Sabtu, 10 Juni 2017

FIKA PUTRI INDAH SARI


#cerpen

MATA AIR SURGA AYAH DAN IBU

Pagi itu sang mentari mulai menampakkan wajahnya, dan aku masih terbaring nyaman dalam balutan selimut yang membungkus tubuhku pagi itu dikota Jakarta, tiba-tiba kudengar suara seorang laki-laki yang tidak asing lagi bagiku datang menuju kamarku dan membangunkanku, ya..dia adalah ayahku, sosok laki-laki yang memiliki jiwa pemimpin yang pernah aku temukan, beliau sangat baik dan sayang kepadaku. Ia datang dihadapanku dan membangunkanku sambil mengecup keningku, lalu berkata

“Anakku, surganya ayah dan ibu, bangunlah nak, matahari aja udah bangun kok anak ayah kalah duluan”, ujar ayahku sambil tersenyum.
Namun, sangat sulit untuk membuka mataku akibat menonton acara TV favoritku yang tayang ditengah malam. Lalu, ayahku tak bosan-bosannya membangunkanku lagi, beliau berkata,
“Dea, bangunlah nak, ayah mau berangkat ke amerika pagi ini, entar kalau Dea nggak bangun, nggak liat ayah dong”. ujarnya sambil mengelus rambutku dengan lembut,
namun aku tak menghiraukan bisikan ayahku karna mataku masih berat untuk terbuka. 3 menit kemudian, suara ayah tak terdengar lagi. Aku bergegas bangun dan mencari ayahku sekeliling rumah namun tak kutemukan sosok yang membangunkanku tadi pagi dengan penuh kasih sayang itu.
            Aku duduk terdiam disebuah kursi dekat meja makan kami dan merenung sejenak, bingung mencari ayahku. Setelah terdiam cukup lama, aku memutuskan untuk membasuh wajahku agar bisa tersadar kembali dan bergegas menuju kamarku. Di kamar yang putih itu dengan keadaan kamar yang masih berantakan, aku berbaring sejenak dan berfikir,
”Ya Tuhan, siapa sosok yang membangunkan ku tadi pagi, sedangkan kata ibu ayahku sedang bekerja di kota Balik papan, meskipun sosoknya tak pernah kukenali sejak aku kecil”, dengan keadaan yang sangat membingungkan itu aku terdiam lama sementara fikiran yang kacau membuatku hampir gila.
            Pintu terbuka, suara hentakan kaki dan kata salam yang tak asing lagi bagiku dari arah ruang tamu terdengar, sudah pasti itu ibuku (bu Yuna (39 tahun) orang memanggilnya). Aku bergegas bangun dari tempat tidur dan menemui ibu yang pulang dari pasar.
“Ibu”, ujarku, sambil menangis dan memeluk ibuku dari belakang,
“Iya sayang, loh Dea nya kenapa?”, tanya ibu kebingungan.
Lalu, ibu mendudukkan ku disebuah kursi yang kududuki tadi, ibu mencoba menenangkanku dan mengatakan,
“Istighfar anakku, Dea kenapa nak? Kok bangun-bangun langsung nangis sih, cengeng ah anak ibu”, sambil mengusap air mataku.
“Dea tadi pagi ada yang ngebangunin bu, orang itu ngelus rambut Dea, nyium kening Dea juga, Dea fikir itu ayah, nah Dea bangun kok ayah udah nggak ada, terus Dea nyari di sekeliling rumah, Dea nggak bisa ketemu ayah bu, Dea rindu bu, ayah kapan sih balik”, ujar Dea sambil menangis tersedu-sedu.
“Anakku sayang(sambil memeluk buah hatinya), ayah kan kerja jadi nggak bisa diganggu nak, ayah juga nggak bisa pulang soalnya nggak dapat izin dari bosnya, ibu harap Dea ngerti yah, entar juga ayah pulang kok”,ujar ibu Dea sambil meneteskan air mata.
“Tapi kok ibu nangis sih bu, ibu pasti rindu juga kan sama ayah, yah sama kaya Dea bu, Dea rinduuu buuu, Dea rinduuu, ibu punya nggak kontak ayah, Dea pengen denger suara ayah”, pinta Dea sambil menangis tersedu dipelukan ibunya.
“Kontak ayah yah (ujar ibu, tubuhnya gemetar dan raut wajahnya kebingungan), ibuu,ibuu nggak punya nak, Dea coba Tanya sama nenek yah, mungkin nenek bisa ngasih ke Dea, tapi Dea janji nggak boleh nangis lagi yah, ibu kan jadi sedih nak”, ujarnya sambil memeluk Dea.
“Ya udah bu, besok kita ke nenek yah, Dea udah nggak sabar pengen ngomong sama ayah”, ujarnya sambil kegirangan.
“Ya udah, ibu mau masak dulu, Dea bersihin kamar yah nak”, pinta ibunya.
            Setelah mendengar ibunya, Dea pun bergegas ke kamar sambil loncat loncat kegirangan yang tampak ingin sekali mendengar suara ayahnya via telpon. Dea masuk dikamar dan membersihkan seluruh isi kamarnya, mencuci selimut yang ia kenakan tidur tadi, lalu mandi dan makan bersama ibunya.
            Keesokan harinya, Dea berkemas rapi untuk menagih janji ibunya yang akan membawanya ke rumah neneknya yang tinggal di Bandung. Dea bergegas menuju kamar ibunya dan sampai didepan pintu,
“Tok tok tok, Ibu, jadi nggak kerumah nenek?, Dea nya udah siap nih !”, ujar dea sambil merapikan rambutnya.
“Iya sayang, ibu lagi pake baju, Dea tunggu diruang tamu ya”, ujar ibunya.
Dea menuju keruang tamu dan duduk di sofa sambil menunggu ibunya. Tak lama kemudian, ibu Yuna keluar dari kamarnya dengan membawa satu tas ransel yang berisikan baju yang lumayan banyak menuju keruang tamu.
“Dea, bantu ibu masukin ke mobil yah, tasnya berat sayang”, ujar bu Yuna.
“Kok bawa baju banyak sih bu, emang kita mau tinggal lama yah disana?”, Tanya Dea kebingungan.
“Ini bukan baju ibu semua sayang, sebagian ada baju ayahmu juga”, jawab ibunya dengan lembut.
“Hore, (Dea kegirangan), Ayah nyusul kerumah nenek dong bu, ayo bu, entar kita keduluan ayah”, jawab Dea gembira.
Mendengar jawaban Dea, ibu Yuna tersenyum penuh arti, kemudian mereka bergegas masuk ke mobil dan berangkat ke bandung. Disepanjang jalan, Dea tertidur pulas di mobil, kadang-kadang mengingau dan menyebut nama ayahnya. Setiap kali bu Yuna mendengar itu, air matanya jatuh berlinang, tak kuat menahan kesedihan, entah apa yang ia fikirkan.
            Pukul 14.35, Dea dan ibunya tiba di Bandung, tepatnya rumah kediaman nenek. Kedatangan mereka disambut sang nenek yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu, orang memanggilnya nenek Asih (60 tahun). Nenek Asih tinggal sebatang kara di kota Bandung, sepeninggal suaminya, nenek Asih menjalani hidup seorang diri, meskipun ibu Yuna mengajak mertuanya untuk tinggal bersamanya, namun nenek Asih tak ingin meninggalkan rumah tuanya itu, karena dirumah tuanya itu terlalu banyak kenangan dan dirumah itu dia merasa selalu bersama suaminya.
“Neneeekkkkk, Dea rinduuuuuu”, ujarnya sambil berlari menuju teras rumah dan memeluk neneknya.
“Deaa, Cucu nenek”, sambut neneknya dengan suara yang berat.
Mereka akhirnya bertemu juga setelah sekian lama tak bertemu, Nenek Asih sangat merindukan cucunya. Terakhir bertemu cucunya pada pertengahan desember 3 tahun silam saat Dea libur sekolah.
“Selama Dea nggak disini, nenek sering sakit nggak?”,Tanya Dea sambil memeluk neneknya.
“Nenek sakitnya Cuma pas rindu sama Dea aja, semoga Dea selalu dalam lindungan Tuhan nak”, ujar neneknya.
Setelah melepas rindu, Dea, ibunya dan neneknya masuk kedalam rumah. Mereka banyak bercerita dan bercanda sambil meminum teh hangat buatan nenek hingga Dea melupakan tujuannya untuk bertemu nenek. Setelah menghabiskan waktu sore untuk bercerita dan bergurau bersama, mereka akhirnya kelelahan dan bergegas menuju kamar untuk tidur sejenak melepas penat setelah perjalanan yang melelahkan itu.
            Pukul 18.00, Dea terbangun untuk mandi karena ia merasa gerah dan badannya berkeringat. Dea bergegas pergi ke kamar sebelah, tempat ibunya beristirahat, Dea hendak mengambil baju dan peralatan mandi yang ditaruh ibunya dikamar.
“Ibu, Dea pengen mandi, tas Dea mana?”, Tanya Dea kepada ibunya.
“Tas Dea ada didekat lemari sayang, deket ranselnya ibu”, jawab ibunya dengan mata sayup dan suara yang berat.
Kemudian Dea bergegas mengambil tasnya didekat lemari, saat hendak mengambil peralatan mandi, Dea melihat ransel ibunya dan Dea kembali teringat bahwa diransel itu ada baju ayahnya. Dea kembali mengingat ayahnya, lalu berlari menuju kekamar neneknya dan melupakan niatnya untuk mandi.
“Nenek…nenek.., nenek udah bangun belum?” Tanya Dea sambil mengetuk pintu neneknya.
“Iya nak, tunggu sebentar”, jawab neneknya.
Neneknya membuka pintu dengan tersenyum. Kemudian Dea masuk ke kamar dan duduk ditepi ranjang neneknya.
“Dea mau ngomong apa?” ujar neneknya.
“Nenek, ayah jam berapa datang? Kok udah malam gini ayah belum datang?”, ujar Dea kebingungan.
Dengan suara yang berat nenek menjawab sambil memegang pundak Dea,
“Nak, ayahmu sudah dibalik papan, suatu saat nanti pasti kamu bisa bertemu ayahmu, tapi Dea belum bisa bertemu sekarang”, jawab nenek Asih sambil meneteskan air mata.
Dengan wajah yang kebingungan dan tak paham atas jawaban neneknya, Dea kembali bertanya, “Maksud nenek apa, Dea nggak paham, kenapa Dea nggak bisa ketemu ayah? Emang ayah nggak bisa pulang?”, ujar Dea sambil setengah menahan tangisnya. Kemudian nenek Asih mencoba menenangkan Dea, mengusap air mata Dea dan memeluk cucu semata wayangnya itu.
            Nenek Asih bergegas menuju sebuah lemari using hendak mengambil sesuatu yang membuat Dea tersentak diam penuh tanya dengan raut wajah kebingungan, Setelah lama mencari-cari, kemudian nenek Asih membawa sepucuk surat usang dan beberapa lembaran foto serta kotak hitam usang yang semakin membuat Dea kebingungan.
“Dea, kamu sekarang sudah 17 tahun, nenek fikir Dea sudah sepantasnya membaca surat yang titipkan ayahmu ini nak”, ujar nenek Asih.
Dea membuka surat usang itu dan membaca isi surat yang membuat Dea tak mampu menahan haru.
Untuk anakku, Adya Adzhani Syam,
Mata air surganya ayah dan bunda.
Anakku tercinta,
Maafkan ayahmu ini yang tidak mendampingimu saat kamu dewasa kelak nanti.
Kepergian ayah bukan tanpa alasan, bukan karena ayah tidak menyanyangi Deaku. Ayah sangat menyayangimu nak, namun ayah tidak bisa menolak jika pemilik ayah lebih sayang pada ayah.
Dea, Ayah berharap agar Deaku selalu menyayangi ibu dan nenek serta menjaga mereka.
Jika Dea sudah dewasa nanti ayah ingin Dea bersekolah setinggi-tingginya hingga meraih gelar sarjana.
Ayah berharap agar Dea juga bisa menjadi orang yang berguna bagi orang lain.
Dea, ayah berharap Dea tidak membenci ayah nak, Ayah pergi untuk menunggu Dea dan ibu dirumah ayah yang baru..
Nak, satu hal yang perlu kau ingat, ayah titipkan sebuah kotak dan beberapa foto kepada nenekmu agar kelak suatu saat Deaku bisa melihat sosok ayah dan bersekolah tinggi dengan beberapa lembar uang yang ayah taruh dikotak itu nak.
Dea, ayah selalu sayang Dea,
Dea harus selalu ingat bahwa ayah selalu rindu Deaku…
            Setelah membaca surat itu, Dea tak mampu menahan haru, akhirnya air matanya berlinang dengan derasnya hingga membuat ibunya terbangun dan bergegas menuju ke kamar nenek Asih. Disana ditemuinya Dea yang haru dalam pelukan sang nenek, ibunya duduk berfikir sejenak bahwa pasti Dea sudah tahu semuanya dan berkata,
“Dea, anakku, maafkan ibu nak, ibu tidak bermaksud bohong sama Dea, ibu Cuma takut Dea sedih mendengar semuanya nak.”ujarnya penuh haru.
Mendengar itu, Dea memeluk erat ibunya dan berkata,
“Dea sayang ibu sama nenek, Dea janji bakalan jagain ibu sama nenek, Dea bakalan nepatin permintaan ayah, bu” ujarnya sambil terisak-isak.
            Keesokan harinya, Dea bersama dengan nenek dan ibunya pergi ke pemakaman ayahnya yang letaknya tak jauh dari rumah nenek Asih. Sesampainya dimakam, Dea ditujukan kesebuah makam yang bertuliskan nama “Syam Muchtar”, yakni nama mendiang ayahnya. Dea tak mampu menahan haru sambil memeluk batu nisan mendiang ayahnya. Nenek Asih bercerita tentang penyebab kematian ayahnya,
“Dea, 17 tahun yang lalu, saat Dea dilahirkan, Ayahmu masih diluar kota. Mendengar telepon bahwa Dea telah lahir, ayahmu kegirangan hingga lupa diri. Mobilnya melaju kencang menuju rumah sakit tempat ibumu melahirkanmu, diperematan jalan dekat rumah sakit itulah ayahmu mengalami kecelakaan karna terburu-buru ingin segera melihat buah hatinya, mobilnya menabrak pembatas jalan dan mobilnya terbalik. Ayahmu dilarikan kerumah sakit dan keadaannya kritis, saat dokter mengatakan bahwa ayahmu akan segera meninggal, Ayahmu setengah terbangun dan memanggil nenek membisikkan bahwa dia ingin mengumandangkan adzan ditelinga putrinya untuk terakhir kalinya. Mendengar itu, nenek langsung bergegas memindahkan kereta bayi keruang ICU tempat ayahmu dirawat. Ayahmu memelukmu, menangisimu seperti tak rela meninggalkanmu yg masih sangat mungil itu, kemudian dia mengumandangkan adzan ditelingamu dan menangis haru. Setelah itu, ayahmu memberikanmu kepada seorang perawat untuk dibawa keruang bayi. Ayahmu memanggilku dan meminta alat tulis kepadaku, itulah surat yang telah kau baca, nak. Kemudian ia memberikanku sebuah kotak hitam dan beberapa lembar foto, ia berkata,
“Ibu, berikan ini kepada anakku setelah ia dewasa nanti dan menanyakan keberadaanku, agar ia tak membenciku dan izinkan aku memberikannya sebuah nama, yahh Adya Adzhani Syam”, ujarnya setelah berfikir lama.
Setelah ayahmu memberi nama untukmu, ia pergi untuk selama-lamanya”. Ujar nenek Asih sambil menangis haru.
            Mendengar penjelasan neneknya, Dea mencoba untuk tegar dan tidak menangis lagi. Dea berfikir bahwa ia harus tetap menjalani hidupnya meskipun tampak sosok ayah yang mendampinginya demi membahagiakan ibu dan neneknya. Setelah itu, Dea, ibu dan neneknya bergegas pulang kerumah.  Akhirnya terjawab sudah mengapa ibu selalu mengatakan bahwa ayah bekerja dibalik papan, ternyata arti kata balik papan itu adalah liang kubur. Dea mengerti dan mencoba untuk selalu tabah untuk menjalani hidup yang masih panjang ini. Satu cita-cita Dea adalah bersekolah tinggi dan membanggakan ibu dan neneknya.
            Waktu terus berlalu, Dea dan ibunya memutuskan untuk tinggal bersama neneknya dan berniat menjual rumahnya yang berada di Jakarta. Dea ingin menghabiskan waktu dikota kelahiran ayahnya itu agar Dea bisa sering-sering mengunjungi ayahnya.

Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUH. RIDHO S

#TugasIndividu ANALISIS NOVEL RADEN MANDASIA SI PENCURI DAGING SAPI BERDASARKAN PENDEKATAN RESEPSI SASTRA Landasan Teori Secara d...