#cerpen
MATA
AIR SURGA AYAH DAN IBU
Pagi
itu sang mentari mulai menampakkan wajahnya, dan aku masih terbaring nyaman
dalam balutan selimut yang membungkus tubuhku pagi itu dikota Jakarta,
tiba-tiba kudengar suara seorang laki-laki yang tidak asing lagi bagiku datang
menuju kamarku dan membangunkanku, ya..dia adalah ayahku, sosok laki-laki yang
memiliki jiwa pemimpin yang pernah aku temukan, beliau sangat baik dan sayang
kepadaku. Ia datang dihadapanku dan membangunkanku sambil mengecup keningku,
lalu berkata
“Anakku,
surganya ayah dan ibu, bangunlah nak, matahari aja udah bangun kok anak ayah
kalah duluan”, ujar ayahku sambil tersenyum.
Namun,
sangat sulit untuk membuka mataku akibat menonton acara TV favoritku yang
tayang ditengah malam. Lalu, ayahku tak bosan-bosannya membangunkanku lagi, beliau
berkata,
“Dea,
bangunlah nak, ayah mau berangkat ke amerika pagi ini, entar kalau Dea nggak
bangun, nggak liat ayah dong”. ujarnya sambil mengelus rambutku dengan lembut,
namun
aku tak menghiraukan bisikan ayahku karna mataku masih berat untuk terbuka. 3
menit kemudian, suara ayah tak terdengar lagi. Aku bergegas bangun dan mencari
ayahku sekeliling rumah namun tak kutemukan sosok yang membangunkanku tadi pagi
dengan penuh kasih sayang itu.
Aku duduk terdiam disebuah kursi
dekat meja makan kami dan merenung sejenak, bingung mencari ayahku. Setelah
terdiam cukup lama, aku memutuskan untuk membasuh wajahku agar bisa tersadar
kembali dan bergegas menuju kamarku. Di kamar yang putih itu dengan keadaan
kamar yang masih berantakan, aku berbaring sejenak dan berfikir,
”Ya
Tuhan, siapa sosok yang membangunkan ku tadi pagi, sedangkan kata ibu ayahku
sedang bekerja di kota Balik papan, meskipun sosoknya tak pernah kukenali sejak
aku kecil”, dengan keadaan yang sangat membingungkan itu aku terdiam lama
sementara fikiran yang kacau membuatku hampir gila.
Pintu terbuka, suara hentakan kaki
dan kata salam yang tak asing lagi bagiku dari arah ruang tamu terdengar, sudah
pasti itu ibuku (bu Yuna (39 tahun) orang memanggilnya). Aku bergegas bangun
dari tempat tidur dan menemui ibu yang pulang dari pasar.
“Ibu”,
ujarku, sambil menangis dan memeluk ibuku dari belakang,
“Iya
sayang, loh Dea nya kenapa?”, tanya ibu kebingungan.
Lalu,
ibu mendudukkan ku disebuah kursi yang kududuki tadi, ibu mencoba menenangkanku
dan mengatakan,
“Istighfar
anakku, Dea kenapa nak? Kok bangun-bangun langsung nangis sih, cengeng ah anak
ibu”, sambil mengusap air mataku.
“Dea
tadi pagi ada yang ngebangunin bu, orang itu ngelus rambut Dea, nyium kening
Dea juga, Dea fikir itu ayah, nah Dea bangun kok ayah udah nggak ada, terus Dea
nyari di sekeliling rumah, Dea nggak bisa ketemu ayah bu, Dea rindu bu, ayah
kapan sih balik”, ujar Dea sambil menangis tersedu-sedu.
“Anakku
sayang(sambil memeluk buah hatinya), ayah kan kerja jadi nggak bisa diganggu
nak, ayah juga nggak bisa pulang soalnya nggak dapat izin dari bosnya, ibu
harap Dea ngerti yah, entar juga ayah pulang kok”,ujar ibu Dea sambil
meneteskan air mata.
“Tapi
kok ibu nangis sih bu, ibu pasti rindu juga kan sama ayah, yah sama kaya Dea
bu, Dea rinduuu buuu, Dea rinduuu, ibu punya nggak kontak ayah, Dea pengen
denger suara ayah”, pinta Dea sambil menangis tersedu dipelukan ibunya.
“Kontak
ayah yah (ujar ibu, tubuhnya gemetar dan raut wajahnya kebingungan), ibuu,ibuu
nggak punya nak, Dea coba Tanya sama nenek yah, mungkin nenek bisa ngasih ke
Dea, tapi Dea janji nggak boleh nangis lagi yah, ibu kan jadi sedih nak”,
ujarnya sambil memeluk Dea.
“Ya
udah bu, besok kita ke nenek yah, Dea udah nggak sabar pengen ngomong sama
ayah”, ujarnya sambil kegirangan.
“Ya
udah, ibu mau masak dulu, Dea bersihin kamar yah nak”, pinta ibunya.
Setelah mendengar ibunya, Dea pun
bergegas ke kamar sambil loncat loncat kegirangan yang tampak ingin sekali mendengar
suara ayahnya via telpon. Dea masuk dikamar dan membersihkan seluruh isi
kamarnya, mencuci selimut yang ia kenakan tidur tadi, lalu mandi dan makan
bersama ibunya.
Keesokan harinya, Dea berkemas rapi
untuk menagih janji ibunya yang akan membawanya ke rumah neneknya yang tinggal
di Bandung. Dea bergegas menuju kamar ibunya dan sampai didepan pintu,
“Tok
tok tok, Ibu, jadi nggak kerumah nenek?, Dea nya udah siap nih !”, ujar dea
sambil merapikan rambutnya.
“Iya
sayang, ibu lagi pake baju, Dea tunggu diruang tamu ya”, ujar ibunya.
Dea
menuju keruang tamu dan duduk di sofa sambil menunggu ibunya. Tak lama
kemudian, ibu Yuna keluar dari kamarnya dengan membawa satu tas ransel yang
berisikan baju yang lumayan banyak menuju keruang tamu.
“Dea,
bantu ibu masukin ke mobil yah, tasnya berat sayang”, ujar bu Yuna.
“Kok
bawa baju banyak sih bu, emang kita mau tinggal lama yah disana?”, Tanya Dea
kebingungan.
“Ini
bukan baju ibu semua sayang, sebagian ada baju ayahmu juga”, jawab ibunya
dengan lembut.
“Hore,
(Dea kegirangan), Ayah nyusul kerumah nenek dong bu, ayo bu, entar kita
keduluan ayah”, jawab Dea gembira.
Mendengar
jawaban Dea, ibu Yuna tersenyum penuh arti, kemudian mereka bergegas masuk ke
mobil dan berangkat ke bandung. Disepanjang jalan, Dea tertidur pulas di mobil,
kadang-kadang mengingau dan menyebut nama ayahnya. Setiap kali bu Yuna
mendengar itu, air matanya jatuh berlinang, tak kuat menahan kesedihan, entah
apa yang ia fikirkan.
Pukul 14.35, Dea dan ibunya tiba di
Bandung, tepatnya rumah kediaman nenek. Kedatangan mereka disambut sang nenek
yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu, orang memanggilnya nenek Asih
(60 tahun). Nenek Asih tinggal sebatang kara di kota Bandung, sepeninggal
suaminya, nenek Asih menjalani hidup seorang diri, meskipun ibu Yuna mengajak
mertuanya untuk tinggal bersamanya, namun nenek Asih tak ingin meninggalkan
rumah tuanya itu, karena dirumah tuanya itu terlalu banyak kenangan dan dirumah
itu dia merasa selalu bersama suaminya.
“Neneeekkkkk,
Dea rinduuuuuu”, ujarnya sambil berlari menuju teras rumah dan memeluk
neneknya.
“Deaa,
Cucu nenek”, sambut neneknya dengan suara yang berat.
Mereka
akhirnya bertemu juga setelah sekian lama tak bertemu, Nenek Asih sangat
merindukan cucunya. Terakhir bertemu cucunya pada pertengahan desember 3 tahun
silam saat Dea libur sekolah.
“Selama
Dea nggak disini, nenek sering sakit nggak?”,Tanya Dea sambil memeluk neneknya.
“Nenek
sakitnya Cuma pas rindu sama Dea aja, semoga Dea selalu dalam lindungan Tuhan
nak”, ujar neneknya.
Setelah
melepas rindu, Dea, ibunya dan neneknya masuk kedalam rumah. Mereka banyak
bercerita dan bercanda sambil meminum teh hangat buatan nenek hingga Dea
melupakan tujuannya untuk bertemu nenek. Setelah menghabiskan waktu sore untuk
bercerita dan bergurau bersama, mereka akhirnya kelelahan dan bergegas menuju
kamar untuk tidur sejenak melepas penat setelah perjalanan yang melelahkan itu.
Pukul 18.00, Dea terbangun untuk
mandi karena ia merasa gerah dan badannya berkeringat. Dea bergegas pergi ke
kamar sebelah, tempat ibunya beristirahat, Dea hendak mengambil baju dan
peralatan mandi yang ditaruh ibunya dikamar.
“Ibu,
Dea pengen mandi, tas Dea mana?”, Tanya Dea kepada ibunya.
“Tas
Dea ada didekat lemari sayang, deket ranselnya ibu”, jawab ibunya dengan mata
sayup dan suara yang berat.
Kemudian
Dea bergegas mengambil tasnya didekat lemari, saat hendak mengambil peralatan
mandi, Dea melihat ransel ibunya dan Dea kembali teringat bahwa diransel itu
ada baju ayahnya. Dea kembali mengingat ayahnya, lalu berlari menuju kekamar
neneknya dan melupakan niatnya untuk mandi.
“Nenek…nenek..,
nenek udah bangun belum?” Tanya Dea sambil mengetuk pintu neneknya.
“Iya
nak, tunggu sebentar”, jawab neneknya.
Neneknya
membuka pintu dengan tersenyum. Kemudian Dea masuk ke kamar dan duduk ditepi
ranjang neneknya.
“Dea
mau ngomong apa?” ujar neneknya.
“Nenek,
ayah jam berapa datang? Kok udah malam gini ayah belum datang?”, ujar Dea
kebingungan.
Dengan
suara yang berat nenek menjawab sambil memegang pundak Dea,
“Nak,
ayahmu sudah dibalik papan, suatu saat nanti pasti kamu bisa bertemu ayahmu,
tapi Dea belum bisa bertemu sekarang”, jawab nenek Asih sambil meneteskan air
mata.
Dengan
wajah yang kebingungan dan tak paham atas jawaban neneknya, Dea kembali
bertanya, “Maksud nenek apa, Dea nggak paham, kenapa Dea nggak bisa ketemu
ayah? Emang ayah nggak bisa pulang?”, ujar Dea sambil setengah menahan
tangisnya. Kemudian nenek Asih mencoba menenangkan Dea, mengusap air mata Dea
dan memeluk cucu semata wayangnya itu.
Nenek Asih bergegas menuju sebuah
lemari using hendak mengambil sesuatu yang membuat Dea tersentak diam penuh
tanya dengan raut wajah kebingungan, Setelah lama mencari-cari, kemudian nenek
Asih membawa sepucuk surat usang dan beberapa lembaran foto serta kotak hitam
usang yang semakin membuat Dea kebingungan.
“Dea,
kamu sekarang sudah 17 tahun, nenek fikir Dea sudah sepantasnya membaca surat
yang titipkan ayahmu ini nak”, ujar nenek Asih.
Dea
membuka surat usang itu dan membaca isi surat yang membuat Dea tak mampu
menahan haru.
Untuk anakku, Adya Adzhani Syam,
Mata air surganya ayah dan bunda.
Anakku tercinta,
Maafkan ayahmu ini yang tidak mendampingimu saat kamu
dewasa kelak nanti.
Kepergian ayah bukan tanpa alasan, bukan karena ayah tidak
menyanyangi Deaku. Ayah sangat menyayangimu nak, namun ayah tidak bisa menolak
jika pemilik ayah lebih sayang pada ayah.
Dea, Ayah berharap agar Deaku selalu menyayangi ibu dan
nenek serta menjaga mereka.
Jika Dea sudah dewasa nanti ayah ingin Dea bersekolah
setinggi-tingginya hingga meraih gelar sarjana.
Ayah berharap agar Dea juga bisa menjadi orang yang berguna
bagi orang lain.
Dea, ayah berharap Dea tidak membenci ayah nak, Ayah pergi
untuk menunggu Dea dan ibu dirumah ayah yang baru..
Nak, satu hal yang perlu kau ingat, ayah titipkan sebuah
kotak dan beberapa foto kepada nenekmu agar kelak suatu saat Deaku bisa melihat
sosok ayah dan bersekolah tinggi dengan beberapa lembar uang yang ayah taruh
dikotak itu nak.
Dea, ayah selalu sayang Dea,
Dea harus selalu ingat bahwa ayah selalu rindu Deaku…
Setelah membaca surat itu, Dea tak
mampu menahan haru, akhirnya air matanya berlinang dengan derasnya hingga
membuat ibunya terbangun dan bergegas menuju ke kamar nenek Asih. Disana
ditemuinya Dea yang haru dalam pelukan sang nenek, ibunya duduk berfikir
sejenak bahwa pasti Dea sudah tahu semuanya dan berkata,
“Dea,
anakku, maafkan ibu nak, ibu tidak bermaksud bohong sama Dea, ibu Cuma takut
Dea sedih mendengar semuanya nak.”ujarnya penuh haru.
Mendengar
itu, Dea memeluk erat ibunya dan berkata,
“Dea
sayang ibu sama nenek, Dea janji bakalan jagain ibu sama nenek, Dea bakalan
nepatin permintaan ayah, bu” ujarnya sambil terisak-isak.
Keesokan harinya, Dea bersama dengan
nenek dan ibunya pergi ke pemakaman ayahnya yang letaknya tak jauh dari rumah
nenek Asih. Sesampainya dimakam, Dea ditujukan kesebuah makam yang bertuliskan
nama “Syam Muchtar”, yakni nama
mendiang ayahnya. Dea tak mampu menahan haru sambil memeluk batu nisan mendiang
ayahnya. Nenek Asih bercerita tentang penyebab kematian ayahnya,
“Dea,
17 tahun yang lalu, saat Dea dilahirkan, Ayahmu masih diluar kota. Mendengar
telepon bahwa Dea telah lahir, ayahmu kegirangan hingga lupa diri. Mobilnya
melaju kencang menuju rumah sakit tempat ibumu melahirkanmu, diperematan jalan
dekat rumah sakit itulah ayahmu mengalami kecelakaan karna terburu-buru ingin
segera melihat buah hatinya, mobilnya menabrak pembatas jalan dan mobilnya
terbalik. Ayahmu dilarikan kerumah sakit dan keadaannya kritis, saat dokter
mengatakan bahwa ayahmu akan segera meninggal, Ayahmu setengah terbangun dan
memanggil nenek membisikkan bahwa dia ingin mengumandangkan adzan ditelinga
putrinya untuk terakhir kalinya. Mendengar itu, nenek langsung bergegas
memindahkan kereta bayi keruang ICU tempat ayahmu dirawat. Ayahmu memelukmu,
menangisimu seperti tak rela meninggalkanmu yg masih sangat mungil itu,
kemudian dia mengumandangkan adzan ditelingamu dan menangis haru. Setelah itu,
ayahmu memberikanmu kepada seorang perawat untuk dibawa keruang bayi. Ayahmu
memanggilku dan meminta alat tulis kepadaku, itulah surat yang telah kau baca,
nak. Kemudian ia memberikanku sebuah kotak hitam dan beberapa lembar foto, ia
berkata,
“Ibu,
berikan ini kepada anakku setelah ia dewasa nanti dan menanyakan keberadaanku,
agar ia tak membenciku dan izinkan aku memberikannya sebuah nama, yahh Adya Adzhani Syam”, ujarnya setelah
berfikir lama.
Setelah
ayahmu memberi nama untukmu, ia pergi untuk selama-lamanya”. Ujar nenek Asih
sambil menangis haru.
Mendengar penjelasan neneknya, Dea
mencoba untuk tegar dan tidak menangis lagi. Dea berfikir bahwa ia harus tetap
menjalani hidupnya meskipun tampak sosok ayah yang mendampinginya demi
membahagiakan ibu dan neneknya. Setelah itu, Dea, ibu dan neneknya bergegas
pulang kerumah. Akhirnya terjawab sudah
mengapa ibu selalu mengatakan bahwa ayah bekerja dibalik papan, ternyata arti
kata balik papan itu adalah liang kubur. Dea mengerti dan mencoba untuk selalu
tabah untuk menjalani hidup yang masih panjang ini. Satu cita-cita Dea adalah
bersekolah tinggi dan membanggakan ibu dan neneknya.
Waktu terus berlalu, Dea dan ibunya
memutuskan untuk tinggal bersama neneknya dan berniat menjual rumahnya yang
berada di Jakarta. Dea ingin menghabiskan waktu dikota kelahiran ayahnya itu
agar Dea bisa sering-sering mengunjungi ayahnya.
Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar