#cerpen
KOPI,
NOSTALGIA DAN HARAPAN
Menjadi seorang perempuan yang jauh
dari orang tua membuatku harus mandiri dan mengerjakan sesuatu dengan sendiri.
Ahhh aku rindu, rindu kampung dan halaman rumahku. Aku bukanlah tokoh utama
dari cerita ini, aku juga bukan seorang perempuan tapi aku seorang laki laki
yang menuliskan cerita ini dari hasil curhatan teman, ok lupakan tentang aku.
Pagi ini seperti pagi sebelumnya, aku
duduk di teras rumah mungil ini ditemani secangkir teh. Tetesan-tetesan air
yang membasahi dedaunan, kicauan burung yang terdengar merdu menjadi
pemandangan menarik bagiku. Sudah hampir 2 tahun aku di desa ini, salah satu
desa terpencil di ujung pulau Sulawesi. Aku masih belum percaya sudah di tempat
ini selama itu. Jauh dari kebisingan dan kemacetan kota Makassar. Jauh dari Ibu
dan Bapak. Aku termenung cukup lama, pandanganku kosong. Entahlah, ada yang
ingin aku hindari. Semakin dipungkiri semakin sering aku memikirkannya.
“Bu Ame. Bu.. bu, kok
ngelamun bu?”. Tanya bi ida, pembantu yang setia menemaniku selama aku di sini.
“ahh.. tidak bi, Cuma
lagi menikmati udara pagi saja”. Elakku
Mentari semakin
meninggi seakan menunjukan kekuatannya. Semakin kejam membakar seisi bumi. Akhir-akhir
ini memang cuaca semakin panas, nampaknya bumi memang semakin tua. Aku buka jas
kerjaku lalu kusandarkan kepalaku di sofa ruang kerjaku. Mataku terasa berat,
belum lagi terlelap tiba-tiba “Assalamualaikum, bu dokter ada kiriman”. suara
si rahman mengagetkanku.
“Waalaikumsalam, iya
man masuk aja nggak dikunci kok”. Jawabku.
Seorang pemuda berusia
13 tahun muncul dari balik pintu, lalu dia tersenyum padaku dan kembali
mengulang kata-katanya beberapa menit lalu “Bu, Dok. Ada kiriman dari Makassar,
kayaknya dari Ibunya Bu Dokter”. Kata maman sambil menyodorkan bingkisan itu
padaku.
“Oh iya man, makasih
ya”. Jawabku. Aku baru ingat beberapa hari yang lalu aku meminta Ibu untuk
mengirimkan novel-novel kesayanganku. Di desa ini sangat minim toko buku.
Tumpukan-tumpukan
novel itu membuatku semakin merindukan rumah, Ibu dan Bapak. Serasa seperti
kembali ke ruang nostalgia. Aromanya seperti aroma kamarku. Aku rapikan
novel-novel ke rak buku satu per satu, entah kenapa saat aku pandangi satu per
satu novel itu, mereka seperti punya cerita tersediri dalam memoriku. Lalu aku
pandangi novel berikutnya, novel yang berjudul “Warna rindu” karya Adelia
Sarah. Seperti ada yang bergejolak dalam hatiku saat aku pandang novel itu.
Dadaku sesak, nafasku serasa berat. Aku terdiam, fikiranku melayang,
meninggalkan tubuhku melewati atap rumah dan menembus cakrawala membawaku pada
masa beberapa tahun yang lalu.
Dia seperti kafein
dalam secangkir kopi. Pahit tapi membuatku ingin terus menerus meminumnya.
Menimbulkan rasa senang tapi efek lainnya tidak baik bagi tubuh. Aku selalu
menggambarkan dia seperti itu. Sore itu, 29 Agustus 2009 hari ulang tahunku
yang ke tujuh belas tahun. Aku sendiri di rumah. Cuaca di luar sedang hujan.
Handphoneku berdering. Dengan segera aku tatap layar benda merah berbentuk
persegi itu. Tak ada nama penelepon tapi, akhiran nomor Handphone itu membuatku
tersenyum senang. Aku memang tak pernah menyimpan nomor Handphonenya toh aku
sudah menghafalnya.
“Lagi apa, Aku kangen”.
Tanpa salam dan basa basi dia mengatakan itu padaku. Entah kenapa setiap yang
dia lakukan selalu saja aku rasa sempurna. Namanya Erwin, dia teman sekelasku
saat di SMA. Dimulai dari pertemanan, kebiasaan bersama akhirnya benih-benih
suka itu tumbuh. Dia cinta pertamaku. Aku tahu perasaannya padaku, begitupun
sebaliknya. Tapi ikrar yang dinamakan pacaran tidak pernah ada, aku tak butuh
toh kami sudah seperti orang pacaran dan yang terpenting aku bahagia itu cukup.
Tak terelakkan aku jatuh dalam kisah
yang kami buat. Aku terjebak, tak bisa lari dari semua hal tentangnya. Dia
seperti kebetulan yang melintas dalam lamunan malam, tak sengaja singgah dan
membawaku pergi. Dengan segala rindunya dia membuatku jatuh dan mengakui
perasaan dalam hatiku adalah cinta. Aku merasa memiliki dia karena rasa
memiliki itu takut kehilangan pun muncul. Semakin lama aku semakin kasmaran,
aku tak bisa memandang ke arah lain selain ke arahnya. Aku fikir dia juga akan
seperti itu ternyata aku salah. Erwin meniggalkan aku dan memutuskan untuk
mengakhiri hubungan tanpa status yang kami jalani, celakanya dia lakukan itu
saat aku sedang cinta-cintanya. Jantungku rasanya seperti remuk redam, ibarat
kaca yang jatuh ke lantai.
Pagi itu hari pertama
sekolah setelah libur kenaikan kelas, tanpa terasa aku sudah kelas 3 SMA dan
sebentar lagi akan lulus. Langkahku terasa berat ketika akan memasuki ruang
kelas XII IPA 1. Cukup lama aku berdiri depan kelas untuk menguatkan
perasaanku. Erwin tersenyum padaku. Entah kenapa senyuman itu membuat hatiku
terasa tertusuk duri yang tajam. Semuanya telah berubah kami tak saling menyapa
atau duduk berdua di depan kelas seperti biasanya. Meskipun begitu aku tak bisa
mengalihkan pandanganku ke arah yang lain selain ke arahnya.
Hampir 3 bulan seperti
itu akhirnya Erwin menghubungiku. Dia meminta agar hubungan kami kembali
seperti semula. Aku setuju karena di hatiku saat itu memang hanya ada dia. Aku
tahu saat itu dia berpacaran dengan adik kelas, dengan bodohnya aku bersedia
menjadi yang kedua. Dia banyak berbohong tentang segala hal tapi aku masih saja
setia menggenggam tangannya. Aku berharap suatu saat nanti dia akan sadar bahwa
akulah yang paling setia di sampingnya. Aku salah menduga ternyata baginya aku
tak berarti apa-apa. aku ibarat lilin redup di antara lilin-lilin yang terang
lainnya. Erwin kembali memutuskan untuk pergi dan memilih yang lain. Aku muak
dengan semuanya. Aku memutuskan untuk pergi dan mengakhiri segala perasaanku
padanya. Setelah kelulusan aku tak pernah menghubungi atau sekedar mencari tahu
kabarnya. Aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Universitas Hasanuddin,
Makassar.
Di ruangan kecil
berukuran 4cmx5cm itu aku menghabiskan waktu selama 3 tahun terakhir. Begitulah
dunia mahasiswa tinggal di kos-kosan kecil, dengan peralatan seadanya. Ruangan
yang dipenuhi dengan kabel dimana-mana. Malam itu aku hanya ditemani laptop
dengan tulisan yang berjudul skripsi. Tiba-tiba aku dikagetkan oleh dering
handphone berwarna merah tanpa casing belakang itu. Ternyata nomor baru entah
siapa. Seketika aku tertegun, diam tanpa kata. Jantungku berdetak begitu
kencang. Suara itu tidak asing lagi bagiku. Suara yang lama tak aku dengar.
“Hallo… ame, ame kok
kamu diam saja? ini aku erwin”. Sapanya heran karena aku hanya diam. Aku tak
tahu harus berkata apa?. Bingung harus bagaimana?, akhirnya aku matikan
sabungan telepon itu. Seketika aku tertegun pandanganku nanar tak berarah,
tiba-tiba tetesan bening itu membasahi pipi. Sudah hampir tiga tahun perasaan
itu masih saja ada. Aku masih saja merindukannya. Sudah banyak yang mendekatiku
di kampus masih saja aku tak bisa membuka hati. Aku selalu bertanya, apa yang
salah sebenarnya mengapa kami tak pernah bertemu pada garis takdir yang sama?.
Dia selalu seperti itu meraihku yang hampir pergi, kemudian memintaku pergi setelah
meraihku.
Handphoneku kembali
berdering tanda pesan masuk dan lagi-lagi pesan itu dari Erwin
“ame.. sekarang kau di
makassar, kenapa kamu ga ada kabar, kamu ga kangen ma aku. Bisa kita ketemu
besok sore aku tunggu ya di halte dekat kampus?”.
Bayangan kekecewaan dan
sakit hati tiga tahun lalu kembali mengahantuiku. Pesan singkat erwin, seperti
membuka kembali lembaran luka yang telah membekas dalam hatiku. Namun apa daya
aku seperti berjalan di atas seutas tali melangkah goyang diam pun goyang. Aku tak
ingin menemuinya lagi, namun rasa rindu yang terpendam sekian lama memaksa dan
terus meronta untuk mencari jalan keluar. Aku takut jika tidak menemuinya aku
akan kehilangan untuk selamanya. Namun jika menemuinya aku takut kecewa dan
terluka seperti sebelumnya.
Air mataku menetes di
atas tumpukan-tumpukan novel itu. Kesunyian malam ini semakin menambah
kesedihanku. Aku tak pernah menyesali keputusanku untuk tidak menemui Erwin
sore itu tapi, entah kenapa sesak ini tak pernah hilang setiap aku mengingatnya.
Jantungku sudah hancur berkeping-keping tapi dengan kepingan paling retak dia
masih sanggup berdetak. Aku juga ingin bahagia akhirnya aku memilih untuk
melepaskannya, itu juga salah satu alasan mengapa aku berada di sini. Aku
percaya rencana Allah itu akan indah pada waktunya. Pergilah bersama angin,
terbanglah jauh ke manapun kau suka. Biarkan takdir yang memutuskan apakah kau
dan aku nantinya akan menjadi kita atau semua tentang kita hanya akan menjadi
cerita. Jika hari itu tiba aku harap kita akan bahagia walaupun jalan yang kita
pilih mungkin berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar