, mungkin waktunya untuk
sedikit fokus mendengarkan. Hingga 2 jam yang terasa lebih lama dari biasanya dan
sangat membosankan itu akhiranya berlalu, kami dibagikan kotak makanan berisi
kue dan air gelas tanda waktunya untuk istrahat.
15 menit selanjutnya, pihak
kampus menyampaikan bahwa pembagian kelas dan jadwal mata kuliah dapat dilihat
di mading
“Di
mading telah tercatat seluruh nama mahasiswa baru angakatan 2015, bagi yang
ingin mengetahui kelasnya harap ke mading untuk memerikasa nama, kelasnya, dan
jadwal mata kuliah juga tertera di mading, harap mahasiswa antri dan tetap
menjaga ketertiban” kata birokrasi kampus dengan menggunakan pengeras suara.
Cukup
hitungan detik saja, mahasiswa baru langsung bergegas menuju mading yang
tersebar di beberapa penjuru kampus, hahahah aku tertawa dalam hati, sepertiya
agak susah menjaga ketertiban dengan dengan massa sebanyak ini yang tidak
diimbangi dengan jumlah mading yang memadai, dari belakang aku melihat
mahasiswa kelihatannya antusias melihat daftar nama mereka meski sebenarnya
mereka belum tau pasti dengan siapa mereka akan satu kelas, aku memutuskan
untuk menunggu dibelakang, lagi pula semua pasti akan mendapat giliran.
“Halo
reza”
Aku
akrab dengan suara itu, aku menoleh dan tersenyum lebar
“Farid,
jadi kau kuliah disini juga?”
“hahahah
iya begitulah, sebenarnya ini jurusan terakhir yang aku pilih namun ternyata
aku diterima di jurusan bahasa asing di fakultas ini”
“kupikir
kau sudah ke pulau Jawa”
Aku
bertanya iseng, aku tau Farid benar-benar ingin kuliah di Jawa.
“hahahaha
apa boleh buat, ohh iya, kau sudah mengecek kelasmu?”
“belum,
aku masih menunggu kerumunan mahasiswa berkurang”
“kalau
begitu aku duluan, aku sudah mengecek kelasku, sekarang ingin mengecek jadwal
kuliah, sampai ketemu nanti”
Dia
tertawa sambil berjalan meniggalkanku yang sedang menunggu mading sepi untuk
mengecek kelas dan jadwal mata kuliah, aku tak menyangka akan bertemu dia
disini, meski beda sekolah aku cukup mengenalnya sebagai orang yang baik,
sepertinya kampung halaman akanmenjadi alasan untuk membuatku dengannya menjadi
teman yang lebih akrab lagi.
15
menit berlalu, sepertinya waktu yang tepat untuk mengecek kelas dan jadal mata
kuliah di mading, terlihat tinggal bebrapa mahasiwa yang ada disana, aku berjalan
menuju mading dan mengeluarkan buku dan pulpen dari tas, bersiap mencatat kelas
dan jadwal matah kuliah. Tak perlu lama mencari namaku, cukup beberapa detik
berdiri di depan mading aku sudah mendapatykannya tepatnya urutan ke 27 di
absen kelas, ternyata aku kelas B, iseng aku membaca nama-nama yang juga ikut
tercatat disana berharap masih ada nama yang aku kenal, aku membaca daftar nama
yang tercatat di kelas B secara sekilas namun konsentrasiku buram saat ekor
mataku menangkap ada seorang permpuan yang berdiri di dekatku, sengaja aku
menyempatkan menoleh dan melhatnya baik-baik, tingginya sedikit diatas daguku,
rambutnya diikat, kulitya putih dengan polesan bedak tipis yang sepertinya di
lakukannya denagn buru-buru pagi tadi, dengan mata yang teduh melihat buku
sambil menulis jadwal perkuliahan pikirku, aku terdiam sejenak menatapnya, entah
apa yang membautnya terlihat berbeda dibanding perempuan lainnya, hari ini
seluruh mahasiswa baru menggunakan kostum yang sama, seragam hitam-putih dengan
almamater orange kebaggaan kampus ini, namun ia seperti berbeda bagiku, aku
mesih terdiam dengan tanda tanya mengapa ia begitu berkesan, aku tak sadar mungkin
barusaja aku memandangnya terlalu lama dengan cara yang ganjil hingga
membuatnya menoleh dengan ekspresi wajah yang agak heran melihatku, beberapa
detik mata kami bertemu, seketika aku memalingkan pandangan ke arah mading dan
kembali berpura-pura bersikap normal, meski aku tau aku pasti benar-banar tampak
tidak normal sekrang. Ia kembali melanjutkan aktifitasnya lalu menyisipkan
pulpen di cela buku kemudian menutup bukunya, pertanda ia telah selesai dengan
urusan mading atau mungkin terusik dengan caraku memandangnya barusan, aku
mencuri kesempatan untuk melihatnya sekali lagi, entah apa yang membuatku
reflejs melakukan hal itu, seperti candu yang tak bisa kubantahkan aku
melihatnya untuk yang kedua kalinya, ia memasukkan buku dengan pulpen terselip
di tengahnya masuk kedalam tas dan hendak pergi, ia sempat melihatku dan aku
tidak sempat kembali berpura-pura bersikap normal seperti sebelumnya, mata kami
kembali bertemu namun dengan durasi yang bebrapa detik lebih lama dibanding
sebelumnya, ia sempat tersenyum sebelum melangkahkan kaki beranjak meninggalkanku
tanpa kata, waktu terasa tidak berjalan normal saat aku menyaksikan langkah
kecil-kecil itu yang semakin menjauh dan hilang ditelan dinding kampus.
Sepasang
mata itu ternyata lebih teduh dari yang kukira , tempak membulat seketika ia
tersenyum ramah padaku, aku membatin, aku masih terdiam menyaksika sisa-sisa
bayangannya yang membentuk garis sesuai pola langkahnya menjauh hingga hilang diantara
bangunan kampus ini. Entah bagaimana caramu melakukannya, kau membunuhku dengan
cara yang begitu masis.
Awal yang baik di dunia kampus,
aku berkata lirih.
12:30
dini hari aku masih terjaga dari tidur yang ngantuknya mulai mengusik, otakku
seakan megeluarkan akar-akar dan merabah langit-langit kamar yang kecil namun
cukup nyaman sejauh ini, aku berbikir namun entah memikirkan apa, mataku
menatap lampu redup yang menggantung tepat diatas kepalaku, berjam-jam tanpa
suara dengan posisis terlentang yang sama membuatku merasa kosong, sesekali
terdengar percakapan tetangga kamar dengan teman kamarnya, suara handphone dan
sesekali TV yang yang berganti chanel, indraku terasa sangat peka di tengah
kesunyian malam selarut ini, cukup aneh rasanya, perempuan bermata teduh itu
berhasl membuatku terjaga di jam yang biasanya aku sudat tertidur pulas.
Aku
mencoba membailik badan keadah kiri manatap layar handphone yang telah
menunjukkan puku 1:00 dinihari, aku mulai berfikir bisakah besok masuk kuliah
dengan tepat waktu mengingat aku belum tidur di jam yang selarut ini, aku menyetel
alarm pada pukul 07:00 pagi, berharap cuma butuh 1 Jam untuk sarapan, mandi dan
berjalan ke kampusku, aku mamatikan layar hadphone, dan menapat tembok yang
dicat kuning namun kini agak pudar di sampingku. Imajinasiku kembali
menghadirkan perempuan dengan tinggu sedaguku, dengan rambut yang diikat, mata
yang membulat saat ia tersenyum. Perlahan imajinasiku memunculkan garis dan
warna yang bergnatian seperti ia memiliki pola yang indah namun tdak beraturan.
Ahh. Cukup, waktunya untuk tidur, aku harus kekampus pagi-pagi sekali, kini selain
kuliah ada alasan lain yang membuatku bersemangat ke kampus.
Aku
belum tau siapa namamu.
08:17
pagi, terpongoh-ponghoh nafasku tak beraturan sambil berlari kecil-kecil menuju
gerbang kampus, alaram yang ku atur semalam ternyata tak berhasil
membangunkanku tepat waktu, suara handphone milikku ternyata masih terlampau
kecil untuk membangunkanku yang tidur terlambat semalam, mataku mulai menangkap
bangunan kelas yang jika tidak salah jadwalnya hari ini menjadi tempat pertemuan
mata kuliah Fonologi, ruang DG 102 tepatnya, banyak mahasiswa berseragam
hitam-putih duduk di depan ruangan itu, entah apa yang mereka duduk
perbincangkan disana. Bergegas aku kembali memfokuskan lariku diatas batu bata
yang licin akibat hujan deras semalam, salah sedikit aku bisa jatuh dan
tentunya akan menjadi sejarah memalukan dalam hidupku selama masih kuliah di
tempat ini, kampus ternyata sudah ramai di jam sepagi ini, atau memang mungkin
akau yang terlambat bangun, beberapa langkah dari pintu ruangan DG 102 aku
merapikan pakaian yang berantakan sembari melap keringat yang bercucuran, aku
benar-benar sangat berantakan, jatungku berdegup kian mengencang sambil menyondongkan
kepala megintip isi ruangan, tidak ada orang didalam, aneh seharusnya benar,
ini ruangan yang tertulis di jadwal mata kuliah, aku mengecek kembali jadwal
mata kuliah yang sempat kutulis di buku catatanku, ini tidak salah sudah benar
ini ruangannyakan? Lelau mengapa tak ada seorangpun di dalam kelas, aku
menghembuskan nafas kesal.
“hai
kawan, jangan terlalu terburu-buru, hahahhaha”
Sosok
tinggu kurus yang kukenal menyapaku dari belakang
“kau
rizalkan?”
“iya
ini aku, wajar kalau kau belum terlalu hafal dengan wajahku, kita baru bertemu
kemarin waktu perkenalan mahasiswa baru”
“aku
tertawa tipis, tawa yang terkesan dipaksakan”
Aku
kini benar-benar ingat, sosok kurus yang menyapaku kemarin, aku tak menyangka
dia ternyata setinggi ini.
“ohh
iya kenapa tidak ada mahasiswa di dalam kelas?” aku memulai percakapan.
“hari
ini dosen tidak masuk, tadi aku mengecek di ruangan jurusan, ternyata bapak
yang mengajar hari ini tidak sempat masuk, ada urusan mendadak katanya”
Lalu
untuk apa aku berlari sejauh ini, pikirku aku akan terlambat masuk kuliah dan
dimarahi di depan kelas di hari perkuliahan pertama, aku hampir saja menabrak
tukang becak dijalan karena terlalu terburu-buru berlari dari kos menuju
kampus, dan ternyata dosen tidak masuk? Ini sungguh menyebalkan.
“kau
tidak apa-apa?”
Rizal
membuyarkan lamunanku.
“aaa
iya aku tidak apa-apa”
“ohh
iya, ternyata kita benar-benar satu
kelas”
“ohh
jadi kau kelas B juga?”
Ia
tersenyum lebar
“bagaimana
kalau kita ngopi saja disana, tamapaknya berdiri disini tidak ada gunanya”
Aku
mengangguk.
“Ide
yang bagus”
20
menit berlalu aku dan Rizal duduk di koridor kampus depan DG sambil bercakap
tentang kampus ini, kami membahas tentang senioritas, doktrin serta isu tentang
perang antara fakultas di kampus ini, aku tak tahu ternyata sebelum ia masuk
kuliah ternyata ia sempat menganggur satu tahun, waktu yang cukup lama untuk
membuatnya lebih matang dibanding mahasiswa baru lainnya, apa lagi dia warga
asli Makassar, dia tentunya banyak tau dibanding mahasiswa baru lainnya yang
jauh dari desa, seperti aku.
“Rokok?”
ia
menyodorkan sbatang rokok kepadaku yang diraihnya dari saku celananya
“boleh”
Aku
menerimanya seperti menerima rokok dari kawan yang sudah lama akrab, apa
salahnya mengisap satu batang rokok, lagi pula tidak enak jika tidak menerim
pemberian orang, akupun kurang sepakat kalau rokok selalu dikaitkan dengan
keperibadian yang buruk, bagiku ini hal yang wajar saja, kadang orang terlalu
menyimpulkan terlalu cepat berdasarkan apa yang pertama ia lihat.
Ini
adalah aku, aku yang terlihat bukan berarti aku yang kebanyakan orang tau, aku adalah
aku yang hanya sebagian kecil yang benar-benar mengenalku.
Kami
menghabiskan sebatang rokok kebanyakan dengan diam tanpa percakapan, sepertinya
ia juga menikmatinya, setengah batang rokokku mulai menjadi debu sisa api,
asapnya mengepul di atas kepala, aku seolah menikmati mentap kepulan asap itu, terasa
ada hal yang mengganjal yang sepertinya belum kutuntaskan hari ini, aku
tersadar, astaga bagaimana mungkin aku melupakannya. Dia, aku belum tau siapa
namanya. Bola mataku bergerak lincah kekiri dan kekanan mencari sosok yang tak
mungkin aku lupa bagaimana bentuknya, dimana dia, apa kah ia juga punya jadwal
kulihah pagi ini, apakah mungkin dia sudah masuk di dalam kelas dan sedang
mengikuti perkuliahan di kelas lain, DG 101 mungkin atau DG-DG lainnya, aku
masih mencari, otot mataku masih kuat untuk melirik kanan dan kiri tanpa henti,
namun tidak kelihatan, dimana dia?.
Rombongan
mahasiswa putri dari arah kantin berjalan menuju samping koridor sambil tertawa
dan membawa cemilan ringan, masing-masing menggenggam satu, mereka bercakap dan
sesekali tertawa sebagaimana wajarnya saat para perempuan bertemu, mereka
selalu punya bahan pembahasan yang tempaknya kelihatan menarik jika disaksikan
pria, mereka duduk di koridor namun di sisi satunya selain tempatku dan Rizal
duduk, meski tak benar-benar berhadapan wajah mereka tampak jelas jika ingin
diperhatikan satu-persatu dari arah sini, akhirnya aku melihatnya, perempuan
pemilik mata teduh yang membuatku semalaman tak tidur dan harus belari-lari
menuju kampus karena takut terlambat, seketika aku meluapakan rasa kesal akibat
peristiwa pagi ini. Sepertinya dosen di kelasnya juga tidak masuk pagi ini.
“setelah
fonologi, apa lagi?”
“apa?”
aku membalas pertanyaan Rizal dengan pertanyaan.
“setelah
fonologi, mata kuliah apa lagi?” sambil tersenyum menyelidik ia memperjelas
pertanyaannya, tampaknya dari tadi ia memperhatikan gerak gerikku”
“Agama”
aku menjawab singkat tampa melihat ke wajahnya.
“apa
kau merasa gugup?, Rizal bertanya setengah berbisik”
“apa
maksudmu?”
“sudahlah
kawan, kupikir kini kita berteman, jangan sembunyikan hal-hal seperti ini lagi
padaku”
Ia
kembali memasang senyum menyelidik yang kali ini tampak melebar
“aku
tidak mengerti apa yang kau katakan” aku menjawab ketus padanya
“perempuan
yang mana? Tunjukkan padaku, mungkin aku bisa saja membantumu.
Kali
ini dia benar-benar tertawa.
Aku
membalas tawanya dengan tawa yang sejak tadi coba kuredam.
“ahh
sudahlah, aku tidak ingin mebahasanya sekarang”
“baiklah
kalau begitu, jangan terlalu memaksakan, birkan mengalir apaadanya, cinta
selalu punya jalan ceritanya sendiri”
Aku
tersenyum mendengar pernyataannya kali ini, namun dalam hatiku aku benar-benar
memikirkan pernyataan Rizal, lalu apa yang harus aku lakukan, menyebutnya cinta
juga mungkin terlalu terburu-buru aku bahkan belum tau siapa namanya.
Aku memutuskan
untuk tidak melakukan apa-apa, lagi pula aku masih belum cukup punya keberanian
untuk itu, salah satu sifat pecundang yang aku miliki, aku selalu saja kalah
dengan ketakutanku disaat seperti ini. Aku lebih memilih melihatnya diam-diam,
memperhatikan dari jarak sejauh ini rasanya sudah cukup, aku melihat matanya
yang membulat saat ia tertawa bersama teman-temannya, aku menikmati tawa renyah
itu meski tawanya tidak untukku, lagi pula tawa itu bukan milik siapa-siapa, ia
tertawa didepanku bukan salahku jika aku memandangnya baik-baik, pria normalpun
pasti akan memperhatikan tawanya sama sepertiku, aku tidak melakukan kesalahan
bukan, ahh selalu saja orang mencari-cari alasan untuk mempertahankan hal yang
disukainya agar nampak benar.
Dua puluh menit
tersingkat yang pernah kurasakan seumur hidupku, salah seorang dari mereka
mulai beranjak berdiri dari tempat duduknya dan tampaknya yang lain
mengikutinya, sepertinya mereka akan pergi bersama-sama, dan tentunya perempuan
bermata teduh itu juga akan beranjak dari tempat duduknya, lagi pula tak ada
alasan untuk ia tetap tinggal disana, kecuali ia ingin berbaik hati memperlihatakan
tawanya padaku beberapa menit lagi, perlahan mereka melangkah masuk kedalam
ruangan DG 104, ruangan yang sepertinyaakan
menjadi ruangan perkuliahannya yang kedua untuk hari ini, tak apalah
setidaknya ini sudah cukup, setelah memperhatiakannya dengan jarak sedekat ini,
menyimak perbincangan gadis-gadis tadi, lagi pula itu memenuhi salah satu
tujuanku hari ini untuk datang pagi-pagi kekampus, kini aku tau siapa namanya.
Selain nama dan
temat tinggalnya yang ia ceritakan dengan teman-temannya aku juga menemui satu
fakta yang tak kusadari saat mata kami sailing bertemu tempo hari, ternyata
mata yang nampak teduh itu berwarna coklat gelap, perpaduan yang indah dengan
alis tebal di atasnya, aku berkata dalam hati.
Terbata aku
kembali mengeja namanya “Viera”.
Badanku
terasa ringan saat berjalan pulang ke rumah, entah seperti ada yang
menghilangkan sebagian bobot tubuhku saat ini, semuanya terasa ringan dan
begitu melegahkan, dua jadwal mata kuliah hari ini dan dosen keduanya tidak
masuk, tapi tak masalah bagiku, lagi pula misiku berhasil hari ini, aku telah mengetahui namanya, jika saja
seseorang memperhatikanku dari tadi mungkin aku akan diteriakinya orang gila, untunglah
masyarakat perkotaan umumnya acuh tak acuh dengan keadaan sekitarnya, mereka
terlalu sibuk dengan urusan masing-masing, kadang aku merasa sendiri di kota
ini, tak ada teman tak ada keluarga dan tak jarang aku berfikir bahwa yang ada
itu hanya aku dan Tuhan, dan beranggapan bahwa dunia ini tak lebih hanya
gambaran audio visual yang sedang Tuhan perlihatkan untuk, mengujiku menghadapi
masalah, rintangan dan segla cobaan yang ada dalam rekaan audio visual ini,
entah apakah hanya perasaanku atau mungkin ada orang lain yang merasakan hal serupa,
ahhh pikiranku memang agak aneh akhir-akhir ini, mungkin memang benar jika
jatuh cinta dapat mempengaruhi akal sehat.
“ada
yang bisa dibantu?” Rizal tertawa lebar di atas motor vespa yang dinaikinya, ia
tampak cocok memakai helm tua dan mengendarai motor vespa.
Tanpa
menjawab pertanyaannya aku langsung menaiki kursi bagian belakang motornya.
Tampaknya benar apa yang ia katakan waktu PMB beberapa hari yang lalu, kami
ternyata benar-benar berteman baik, setidaknya sejauh ini. Diperjalanan aku dan
Rizal berbincang-bincang tentang kota Makassar, yang kebanyakan percakapan
didominasi oleh dia, untuk pertama kalinya aku tak mampu mengimbanginya dalam
bercakap, dalam hal ini tentu dia lebih unggul, ia sedikit bercerita tentang neneknya
yang merupakan orang yang dituakan di Makassar, bercerita tentang orang tuanya
yang sibuk dengan urusan kantor dan tak jarang harus meninggalkan rumah dalam
waktu yang berbulan-bulan lamanya, ia juga menceritakan tentang kesepian
mencari teman di kota Makassar, ia mengatakan kita harus pandai-pandai mencari
teman bergaul di kota ini, sebab salah sedikit kita dapat terjebak di pergaulan
yang kurang sehat, aku takhjub mendengar percakapan di atas motor vespa ini,
tak bisa kupungkiri ia memang lebih dewasa dari pada aku, dan yang mebuatku
lebih takhjub lagi ternyata ia mampu memandang kota yang dihuninya sejak kecil
dengan sudut pandang yang berbeda, hal yang sepertinya tak kebanyakan pendududk
kota dapat menyadarinya karena telah terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan yang
mendarah daging tumbuh di kota daeng ini.
“Stop!”
Bergegas
Rizal mengerem motornya.
Aku
langsung menuruni kursi belakang
“Terima
kasih Rizal antas tumpangannya, setidaknya aku sampai dirumah dengan keadaan
yang tidak bercucuran keringat seperti kemarin, aku mencoba bercanda”
“Aku
tak menyangka kau berjalan sejauh ini tiap pagi ke kampus dan pulang di sore
hari yang masih panas”
“aku
sudah terbiasa, lagi pula berjalan kaki itu sehat”
Ia
tertawa menyeringai
“ohh
iya rumahku tidak terlalu jauh dari sini, kapan-kapan akan kuajak kerumah”
Aku
mengacungkan dua jempol dan ia pun pergi.
Aku
bergegas melewati lorong kecil yang mengantarku menuju kos tempatku tinggal,
aku butuh istrahat, tidur terlambat dan bangun terlalu pagi membuatku sangat
mengantuk sore ini.
Keesokan
harinya, aku ke kampus dengan begitu cerah dan lebih segar dibanding kemarin,
dengan keadaan seperti ini, tampaknya kau telah siap menyapa perempaun yang
telah lancar kueja namanya itu. Aku disambut dengan pepohonan yang rindang dan
bangunan-bangunan yang tak ada bedanya dengan kemarin, burung-burung dengan
kicaunya dan angin yang berhembus seperti mengajakku berbicara, mungkin ia
bertanya “Seberapa siap aku hari ini untuk menyapanya?”. Atmosfir kepercayaan
diriku yang bertambah pagi ini, tentu memantaskan pertanyaan itu kujawab “aku
siap”. Segalanya telah keprsiapkan termasuk pertanyaan-pertanyaanku yang kubuat
sebisa mungkin tidak terdengar basa basi, saat memuali percakapanku nanti. Aku
benar-benar tidak sabar untuk waktunya.
Aku
memperlambat langkah kakiku dan memastikan apa yang kulihat benar-benar nyata
bukan sekedar ilusi optik yang mungkin diakibatkan khayalan tingkat tinggi yang
kumulai sejak tadi malam, perempuan itu berjalan persis kearahku.
Aku
tak menyangka waktunya akan seceapat ini, aku mempu merasakan aliran darah yang
naik ke ubun-ubun dan hangat mulai merambat kedalam tubuhku, aku seperti bom
waktu yang siap meledak, mataku menangkap sosok yang tidak asing berjalan di sampingnya,
beberapa saat kupastikan aku benar-benar tidak keliru, ia Farid teman lama yang
entah apakah ia cocok kusebut teman, berjalan di samping gadis yang menghantuik
akhir-akhir ini, banyak tanya dan kemungkinan-kemungkinan yang terlintas
dikepalaku, terutama pertanyaan “mengapa mereka bisa berjalana bersama?” yahh,
aku tidak salah, jarak sedekat itu tentunya tanda mereka berjalan bersama, aku
mematung sesaat untuk waktu yang tidak kuingat berapa lamanya.
“Hay
Reza”
Farid
menyapaku dengan tawa yang kubalas seadanya
“Halo”
“ada
kuliah pagi ini?”
“yah
begitulah, apapula yang kulakukan di kampus sepagi ini jika tak ada jadwal”
Aku
membalasnya ketus.
Aku
sebenarnya masih mencoba menuntaskan tanya yang tak sempat kutuntaskan, mengapa
mereka bisa bersama, bukannya Farid dari bahasa Asing tentunya mereka tidak
satu kelas kenapa bisa secepat ini mereka bersama?
“Oh
iya, apa kalian sudah kenal?”
Ia
mematahkan lamunanku dengan pertanyaannya pada perempuan disampingnya.
“Perkenalkan,
ini Viera, dia Pacarku, cantikkan?”
Farid
berkata dengan penuh percaya diri padaku.
“Viera
Fatikasari, panggil saja Viera”
Perempuan
itu mengulurkan tangannya, aku menyambutnya dengan jabatan senormal mungkin.
Beberapa detik setelah jari kami bertemu, aku masih mematung di tengah
kesendirian yang terbungkus keramain kampus, aku bisa merasakan hembusan angin
begitu jelas dari pada biasanya, aku jadi bisa mendengar suara burung yang
biasanya tidak aku hiraukan, bangunan-bangunan kampus dengan diamnya namun
mereka semua seolah berinteraksi padaku, aku baru sadar ternyata sejak pagi
mereka hanya menertawakan pecundang yang begitu naif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar