#cerpen
MEMBELAH BULAN
Aku menemukannya. Dalam semak-semak dengan sejuta bisu dalam
matanya. Aku tidak tahu apakah dia
mengenalku sebagai perempuannya atau tidak. Ruang-ruang waktu telah memberi
kami jeda dalam diam yang berkepanjangan. Separuh tubuhnya bersinar dengan
warna keemasan yang aneh. Warna yang menyilaukan mata, tapi separuh dari ruhku
tetap ingin membuka bagi warna itu.
“Ini warna dari negeri bulan,”
katanya. Bulan yang diam. Aku pun mengangguk, mengiyakan sapanya. Sebuah negeri
yang aneh pikirku. Laki-laki itu seperti membaca pikiranku. Tangannya kemudian menyentuh
ujung jariku, diciumnya dengan lembut satu per satu jariku seperti mengeja
huruf-huruf yang berdetak dalam dadaku.
”Negeri bulan itu indah sekali,
Sayang. Kamu harus ke sana, aku temani kamu.”
Laki-laki itu pasti
pengkhayal. Negeri bulan pasti tidak ada. Aku memang tidak suka khayalan.
Karena bagiku khayalan seperti gelembung-gelembung sabun yang rapuh. Ketika
kita meniupnya, gelembung itu memancarkan warna-warna yang membuat hati kita
percaya bahwa harapan itu akan selalu membesar setiap kali kita meniupnya. Kita
akan meniupnya semakin besar dan melepasnya ke angkasa. Ketika angin mengajak
gelembung itu makin ke atas, kita pun makin riang dan mulai memercayai bahwa
harapan kita akan selalu mendapat jawabannya.
Pyarrr! Ketika gelembung itu pecah,
sebuah kosong yang hampa tiba-tiba menjadi seperti seorang diktator yang
tiba-tiba menjajah hati kita. Aku benar-benar benci khayalan. Sungguh. Lelaki
itu tetap tersenyum. Tangannya bergerak ke arah langit, seperti sebuah puja
yang tak putus untuk semesta. Dia tetap diam sambil sesekali sinar dalam
tubuhnya berkejap seiring suara detak. Aku percaya sinar itu adalah sinar
jadi-jadian.
Dia duduk tepat di sampingku. Kedai
itu mulai sepi. Sisa-sisa bau arak para penabuh gong bertebaran di mana-mana.
Digesernya tubuhnya mendekat ke arahku. Aku mencium bau tubuhnya. Bau itu
begitu gelisah, meruap sampai ke lorong-lorong kedai itu. Kegelisahan yang
mulai beranak-pinak dengan berbagai kemarahan. Lelaki itu terus memancarkan
cahaya yang aneh dari tubuhnya.
”Kamu ngapain malam-malam
di kedai ini? Ini tempat para pemuja malam atau kamu pemiliknya?” dia bicara
kepadaku sambil mulutnya tak henti mendesis seperti suara ular dengan gumam
yang tak jelas. Separuh tubuhnya berdenyut secara konstan. Sinar dari dalam
separuh tubuhnya itu seperti memberi berbagai macam ruang rasa, kadang aku liat
dia begitu kesakitan dengan cahaya-cahaya itu, tapi kadang dia begitu menikmati
setiap kerlip cahayanya. Tubuh yang benar-benar aneh.
”Ha-ha-ha kamu takjub kan dengan
tubuhku? Kamu pasti menebak-nebak bagaimana aku bisa punya tubuh seperti ini.
Sudah enggak usah gengsi untuk mengiyakan. Aku benar-benar tahu kamu sangat
terpesona denganku.”
Astaga, benar-benar narsis.
Bagaimana dia bisa membaca pikiranku? Tapi dia benar-benar kurang ajar, karena
yang dia katakan itu sangat benar. Aku benar-benar tak kuasa menolak separuh
tubuh yang bersinar itu. Dia makin merapat dan aku pun berdetak. Tangannya
dengan lembut mulai membelai belakang tubuhku.
Seperti sihir raksasa, aku pun
mulai menggerakkan tanganku dan menyentuh tubuhnya. Seperti masuk dalam
kerajaan awan, tubuh itu begitu lembut dan hampir tanpa tulang. Cahaya itu
terasa dingin. Aku tersentak, rasa di dalam tubuh itu tak asing bagiku…. Rasa
sepi yang dari dalam nadinya tumbuh bercabang berbagai pertanyaan. Benar,
cabang itu seperti jaring laba-laba yang tak berujung. Pertanyaan-pertanyaan
yang sering sangat nadir.
Ah, laki-laki ini tidak seajaib
yang aku kira. Dia hanya lelaki seperti para lelaki yang biasanya mampir di
kedai ini. Lelaki-lelaki yang mengawini rasa sepi. Kesepian yang menasbihkan
dirinya menjadi Tuhan bagi malam-malamnya. Anehnya aku selalu merasa jatuh
sayang dengan lelaki-lelaki itu. Mereka seperti anak kijang yang tersesat di
tengah malam. Begitu rapuh dan lembut meski mereka selalu berusaha mati-matian
sekuat tenaga menjadi raksasa-raksasa dengan seringai yang menyilaukan.
Aku pun sering kali berpura-pura
takut dengan seringai itu, padahal aku selalu sangat ingin memeluk anak kijang
jadi-jadian itu dengan dadaku. Meski demikian anehnya, aku selalu punya
keinginan anak kijang jadi-jadian itu menjadi raksasa-raksasa sungguhan,
meskipun aku tahu setelah mereka menjadi raksasa, mereka akan melumatku
hidup-hidup, mengunyahnya dan akhirnya melemparkan tubuhku yang setengah hidup
itu ke tepi jalan. Tubuhku yang terpecah-pecah itu tidak pernah benar-benar
mati, tubuhku akan dengan sendirinya bersatu kembali.
”Mengapa kamu datang ke kedai ini?
Tidak ada satu pun yang menarik dari kedai ini. Bahkan aku pun tidak bisa lagi
menjadi penabur birahi yang baik buatmu. Lihatlah tubuhku sudah separuh cacat.
Berkali-kali anak-anak kijang yang menjadi raksasa itu melumatku, memamahnya
dan memuntahkannya begitu saja.”
Kucatat pertanyaanku itu di dalam
hatiku saja. Aku benar-benar takut untuk bersuara terhadapnya. Cahaya tubuhnya
terlalu menyilaukanku. Kami benar-benar terdiam dalam sepi yang berpesta dalam
ruangan itu. Satu per satu para lelaki di kedai itu mulai pergi, hanya ada satu
dua saja yang masih enggan untuk berpamitan dengan sepinya untuk kembali
pulang.
Lelaki dengan tubuh separuh bercahaya
itu bergeser sedikit ke arahku, tiba-tiba dipalingkannya wajahnya tepat di samping
telingaku. Seperti sihir, kepalaku menoleh tepat di depan kedua matanya yang
begitu hitam. Seperti labirin menuju bawah tanah yang tergelap. Aku terpaku
begitu saja di depan mata itu. Ruang-ruang di antara sekat-sekat jantungku
merongga luar biasa dan di antaranya mengalirlah darahku yang berwarna merah
jambu.
”Aku menyukai matamu.”
Labirin di dalam matanya bersuara
lirih. Aku tertawa terbahak menyembunyikan jengahku. Pasti mukaku memerah
seperti buah plum yang telah masak. Aku mengejap untuk menghindar dari serbuan
warna hitam yang pekat dari mata yang bernuansa nujum itu. Ribuan dentam di
dadaku berdegup oleh satu kalimat yang sebenarnya sering sekali kudengar dari
para lelaki yang menuai taburan birahiku. Selalu seperti sebuah entah, mata
yang pekat itu menyimpan satu kejujuran yang membuatku sangat nyaman menikmati
mungkin sebuah kebohongan lagi.
”Ha-ha-ha-ha-ha terima kasih, Sayang.
Awas kamu jangan jatuh cinta dan jangan rindu aku setelah pulang nanti ya,”
seperti sebuah hafalan yang begitu biasa meluncur dari mulut penari-penari
malam sepertiku mencoba untuk menghindar dari degup karena mata pekat itu.
Sebuah nyeri menyergap tiba-tiba karena aku tahu aku amat sangat berbohong
dengannya.
Aku benar-benar ingin dia selalu
merinduiku. Meski untuk sebuah rindu yang entah. Mungkin aku telah melanggar
aturan. Sebagai penari malam, aku hanya boleh bergerak mengikuti irama malam.
Setiap keringat adalah bunyi dan setiap lenguh adalah ritme dari desah rasa
sepi yang begitu menyengat para lelaki pemuja malam. Seperti yang sudah
tertebak, lelaki itu hanya tersenyum. Mata itu tetap pekat.
”Kamu benar-benar tidak ingin tahu
tentang negeri tempat aku datang?”
Mata itu mulai merajuk. Tangannya
terus membelai punggungku dan tubuhnya yang gelap tanpa cahaya semakin pekat,
sedangkan separuh tubuhnya yang bercahaya semakin gemilang. Satu paradoks yang
luar biasa aneh.
”Mengapa kamu begitu ingin aku
bertanya tentang negerimu?”
”Karena aku ingin kamu datang
secepatnya ke sana.”
”Sekarang?”
”Iya, secepatnya. Tidak ada waktu lagi.”
Waktu yang diam. Pepat tanpa suara.
Waktu pun berdetak. Detak itu dari jantung kita sendiri. Seperti tarian-tarian
awan, waktu pun bergerak dengan semena-mena. Membentuk gambar-gambar peristiwa
yang tak pernah jelas. Waktu hanya ada di dalam pikiran. Aku pernah berpikir
bahwa jika aku bisa menghentikan pikiran, aku akan bisa menghentikan waktu.
Alangkah bahagianya jika itu terjadi. Aku akan bisa memilih waktu bagi
kemudaanku. Waktu selalu akan bisa berpora dalam diamnya.
Lelaki itu terus menatapku dalam
pekatnya. Separuh tubuhnya yang bersinar semakin menyilaukan. Bibirnya terkatup
rapat dan digerakkannya ke arahku. Ciuman dalam cahaya. Begitu aku menyebutnya
saat itu. Aku mulai menebak. Mungkin dia malaikat yang terjatuh dan ciuman itu
akan membuatnya menjadi malaikat utuh kembali sehingga dia bisa mengepakkan
sayapnya dan berlari menuju tempat di mana asal matahari tanpa takut terbakar
seperti Ikarus yang malang.
”Kamu malaikat jatuh?” Lelaki itu
terbahak hingga hampir saja dia terjungkal dari sampingku. Senyumnya membelai
rambutku. Jari-jariku pun kembali dikecupnya satu per satu dan mata pekat itu
kembali menatapku dengan sihir yang tetap memukauku.
”Sama sekali tidak, Sayangku. Malaikat
jatuh tidak akan bercahaya tubuhnya. Dia tidak lagi memerlukan cahaya karena
dia telah menukarnya dengan tempat di mana warna apa pun tidak akan pernah
terlihat. Gelap.”
Jawaban lelaki itu melegakanku sekali.
Artinya masih ada harapan dia seperti lelaki-lelaki pengunjung kedaiku.
Lelaki-lelaki yang selalu mengisi malam-malamnya dengan nyanyian-nyanyian sunyi
yang memekakkan. Bibir lelaki itu masih amat sangat dekat dengan bibirku. Tercium
dengan jelas detak jantungnya lewat hembusan nafasnya yang menderu. Perlahan
kuberanikan diri membelai rambutnya dengan tanganku yang terus terang sedikit
gemetar.
”Mengapa kamu datang?”
Tiba-tiba dada ini meruah dengan
kepedihan yang pekat ketika kutanyakan itu. Aku pun tersekat. Aku tahu sebuah
perih yang akan pasti menjadi penghuni baru ruang-ruang bernafasku sedang setia
menunggu giliran untuk menempatinya. Sebuah kebodohan luar biasa dan aku rela
menjadi bodoh. Sungguh benar-benar bodoh.
”Aku menemukanmu pada sebuah ruang
bernama sepi, kamu terus aku cari dan aku bahagia akhirnya aku menemukanmu.”
Aku benar-benar membencinya ketika
lelaki itu mengatakan itu. Aku benci karena aku menyukai kata-katanya. Entah
kata-kata itu sudah pernah terlontar ke ribuan makhluk sekali pun, ternyata aku
tetap menyukai kata-kata itu. Bodohnya lagi aku selalu memercayai kata-kata.
Meskipun aku sering sekali terluka oleh kata-kata, tapi aku tetap mencandu
kata-kata.
”Mungkin kita bertemu di waktu yang
tepat. Tapi di saat yang salah, Sayang,” aku mencoba untuk konsisten menjadi
salah satu penari malam ketika aku membelai rambutnya dengan rasa heran yang
luar biasa ketika aku sadar aku tidak sedang menabur birahi pada kejapan
mataku. Aku sering terjebak dengan waktu yang meluka. Waktu-waktu yang salah
ketika aku memilih menjadi kekasihnya.
“Mungkin iya mungkin tidak. Aku
dikutuk karena aku mencoba membelah bulan. Aku ingin tahu apa warna hitam di
balik cahaya terang bulan. Negeri bulan pun marah. Tanah di sana kemudian
merajamku. Karenanya separuh cahaya bulan itu ada di tubuhku, sedangkan separuh
lainnya selalu ada dalam kegelapan. Aku cari separuh cahaya untuk mengisi
ruang-ruang gelap di tubuhku yang lain sehingga tubuhku menjadi utuh.”
Astaga, aku berharap jadi separuh
cahayanya. Aku benci. Aku tersanjung. Aku bahagia. Aku senang. Aku meniup
buih-buih sabun itu. Aku khawatir buih itu pecah. Aku terbang. Aku ada di
ketinggian. Aku pasti terjatuh. Aku menunggu waktuku pecah. Aku begitu lemah.
Aku sedih. Aku takut. Aku meluka. Aku mencinta.
”Ha-ha-ha-ha-ha-ha… kamu itu aneh.
Kamu mencari separuh cahayamu yang hilang, tapi kamu mencarinya di malam gelap
seperti ini, dan kamu pun salah orang dengan menemuiku. Aku sama sekali tidak
punya cahaya yang kamu cari.”
Aku benar-benar marah dengan
kata-kataku sendiri. Aku benar-benar takut dia tahu aku ingin jadi separuh
cahayanya. Menjadi penghuni malam dan menemani lelaki-lelaki malam sudah amat
membuatku nyaman. Aku tidak pernah bermimpi menjadi Engtay yang menunggu Sampek
dalam sakratulmautnya. Mitos cinta abadi memang memuakkan. Mitos yang
menciptakan buih-buih sabun bagi jutaan umatnya. Aku menyebut umat itu adalah
kaum Pencinta. Padahal buatku bagi kaum Pencinta harus menyukai semua warna,
termasuk hitam dan malam.
”Aku benar-benar perlu separuh gelap
dalam tubuhku ini terisi cahaya.” Lelaki itu menyimpan bergalon-galon air mata
yang tidak pernah tumpah. Air mata yang membuat bulan itu terbelah ketika dia
mengejapkan matanya dan menjadi serakah dengan cahaya.
”Pergilah, ini sudah menjelang subuh.
Berjalanlah kembali, nanti kamu akan ketemu persimpangan-persimpangan yang
menarik dalam perjalananmu. Mungkin kamu akan terluka, mungkin kamu akan bahagia.
Tapi kamu akan tahu bahwa di persimpangan itulah sebuah hidup akan bermula.
Pergilah Sayangku. Aku tidak akan menunggumu. Begitu banyak lelaki yang
membutuhkan malam-malamku.”
Aku mengantarkannya pada ujung pintu,
punggungnya dengan separuh cahaya yang berpendar masih tetap memancarkan bau
yang sama persis dengan ketika aku berjumpa dengannya di sebuah episode di
ujung senja pada sebuah masa. Aku tahu aku mungkin separuh cahaya yang dia cari
itu, tapi aku pikir berbohong padanya tentang hal itu adalah hal yang terbaik
untuk hidupnya. Lelaki itu terus berpendar dari separuh tubuhnya dalam gelisah.
Ah, kubutuhkan tanah lapang yang
begitu luas saat ini di dadaku. Kulambaikan hatiku. ”Datanglah lagi pada sebuah
malam di sebuah malam. Sayangku.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar