#TugasIndividu
ANALISIS
NOVEL DI KAKI BUKIT CIBALAK BERDASARKAN SOSIOLOGI SASTRA
Latar
Belakang
Karya sastra tidak bisa terlepas dari
kehidupan manusia, karena di dalam kehidupan manusia terdapat berbagai fenomena
atau permasalahan yang terjadi sehingga apabila dituangkan ke dalam sebuah
karya sastra akan menarik. Suatu karya sastra tidaklah cukup menarik apabila
hanya diteliti dari aspek strukturnya saja tanpa kerja sama dengan disiplin
ilmu lain, karena yang terkandung pada karya sastra pada dasarnya merupakan
masalah masyarakat.
Adakalanya seni juga dapat mewakili kehidupan masyarakat
pada saat karya sastra itu dilahirkan.
Karya sastra merupakan refleksi cipta, rasa,
dan karsa manusia tentang kehidupan. Refleksi cipta artinya karya sastra
merupakan hasil penciptaan yang berisis keindahan. Tanpa penciptaan, karya
sastra tidak mungkin ada. Karya sastra merupakan refleksi rasa dan karsa
berarti bahwa karya sastra diciptakan untuk menyatakan perasaan yang didalamnya
terkandung maksud atau tujuan tertentu. Hal ini membuat karya sastra memiliki
kelebihan dibandingkan dengan cabang seni lain, baik dalam bentuk maupun
sarana/media yang digunakan, yaitu kata-kata atau bahasa (Suroso, 1995:14).
Sastra dapat menyampaikan nilai-nilai kehidupan yang tidak dapat jauh dari
budaya dengan keindahan yang disajikan dari tiap detail ceritanya melalui
bahasa tulis.
Karya sastra menjadi bagian dari sosiologi
masyarakat ketika menjadi objek bacaan yang memengaruhi pola hidup masyarakat.
Kaitannya dengan masyarakat, sebuah novel sebagai hasil karya sastra perlu
dianalisis menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Rene Wellek dan Austin
Warren membagi telaah sosiologis menjadi tiga klasifikasi, yaitu: sosiologi
pengarang, sosiologi karya sastra, dan sosiologi sastra yang mempermasalahkan
tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat. Yang terpenting
dalam pendekatan sosiologi sastra yakni keterkaitan langsung dengan masyarakat.
Meskipun demikian, pertimbangan terpenting adalah nilai estetika yang
terkandung dalam karya sastra itu sendiri. Salah satu hal menarik dari novel adalah bentuk-bentuk
sosial yang terkandung dalam novel Di Kaki Cibalak karya Ahmad Tohari. Dimana
bentuk-bentuk sosial yang terkandung dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak karya
Ahmad Tohari ini dapat berupa mobiltas sosial, perubahan sosial, konflik
sosial.
A.
Definisi Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra.
Sosiologi berasal dari kata sos (Yunani) yang berarti bersama, bersatu,
kawan, teman, dan logi (logos) berarti sabda, perkataan, perumpamaan.
Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan,
mengajarkan, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti
alat, sarana. Merujuk dari definisi tersebut, keduanya memiliki objek yang sama
yaitu manusia dan masyarakat. Meskipun demikian, hakikat sosiologi dan sastra
sangat berbeda bahkan bertentangan secara dianetral. Sosiologi adalah ilmu
objektf kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini (das sain)
bukan apa yang seharusnya terjadi (das solen). Sebaliknya karya sastra bersifat
evaluatif, subjektif, dan imajinatif.
Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada
semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan
pembaca. Sosiologi adalah pengetahuan atau ilmu tentang sifat, perilaku,
dan perkembangan masyarakat, ilmu tentang struktur sosial, proses sosial, dan
perubahannya. Sosiologi sastra adalah karya sastra para kriktikus dan
sejahrawan yang terutama mengungkapkan pengarang yang di pengaruhi oleh status
lapisan masyarakat tempat yang berasal, idiologi politik dan sosialnya, kondisi
ekonomi serta khalayak yang ditujunya.
B.
Teori Pendekatan Sosiologi Sastra
Berikut adalah teori pendekatan sosiologi
sastra menurut para ahli:
Ratna (2003:2) ada sejumlah definisi mengenai
sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas
hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain:
- Pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangan aspek kemasyarakatannya.
- Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung didalamnya.
- Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatar belakanginya.
- Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) antara sastra dengan masyarakat.
- Sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdependensi antara sastra dengan masyarakat.
Wellek dan Warren (1956: 84, 1990: 111)
membagi sosiologi sastra sebagai berikut :
- Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan institusi sastra, masalah yang berkaitan disini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status pengarang, dan idiologi pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan pengarang diluar karya sastra, karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan berasal. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang (Wellek dan Warren, 1990: 112)
- Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial. (Wellek dan Warren, 1990: 122) Beranggapan dengan berdasarkan pada penelitian Thomas Warton (penyusun sejarah puisi Inggris yang pertama) bahwa sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri zamannya. Bagi Warton dan para pengikutnya sastra adalah gudang adat-istiadat, buku sumber sejarah peradaban.
- Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat, seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Banyak orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya.
Klasifikasi Wellek dan Warren sejalan dengan
klasifikasi Ian Watt (dalam Damono, 1989 : 3-4) yang meliputi hal-hal berikut:
- Konteks Sosial Pengarang
Ada kaitannya dengan posisi sosial sastrawan
dalam masyarakat, dan kaitannya dengan masyarakat, pembaca termasuk juga
faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya, yang terutama
harus diteliti yang berkaitan dengan :
a. Bagaimana pengarang mendapat mata
pencahariannya, apakah ia mendapatkan dari pengayoman masyarakat secara
langsung, atau pekerjaan yang lainnya;
b. Profesionalisme dalam kepengaragannya;
dan
c. Masyarakat apa yang dituju oleh pengarang.
- Sastra Sebagai Cermin Masyarakat
Maksudnya seberapa jauh sastra dapat dianggap
cermin keadaan masyarakat. Pengertian “cermin” dalam hal ini masih kabur,
karena itu, banyak disalah tafsirkan dan disalah gunakan. Yang harus
diperhatikan dalam klasifikasi sastra sebagai cermin masyarakat adalah:
a. Sastra mungkin tidak dapat dikatakan
mencerminkan masyarakat pada waktu ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat
ditampilkan dalam karya itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis;
b. Sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang
sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya;
c. Genre sastra sering merupakan sikap sosial
suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh mayarakat;
d. Sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan
masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak dapat dipercaya sebagai cermin
masyarakat.
e. Sebaliknya, sastra yang sama sekali tidak
dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat mungkin masih dapat digunakan
sebagai bahan untuk mendapatkan informasi tentang masyarakat tertentu. Dengan
demikian, pandangan sosial pengarang diperhitungkan jika peneliti karya sastra
sebagai cermin masyarakat.
- Fungsi Sosial Sastra
Maksudnya seberapa jauh nilai sastra berkaitan
dengan nilai-nilai sosial. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang harus
diperhatikan, yaitu sebagai berikut:
a. Sudut pandang ekstrim kaum Romantik yang
menganggap sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Karena itu,
sastra harus berfungsi sebagai pembaharu dan perombak;
b. Sastra sebagai penghibur saja;
c. Sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara
menghibur.
Menurut Ratna (2003: 332) ada beberapa hal
yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan
masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan
masyarakat, sebagai berikut:
1. Karya sastra ditulis oleh pengarang,
diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, dan ketiganya adalah
anggota masyarakat.
2. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap
aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat yang pada gilirannya juga
di fungsikan oleh masyarakat.
3. Medium karya sastra baik lisan maupun tulisan
dipinjam melalui kompetensi masyarakat yang dengan sendirinya telah mengandung
masalah kemasyarakatan.
4. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama,
adat-istiadat dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetik,
etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentigan terhadap
ketiga aspek tersebut.
5. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah
hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu
karya.
Berdasarkan
uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra dapat meneliti melalui
tiga perspektif. Pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti
menganalisisnya sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan
sebaliknya. Kedua, persepektif biologis yaitu peneliti menganalisis dari
sisi pengarang. Perspektif ini akan berhubungan dengan kehidupan pengarang dan
latar kehidupan sosial, budayanya. Ketiga, perspektif reseptif, yaitu
peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra.
Tiga Sudut Pandang Perspektif
1. Perspektif karya sastra, artinya peneliti
menganalisi karya sastra sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan
sebaliknya.
2. Perspektif pengarang yakni, peneliti
menganalisis pengarang, persoalan-persoalan yang berhubungan dengan sejarah
kehidupan pengarang dan latar belakang sosialnya yang bisa mempengaruhi
pengarang dan isi karya sastranya.
3. Perspektif pembaca, yakni penelitian
menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra dan pengaruh sosial karya
sastra.
C.
Sinopsis Novel Di Kaki Bukit Cibalak
Novel :
Di Kaki Bukit Cibalak
Pengarang :
Ahmad Tohari
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit :
2015
Jumlah halaman : 176
halaman
Pambudi adalah seorang pemuda berusia 24 tahun yang tinggal di desa
Tanggir, yakni sebuah desa terpencil di daerah Bukit Cibalak. Ia bekerja
sebagai pengelola koperasi desa setempat. Namun, selang beberapa hari setelah
pelantikan lurah baru Desa Tanggir, Pambudi mengundurkan diri dari
pekerjaannya. Ia merasa tidak sepaham dengan lurah baru yang bernama Pak Dirga
itu. Pak Dirga memiliki akal yang licik dan kurang begitu dermawan terhadap
warganya. Ia juga dikenal sebagai pria yang memiliki banyak isteri. Ia terpilih
menjadi lurah karena ia dianggap lebih populer dan luwes ketimbang para
pesaingnya.
Suatu ketika, di kelurahan kedatangan seorang warga bernama Mbok
Ralem. Ia berniat meminjam uang di koperasi desa. Ia ingin mengobati benjolan
yang menggembung di lehernya hingga membuat nafasnya tercekat. Pambudi
menyarankan untuk meminta ijin Pak Dirga terlebih dahulu. Betapa kecewanya Mbok
Ralem karena Pak Dirga menolak memberi pinjaman. Bahkan kepada warga miskin
seperti Mbok Ralem, Pak Dirga pelit memberi bantuan. Padahal, Mbok Ralem
benar-benar harus berobat. Ia janda miskin yang tidak punya apa-apa. Kemana
lagi ia harus minta tolong jika pemimpinnya sendiri enggan menolongnya.
Begitulah pikir Pambudi. Pambudi tahu bahwa jumlah simpanan di lumbung koperasi
yang diurusnya tidak akan terkuras jika sedikit digunakan untuk pengobatan Mbok
Ralem. Namun apa daya, pemimpinlah yang berkuasa memberi keputusan.
Sejak peristiwa itu, Pambudi mengundurkan diri dari pekerjaannya. Ia
merasa tidak pantas bekerja di tempat yang bertentangan dengan nuraninya. Hal
yang ingin dilakukannya yaitu menolong Mbok Ralem berobat. Hati nuraninya
merasa iba melihat nasib Mbok Ralem. Dengan uang tabungannya, Pambudi dan Mbok
Ralem berangkat ke Yogya untuk berobat. Setelah diperiksa dokter, hasil
laboratorium menyatakan bahwa Mbok Ralem terkena kanker. Pambudi terkejut dan
semakin kasihan kepada Mbok Ralem. Namun, ia tidak mengatakan apa-apa agar Mbok
Ralem tidak memiliki beban pikiran.
Pambudi mencari cara untuk menghasilkan uang. Pengobatan kanker
memerlukan biaya yang banyak. Bahkan surat kemiskinan tidak bisa meluluhkan
hati dokter untuk merawat Mbok Ralem secara cuma-cuma. Pambudi pergi ke kantor
penerbit Kalawarta, sebuah harian lokal di Yogya, dan bertemu pemimpinnya yang
bernama Pak Barkah. Ia meminta bantuan kepada Pak Barkah untuk memasang iklan
dompet sumbangan untuk pengobatan kanker Mbok Ralem. Pak Barkah mengulurkan
bantuannya dan bersedia mencantumkan iklan tersebut dalam harian Kalawarta.
Setelah kemunculan iklan tersebut, banyak donatur yang mengirim wesel
ke kantor harian Kalawarta. Bantuan dana berdatangan untuk membantu pengobatan
kanker Mbok Ralem. Mbok Ralem mendapatkan perawatan kelas satu di rumah sakit
dan bisa sembuh dari kanker yang menyerangnya. Pambudi mengajak Mbok Ralem ke
kantor harian Kalawarta untuk mengucapkan terima kasih kepada Pak Barkah dan
staf-stafnya. Pak Barkah juga mengucapkan terima kasih kepada Pambudi, sebab
atas peran aktif Pambudi menyelamatkan sesama dan ide cemerlangnya membuat
iklan di harian Kalawarta, kini kepercayaan masyarakat terhadap Kalawarta
semakin meningkat dan daya minat pembaca pun meningkat. Kalawarta semakin
digandrungi oleh warga lokal. Inilah bentuk kerjasama yang saling menguntungkan
dan Pak Barkah sangat mengapresiasi dan kagum terhadap sosok Pambudi.
Sekembalinya ke Desa Tengger, nama Pambudi menjadi perbincangan di
masyarakat. Banyak masyarakat yang kagum terhadap usaha Pambudi menolong Mbok
Ralem. Di sisi lain, Pak Dirga merasa terhina oleh sikap Pambudi yang terkesan
telah mencemarkan nama baiknya sebagai lurah. Pak Dirga juga mendapat teguran
dari Pak Camat dan Bupati. Pak Dirga dicaci lantaran tidak bisa mengurus
warganya dengan baik. Gara-gara kelakuan Pak Dirga, Pambudilah yang mendapatkan
kebanggaan dan nama besar sebagai pahlawan, gelar populer yang seharusnya
diterima oleh pemimpin tetapi malah diterima oleh warga biasa seperti Pambudi.
Hal itulah yang menyebabkan Pak Dirga membenci Pambudi hingga ia tidak akan
merasa puas jika belum membalas dendam kepada Pambudi.
Upaya balas dendam Pak Dirga kepada Pambudi telah dimulai. Pak Dirga
menyebar isu bahwa Pambudi berhenti dari pekerjaannya mengurus lumbung
koperasi, lantaran Pambudi telah menilap uang koperasi sebesar Rp. 120.000,- .
Jumlah uang tersebut sangat besar pada masa itu. Warga desa yang dulunya kagum
dan bangga kepada Pambudi, kini berbalik membencinya. Bahkan keluarga Pambudi
juga dibenci dan dikucilkan warga. Isu tersebut menjadi perbincangan hangat di
masyarakat hingga mengusik ketenangan orang tua Pambudi. Pambudi ingin
menantang Pak Dirga untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Namun, orang
tuanya mencegahnya. Orang tuanya tidak ingin Pambudi menghadapi banyak masalah.
Sebab warga Tanggir sangat patuh terhadap pemimpin. Begitulah adat yang mereka
lestarikan hingga sekarang. Ayah Pambudi menyarankan agar ia pergi dari Desa
Tanggir. Ia menyuruh Pambudi untuk mengalah dan menghindari masalah. Melihat
beban batin yang dialami orang tuanya, Pambudi hanya bisa menuruti nasihat
mereka. Ia akhirnya pergi meninggalkan desanya.
Pambudi memutuskan pergi ke Yogya untuk tinggal bersama temannya
bernama Topo di sebuah kos-kosan kecil. Topo adalah mahasiswa yang kuliah di
Yogya. Sewaktu SMP dan SMA mereka berteman akrab. Setelah bercerita panjang
lebar, Topo bisa memahami masalah yang dihadapi Pambudi. Topo menyarankan agar
Pambudi melanjutkan kuliahnya di Yogya. Pambudi berpikir bahwa ide itu sangat
gila. Namun, dorongan Topo yang begitu kuat membuat Pambudi yakin untuk
melanjutkan kuliah. Karena ujian masuk perguruan tinggi masih lama, Pambudi
bisa belajar dan mempersiapkan diri untuk mengikuti tes tertulis. Di sela-sela
persiapannya, ia juga bekerja di sebuah toko arloji milik orang China. Di sana
ia berkenalan dengan anak majikannya yang bernama Mulyani yang waktu itu masih
duduk di bangku kelas 2 SMA. Mereka bersahabat dan sering mengisi waktu untuk
bermain teka-teki bersama.
Rupanya Mulyani telah menaruh hati kepada Pambudi. Ia sangat pandai
menutupi perasaannya. Hubungan mereka berjalan hanya sebatas pertemanan.
Setelah bekerja di toko arloji beberapa bulan lamanya, Pambudi mengundurkan
diri lantaran ia telah diterima bekerja di harian Kalawarta oleh Pak Barkah. Ia
juga telah diterima sebagai mahasiswa Fakultas Teknik. Mulyani sedih karena ia
akan jarang bertemu dengan Pambudi. Tapi ia hanya bisa memberi semangat dan
dukungan terhadap keputusan Pambudi. Tak lama lagi ia akan meneruskan kuliah di
tempat Pambudi kuliah dan mereka akan semakin sering bertemu. Begitulah pikiran
Mulyani yang begitu memendam perasaannya kepada Pambudi.
Pambudi telah resmi menjadi jurnalis di harian Kalawarta. Ia membuat
gebrakan baru dan menyalurkan ide-ide cemerlangnya untuk mengangkat Kalawarta
menjadi harian yang lebih dikenal. Pak Barkah sangat memuji keahlian Pambudi.
Tulisan-tulisan Pambudi banyak diminati masyarakat. Pambudi juga sering menulis
tentang Desa Tanggir dan persoalan-persoalan yang dihadapi desa kecil itu.
Tulisannya juga menguak tentang ketidakadilan pemimpin desa itu. Tak jarang
tulisan Pambudi membuat garang pejabat setempat. Terutama Pak Dirga. Ia semakin
tidak disenangi oleh atasannya. Akhirnya, Pak Dirga diberhentikan dari
jabatannya.
Setelah sekian lama Pambudi mengasingkan diri di Yogya, ia kembali ke
Desa Tanggir untuk menjenguk orang tuanya. Ia berniat untuk mengabarkan berita
kelulusannya dan membuat orang tuanya bangga. Sampai di rumah, ia mendapat
kabar duka bahwa ayahnya telah meninggal. Hal yang disesalinya adalah ia belum
sempat mengatakan kepada ayahnya bahwa ia telah menjadi sarjana. Ia telah
ikhlas dengan kepergian ayahnya, karena baginya kematian merupakan hal yang
sudah sewajarnya terjadi.
Di pemakaman ayahnya, Pambudi bertemu dengan Sanis, gadis yang dulu
amat sangat dicintainya. Namun sayang, diusianya yang baru menginjak 17 tahun, ia kini telah
menjadi janda dari Pak Dirga. Pambudi sudah tidak menyukai Sanis lagi. Mereka
hanya saling menyapa dan bertanya kabar. ssi
Di rumah, Pambudi dikejutkan dengan kedatangan Mulyani. Mulyani
mengutarakan duka citanya dan ia mengajak Pambudi pergi ke suatu tempat. Di
tempat sepi, Mulyani mengutarakan perasaanya kepada Pambudi. Ia merasa malu
karena sebagai seorang wanita ia tak seharusnya mengutarakan perasannya
terlebih dulu. Namun, ia tidak sabar menunggu pengakuan Pambudi. Sebenarnya,
Pambudi sudah mulai menyukai Mulyani sejak mereka sering bertemu. Pambudi tahu
mereka berdua memiliki perbedaan. Mulyani anak orang kaya sedangkan Pambudi
hanya anak orang biasa yang tinggal di desa kecil. Pambudi merasa tidak pantas
untuk memiliki perasaan kepada Mulyani. Mulyani terus meyakinkan Pambudi
tentang kebenaran perasaan mereka. Begitulah, hingga seterusnya mereka semakin
sering bersama.
Novel Di Kaki Bukit Cibalak menceritakan
kehidupan masyarakat di Desa Tanggir dengan segala permasalahannya yang cukup
kompleks. Cerita ini terinspirasi dari kehidupan di Desa Tanggir yang berada di
daerah kaki Bukit Cibalak. Itulah sebabnya novel ini berjudul Di Kaki Bukit
Cibalak. Novel Di Kaki Bukit Cibalak memiliki unsur instrinsik sebagai berikut.
Tema
Tema novel ini adalah kehidupan sosial. Secara
garis besar, dalam novel ini muncul beberapa konflik yang cukup kompleks, di
antaranya adalah konflik sosial, percintaan, dan batin, yang kesemuanya cukup
berpengaruh terhadap kehidupan sosial para tokohnya.
Tokoh
dan Penokohan
Dalam novel ini ditampilkan beberapa tokoh,
seperti: Pambudi sebagai tokoh utama, prinsipil, cakap, baik hati, rela
berkorban, tidak mudah putus asa, bijaksana, dan berumur 24 tahun; Sanis
sebagai tokoh pendamping tokoh utama, anak modin di Tanggir, cantik, menawan;
Pak Dirga adalah seorang Lurah, pergaulannya luas, luwes, pandai bermain bola,
pandai berjudi, dan gemar berganti istri, curang, licik dan jahat; Mulyani
adalah gadis keturunan Cina, berparas cantik, kulitnya putih kekuning-kuningan
dia anak dari pemilik toko arloji di Yogyakarta tempat Pambudi memperjuangkan
nasib Mbok Ralem dan nasibnya sendiri; Pak Barkah adalah pemimpin redaksi dan
pemilik penerbitan Kalawarta, bijaksana, dan suka menolong; Mbok Ralem adalah
warga miskin di desa Tanggir, nrima, sakit. Selain tokoh-tokoh tersebut, ada
juga tokoh lain seperti Bu Lurah/Bu Runtah, Eyang Wira, Bambang Sembodro, Topo,
Poyo, dan lain-lain yang memiliki peran yang tidak terlalu mencolok.
Latar
Latar dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak
meliputi: latar tempat, yakni sekitar kaki Bukit Cibalak, halaman balai desa,
kantor Pak Dirga, rumah Mbok Ralem, di depan pasar Desa Tanggir, Rumah Sakit,
Yogyakarta, losmen, kantor Redaksi Kalawarta. Latar waktu meliputi pagi hari,
siang hari, sore hari, malam hari. Latar suasana: kekaguman, ketegangan,
ketakutan, bahagia, sedih. Latar sosial dapat dilihat dari kutipan berikut.
“...Sekarang terowongan yang berada di bawah
belukar puyengan itu lenyap, berubah menjadi jalan setapak...”(DKBC: 6)
“...Di sekitar kaki Bukit Cibalak, tenaga
kerbau telah digantikan traktor-traktor tangan. Burung-burung kucica yang telah
turun temurun mendaulat belukar puyengan itu terpaksa hijrah ke semak-semak
kerontang yang menjadi batas antara Bukit Cibalak dan Desa Tanggir di
kakinya...” DKBC: 6).
“...Tiap-tiap calon mempunyai beberapa orang
botoh yang mempunyai tugas sebagai pegumpul suara...”DKBC: 14).
Alur
Novel Di Kaki Bukit Cibalak memiliki alur
maju. Alur ini digambarkan dari kejadian awal Pak Dirga menjabat sebagai Lurah
desa Tanggir, mundurnya Pambudi dari kepengurusan koperasi desa, hingga
akhirnya Pak Dirga mundur dari jabatannya.
Konflik
Yang Terdapat Dalam Novel Dikaki Bukit Cibalak
Banyak hal dapat ditemukan di dalam novel Di
Kaki Bukit Cibalak, namun yang dominan muncul adalah konflik sosial yang
terjadi di desa Tanggir. Konflik ini terjadi karena ketidakberesan pemerintahan
lurah desa Tanggir yang biasa dipanggil dengan nama Pak Dirga. Dari awal
kompetisi pemilihan lurah, dia sudah menunjukkan kecurangan yang akhirnya
mengantarkannya duduk sebagai lurah desa Tanggir. Setelah menjadi lurah, dia
melakukan penyelewengan dana kas lumbung koperasi desa Tanggir. Dia tidak mau
menolong Mbok Ralem yang notabennya warga miskin yang membutuhkan bantuan pemerintah
desa demi penyembuhan penyakitnya. Pak Dirga bersama Poyo (pengurus lumbung
desa Tanggir) melakukan manipulasi pada laporan keuangan lumbung desanya.
Uang yang seharusnya dialokasikan untuk
keperluan masyarakatnya justru digunakan untuk kepentingan pribadi Pak Dirga
dan Poyo. Kedaan desa Tanggir semakin kacau dibawah kepemimpinan Pak Dirga yang
sangat tidak amanah. hal ini, kekuasaan dimiliki oleh orang yang kuat, meskipun
kekuatan itu adalah kekuatan yang penuh dengan kelicikan dan kecurangan. Selain
konflik politik yang penuh kecurangan, muncul konflik batin. Konflik batin
menjadi bagian yang peneliti amati karena dalam konflik ini berimbas pada
tindakan yang berkaitan dengan orang lain. Dalam novel ini digambarkan suatu
konflik batin yang dialami oleh Pambudi saat memilih untuk mundur dari
kepengurusan lumbung koperasi karena dia tidak sepemikiran dengan pengurus
lainnya dan lurah desa Tanggir. Namun, Pambudi ingin membantu masyarakat desa
Tanggir yang membutuhkan bantuan. Untuk solusi hal ini, Pambudi memilih untuk
membantu dengan caranya sendiri. Konflik lainnya adalah konflik percintaan.
Konflik ini dimunculkan oleh tokoh Sanis. Dia berada di kondisi yang cukup
rumit. Sanis yang merupakan gadis desa yang polos, yang menaruh hati pada
lelaki yang berumur jauh lebih dewasa darinya mulai terlibat konflik percintaan
ketika dia dipinang oleh Pak Dirga. Pak Dirga yang saat itu sudah beristri Bu
Runtah masih berkeinginan menikahi Sanis. Sanis maupun ayahnya tidak dapat
berbuat apa-apa untuk menolak kehendak Pak Dirga karena pada zamannya jabatan
seorang lurah sangat ditakuti oleh warganya. Sehinga mau atau tidak mau, Sanis
harus tetap bersedia menjadi istri muda lurah Dirga. Di sisi lain, anis masih
memiliki rasa kepada Pambudi. Namun, ketika Pambudi pulang ke Tanggir, ternyata
Pambudi sudah menjalin hubungan dengan Mulyani. Selain konflik-konflik
tersebut, unsur sosiologis budaya dari novel ini juga sangat menarik. Banyak
nuansa Banyumas yang ditampilkan dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak. Dari
setting tempat, novel ini berlatarkan lokasi di daerah kaki Bukit Cibalak yang
memang secara fisiknya ada di daerah Banyumas. Dari segi bahasanya juga ada
beberapa bahasa atau istilah dari Banyumas yang dimunculkan oleh pengarang.
Nama tokoh yang dimunculkan dalam cerita juga cukup identik dengan nama-nama
pada masyarakat Banyumas di zamannya. Dalam
sosiologi sastra didalamnya terkandung bentuk sosial yang ada didalamnya. Salah
satu bentuk sosial itu ialah konflik dan beberapa bentuk sosial lainnya. Maka
bentuk sosial (terutama bentuk konflik) dalam Novel Dikaki Bukit Cibalak ini
sebagai berikut.
Kriminalitas
Kriminalitas disini khususnya berupa
pencurian. Pencurian tersebut berupa pencurian kayu jati, dan benda berbentuk
tabung. Hal ini bisa dilihat pada kutipan berikut :
“ Pagi-pagi mereka pergi kepasar membawa
apa-apa untuk dijual disana. Biasanya mereka menjual akar kayu jati yang mereka
gali dari lereng-lereng kaki bukit Cibalak. Atau daun pohon itu meskipun mereka
memperolehnya dengan mencuri”. (hal. 7 )
“Pak Danu ingin memamerkan sebuah tabung yang
dicurinya dari rumah Akiat, sambil berpropaganda dengan bangga...” (hal. 7 )
Krimininalitas selanjutnya ialah berupa suapan
atau imbalan berbau kotor. Dimana salah satu calon kades didesa tersebut
memberi uang suap kepada kakek seorang dukun agar calon kades itu bisa
memenangkan pemilihan kepala desa. Dapat dilihat dalam kutipan novelnya.
Berikut kutipannya :
“ Disana ada seorang kakek sedang membaca
mantra. Tentu ia telah dibayar oleh seorang calon agar “ wahyu “datang kepada
seorang calon yang telah memberinya uang”. (hal. 14 ).
Kriminalitas selanjutnya ialah berupa
pemfitnahan. Bentuk pemfitnahan ini ialah upaya Pak Lurah dan Sekdes nya untuk
mengusir Pambudi dari desa Tanggir. Dapat dilihat dalam kutipan novelnya.
Berikut kutipannya
“ Ya, Pak. Tetapi dalam buku yang kedua ada
pengeluaran sebesar 125.000 atas tanggung jawab seseorang.”
“ Pambudi.” (hal. 59)
Perselisihan
Salah satu bentuk konflik sosial ialah
perselisihan, dimana peeselisihan ini terjadi antara dua tokoh yaitu Pak Dirga
sebagai lurah baru dan Pambudi sebagai pengelola lumbunhg padi. Berikut kutipan
yang diambil dari novel terkait adanya perselisihan antara kedua tokoh itu.
“ Nanti dulu, Pak. Jadi orang ini tidak akan
diberi kesempatan untuk berobat ke Yogya?” kata Pambudi seraya bangkitbdari
duduknya.
“ Lho, kenapa kenapa kau bertanya begitu?
Sudah lama kau mengurus lumbung, bukan?(............................). ( hal
22-27 ).
Kemiskinan
Kemiskinan disini merupakan salah satu bentuk
permasalahan sosial dalam novel Dikaki Bukit Cibalak ini. Dimana seorang tokoh
bernama Mbok Ralem menderita kangker tenggorokan, yang mana ia hanya masyarakat
miskin yang tak punya apa-apa. Hal ini bisa dilihat dari kutipan novel berikut.
“ Berapa luas sawah yangkau garap, Mbok?”
“ Oalah, Nak, aku tak mempunyai sawah
sedikitpun.(......)
“ Pasti tidak cukup, Nak, sebab kata Pak
mantri, aku harus berobat ke Yogya.” (..........). ( hal 20 ).
Kedengkian
Kedengkian ini terjadi pada diri Pak Dirga
terhadap Pambudi, dan ia pun berniat untuk mendepaknya dari Desa Tanggir,
dengan cara menemui seorang dukun bernama Eyang Wira. Berikut kutipan yang
menyatakaan adanya kedengkian tersebut.
“ Dan sampean beruntung. Setiap untuk
menyingkirkannya dari Desa Tinggir (...)”. ( hal 62 ).
D.
Analisis Novel Di Kaki Bukit Cibalak tinjauan
sosiologi
Berdasarkan analisis novel Dikaki Bukit
Cibalak ini khususnya menggunakan pendekatan sosiologi sastra dapat diambil
kesimpulan bahwa dapat ditemukan di dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak, namun
yang dominan muncul adalah konflik sosial yang terjadi di desa Tanggir. Konflik
ini terjadi karena ketidakberesan pemerintahan lurah desa Tanggir yang biasa
dipanggil dengan nama Pak Dirga. Dari awal kompetisi pemilihan lurah, dia sudah
menunjukkan kecurangan yang akhirnya mengantarkannya duduk sebagai lurah desa
Tanggir. Setelah menjadi lurah, dia melakukan penyelewengan dana kas lumbung
koperasi desa Tanggir. Dia tidak mau menolong Mbok Ralem yang notabennya warga
miskin yang membutuhkan bantuan pemerintah desa demi penyembuhan penyakitnya.
Pak Dirga bersama Poyo (pengurus lumbung desa Tanggir) melakukan manipulasi
pada laporan keuangan lumbung desanya.
Uang yang seharusnya dialokasikan untuk
keperluan masyarakatnya justru digunakan untuk kepentingan pribadi Pak Dirga
dan Poyo. Kedaan desa Tanggir semakin kacau dibawah kepemimpinan Pak Dirga yang
sangat tidak amanah. hal ini, kekuasaan dimiliki oleh orang yang kuat, meskipun
kekuatan itu adalah kekuatan yang penuh dengan kelicikan dan kecurangan. Selain
konflik politik yang penuh kecurangan, muncul konflik batin. Konflik batin
menjadi bagian yang peneliti amati karena dalam konflik ini berimbas pada tindakan
yang berkaitan dengan orang lain. Dalam novel ini digambarkan suatu konflik
batin yang dialami oleh Pambudi saat memilih untuk mundur dari kepengurusan
lumbung koperasi karena dia tidak sepemikiran dengan pengurus lainnya dan lurah
desa Tanggir. Namun, Pambudi ingin membantu masyarakat desa Tanggir yang
membutuhkan bantuan. Untuk solusi hal ini, Pambudi memilih untuk membantu
dengan caranya sendiri. Konflik lainnya adalah konflik percintaan. Konflik ini
dimunculkan oleh tokoh Sanis. Dia berada di kondisi yang cukup rumit. Sanis
yang merupakan gadis desa yang polos, yang menaruh hati pada lelaki yang
berumur jauh lebih dewasa darinya mulai terlibat konflik percintaan ketika dia
dipinang oleh Pak Dirga. Pak Dirga yang saat itu sudah beristri Bu Runtah masih
berkeinginan menikahi Sanis. Sanis maupun ayahnya tidak dapat berbuat apa-apa
untuk menolak kehendak Pak Dirga karena pada zamannya jabatan seorang lurah
sangat ditakuti oleh warganya. Sehinga mau atau tidak mau, Sanis harus tetap
bersedia menjadi istri muda lurah Dirga. Di sisi lain, anis masih memiliki rasa
kepada Pambudi. Namun, ketika Pambudi pulang ke Tanggir, ternyata Pambudi sudah
menjalin hubungan dengan Mulyani. Selain konflik-konflik tersebut, unsur
sosiologis budaya dari novel ini juga sangat menarik. Banyak nuansa Banyumas
yang ditampilkan dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak. Dari setting tempat, novel
ini berlatarkan lokasi di daerah kaki Bukit Cibalak yang memang secara fisiknya
ada di daerah Banyumas. Dari segi bahasanya juga ada beberapa bahasa atau
istilah dari Banyumas yang dimunculkan oleh pengarang. Nama tokoh yang
dimunculkan dalam cerita juga cukup identik dengan nama-nama pada masyarakat
Banyumas di zamannya. Selain itu didalam novel Dikaki Bukit Cibalak terdapat
bentuk-bentuk sosial, salah satu bentuk sosial tersebut ialah berupa
konflik-konflik sosial yang terjadi antar tokoh tertentu dalam novel Dikaki
Bukit Cibalak. Dimana bentuk sosial yang ada dalam novel Dikaki Bukit Cibalak
tidak jauh berbeda dengan bentuk sosial yang terjadi di kehidupan nyata pada
umumnya. Seperti kriminalitas, persaingan perebutan kursi kepemimpinan,
kemiskinan, kedengkian, dan lain sebagainya.
Moral
merupakan sesuatu yang ingin disampaiakan oleh pengarang kepada pembaca, yang
merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya sastra dan makna yang
disarankan lewat cerita (Nurgiyantoro,2003:321). Pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan pragmatik. Pendekatan yang memandang karya sastra sebagai
sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Dalam hal ini tujuan
tersebut dapat berupa tujuan politik, pendidikan, moral, agama, maupun tujuan
yang lain. Dalam praktiknya pendekatan ini cenderung nenilai karya sastra
menurut keberhasilannya dalam mencapai tujuan tertentu bagi pembacanya
(Pradopo, 1994). Karena karya satra tidak lepas dari sebuah pelajaran dan
permasalahan kehidupan. Sehingga sering sekali karya sastra disebut dengan
realitas yang difiksikan dengan mengambil berbagai nilai atau pelajaran yang
ada.
Novel
Di Kaki Bukit Cibalak ini menggambarkan bagaimana sang pengarang yaitu Ahmad
Tohari mengangkat permasalahan kepemimpinan dalam suatu masyarakat desa kecil
bernama Tanggir, tahun 1970-an dimana masyarakat hanya manut dan seolah- olah
takut pada kekuasaan pemimpin yang dapat berbuat sesuka hati dan bukan sebagai
pelindung masyarakat desa. Pada novel ini digambarkan masih adanya seorang
pemuda yang mempunyai hati nurani dan mempertahankan kejujran di tengah-tengah
pengaruh orang-orang yang sangat licik dan berkuasa. Melalui perjuangannya
melalui persuratkabaran dan di dukung oleh orang-orang yang percaya padanya
akhirnya Pambudi berhasil membeberkan fakta-fakta kelicikan Pak Dirga seorang
lurah desa Tanggir. Di sinilah peran Pambudi untuk menyelamatkan masyarakat
Tanggir dari kelicikan seseorang yang ingin berkuasa.
Nilai
moral yang terdapat pada novel ini adalah bagaimana seseorang pemimpin
hendaknya menjadi benar-benar seorang pemimpin yang mengayomi dan melindungi
rakyat demi kepentingan bersama, bukan mencari keuntungan dengan cara licik
memanfaatkan kepemimpinannya demi kepentingan pribadi.
Nilai
kebermanfaatan dapat kita pelajari sikap dan sifat Pambudi yang berpendirian
kuat, mengutamakan kejujuran ,dan bertanggung jawab, juga sayang pada keluarga
serta menyelamatkan desanya dari orang-orang licik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar