Sabtu, 10 Juni 2017

DIAN DONNA PUTRI SUMARLIN



#cerpen


IKHLAS 

Tiba-tiba saja kucing di dapur menghabisi ikan dan kenangan yang belum masak. Ya adikku menangis mungkin karena ia lapar atau karena kenangannya. Sebab setahun yang lalu di rumah yang jauh dari kota, dimana seorang perempuan yang mulai rentang oleh usia namun ia sangatlah cantik karena memiliki mata sipit yang indah. Perempuan itu memanggil adikku “nak, ibu ingin tidur dulu, kalau kau lapar bangunkan ibu agar aku bisa memasak ikan untukmu”. Tapi itu setahun yang lalu.

Setelah kepergian ibu, ayah memutuskan untuk pindah dinas ke daerah tempat kelahirannya. Keputusan itu bukanlah hal yang mudah. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan sedikit luka karena kepergian ibu. Aku bukannya berpura-pura tegar, kesedihan tentang ibu masih terasa hingga kapanpun di hatiku. Kala itu usiaku baru 8 tahun, seorang gadis kecil yang belum terlalu paham akan arti kehilangan.
Masih teringat, saat itu aku sedang berada di sekolah bermain bersama teman-temanku. Tiba-tiba ibu guru memanggilku keruangannya. Disana sudah ada tante Lisa, adik dari ibuku. Aku heran melihatnya, ia menangis dan tiba-tiba saja memelukku erat.
“kamu yang sabar yah nak”
Kalimat itu masih teringat jelas di kepalaku.
“sabar kenapa tante? Terus tante kenapa menangis?” Tanya ku heran
“ kamu sekarang boleh pulang nak, tantemu sudah datang menjemput” kata ibu Zahra sambil mengelus kepalaku.
Aku hanya heran dengan apa yang terjadi sebenarnya. Aku pun mengambil tas dan berpamitan ke ibu Zahra.
Sesampainya di rumah, aku melihat banyak orang yang mengenakan pakaian hitam-hitam. Mereka menatapku penuh iba, dan aku hanya memasang tampang bingung. Aku heran kenapa semua orang ada di rumahku? Dan kenapa tante, om, dan semua keluargaku menangis dan memelukku secara bergantian.
Aku mencari sosok ayah, beliau terlihat kacau. Aku berlari kearahnya dan bertanya “ ayah kenapa di rumah kita ada banyak orang?” Ayah dengan teduh menjawab “ ibu sudah pergi saya, kata ibu dia sangat kecapekan. Dia tidak bisa pamit sama kamu sayang”
“ibu kemana? Loh itu dede kok nangis yah?” Kataku masih heran.
“ ibu sudah pergi sayang meninggalkan kita” kata ayah menangis sambil memelukku.
Jika mengingat semua kenangan itu, rasanya sangat sakit. Mulai saat itu ayah merawat aku dan dede adikku dengan sangat baik. Kasih sayangnya tak dapat diragukan lagi. Beliau menjadi sosok yang sangat sempurna dan berharga di mataku. Tetapi aku melihat tingkah ayah yang mulai tertutup. Ia selalu berpura-pura tersenyum dan bahagia di depan kami berdua.
Mungkin karena sulit melupakan semua kenangan ibu di rumah ini, maka ayah memutuskan untuk pindah kota, di kota kelahirannya.
Sesampainya di tempat kelahiran ayah, makassar aku yang masih berusia 10 tahun mencoba memahami situasi yang terjadi. Dan mencoba berinteraksi dengan orang-orang di lingkunganku. Lingkungannya juga terasa asing untukku, tetai itu bukanlah masalah besar.
8 tahun kemudian…
“Bagaimana hasil tesmu? Bagaimana pengumumannya? Apa kamu lulus? Bagaimana? “ adikku dengan antusias menghujamku dengan pertanyaan yang hanya membutuhkan satu jawaban. Aku mengabaikannya, dengan perasaan yang campur aduk aku membuka Koran, dan mulai mencari nomor tesku. Dan “Alhamdulillah, aku lulus dik. Aku lulus!” Dengan gembira adikku memelukku erat, seolah ia turut merasakan apa yang sedang aku rasa saat ini.
 “iya dik, aku lulus di UI, aku akan ke Jakarta” jawabku spontan.
 “ apa? Maksud kakak ke Jakarta? Berarti kakak akan meninggalkan aku sendiri disini?” Tiba-tiba raut mukanya berubah menjadi kesedihan.
“kan ada ayah dik, kakak kan kesana juga untuk belajar” kataku mencoba menghiburnya.
Hari keberangkatan ku pun tiba. Semua yang aku butuhkan sudah disiapkan oleh ayah. Mulai dari tiket, tempat tinggal dan kebutuhan kecil untukku. Sedih rasanya untuk pergi, karena ini pertama kalinya aku tinggal jauh dengan ayah. Akan tetapi, ini semua demi kebaikan ku, untuk masa depanku.
“ kak kamu disana jaga diri yah, jangan keluyuran. Sekolah yang benar. Ayah selalu mendoakan yang terbaik untukmu dari sini” pesan ayah sebelum aku berangkat.
“ iya ayah, aku akan selalu ingat pesan ayah” kata ku sambil memeluk beliau.
“ tapi yah aku takut, apa aku bisa hidup sendiri disana?”
“ anak ayah kan kuat, mandiri. Kamu pasti bisa berinteraksi dengan orang disana. Ayah yakin itu” kata ayah dengan senyum khasnya.
Hatiku kembali teduh, setelah mendengar pesan ayah. Karena kepergian ibu, ayahlah yang menjadi penyemangatku. Apapun yang ia katakan akan aku turuti. Beliau sangat berarti untuku dan adikku. Aku pamit kesemua keluarga dan teman-temanku yang sudah mengantarku, kupeluk mereka satu-satu dan kudengar pesan mereka semua. Pokoknya aku harus semangat.  
Sesampainya di Jakarta, aku dijemput oleh om Tomi teman lama ayah, kemudian beliau langsung mengantarku ke kost-an yang telah beliau carikan untuk ku tinggali selama kuliah di ibukota ini. Taklupa pula beliau memberiku nasehat selama tinggal disini dan beliau juga memintaku untuk sering-sering berkunjung ke rumahnya.
Setelah om Tomi pulang,,aku mulai membereskan barang-barang yang kubawa.. Dan merapikan kamar serapi dan senyaman mungkin. Lelah, Setelah itu aku mulai berjalan-jalan disekitar kost ku. Dan taklupa aku mengecek lokasi kampusku. Hanya butuh waktu 5 menit untuk sampai di kampus.
Setelah masuk ke gedung, aku memerhatikan setiap sudut kampus. Dan ,,
“wahh, bagus sekali gedungnya. Halamannya luas, udaranya sejuk dan disini banyak sekali pohon. Ummm aku suka, semoga aku tidak kesulitan berinteraksi disini” ucapku dalam hati.
Perasaan bahagia, tak bisa kusembunyikan pada raut wajahku. Tiba-tiba aku teringat bahwa aku belum memiliki teman. Raut wajahku mulai berubah menjadi khawatir, aku khawatir apa aku sanggup mencari teman disini. Aku akan berusaha.
Pertemuan mahasiswa baru pun dimulai, aku mencoba bersikap seramah mungkin. Setelah pembukaan selesai aku mulai mencari teman baru. Dikejauhan aku melihat sekumpulan orang, aku mencoba untuk menyapa mereka.
“perkenalkan nama aku Jenita Ayu Pertiwi, aku berasal dari kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan. Jadi aku pendatang di sini, mohon bantuan teman-teman” kataku mulai memperkenalkan diri “ saya biasa dipanggil Jeni, salam kenal semuanya” beberapa orang tersenyum menatapku. “ salam kenal juga Jeni,” sapa mereka serempak.
 “perkenalkan nama saya Lili, yang disamping saya namanya Bunga, dan yang berjilbab itu namanya Yura” kata salah satu dari mereka.
“ kalau kamu butuh bantuan,bisa cari kami.”
“ kamu jurusan sejarah juga? “ Tanya Yura . “iya saya juga jurusan sejarah kelas B” jawabku. “ “wahh kita semua sekelas. Kebetulan sekali” kata Bunga.
Mulai dari perkenalan aku merasa mereka adalah orang-orang yang baik. Semua kegelisahan ku pun  mulai hilang. Aku mulai berinteraksi dengan teman seangkatanku.
Tak terasa sudah setahun aku berada di Jakarta. Sudah banyak hal-hal yang telah aku pahami selama berada disini. Mulai dari orang-orangnya, tempatnya, dan lain-lain. Sejauh ini semuanya sangat menyenangkan. Kuliahkku pun berjalan dengan lancar, sejauh ini belum ada kendala. Semua ini juga berkat bantuan teman-temanku.
 Setelah final selesai, kami sepakat untuk liburan bersama. Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba.
Kami berkeliling ancol. Melupakan semua beban karena tugas-tugas kuliah. Kami sangat bahagia, begitupun aura disekeliling kami. Semua orang telihat sangat bahagia.
Aku merasa pernah mengalami hal ini, dejavu. Tiba-tiba kepala ku terasa pusing. Kenangan itu terputar kembali peristiwa disekitarku kini mengingatkkanku pada peristiwa belasan tahun yang lalu. Kepalaku sakit, aku butuh air, yaa air.
“ kamu kenapa Jen?” Tanya Lili dengan wajah panic, membuyarkan lamunanku.
“ tidak kenapa-kenapa kok, aku Cuma kecapekan” jawabku mencoba menenangkan Lili.
“ kamu sih, pucat gitu. Harusnya kan kita senang-senang hari ini”
“iya Li, aku baik-baik saja kok, tenang aja. Oiya aku ke warung dulu yah” jawabku sambil berlalu meninggalkan Lili.

Aku kenapa? Kenapa aku tiba-tiba pusing. Sedikit kenangan masa lalu ku muncul. Kenangan saat masa kecilku bersama ibu. Masih terekam dengan jelas masa dimana aku sekeluarga liburan di tempat ini. Perih rasanya jika mengingat kenangan kami saat ibu masih hidup. Kepergiannya membuat beberapa bagian hidupku berubah, kisah yang kudambakan sejak kecil hancur seketika.
Lamunanku terhenti, aku teringat pada teman-temanku. “dimana mereka?” Padahal hari ini aku harusnya bersenang-senang dengan mereka. Ah aku jadi tidak enak sama teman-temanku, termasuk Lili dia tadi terlihat sangat panik. Aku harus tenang ya tenang. Aku harus minta maaf pada mereka karena pergi tiba-tiba tanpa pamit terlebih dahulu dan kembali bersenang-senang dengan mereka.
Setelah peristiwa hari itu, aku mencoba mengikhlaskan kepergian ibu. Selama ini, mungkin  aku belum ikhlas atas kepergian ibu. Alloh SWT memberikan semua kejadian dalam hidup umatnya bukan tanpa alasan. Selalu ada hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik bahkan dari kejadian buruk sekalipun. Sebagai hamba yang taat maka sudah sepantasnya kita bisa berlapang dada dalam menerima teguran, cobaan atau bahkan musibah yang diberikan.
Hari-hari kembali kulalui dengan normal, tetap tersenyum, muai saat ini aku bertekat untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan kuat untuk mencapai cita-cita. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUH. RIDHO S

#TugasIndividu ANALISIS NOVEL RADEN MANDASIA SI PENCURI DAGING SAPI BERDASARKAN PENDEKATAN RESEPSI SASTRA Landasan Teori Secara d...