Sabtu, 10 Juni 2017

MIFTAHUL KHAIRAH


#TugasIndividu
 
ANALISIS NOVEL DI KAKI BUKIT CIBALAK BERDASARKAN SOSIOLOGI SASTRA

Latar Belakang
Karya sastra tidak bisa terlepas dari kehidupan manusia, karena di dalam kehidupan manusia terdapat berbagai fenomena atau permasalahan yang terjadi sehingga apabila dituangkan ke dalam sebuah karya sastra akan menarik. Suatu karya sastra tidaklah cukup menarik apabila hanya diteliti dari aspek strukturnya saja tanpa kerja sama dengan disiplin ilmu lain, karena yang terkandung pada karya sastra pada dasarnya merupakan masalah masyarakat.
Adakalanya seni juga dapat mewakili kehidupan masyarakat pada saat karya sastra itu dilahirkan.
Karya sastra merupakan refleksi cipta, rasa, dan karsa manusia tentang kehidupan. Refleksi cipta artinya karya sastra merupakan hasil penciptaan yang berisis keindahan. Tanpa penciptaan, karya sastra tidak mungkin ada. Karya sastra merupakan refleksi rasa dan karsa berarti bahwa karya sastra diciptakan untuk menyatakan perasaan yang didalamnya terkandung maksud atau tujuan tertentu. Hal ini membuat karya sastra memiliki kelebihan dibandingkan dengan cabang seni lain, baik dalam bentuk maupun sarana/media yang digunakan, yaitu kata-kata atau bahasa (Suroso, 1995:14). Sastra dapat menyampaikan nilai-nilai kehidupan yang tidak dapat jauh dari budaya dengan keindahan yang disajikan dari tiap detail ceritanya melalui bahasa tulis.
Karya sastra menjadi bagian dari sosiologi masyarakat ketika menjadi objek bacaan yang memengaruhi pola hidup masyarakat. Kaitannya dengan masyarakat, sebuah novel sebagai hasil karya sastra perlu dianalisis menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Rene Wellek dan Austin Warren membagi telaah sosiologis menjadi tiga klasifikasi, yaitu: sosiologi pengarang, sosiologi karya sastra, dan sosiologi sastra yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat. Yang terpenting dalam pendekatan sosiologi sastra yakni keterkaitan langsung dengan masyarakat. Meskipun demikian, pertimbangan terpenting adalah nilai estetika yang terkandung dalam karya sastra itu sendiri. Salah satu hal menarik dari novel adalah bentuk-bentuk sosial yang terkandung dalam novel Di Kaki Cibalak karya Ahmad Tohari. Dimana bentuk-bentuk sosial yang terkandung dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak karya Ahmad Tohari ini dapat berupa mobiltas sosial, perubahan sosial, konflik sosial.







A.    Definisi Sosiologi Sastra 
        Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sos (Yunani) yang berarti bersama, bersatu, kawan, teman, dan logi (logos) berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Merujuk dari definisi tersebut, keduanya memiliki objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat. Meskipun demikian, hakikat sosiologi dan sastra sangat berbeda bahkan bertentangan secara dianetral. Sosiologi adalah ilmu objektf kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini (das sain) bukan apa yang seharusnya terjadi (das solen). Sebaliknya karya sastra bersifat evaluatif, subjektif, dan imajinatif.
         Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca. Sosiologi adalah pengetahuan atau ilmu tentang sifat, perilaku, dan perkembangan masyarakat, ilmu tentang struktur sosial, proses sosial, dan perubahannya. Sosiologi sastra adalah karya sastra para kriktikus dan sejahrawan yang terutama mengungkapkan pengarang yang di pengaruhi oleh status lapisan masyarakat tempat yang berasal, idiologi politik dan sosialnya, kondisi ekonomi serta khalayak yang ditujunya.

B.     Teori Pendekatan Sosiologi Sastra
Berikut adalah teori pendekatan sosiologi sastra menurut para ahli:
Ratna (2003:2) ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain:
  1. Pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangan aspek kemasyarakatannya.
  2. Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung didalamnya.
  3. Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatar belakanginya.
  4. Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) antara sastra dengan masyarakat.
  5. Sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdependensi antara sastra dengan masyarakat.

Wellek dan Warren (1956: 84, 1990: 111) membagi sosiologi sastra sebagai berikut :
  1. Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan institusi sastra, masalah yang berkaitan disini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status pengarang, dan idiologi pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan pengarang diluar karya sastra, karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan berasal. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang (Wellek dan Warren, 1990: 112)

  1. Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial. (Wellek dan Warren, 1990: 122) Beranggapan dengan berdasarkan pada penelitian Thomas Warton (penyusun sejarah puisi Inggris yang pertama) bahwa sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri zamannya. Bagi Warton dan para pengikutnya sastra adalah gudang adat-istiadat, buku sumber sejarah peradaban.

  1. Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat, seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Banyak orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya.

Klasifikasi Wellek dan Warren sejalan dengan klasifikasi Ian Watt (dalam Damono, 1989 : 3-4) yang meliputi hal-hal berikut:
  1. Konteks Sosial Pengarang
Ada kaitannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat, dan kaitannya dengan masyarakat, pembaca termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya, yang terutama harus diteliti yang berkaitan dengan :
a.       Bagaimana pengarang mendapat mata pencahariannya, apakah ia mendapatkan dari pengayoman masyarakat secara langsung, atau pekerjaan yang lainnya;
b.       Profesionalisme dalam kepengaragannya; dan
c.       Masyarakat apa yang dituju oleh pengarang.

  1. Sastra Sebagai Cermin Masyarakat
Maksudnya seberapa jauh sastra dapat dianggap cermin keadaan masyarakat. Pengertian “cermin” dalam hal ini masih kabur, karena itu, banyak disalah tafsirkan dan disalah gunakan. Yang harus diperhatikan dalam klasifikasi sastra sebagai cermin masyarakat adalah:
a.       Sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat ditampilkan dalam karya itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis;
b.      Sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya;
c.       Genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh mayarakat;
d.      Sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak dapat dipercaya sebagai cermin masyarakat.
e.       Sebaliknya, sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat mungkin masih dapat digunakan sebagai bahan untuk mendapatkan informasi tentang masyarakat tertentu. Dengan demikian, pandangan sosial pengarang diperhitungkan jika peneliti karya sastra sebagai cermin masyarakat.

  1. Fungsi Sosial Sastra
Maksudnya seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai-nilai sosial. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut:
a.       Sudut pandang ekstrim kaum Romantik yang menganggap sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Karena itu, sastra harus berfungsi sebagai pembaharu dan perombak;
b.      Sastra sebagai penghibur saja;
c.       Sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.
      Menurut Ratna (2003: 332) ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut:
1.      Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, dan ketiganya adalah anggota masyarakat.
2.      Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat yang pada gilirannya juga di fungsikan oleh masyarakat.
3.      Medium karya sastra baik lisan maupun tulisan dipinjam melalui kompetensi masyarakat yang dengan sendirinya telah mengandung masalah kemasyarakatan.
4.      Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetik, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentigan terhadap ketiga aspek tersebut.
5.      Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.
      Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra dapat meneliti melalui tiga perspektif. Pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti menganalisisnya sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Kedua, persepektif biologis yaitu peneliti menganalisis dari sisi pengarang. Perspektif ini akan berhubungan dengan kehidupan pengarang dan latar kehidupan sosial, budayanya. Ketiga, perspektif reseptif, yaitu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra.
Tiga Sudut Pandang Perspektif
1.      Perspektif karya sastra, artinya peneliti menganalisi karya sastra sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya.
2.      Perspektif pengarang yakni, peneliti menganalisis pengarang, persoalan-persoalan yang berhubungan dengan sejarah kehidupan pengarang dan latar belakang sosialnya yang bisa mempengaruhi pengarang dan isi karya sastranya.
3.      Perspektif pembaca, yakni penelitian menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra dan pengaruh sosial karya sastra.

C.    Sinopsis Novel Di Kaki Bukit Cibalak
                       
Novel                          : Di Kaki Bukit Cibalak
Pengarang                   : Ahmad Tohari
Penerbit                       : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit                 : 2015
Jumlah halaman           : 176 halaman

Pambudi adalah seorang pemuda berusia 24 tahun yang tinggal di desa Tanggir, yakni sebuah desa terpencil di daerah Bukit Cibalak. Ia bekerja sebagai pengelola koperasi desa setempat. Namun, selang beberapa hari setelah pelantikan lurah baru Desa Tanggir, Pambudi mengundurkan diri dari pekerjaannya. Ia merasa tidak sepaham dengan lurah baru yang bernama Pak Dirga itu. Pak Dirga memiliki akal yang licik dan kurang begitu dermawan terhadap warganya. Ia juga dikenal sebagai pria yang memiliki banyak isteri. Ia terpilih menjadi lurah karena ia dianggap lebih populer dan luwes ketimbang para pesaingnya.
Suatu ketika, di kelurahan kedatangan seorang warga bernama Mbok Ralem. Ia berniat meminjam uang di koperasi desa. Ia ingin mengobati benjolan yang menggembung di lehernya hingga membuat nafasnya tercekat. Pambudi menyarankan untuk meminta ijin Pak Dirga terlebih dahulu. Betapa kecewanya Mbok Ralem karena Pak Dirga menolak memberi pinjaman. Bahkan kepada warga miskin seperti Mbok Ralem, Pak Dirga pelit memberi bantuan. Padahal, Mbok Ralem benar-benar harus berobat. Ia janda miskin yang tidak punya apa-apa. Kemana lagi ia harus minta tolong jika pemimpinnya sendiri enggan menolongnya. Begitulah pikir Pambudi. Pambudi tahu bahwa jumlah simpanan di lumbung koperasi yang diurusnya tidak akan terkuras jika sedikit digunakan untuk pengobatan Mbok Ralem. Namun apa daya, pemimpinlah yang berkuasa memberi keputusan.
Sejak peristiwa itu, Pambudi mengundurkan diri dari pekerjaannya. Ia merasa tidak pantas bekerja di tempat yang bertentangan dengan nuraninya. Hal yang ingin dilakukannya yaitu menolong Mbok Ralem berobat. Hati nuraninya merasa iba melihat nasib Mbok Ralem. Dengan uang tabungannya, Pambudi dan Mbok Ralem berangkat ke Yogya untuk berobat. Setelah diperiksa dokter, hasil laboratorium menyatakan bahwa Mbok Ralem terkena kanker. Pambudi terkejut dan semakin kasihan kepada Mbok Ralem. Namun, ia tidak mengatakan apa-apa agar Mbok Ralem tidak memiliki beban pikiran.
Pambudi mencari cara untuk menghasilkan uang. Pengobatan kanker memerlukan biaya yang banyak. Bahkan surat kemiskinan tidak bisa meluluhkan hati dokter untuk merawat Mbok Ralem secara cuma-cuma. Pambudi pergi ke kantor penerbit Kalawarta, sebuah harian lokal di Yogya, dan bertemu pemimpinnya yang bernama Pak Barkah. Ia meminta bantuan kepada Pak Barkah untuk memasang iklan dompet sumbangan untuk pengobatan kanker Mbok Ralem. Pak Barkah mengulurkan bantuannya dan bersedia mencantumkan iklan tersebut dalam harian Kalawarta.
Setelah kemunculan iklan tersebut, banyak donatur yang mengirim wesel ke kantor harian Kalawarta. Bantuan dana berdatangan untuk membantu pengobatan kanker Mbok Ralem. Mbok Ralem mendapatkan perawatan kelas satu di rumah sakit dan bisa sembuh dari kanker yang menyerangnya. Pambudi mengajak Mbok Ralem ke kantor harian Kalawarta untuk mengucapkan terima kasih kepada Pak Barkah dan staf-stafnya. Pak Barkah juga mengucapkan terima kasih kepada Pambudi, sebab atas peran aktif Pambudi menyelamatkan sesama dan ide cemerlangnya membuat iklan di harian Kalawarta, kini kepercayaan masyarakat terhadap Kalawarta semakin meningkat dan daya minat pembaca pun meningkat. Kalawarta semakin digandrungi oleh warga lokal. Inilah bentuk kerjasama yang saling menguntungkan dan Pak Barkah sangat mengapresiasi dan kagum terhadap sosok Pambudi.
Sekembalinya ke Desa Tengger, nama Pambudi menjadi perbincangan di masyarakat. Banyak masyarakat yang kagum terhadap usaha Pambudi menolong Mbok Ralem. Di sisi lain, Pak Dirga merasa terhina oleh sikap Pambudi yang terkesan telah mencemarkan nama baiknya sebagai lurah. Pak Dirga juga mendapat teguran dari Pak Camat dan Bupati. Pak Dirga dicaci lantaran tidak bisa mengurus warganya dengan baik. Gara-gara kelakuan Pak Dirga, Pambudilah yang mendapatkan kebanggaan dan nama besar sebagai pahlawan, gelar populer yang seharusnya diterima oleh pemimpin tetapi malah diterima oleh warga biasa seperti Pambudi. Hal itulah yang menyebabkan Pak Dirga membenci Pambudi hingga ia tidak akan merasa puas jika belum membalas dendam kepada Pambudi.
Upaya balas dendam Pak Dirga kepada Pambudi telah dimulai. Pak Dirga menyebar isu bahwa Pambudi berhenti dari pekerjaannya mengurus lumbung koperasi, lantaran Pambudi telah menilap uang koperasi sebesar Rp. 120.000,- . Jumlah uang tersebut sangat besar pada masa itu. Warga desa yang dulunya kagum dan bangga kepada Pambudi, kini berbalik membencinya. Bahkan keluarga Pambudi juga dibenci dan dikucilkan warga. Isu tersebut menjadi perbincangan hangat di masyarakat hingga mengusik ketenangan orang tua Pambudi. Pambudi ingin menantang Pak Dirga untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Namun, orang tuanya mencegahnya. Orang tuanya tidak ingin Pambudi menghadapi banyak masalah. Sebab warga Tanggir sangat patuh terhadap pemimpin. Begitulah adat yang mereka lestarikan hingga sekarang. Ayah Pambudi menyarankan agar ia pergi dari Desa Tanggir. Ia menyuruh Pambudi untuk mengalah dan menghindari masalah. Melihat beban batin yang dialami orang tuanya, Pambudi hanya bisa menuruti nasihat mereka. Ia akhirnya pergi meninggalkan desanya.
Pambudi memutuskan pergi ke Yogya untuk tinggal bersama temannya bernama Topo di sebuah kos-kosan kecil. Topo adalah mahasiswa yang kuliah di Yogya. Sewaktu SMP dan SMA mereka berteman akrab. Setelah bercerita panjang lebar, Topo bisa memahami masalah yang dihadapi Pambudi. Topo menyarankan agar Pambudi melanjutkan kuliahnya di Yogya. Pambudi berpikir bahwa ide itu sangat gila. Namun, dorongan Topo yang begitu kuat membuat Pambudi yakin untuk melanjutkan kuliah. Karena ujian masuk perguruan tinggi masih lama, Pambudi bisa belajar dan mempersiapkan diri untuk mengikuti tes tertulis. Di sela-sela persiapannya, ia juga bekerja di sebuah toko arloji milik orang China. Di sana ia berkenalan dengan anak majikannya yang bernama Mulyani yang waktu itu masih duduk di bangku kelas 2 SMA. Mereka bersahabat dan sering mengisi waktu untuk bermain teka-teki bersama.
Rupanya Mulyani telah menaruh hati kepada Pambudi. Ia sangat pandai menutupi perasaannya. Hubungan mereka berjalan hanya sebatas pertemanan. Setelah bekerja di toko arloji beberapa bulan lamanya, Pambudi mengundurkan diri lantaran ia telah diterima bekerja di harian Kalawarta oleh Pak Barkah. Ia juga telah diterima sebagai mahasiswa Fakultas Teknik. Mulyani sedih karena ia akan jarang bertemu dengan Pambudi. Tapi ia hanya bisa memberi semangat dan dukungan terhadap keputusan Pambudi. Tak lama lagi ia akan meneruskan kuliah di tempat Pambudi kuliah dan mereka akan semakin sering bertemu. Begitulah pikiran Mulyani yang begitu memendam perasaannya kepada Pambudi.
Pambudi telah resmi menjadi jurnalis di harian Kalawarta. Ia membuat gebrakan baru dan menyalurkan ide-ide cemerlangnya untuk mengangkat Kalawarta menjadi harian yang lebih dikenal. Pak Barkah sangat memuji keahlian Pambudi. Tulisan-tulisan Pambudi banyak diminati masyarakat. Pambudi juga sering menulis tentang Desa Tanggir dan persoalan-persoalan yang dihadapi desa kecil itu. Tulisannya juga menguak tentang ketidakadilan pemimpin desa itu. Tak jarang tulisan Pambudi membuat garang pejabat setempat. Terutama Pak Dirga. Ia semakin tidak disenangi oleh atasannya. Akhirnya, Pak Dirga diberhentikan dari jabatannya.
Setelah sekian lama Pambudi mengasingkan diri di Yogya, ia kembali ke Desa Tanggir untuk menjenguk orang tuanya. Ia berniat untuk mengabarkan berita kelulusannya dan membuat orang tuanya bangga. Sampai di rumah, ia mendapat kabar duka bahwa ayahnya telah meninggal. Hal yang disesalinya adalah ia belum sempat mengatakan kepada ayahnya bahwa ia telah menjadi sarjana. Ia telah ikhlas dengan kepergian ayahnya, karena baginya kematian merupakan hal yang sudah sewajarnya terjadi.
Di pemakaman ayahnya, Pambudi bertemu dengan Sanis, gadis yang dulu amat sangat dicintainya. Namun sayang, diusianya yang  baru menginjak 17 tahun, ia kini telah menjadi janda dari Pak Dirga. Pambudi sudah tidak menyukai Sanis lagi. Mereka hanya saling menyapa dan bertanya kabar. ssi
Di rumah, Pambudi dikejutkan dengan kedatangan Mulyani. Mulyani mengutarakan duka citanya dan ia mengajak Pambudi pergi ke suatu tempat. Di tempat sepi, Mulyani mengutarakan perasaanya kepada Pambudi. Ia merasa malu karena sebagai seorang wanita ia tak seharusnya mengutarakan perasannya terlebih dulu. Namun, ia tidak sabar menunggu pengakuan Pambudi. Sebenarnya, Pambudi sudah mulai menyukai Mulyani sejak mereka sering bertemu. Pambudi tahu mereka berdua memiliki perbedaan. Mulyani anak orang kaya sedangkan Pambudi hanya anak orang biasa yang tinggal di desa kecil. Pambudi merasa tidak pantas untuk memiliki perasaan kepada Mulyani. Mulyani terus meyakinkan Pambudi tentang kebenaran perasaan mereka. Begitulah, hingga seterusnya mereka semakin sering bersama.

Novel Di Kaki Bukit Cibalak menceritakan kehidupan masyarakat di Desa Tanggir dengan segala permasalahannya yang cukup kompleks. Cerita ini terinspirasi dari kehidupan di Desa Tanggir yang berada di daerah kaki Bukit Cibalak. Itulah sebabnya novel ini berjudul Di Kaki Bukit Cibalak. Novel Di Kaki Bukit Cibalak memiliki unsur instrinsik sebagai berikut.
Tema
Tema novel ini adalah kehidupan sosial. Secara garis besar, dalam novel ini muncul beberapa konflik yang cukup kompleks, di antaranya adalah konflik sosial, percintaan, dan batin, yang kesemuanya cukup berpengaruh terhadap kehidupan sosial para tokohnya. 
Tokoh dan Penokohan
Dalam novel ini ditampilkan beberapa tokoh, seperti: Pambudi sebagai tokoh utama, prinsipil, cakap, baik hati, rela berkorban, tidak mudah putus asa, bijaksana, dan berumur 24 tahun; Sanis sebagai tokoh pendamping tokoh utama, anak modin di Tanggir, cantik, menawan; Pak Dirga adalah seorang Lurah, pergaulannya luas, luwes, pandai bermain bola, pandai berjudi, dan gemar berganti istri, curang, licik dan jahat; Mulyani adalah gadis keturunan Cina, berparas cantik, kulitnya putih kekuning-kuningan dia anak dari pemilik toko arloji di Yogyakarta tempat Pambudi memperjuangkan nasib Mbok Ralem dan nasibnya sendiri; Pak Barkah adalah pemimpin redaksi dan pemilik penerbitan Kalawarta, bijaksana, dan suka menolong; Mbok Ralem adalah warga miskin di desa Tanggir, nrima, sakit. Selain tokoh-tokoh tersebut, ada juga tokoh lain seperti Bu Lurah/Bu Runtah, Eyang Wira, Bambang Sembodro, Topo, Poyo, dan lain-lain yang memiliki peran yang tidak terlalu mencolok.
Latar
Latar dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak meliputi: latar tempat, yakni sekitar kaki Bukit Cibalak, halaman balai desa, kantor Pak Dirga, rumah Mbok Ralem, di depan pasar Desa Tanggir, Rumah Sakit, Yogyakarta, losmen, kantor Redaksi Kalawarta. Latar waktu meliputi pagi hari, siang hari, sore hari, malam hari. Latar suasana: kekaguman, ketegangan, ketakutan, bahagia, sedih. Latar sosial dapat dilihat dari kutipan berikut.
“...Sekarang terowongan yang berada di bawah belukar puyengan itu lenyap, berubah menjadi jalan setapak...”(DKBC: 6) 
“...Di sekitar kaki Bukit Cibalak, tenaga kerbau telah digantikan traktor-traktor tangan. Burung-burung kucica yang telah turun temurun mendaulat belukar puyengan itu terpaksa hijrah ke semak-semak kerontang yang menjadi batas antara Bukit Cibalak dan Desa Tanggir di kakinya...” DKBC: 6).
“...Tiap-tiap calon mempunyai beberapa orang botoh yang mempunyai tugas sebagai pegumpul suara...”DKBC: 14). 
Alur
Novel Di Kaki Bukit Cibalak memiliki alur maju. Alur ini digambarkan dari kejadian awal Pak Dirga menjabat sebagai Lurah desa Tanggir, mundurnya Pambudi dari kepengurusan koperasi desa, hingga akhirnya Pak Dirga mundur dari jabatannya.
Konflik Yang Terdapat Dalam Novel Dikaki Bukit Cibalak
Banyak hal dapat ditemukan di dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak, namun yang dominan muncul adalah konflik sosial yang terjadi di desa Tanggir. Konflik ini terjadi karena ketidakberesan pemerintahan lurah desa Tanggir yang biasa dipanggil dengan nama Pak Dirga. Dari awal kompetisi pemilihan lurah, dia sudah menunjukkan kecurangan yang akhirnya mengantarkannya duduk sebagai lurah desa Tanggir. Setelah menjadi lurah, dia melakukan penyelewengan dana kas lumbung koperasi desa Tanggir. Dia tidak mau menolong Mbok Ralem yang notabennya warga miskin yang membutuhkan bantuan pemerintah desa demi penyembuhan penyakitnya. Pak Dirga bersama Poyo (pengurus lumbung desa Tanggir) melakukan manipulasi pada laporan keuangan lumbung desanya.
Uang yang seharusnya dialokasikan untuk keperluan masyarakatnya justru digunakan untuk kepentingan pribadi Pak Dirga dan Poyo. Kedaan desa Tanggir semakin kacau dibawah kepemimpinan Pak Dirga yang sangat tidak amanah. hal ini, kekuasaan dimiliki oleh orang yang kuat, meskipun kekuatan itu adalah kekuatan yang penuh dengan kelicikan dan kecurangan. Selain konflik politik yang penuh kecurangan, muncul konflik batin. Konflik batin menjadi bagian yang peneliti amati karena dalam konflik ini berimbas pada tindakan yang berkaitan dengan orang lain. Dalam novel ini digambarkan suatu konflik batin yang dialami oleh Pambudi saat memilih untuk mundur dari kepengurusan lumbung koperasi karena dia tidak sepemikiran dengan pengurus lainnya dan lurah desa Tanggir. Namun, Pambudi ingin membantu masyarakat desa Tanggir yang membutuhkan bantuan. Untuk solusi hal ini, Pambudi memilih untuk membantu dengan caranya sendiri. Konflik lainnya adalah konflik percintaan. Konflik ini dimunculkan oleh tokoh Sanis. Dia berada di kondisi yang cukup rumit. Sanis yang merupakan gadis desa yang polos, yang menaruh hati pada lelaki yang berumur jauh lebih dewasa darinya mulai terlibat konflik percintaan ketika dia dipinang oleh Pak Dirga. Pak Dirga yang saat itu sudah beristri Bu Runtah masih berkeinginan menikahi Sanis. Sanis maupun ayahnya tidak dapat berbuat apa-apa untuk menolak kehendak Pak Dirga karena pada zamannya jabatan seorang lurah sangat ditakuti oleh warganya. Sehinga mau atau tidak mau, Sanis harus tetap bersedia menjadi istri muda lurah Dirga. Di sisi lain, anis masih memiliki rasa kepada Pambudi. Namun, ketika Pambudi pulang ke Tanggir, ternyata Pambudi sudah menjalin hubungan dengan Mulyani. Selain konflik-konflik tersebut, unsur sosiologis budaya dari novel ini juga sangat menarik. Banyak nuansa Banyumas yang ditampilkan dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak. Dari setting tempat, novel ini berlatarkan lokasi di daerah kaki Bukit Cibalak yang memang secara fisiknya ada di daerah Banyumas. Dari segi bahasanya juga ada beberapa bahasa atau istilah dari Banyumas yang dimunculkan oleh pengarang. Nama tokoh yang dimunculkan dalam cerita juga cukup identik dengan nama-nama pada masyarakat Banyumas di zamannya. Dalam sosiologi sastra didalamnya terkandung bentuk sosial yang ada didalamnya. Salah satu bentuk sosial itu ialah konflik dan beberapa bentuk sosial lainnya. Maka bentuk sosial (terutama bentuk konflik) dalam Novel Dikaki Bukit Cibalak ini sebagai berikut.
Kriminalitas
Kriminalitas disini khususnya berupa pencurian. Pencurian tersebut berupa pencurian kayu jati, dan benda berbentuk tabung. Hal ini bisa dilihat pada kutipan berikut :
“ Pagi-pagi mereka pergi kepasar membawa apa-apa untuk dijual disana. Biasanya mereka menjual akar kayu jati yang mereka gali dari lereng-lereng kaki bukit Cibalak. Atau daun pohon itu meskipun mereka memperolehnya dengan mencuri”. (hal. 7 )
“Pak Danu ingin memamerkan sebuah tabung yang dicurinya dari rumah Akiat, sambil berpropaganda dengan bangga...” (hal. 7 )
Krimininalitas selanjutnya ialah berupa suapan atau imbalan berbau kotor. Dimana salah satu calon kades didesa tersebut memberi uang suap kepada kakek seorang dukun agar calon kades itu bisa memenangkan pemilihan kepala desa. Dapat dilihat dalam kutipan novelnya.
Berikut kutipannya :
“ Disana ada seorang kakek sedang membaca mantra. Tentu ia telah dibayar oleh seorang calon agar “ wahyu “datang kepada seorang calon yang telah memberinya uang”. (hal. 14 ).
Kriminalitas selanjutnya ialah berupa pemfitnahan. Bentuk pemfitnahan ini ialah upaya Pak Lurah dan Sekdes nya untuk mengusir Pambudi dari desa Tanggir. Dapat dilihat dalam kutipan novelnya. Berikut kutipannya
“ Ya, Pak. Tetapi dalam buku yang kedua ada pengeluaran sebesar 125.000 atas tanggung jawab seseorang.”
“ Pambudi.” (hal. 59) 
Perselisihan
Salah satu bentuk konflik sosial ialah perselisihan, dimana peeselisihan ini terjadi antara dua tokoh yaitu Pak Dirga sebagai lurah baru dan Pambudi sebagai pengelola lumbunhg padi. Berikut kutipan yang diambil dari novel terkait adanya perselisihan antara kedua tokoh itu.
“ Nanti dulu, Pak. Jadi orang ini tidak akan diberi kesempatan untuk berobat ke Yogya?” kata Pambudi seraya bangkitbdari duduknya.
“ Lho, kenapa kenapa kau bertanya begitu? Sudah lama kau mengurus lumbung, bukan?(............................). ( hal 22-27 ).
Kemiskinan
Kemiskinan disini merupakan salah satu bentuk permasalahan sosial dalam novel Dikaki Bukit Cibalak ini. Dimana seorang tokoh bernama Mbok Ralem menderita kangker tenggorokan, yang mana ia hanya masyarakat miskin yang tak punya apa-apa. Hal ini bisa dilihat dari kutipan novel berikut.
“ Berapa luas sawah yangkau garap, Mbok?”
“ Oalah, Nak, aku tak mempunyai sawah sedikitpun.(......)
“ Pasti tidak cukup, Nak, sebab kata Pak mantri, aku harus berobat ke Yogya.” (..........). ( hal 20 ).
Kedengkian
Kedengkian ini terjadi pada diri Pak Dirga terhadap Pambudi, dan ia pun berniat untuk mendepaknya dari Desa Tanggir, dengan cara menemui seorang dukun bernama Eyang Wira. Berikut kutipan yang menyatakaan adanya kedengkian tersebut.
“ Dan sampean beruntung. Setiap untuk menyingkirkannya dari Desa Tinggir (...)”. ( hal 62 ).

D.    Analisis Novel Di Kaki Bukit Cibalak tinjauan sosiologi

Berdasarkan analisis novel Dikaki Bukit Cibalak ini khususnya menggunakan pendekatan sosiologi sastra dapat diambil kesimpulan bahwa dapat ditemukan di dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak, namun yang dominan muncul adalah konflik sosial yang terjadi di desa Tanggir. Konflik ini terjadi karena ketidakberesan pemerintahan lurah desa Tanggir yang biasa dipanggil dengan nama Pak Dirga. Dari awal kompetisi pemilihan lurah, dia sudah menunjukkan kecurangan yang akhirnya mengantarkannya duduk sebagai lurah desa Tanggir. Setelah menjadi lurah, dia melakukan penyelewengan dana kas lumbung koperasi desa Tanggir. Dia tidak mau menolong Mbok Ralem yang notabennya warga miskin yang membutuhkan bantuan pemerintah desa demi penyembuhan penyakitnya. Pak Dirga bersama Poyo (pengurus lumbung desa Tanggir) melakukan manipulasi pada laporan keuangan lumbung desanya.
Uang yang seharusnya dialokasikan untuk keperluan masyarakatnya justru digunakan untuk kepentingan pribadi Pak Dirga dan Poyo. Kedaan desa Tanggir semakin kacau dibawah kepemimpinan Pak Dirga yang sangat tidak amanah. hal ini, kekuasaan dimiliki oleh orang yang kuat, meskipun kekuatan itu adalah kekuatan yang penuh dengan kelicikan dan kecurangan. Selain konflik politik yang penuh kecurangan, muncul konflik batin. Konflik batin menjadi bagian yang peneliti amati karena dalam konflik ini berimbas pada tindakan yang berkaitan dengan orang lain. Dalam novel ini digambarkan suatu konflik batin yang dialami oleh Pambudi saat memilih untuk mundur dari kepengurusan lumbung koperasi karena dia tidak sepemikiran dengan pengurus lainnya dan lurah desa Tanggir. Namun, Pambudi ingin membantu masyarakat desa Tanggir yang membutuhkan bantuan. Untuk solusi hal ini, Pambudi memilih untuk membantu dengan caranya sendiri. Konflik lainnya adalah konflik percintaan. Konflik ini dimunculkan oleh tokoh Sanis. Dia berada di kondisi yang cukup rumit. Sanis yang merupakan gadis desa yang polos, yang menaruh hati pada lelaki yang berumur jauh lebih dewasa darinya mulai terlibat konflik percintaan ketika dia dipinang oleh Pak Dirga. Pak Dirga yang saat itu sudah beristri Bu Runtah masih berkeinginan menikahi Sanis. Sanis maupun ayahnya tidak dapat berbuat apa-apa untuk menolak kehendak Pak Dirga karena pada zamannya jabatan seorang lurah sangat ditakuti oleh warganya. Sehinga mau atau tidak mau, Sanis harus tetap bersedia menjadi istri muda lurah Dirga. Di sisi lain, anis masih memiliki rasa kepada Pambudi. Namun, ketika Pambudi pulang ke Tanggir, ternyata Pambudi sudah menjalin hubungan dengan Mulyani. Selain konflik-konflik tersebut, unsur sosiologis budaya dari novel ini juga sangat menarik. Banyak nuansa Banyumas yang ditampilkan dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak. Dari setting tempat, novel ini berlatarkan lokasi di daerah kaki Bukit Cibalak yang memang secara fisiknya ada di daerah Banyumas. Dari segi bahasanya juga ada beberapa bahasa atau istilah dari Banyumas yang dimunculkan oleh pengarang. Nama tokoh yang dimunculkan dalam cerita juga cukup identik dengan nama-nama pada masyarakat Banyumas di zamannya. Selain itu didalam novel Dikaki Bukit Cibalak terdapat bentuk-bentuk sosial, salah satu bentuk sosial tersebut ialah berupa konflik-konflik sosial yang terjadi antar tokoh tertentu dalam novel Dikaki Bukit Cibalak. Dimana bentuk sosial yang ada dalam novel Dikaki Bukit Cibalak tidak jauh berbeda dengan bentuk sosial yang terjadi di kehidupan nyata pada umumnya. Seperti kriminalitas, persaingan perebutan kursi kepemimpinan, kemiskinan, kedengkian, dan lain sebagainya.

Moral merupakan sesuatu yang ingin disampaiakan oleh pengarang kepada pembaca, yang merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya sastra dan makna yang disarankan lewat cerita (Nurgiyantoro,2003:321). Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan pragmatik. Pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Dalam hal ini tujuan tersebut dapat berupa tujuan politik, pendidikan, moral, agama, maupun tujuan yang lain. Dalam praktiknya pendekatan ini cenderung nenilai karya sastra menurut keberhasilannya dalam mencapai tujuan tertentu bagi pembacanya (Pradopo, 1994). Karena karya satra tidak lepas dari sebuah pelajaran dan permasalahan kehidupan. Sehingga sering sekali karya sastra disebut dengan realitas yang difiksikan dengan mengambil berbagai nilai atau pelajaran yang ada.

Novel Di Kaki Bukit Cibalak ini menggambarkan bagaimana sang pengarang yaitu Ahmad Tohari mengangkat permasalahan kepemimpinan dalam suatu masyarakat desa kecil bernama Tanggir, tahun 1970-an dimana masyarakat hanya manut dan seolah- olah takut pada kekuasaan pemimpin yang dapat berbuat sesuka hati dan bukan sebagai pelindung masyarakat desa. Pada novel ini digambarkan masih adanya seorang pemuda yang mempunyai hati nurani dan mempertahankan kejujran di tengah-tengah pengaruh orang-orang yang sangat licik dan berkuasa. Melalui perjuangannya melalui persuratkabaran dan di dukung oleh orang-orang yang percaya padanya akhirnya Pambudi berhasil membeberkan fakta-fakta kelicikan Pak Dirga seorang lurah desa Tanggir. Di sinilah peran Pambudi untuk menyelamatkan masyarakat Tanggir dari kelicikan seseorang yang ingin berkuasa.
Nilai moral yang terdapat pada novel ini adalah bagaimana seseorang pemimpin hendaknya menjadi benar-benar seorang pemimpin yang mengayomi dan melindungi rakyat demi kepentingan bersama, bukan mencari keuntungan dengan cara licik memanfaatkan kepemimpinannya demi kepentingan pribadi.
Nilai kebermanfaatan dapat kita pelajari sikap dan sifat Pambudi yang berpendirian kuat, mengutamakan kejujuran ,dan bertanggung jawab, juga sayang pada keluarga serta menyelamatkan desanya dari orang-orang licik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUH. RIDHO S

#TugasIndividu ANALISIS NOVEL RADEN MANDASIA SI PENCURI DAGING SAPI BERDASARKAN PENDEKATAN RESEPSI SASTRA Landasan Teori Secara d...