#cerpen
IKHLAS
Tiba-tiba saja
kucing di dapur menghabisi ikan dan kenangan yang belum masak. Ya adikku
menangis mungkin karena ia lapar atau karena kenangannya. Sebab setahun yang
lalu di rumah yang jauh dari kota, dimana seorang perempuan yang mulai rentang oleh
usia namun ia sangatlah cantik karena memiliki mata sipit yang indah. Perempuan
itu memanggil adikku “nak, ibu ingin tidur dulu, kalau kau lapar bangunkan ibu
agar aku bisa memasak ikan untukmu”. Tapi itu setahun yang lalu.
Setelah
kepergian ibu, ayah memutuskan untuk pindah dinas ke daerah tempat
kelahirannya. Keputusan itu bukanlah hal yang mudah. Hal ini dilakukan untuk
menghilangkan sedikit luka karena kepergian ibu. Aku bukannya berpura-pura
tegar, kesedihan tentang ibu masih terasa hingga kapanpun di hatiku. Kala itu
usiaku baru 8 tahun, seorang gadis kecil yang belum terlalu paham akan arti
kehilangan.
Masih teringat,
saat itu aku sedang berada di sekolah bermain bersama teman-temanku. Tiba-tiba
ibu guru memanggilku keruangannya. Disana sudah ada tante Lisa, adik dari
ibuku. Aku heran melihatnya, ia menangis dan tiba-tiba saja memelukku erat.
“kamu yang
sabar yah nak”
Kalimat itu
masih teringat jelas di kepalaku.
“sabar kenapa
tante? Terus tante kenapa menangis?” Tanya ku heran
“ kamu sekarang
boleh pulang nak, tantemu sudah datang menjemput” kata ibu Zahra sambil
mengelus kepalaku.
Aku hanya
heran dengan apa yang terjadi sebenarnya. Aku pun mengambil tas dan berpamitan
ke ibu Zahra.
Sesampainya di
rumah, aku melihat banyak orang yang mengenakan pakaian hitam-hitam. Mereka menatapku
penuh iba, dan aku hanya memasang tampang bingung. Aku heran kenapa semua orang
ada di rumahku? Dan kenapa tante, om, dan semua keluargaku menangis dan
memelukku secara bergantian.
Aku mencari
sosok ayah, beliau terlihat kacau. Aku berlari kearahnya dan bertanya “ ayah
kenapa di rumah kita ada banyak orang?” Ayah dengan teduh menjawab “ ibu sudah
pergi saya, kata ibu dia sangat kecapekan. Dia tidak bisa pamit sama kamu
sayang”
“ibu kemana? Loh
itu dede kok nangis yah?” Kataku masih heran.
“ ibu sudah
pergi sayang meninggalkan kita” kata ayah menangis sambil memelukku.
Jika mengingat
semua kenangan itu, rasanya sangat sakit. Mulai saat itu ayah merawat aku dan
dede adikku dengan sangat baik. Kasih sayangnya tak dapat diragukan lagi.
Beliau menjadi sosok yang sangat sempurna dan berharga di mataku. Tetapi aku
melihat tingkah ayah yang mulai tertutup. Ia selalu berpura-pura tersenyum dan
bahagia di depan kami berdua.
Mungkin karena
sulit melupakan semua kenangan ibu di rumah ini, maka ayah memutuskan untuk pindah
kota, di kota kelahirannya.
Sesampainya di
tempat kelahiran ayah, makassar aku yang masih berusia 10 tahun mencoba
memahami situasi yang terjadi. Dan mencoba berinteraksi dengan orang-orang di
lingkunganku. Lingkungannya juga terasa asing untukku, tetai itu bukanlah
masalah besar.
8 tahun
kemudian…
“Bagaimana
hasil tesmu? Bagaimana pengumumannya? Apa kamu lulus? Bagaimana? “ adikku
dengan antusias menghujamku dengan pertanyaan yang hanya membutuhkan satu
jawaban. Aku mengabaikannya, dengan perasaan yang campur aduk aku membuka
Koran, dan mulai mencari nomor tesku. Dan “Alhamdulillah, aku lulus dik. Aku lulus!”
Dengan gembira adikku memelukku erat, seolah ia turut merasakan apa yang sedang
aku rasa saat ini.
“iya dik, aku lulus di UI, aku akan ke
Jakarta” jawabku spontan.
“ apa? Maksud kakak ke Jakarta? Berarti kakak
akan meninggalkan aku sendiri disini?” Tiba-tiba raut mukanya berubah menjadi
kesedihan.
“kan ada ayah
dik, kakak kan kesana juga untuk belajar” kataku mencoba menghiburnya.
Hari
keberangkatan ku pun tiba. Semua yang aku butuhkan sudah disiapkan oleh ayah.
Mulai dari tiket, tempat tinggal dan kebutuhan kecil untukku. Sedih rasanya
untuk pergi, karena ini pertama kalinya aku tinggal jauh dengan ayah. Akan
tetapi, ini semua demi kebaikan ku, untuk masa depanku.
“ kak kamu
disana jaga diri yah, jangan keluyuran. Sekolah yang benar. Ayah selalu
mendoakan yang terbaik untukmu dari sini” pesan ayah sebelum aku berangkat.
“ iya ayah,
aku akan selalu ingat pesan ayah” kata ku sambil memeluk beliau.
“ tapi yah aku
takut, apa aku bisa hidup sendiri disana?”
“ anak ayah
kan kuat, mandiri. Kamu pasti bisa berinteraksi dengan orang disana. Ayah yakin
itu” kata ayah dengan senyum khasnya.
Hatiku kembali
teduh, setelah mendengar pesan ayah. Karena kepergian ibu, ayahlah yang menjadi
penyemangatku. Apapun yang ia katakan akan aku turuti. Beliau sangat berarti
untuku dan adikku. Aku pamit kesemua keluarga dan teman-temanku yang sudah
mengantarku, kupeluk mereka satu-satu dan kudengar pesan mereka semua. Pokoknya
aku harus semangat.
Sesampainya di
Jakarta, aku dijemput oleh om Tomi teman lama ayah, kemudian beliau langsung
mengantarku ke kost-an yang telah beliau carikan untuk ku tinggali selama
kuliah di ibukota ini. Taklupa pula beliau memberiku nasehat selama tinggal
disini dan beliau juga memintaku untuk sering-sering berkunjung ke rumahnya.
Setelah om
Tomi pulang,,aku mulai membereskan barang-barang yang kubawa.. Dan merapikan kamar
serapi dan senyaman mungkin. Lelah, Setelah itu aku mulai berjalan-jalan
disekitar kost ku. Dan taklupa aku mengecek lokasi kampusku. Hanya butuh waktu
5 menit untuk sampai di kampus.
Setelah masuk
ke gedung, aku memerhatikan setiap sudut kampus. Dan ,,
“wahh, bagus
sekali gedungnya. Halamannya luas, udaranya sejuk dan disini banyak sekali
pohon. Ummm aku suka, semoga aku tidak kesulitan berinteraksi disini” ucapku
dalam hati.
Perasaan bahagia,
tak bisa kusembunyikan pada raut wajahku. Tiba-tiba aku teringat bahwa aku
belum memiliki teman. Raut wajahku mulai berubah menjadi khawatir, aku khawatir
apa aku sanggup mencari teman disini. Aku akan berusaha.
Pertemuan mahasiswa
baru pun dimulai, aku mencoba bersikap seramah mungkin. Setelah pembukaan
selesai aku mulai mencari teman baru. Dikejauhan aku melihat sekumpulan orang,
aku mencoba untuk menyapa mereka.
“perkenalkan
nama aku Jenita Ayu Pertiwi, aku berasal dari kota Makassar Provinsi Sulawesi
Selatan. Jadi aku pendatang di sini, mohon bantuan teman-teman” kataku mulai
memperkenalkan diri “ saya biasa dipanggil Jeni, salam kenal semuanya” beberapa
orang tersenyum menatapku. “ salam kenal juga Jeni,” sapa mereka serempak.
“perkenalkan nama saya Lili, yang disamping
saya namanya Bunga, dan yang berjilbab itu namanya Yura” kata salah satu dari
mereka.
“ kalau kamu
butuh bantuan,bisa cari kami.”
“ kamu jurusan
sejarah juga? “ Tanya Yura . “iya saya juga jurusan sejarah kelas B” jawabku. “
“wahh kita semua sekelas. Kebetulan sekali” kata Bunga.
Mulai dari
perkenalan aku merasa mereka adalah orang-orang yang baik. Semua kegelisahan ku
pun mulai hilang. Aku mulai berinteraksi
dengan teman seangkatanku.
Tak terasa
sudah setahun aku berada di Jakarta. Sudah banyak hal-hal yang telah aku pahami
selama berada disini. Mulai dari orang-orangnya, tempatnya, dan lain-lain. Sejauh
ini semuanya sangat menyenangkan. Kuliahkku pun berjalan dengan lancar, sejauh
ini belum ada kendala. Semua ini juga berkat bantuan teman-temanku.
Setelah final selesai, kami sepakat untuk
liburan bersama. Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba.
Kami berkeliling
ancol. Melupakan semua beban karena tugas-tugas kuliah. Kami sangat bahagia,
begitupun aura disekeliling kami. Semua orang telihat sangat bahagia.
Aku merasa
pernah mengalami hal ini, dejavu. Tiba-tiba kepala ku terasa pusing. Kenangan itu
terputar kembali peristiwa disekitarku kini mengingatkkanku pada peristiwa
belasan tahun yang lalu. Kepalaku sakit, aku butuh air, yaa air.
“ kamu kenapa
Jen?” Tanya Lili dengan wajah panic, membuyarkan lamunanku.
“ tidak
kenapa-kenapa kok, aku Cuma kecapekan” jawabku mencoba menenangkan Lili.
“ kamu sih,
pucat gitu. Harusnya kan kita senang-senang hari ini”
“iya Li, aku
baik-baik saja kok, tenang aja. Oiya aku ke warung dulu yah” jawabku sambil
berlalu meninggalkan Lili.
Aku kenapa? Kenapa
aku tiba-tiba pusing. Sedikit kenangan masa lalu ku muncul. Kenangan saat masa
kecilku bersama ibu. Masih terekam dengan jelas masa dimana aku sekeluarga
liburan di tempat ini. Perih rasanya jika mengingat kenangan kami saat ibu
masih hidup. Kepergiannya membuat beberapa bagian hidupku berubah, kisah yang
kudambakan sejak kecil hancur seketika.
Lamunanku
terhenti, aku teringat pada teman-temanku. “dimana mereka?” Padahal hari ini
aku harusnya bersenang-senang dengan mereka. Ah aku jadi tidak enak sama
teman-temanku, termasuk Lili dia tadi terlihat sangat panik. Aku harus tenang ya
tenang. Aku harus minta maaf pada mereka karena pergi tiba-tiba tanpa pamit
terlebih dahulu dan kembali bersenang-senang dengan mereka.
Setelah
peristiwa hari itu, aku mencoba mengikhlaskan kepergian ibu. Selama ini,
mungkin aku belum ikhlas atas kepergian
ibu. Alloh SWT memberikan semua kejadian dalam hidup umatnya bukan tanpa
alasan. Selalu ada hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik bahkan dari kejadian
buruk sekalipun. Sebagai hamba yang taat maka sudah sepantasnya kita bisa berlapang
dada dalam menerima teguran, cobaan atau bahkan musibah yang diberikan.
Hari-hari
kembali kulalui dengan normal, tetap tersenyum, muai saat ini aku bertekat
untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan kuat untuk mencapai cita-cita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar