#cerpen
Kesibukan Berujung Penyesalan
Sakit.
Setelah kepergiannya yang tidak kami bayangkan secepat itu. Tepatnya, sepuluh
hari setelah hari ulang tahun anak perempuannya yang terakhir dan tepat lima
belas hari setelah aku, ibu dan ayahku datang dari pulau seribu pura itu hingga
ke ibukota negaraku. Saat itu, ibuku memang sudah izin dari tempat mengajarnya
untuk pulang ke kampung halaman, tempat kakekku terbaring
lemah. Aku yang masih
duduk diawal seragam putih abu-abuku pun masih melanjutkan pelajaran di sekolah
tempat ibuku mengajar juga. Aku masih kuat dan berharap kakekku di kampung
halaman pun semakin pulih dari smeua penyakitnya, melihat sepupuku yang masih
ada di koridor sekolah menandakan bahwa dia pun masih belum ke kampung saat itu
juga. Aku dan sepupuku memang di sekolahkan di sekolah yang sama hanya saja aku
masih baru saja mengenakan seragam putih abu-abu itu yang banyak orang menantikan
seragam itu sedangkan sepupuku sebentar lagi lulus dan berganti seragam menjadi
hitam putih.
Jumat.
Ahh jumat lagi. Bukan aku membenci dan tidak menyukai hari jumat hanya saja
namaku terketik jelas dalam poster jadwal piket yang berarti aku harus
membersihkan kelas pada hari ini. Sangat menyebalkan. Sungguh. Aku memang tidak
mempunyai saudara perempuan tapi aku masih kaku jika memegang sapu. Aku
beruntung karena punya teman yang jadwal piketnya sama denganku dan dia sangat
rajin, jangankan memegang sapu, mengepel lantai pun dia lihai. Dia bukan
perempuan yang rata-rata sudah ditakdirkan untuk pandai dalam hal ini tapi, dia
laki-laki. Ahh, sebenarnya aku iri melihatnya, dia sangat pandai sedangkan aku?
Aku sama sekali tidak bisa. Aku menunggunya yang datang lebih lambat beberapa
menit setelah kedatanganku. Aku melihatnya mulai masuk ke dalam pekarangan
sekolah, membelah lapangan yang begitu luasnya. Oh iya, kelasku memang sangat
jauh dari gerbang sekolah tapi aku tetap menyukainya karena sangat dekat dengan
kantin. Aku sudah tak sabar memberinya sapu yang sudah berada dalam
genggamanku. Kubirkan ia masuk ke dalam kelas, menyimpan ransel hitam khasnya
ke tempat duduknya. ‘selamat pagi, selamat hari jumat, ini sapu’ kataku sambil
menyerahkan benda pembersih itu. ‘oh iya, tapi kamu udah nyapu?’ balasnya
sambil kedua bola matanya yang hitam itu melihat sekeliling kelas penanda bahwa
kelas ini masih saja kotor padahal sebentar lagi pelajaran dimulai. ‘sudah,
sudah, tadi saya membuang sampah ke bak sampah yang disana, yang lain juga
sudah membantu, ayolah cepat kalau tidak, namamu saya laporkan’ kataku dengan
mengancam. ‘ah iya iya’ jawabnya dengan nada ketakutan. Jika sudah ada dia,
butuh hanya 10 menit kelas menjadi bersih, sangat bersih kekurangannya yaa
karena dia kadang datang lebih lambat dari saya. Kelas pun bersih, pelajaran
dimulai.
Jam
pertama dimulai dengan mata pelajaran Bahasa Inggris. Bahasa inggris? Bahasa
yang pelafalannya sangat jauh dengan tulisannya itu membuat saya tidak terlalu
bersemangat. Aku tidak terlalu menyukainya, hanya saja karena itu Bahasa Internasional
yang dipelajari oleh seluruh siswa dan seluruh Negara mengharuskan aku duduk
mendengarkan penjelasan hingga jam pelajarannya berakhir dan alasan yang paling
wajib karena termasuk salah satu mata pelajaran Ujian Nasional. Ponsel biruku
yang berada dalam saku seragam coklatku pun bergetar dengan cepat tanganku
mencari dan mengambilnya, menggenggam dan melihat alasan mengapa ponselku
bergetar. Oh tidak, panggilan dari ibu. Bagaimana ini? Peraturan dalam sekolah
saja tidak membenarkan siswa membawa ponsel apalagi ponselku berkamera yang
jelas itu dilarang dalam sekolah. Membawa ponsel pun dilarang bagaiaman dengan
menjawab telponnya? Pikiranku yang saat itu menjadi buntu segera mencair bak es
yang dikeluarkan dari kulkas. Aku meminta izin ke toilet, jalan satu-satunya.
Akhirnya, guru pun mengizinkanku, karena hanya kantin yang jaraknya super dekat
dari kelasku maka toilet pun juga sangat jauh, sama saja kalau kita ingin ke
gerbang sekolah. Tak sabar, maka kuberhentikan getarannya. Aku mengangkat panggilan
ibuku sambil berjalan mendekati toilet, aku siswi yang taat peraturan saat itu
dengan cerdik menyimpan ponselku dibalik jilbab coklatku.
‘halo?
Assalamualaikum,bu?’ dengan nada khasku.
‘wa alaikum salam,
sebentar, setelah pulang sekolah kamu ke kampung ya? Kakakmu biar di rumah saja
bersama adikmu untuk jaga rumah. Kamu dan sepupumu ke kampung setelah shalat
jumat’ kata ibu dengan suara khasnya yang membuatku sangat hapal.
‘kenapa hari ini? Kan
bisa hari minggu ke kampung?’ pertanyaan anak seusiaku yang selalu menginginkan
pulang ke kampung halaman disaat hari minggu.
‘hari ini, kakekmu
meninggal. Sebentar sore sudah dikebumikan. Ingat pesan ibu. Sudah dulu yaa ibu
sibuk. Assalamulaikum’ suara sedih pun sudah menghampiri ibu.
‘iya, wa alaikum
salam’ jawabku dengan perasaan yang tidak dapat dilukiskan.
Sepatu
hitam dengan sedikit warna biru sudah menginjak lantai toilet siswa. Apa yang
harus saya lakukan? Aku tidak membutuhkan toilet, ini hanya alasan supaya aku
bisa berbicara dengan ibu. Tapi? Kabar buruk dari ibu itu membuatku bingung.
Kemana aku? Tetap kembali ke dalam kelas mengikuti pelajaran sampai akhir? tapi
pikiranku? Aku tidak bisa menahannya untuk memikirkan keadaan di kampung. Aku
harus bagaimana?. Tetap mengalirkan air dari kran yang ada diatas westafel,
membasuh tangan yang sebenarnya sudah bersih hingga salah satu kakak kelas
mematikan laju air kran itu ‘hei, berhemat dengan air’ serunya tepat di
belakangku. ‘oh iya kak, maaf’ kataku sambil meninggalkan westafel dengan cepat
sama dengan kakekku yang meninggalkanku dengan cepat. Jarak. Soal jarak antara
toilet siswa dengan kelasku yang melewati perpustakaan, lima ruangan kelas dan
ruangan BP. Kakiku memaksa otakku belok ke kiri hingga tepatlah aku berdiri di
depan ruangan BP. Ketika masuk, terdapatlah beberapa anak yang sepertinya itu
kakak kelas yang sering bolos sekolah sedang diwawancarai. Apakah aku masuk
ruangan ini karena alasan yang sama? Ahh tidak, tidak mungkin aku bolos
sekolah, kalau pun aku bolos sekolah, orang pertama yang memarahiku bukan guru
BPku tapi guru Kimiaku sendiri yang merangkai menjadi ibuku. Melepas sepatuku
menandakan bahwa niatku masuk ke dalam ruangan itu sudah bulat.
‘assalamualaikum’
nada terkesan ketakutan.
‘wa alaikum salam,
nak. Sini masuk. Ada yang perlu ibu bantu,ya?’ jawabnya dengan logat jawa yang
masih terselipkan.
‘hummm…. Begini bu.
Saya memang bawa ponsel ke sekolah tapi memang hanya buat jaga-jaga kalau ada
informasi yang mendadak dari rumah dan dari kampung. Tapi, saya kesini hanya
ingin minta izin untuk tidak melanjutkan pelajaran hari ini,bu’ tegasku dengan
kejujuran yang setinggi-tingginya.
‘loh kenapa toh
,ndok? Ini kan hari jumat. Jam pelajaran hari ini juga hanya sampai jam 12.
Tidak begitu lama.’ Sekali lagi jawabnya dengan logat jawa yang sebenarnya
belum bisa hilang.
‘tapiiii bu, saya
ingin izin ke kampung. Huummm tadi ada telepon dari ibu di kampung bahwa
kakekku meninggal. Aku izin hari ini,bu. Sepupuku yang di kelas tiga ipa satu
itu juga izinkan ibu. Dia juga harus ke kampung hari ini bersama sepupuku yang
lain.’ Pintaku yang sangat memelas hingga mataku sedikit lagi berair.
‘innalillahi wa
innailaihi rojiun, seperti itu? Baiklah,nak. Ibu membantumu’ jawabnya dengan
penuh keyakinan ingin membantuku.
‘terima kasih banyak
ibu’ sedikit kuhembuskan napasku.
Guru
BPku dengan logat khas jawa itu pun bergegas keluar ruangan dan berpesan bahwa
aku tidak boleh keluar dari ruangan ini. Ah menyebalkan. Ruangan ini hanya
dipenuhi oleh siswa-siswa yang bermasalah saja. Kurang lebih semua yang
bermasalah dan populer karena masalahnya. Tidak ada yang bisa dibanggakan. Isak
tangis itu semakin lama semakin dekat dengan ruangan tempat aku duduk saat ini.
Seorang guru BP dan seorang siswi
berjalan mendekatiku, aku bisa melihatnya dari jendela ruangan ini. Itu tasku
yang dibawa oleh guru BP yang sedang merangkul sepupuku. Sepupuku menangis?
Berarti dia sudah tahu hal ini?. Akhirnya, sebutir air jatuh mebelah pipiku
hingga membasahi jilbab coklatku. Aku melihat mata sepupuku yang sedang
menangis terdapat banyak pertanyaan yang tak mampu ia ungkapkan. Aku, sepupuku
dan guru BPku berjalan membelah lapangan bukan ke gerbang sekolah tapi ke
parkiran motor. Sepupuku mengendarai motor setiap hari jika ingin ke sekolah
sedangkan saya yang setiap hari ke sekolah bersama ibuku tapi beda hari ini,
ibuku ke kampung yang mengharuskanku menaiki angkutan umum. Guru BPku
menitipkan salam kepada ibuku dan keluargaku. Aku hanya mengiyakannya.
Jarak.
Harus kuakui jarak memang masih menjadi persoalan. Jarak dari sekolah ke
rumahku sangat jauh. Sekolahku masih berada di wilayah Kota sedangkan rumahku
ada di kabupaten. Motor matic melaju dengan penuh keyakinan. Hingga tibalah
saya bersama sepupuku di depan rumah yang tidak besar dan tidak pula kecil.
Cukuplah menampun kami berlima. Aku memberitahukan kakakku via pesan singkat
bahwa aku ke rumah hanya mengganti pakaian dan mengambil beberapa baju kaosku
dan menyuruhnya kalau adik tetap berada disini, tidak perlu ke kampung. Setelah
itu, kami kembali ke kota. Menuju rumah sepupuku yang letaknya juga jauh dari
rumahku. Pukul 11.47, aku melihat jam yang melingkar di tanganku. Sebentar lagi
waktu shalat jumat, perutku sudah meronta ingin disegerakan diberi makanan.
Sampai di halaman rumahnya yang cukup bersih, aku merengek ingin makan siang
dulu sebelum pulang ke kampung. Awalnya, sepupuku menolaknya karena itu bisa
memakan waktu yang cukup luamayan mengingat kampungku yang super jauh. Tapi,
usahaku untuk meyakinkan tidak sampai disitu, kujelaskan bahwa hari ini hari jumat, kata orangtua zaman dulu, sebaiknya
kita melanjutkan aktivitas setelah shalat selesai dilakukan, untuk mengisi
waktu beberapa menit sebelumnya kita bisa pakai untuk sekadar mengisi perut
ini. Setelah pasrah dengan keinginanku, dia masuk ke kamarnya dan menyuruhku ke
dapur untuk membuat makanan dengan dua porsi, bukan untukku semua tapi yang
satunya untuknya yang ternyata lapar juga. Sambil kami makan, kami juga
menunggu sepupu-sepupu yang lain yang juga ingin ikut bersama kami, beberapa
ada yang menunggu dipertengahan jalan dan selebihnya kami tunggu di rumah ini.
Setelah
shalat jumat, mobil merah yang ingin kami tumpangi sudah ada di depan rumah.
Paman kami yang mengendarainya sendiri. Kami berempat sudah berada dalam mobil
yang baru saja keluar dari dealer resmi itu. Mobil merah itu sepertinya
keberatan membawa kami yang jumlahnya sampai sepuluh kepala. Menuju ke kampung
halaman yang menggunakan lima jam hingga tepat sampai di halaman rumah nenek.
Tepat pukul 18.40, kami tiba di desa yang sangat sejuk itu. Airmata ada
dimana-mana. Tapi sayang, setengah jam yang lalu kakek kami sudah dikebumikan.
Kami pun semakin sedih karena tak sempat melihat prosesinya.
Disekolahkan
di salah satu sekolah Unggulan yang ada di Kotaku membuat waktu dan jarak
menjadi persoalan. menangis merupakan andalan terampuh yang selalu saya pakai
jika ingin bertemu dengannya, dengan menangis rasa iba dari Ayahku yang juga
waktunya terlalu berlebihan diambil oleh kerjaan akhirnya keluar juga. Maklum,
menjadi salah satu anak perempuan dalam keluarga menjadi kebanggan tersendiri,
kebanggan pertama yang harus semuanya tahu dalam keluarga, lingkungan,
sekalipun bangsa dan Negara. Memakai seragam dengan warna yang terbalik dengan bendera
negaraku tak lantas aku melupakan waktu bermain dan liburan. Liburan dan mudik.
Keduanya merupakan kata yang paling saya suka. Bagaimana tidak? Dengan kata
itu, saya bisa bertemu dengan orang yang aku juga kasihi di luar Kota.
Dipikiranku jelas bahwa jika kesana yaa paling hanya tidur, makan, bermain dan juga pastinya akan diladeni bak Princes dalam
buku dongeng kesukaanku.
Makhluk
hidup yang paling sering aku datangi jika sedang berada di luar kota ialah
Pohon. Pohon mangga, coklat dan pisang yang ada di pekarangan rumah nenek pun
menjadi sasaran empuk dalam petualanganku. Pohon mangga yang batangnya sudah
melebihi diriku pun sangat menggoda untuk didatangi, tujuannya yaa seperti
tujuan orang-orang. Apalagi kalau tidak mengambil buahnya. Tapi, kedatanganku
kali ini tidak bertujuan untuk itu semuanya yang terlintas hanya untuk naik
keatas dan melihat pemandangan yang sejuk dan damai ini. Rasa kekhawatiran pun
melonjak tajam layaknya harga sembako yang melonjak tajam jika menjelang bulan
puasa. Tapi, rasa keberanianku dirangkaikan dengan rasa keingintahuanku sangat
tinggi meski kadang rasa takut muncul tiba-tiba, hanya takut ke semut merah
yang berjalan rapih menaiki dan menuruni pohon, selebihnya tetap normal.
Teriakan khas yang mungkin bersumber dari bagian kiri rumah pun terdengar jelas
sontak membuat sandal jepit biruku sedikit bergeser dari perkiraanku. Panggilan
makan siang, panggilan yang membuat mataku sedikit lebih membesar dari
biasanya. Saya harus turun dari sini, walau sebenarnya saya sudah sangat nyaman
dan betah. Hanya saja panggilan itu. Bagaimana cara turunnya? Tiba-tiba otakku
bertanya. Otak yang kadang berjalan lambat kalau sedang itung-itungan apalagi
kalau sudah ngantuk luar biasa tapi kadang juga berlari kalau pikiran tentang
panggilan makan misalnya. Hehe. Maklum saja badanku sudah seperti ini.
Dengan
rasa yang sedang campur aduk dibarengi dengan rasa lapar dan mata yang sudah
menatap tajam ke bawah beberapa langkah di samping kotoran sapi dan lumpur
akhirnya keberanianku harus kutuntaskan. Tuu waa gaa… Happ akhirnya, diriku
terjun bebas beberapa detik, seperti para atlet yang sedang mengikuti olimpiade
lompat jauh atau pun lompat galah atau entah apa namanya itu. Sandal jepit biru
bertemu juga dengan bumi. Menyenangkan. Berlari kecil menuruni jalanan yang
ditempuh kurang lebih delapan atau tujuh langkah saja kemudian dihadapkan dengan
tangga coklat kuning yang tersenyum lebar nampak tidak sabar untuk diinjak oleh
kaki kecilku ini. Rumah kayu berwarna coklat kuning ini sedikit bergoyang saat
saya mulai memasuki ruangan demi ruangan. Kali ini tujuanku bukan ke kamar
tidur untuk menyelesaikan rasa kantukku tapi ke tempat para piring-piring dan
kawan-kawannya berada. Panggilan itu yang membuat langkahku berhenti tepat di
depan meja yang sudah lelah menungguku. Makan siang pun dilaksanakan. Biasanya
tradisi makan siang dalam rumah ini sedikit kurang saya sukai dibandingkan
dengan makan malam. Durasi makan siang biasanya lebih cepat selesai dan juga
kadang anggota keluarga masih kurang lengkap karena mungkin mereka makan siang
di tempat kerjanya beda dibandingkan durasi makan malam yang sangat panjang,
anggota keluarga ngumpul semuanya, nonton tivi pun berkelahi jika ingin
mengambil remot dan juga keluh kesah anggota keluarga yang seharian
beraktivitas akan dikeluarkan saat itu.
Sisihkan
waktumu sedikit untuk sekadar bertegur sapa dengan orang-orang terkasihmu yang
sudah tua dan jauh disana. Jangan tunggu mereka berkabar buruk lantas kita
mengunjunginya. Mereka sangat bahagia dapat dikunjungi, tidak mengharapkan buah
tangan yang bagus dan mewah hanya waktu beberapa hari saja yang mereka butuhkan.
Terkadang kesibukkan yang sangat padat sepadat kota Jakarta hanya menjadi
alasan yang sangat mereka benci. Mereka tahu kesibukkan dan alasan kalian yang
tidak bisa mengambil sedikit cuti karena tugas yang takut bertumpuk yang kadang
tetap bertumpuk meski kalian tetap bekerja tapi, apakah kalian tahu rasanya
mereka jauh dari kalian? Pernah berpikir seperti itu? Jika pernah maka rasa
sayangmu pada orang yang kamu sayangi di luar kota sudah kuberi dua jempolku.
Jika belum, berpikirlah sejenak. Kesibukan tetap berjalan tapi hentikanlah
sedikit saja untuk mengunjungi mereka.
Semoga
semuanya tetap baik-baik saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar