Sabtu, 10 Juni 2017

MIFTAHUL KHAERAH


#cerpen

Kesibukan Berujung Penyesalan

Sakit. Setelah kepergiannya yang tidak kami bayangkan secepat itu. Tepatnya, sepuluh hari setelah hari ulang tahun anak perempuannya yang terakhir dan tepat lima belas hari setelah aku, ibu dan ayahku datang dari pulau seribu pura itu hingga ke ibukota negaraku. Saat itu, ibuku memang sudah izin dari tempat mengajarnya untuk pulang ke kampung halaman, tempat kakekku terbaring
lemah. Aku yang masih duduk diawal seragam putih abu-abuku pun masih melanjutkan pelajaran di sekolah tempat ibuku mengajar juga. Aku masih kuat dan berharap kakekku di kampung halaman pun semakin pulih dari smeua penyakitnya, melihat sepupuku yang masih ada di koridor sekolah menandakan bahwa dia pun masih belum ke kampung saat itu juga. Aku dan sepupuku memang di sekolahkan di sekolah yang sama hanya saja aku masih baru saja mengenakan seragam putih abu-abu itu yang banyak orang menantikan seragam itu sedangkan sepupuku sebentar lagi lulus dan berganti seragam menjadi hitam putih.
Jumat. Ahh jumat lagi. Bukan aku membenci dan tidak menyukai hari jumat hanya saja namaku terketik jelas dalam poster jadwal piket yang berarti aku harus membersihkan kelas pada hari ini. Sangat menyebalkan. Sungguh. Aku memang tidak mempunyai saudara perempuan tapi aku masih kaku jika memegang sapu. Aku beruntung karena punya teman yang jadwal piketnya sama denganku dan dia sangat rajin, jangankan memegang sapu, mengepel lantai pun dia lihai. Dia bukan perempuan yang rata-rata sudah ditakdirkan untuk pandai dalam hal ini tapi, dia laki-laki. Ahh, sebenarnya aku iri melihatnya, dia sangat pandai sedangkan aku? Aku sama sekali tidak bisa. Aku menunggunya yang datang lebih lambat beberapa menit setelah kedatanganku. Aku melihatnya mulai masuk ke dalam pekarangan sekolah, membelah lapangan yang begitu luasnya. Oh iya, kelasku memang sangat jauh dari gerbang sekolah tapi aku tetap menyukainya karena sangat dekat dengan kantin. Aku sudah tak sabar memberinya sapu yang sudah berada dalam genggamanku. Kubirkan ia masuk ke dalam kelas, menyimpan ransel hitam khasnya ke tempat duduknya. ‘selamat pagi, selamat hari jumat, ini sapu’ kataku sambil menyerahkan benda pembersih itu. ‘oh iya, tapi kamu udah nyapu?’ balasnya sambil kedua bola matanya yang hitam itu melihat sekeliling kelas penanda bahwa kelas ini masih saja kotor padahal sebentar lagi pelajaran dimulai. ‘sudah, sudah, tadi saya membuang sampah ke bak sampah yang disana, yang lain juga sudah membantu, ayolah cepat kalau tidak, namamu saya laporkan’ kataku dengan mengancam. ‘ah iya iya’ jawabnya dengan nada ketakutan. Jika sudah ada dia, butuh hanya 10 menit kelas menjadi bersih, sangat bersih kekurangannya yaa karena dia kadang datang lebih lambat dari saya. Kelas pun bersih, pelajaran dimulai.
Jam pertama dimulai dengan mata pelajaran Bahasa Inggris. Bahasa inggris? Bahasa yang pelafalannya sangat jauh dengan tulisannya itu membuat saya tidak terlalu bersemangat. Aku tidak terlalu menyukainya, hanya saja karena itu Bahasa Internasional yang dipelajari oleh seluruh siswa dan seluruh Negara mengharuskan aku duduk mendengarkan penjelasan hingga jam pelajarannya berakhir dan alasan yang paling wajib karena termasuk salah satu mata pelajaran Ujian Nasional. Ponsel biruku yang berada dalam saku seragam coklatku pun bergetar dengan cepat tanganku mencari dan mengambilnya, menggenggam dan melihat alasan mengapa ponselku bergetar. Oh tidak, panggilan dari ibu. Bagaimana ini? Peraturan dalam sekolah saja tidak membenarkan siswa membawa ponsel apalagi ponselku berkamera yang jelas itu dilarang dalam sekolah. Membawa ponsel pun dilarang bagaiaman dengan menjawab telponnya? Pikiranku yang saat itu menjadi buntu segera mencair bak es yang dikeluarkan dari kulkas. Aku meminta izin ke toilet, jalan satu-satunya. Akhirnya, guru pun mengizinkanku, karena hanya kantin yang jaraknya super dekat dari kelasku maka toilet pun juga sangat jauh, sama saja kalau kita ingin ke gerbang sekolah. Tak sabar, maka kuberhentikan getarannya. Aku mengangkat panggilan ibuku sambil berjalan mendekati toilet, aku siswi yang taat peraturan saat itu dengan cerdik menyimpan ponselku dibalik jilbab coklatku.
‘halo? Assalamualaikum,bu?’ dengan nada khasku.
‘wa alaikum salam, sebentar, setelah pulang sekolah kamu ke kampung ya? Kakakmu biar di rumah saja bersama adikmu untuk jaga rumah. Kamu dan sepupumu ke kampung setelah shalat jumat’ kata ibu dengan suara khasnya yang membuatku sangat hapal.
‘kenapa hari ini? Kan bisa hari minggu ke kampung?’ pertanyaan anak seusiaku yang selalu menginginkan pulang ke kampung halaman disaat hari minggu.
‘hari ini, kakekmu meninggal. Sebentar sore sudah dikebumikan. Ingat pesan ibu. Sudah dulu yaa ibu sibuk. Assalamulaikum’ suara sedih pun sudah menghampiri ibu.
‘iya, wa alaikum salam’ jawabku dengan perasaan yang tidak dapat dilukiskan.
Sepatu hitam dengan sedikit warna biru sudah menginjak lantai toilet siswa. Apa yang harus saya lakukan? Aku tidak membutuhkan toilet, ini hanya alasan supaya aku bisa berbicara dengan ibu. Tapi? Kabar buruk dari ibu itu membuatku bingung. Kemana aku? Tetap kembali ke dalam kelas mengikuti pelajaran sampai akhir? tapi pikiranku? Aku tidak bisa menahannya untuk memikirkan keadaan di kampung. Aku harus bagaimana?. Tetap mengalirkan air dari kran yang ada diatas westafel, membasuh tangan yang sebenarnya sudah bersih hingga salah satu kakak kelas mematikan laju air kran itu ‘hei, berhemat dengan air’ serunya tepat di belakangku. ‘oh iya kak, maaf’ kataku sambil meninggalkan westafel dengan cepat sama dengan kakekku yang meninggalkanku dengan cepat. Jarak. Soal jarak antara toilet siswa dengan kelasku yang melewati perpustakaan, lima ruangan kelas dan ruangan BP. Kakiku memaksa otakku belok ke kiri hingga tepatlah aku berdiri di depan ruangan BP. Ketika masuk, terdapatlah beberapa anak yang sepertinya itu kakak kelas yang sering bolos sekolah sedang diwawancarai. Apakah aku masuk ruangan ini karena alasan yang sama? Ahh tidak, tidak mungkin aku bolos sekolah, kalau pun aku bolos sekolah, orang pertama yang memarahiku bukan guru BPku tapi guru Kimiaku sendiri yang merangkai menjadi ibuku. Melepas sepatuku menandakan bahwa niatku masuk ke dalam ruangan itu sudah bulat.
‘assalamualaikum’ nada terkesan ketakutan.
‘wa alaikum salam, nak. Sini masuk. Ada yang perlu ibu bantu,ya?’ jawabnya dengan logat jawa yang masih terselipkan.
‘hummm…. Begini bu. Saya memang bawa ponsel ke sekolah tapi memang hanya buat jaga-jaga kalau ada informasi yang mendadak dari rumah dan dari kampung. Tapi, saya kesini hanya ingin minta izin untuk tidak melanjutkan pelajaran hari ini,bu’ tegasku dengan kejujuran yang setinggi-tingginya.
‘loh kenapa toh ,ndok? Ini kan hari jumat. Jam pelajaran hari ini juga hanya sampai jam 12. Tidak begitu lama.’ Sekali lagi jawabnya dengan logat jawa yang sebenarnya belum bisa hilang.
‘tapiiii bu, saya ingin izin ke kampung. Huummm tadi ada telepon dari ibu di kampung bahwa kakekku meninggal. Aku izin hari ini,bu. Sepupuku yang di kelas tiga ipa satu itu juga izinkan ibu. Dia juga harus ke kampung hari ini bersama sepupuku yang lain.’ Pintaku yang sangat memelas hingga mataku sedikit lagi berair.
‘innalillahi wa innailaihi rojiun, seperti itu? Baiklah,nak. Ibu membantumu’ jawabnya dengan penuh keyakinan ingin membantuku.
‘terima kasih banyak ibu’ sedikit kuhembuskan napasku.
Guru BPku dengan logat khas jawa itu pun bergegas keluar ruangan dan berpesan bahwa aku tidak boleh keluar dari ruangan ini. Ah menyebalkan. Ruangan ini hanya dipenuhi oleh siswa-siswa yang bermasalah saja. Kurang lebih semua yang bermasalah dan populer karena masalahnya. Tidak ada yang bisa dibanggakan. Isak tangis itu semakin lama semakin dekat dengan ruangan tempat aku duduk saat ini.  Seorang guru BP dan seorang siswi berjalan mendekatiku, aku bisa melihatnya dari jendela ruangan ini. Itu tasku yang dibawa oleh guru BP yang sedang merangkul sepupuku. Sepupuku menangis? Berarti dia sudah tahu hal ini?. Akhirnya, sebutir air jatuh mebelah pipiku hingga membasahi jilbab coklatku. Aku melihat mata sepupuku yang sedang menangis terdapat banyak pertanyaan yang tak mampu ia ungkapkan. Aku, sepupuku dan guru BPku berjalan membelah lapangan bukan ke gerbang sekolah tapi ke parkiran motor. Sepupuku mengendarai motor setiap hari jika ingin ke sekolah sedangkan saya yang setiap hari ke sekolah bersama ibuku tapi beda hari ini, ibuku ke kampung yang mengharuskanku menaiki angkutan umum. Guru BPku menitipkan salam kepada ibuku dan keluargaku. Aku hanya mengiyakannya.
Jarak. Harus kuakui jarak memang masih menjadi persoalan. Jarak dari sekolah ke rumahku sangat jauh. Sekolahku masih berada di wilayah Kota sedangkan rumahku ada di kabupaten. Motor matic melaju dengan penuh keyakinan. Hingga tibalah saya bersama sepupuku di depan rumah yang tidak besar dan tidak pula kecil. Cukuplah menampun kami berlima. Aku memberitahukan kakakku via pesan singkat bahwa aku ke rumah hanya mengganti pakaian dan mengambil beberapa baju kaosku dan menyuruhnya kalau adik tetap berada disini, tidak perlu ke kampung. Setelah itu, kami kembali ke kota. Menuju rumah sepupuku yang letaknya juga jauh dari rumahku. Pukul 11.47, aku melihat jam yang melingkar di tanganku. Sebentar lagi waktu shalat jumat, perutku sudah meronta ingin disegerakan diberi makanan. Sampai di halaman rumahnya yang cukup bersih, aku merengek ingin makan siang dulu sebelum pulang ke kampung. Awalnya, sepupuku menolaknya karena itu bisa memakan waktu yang cukup luamayan mengingat kampungku yang super jauh. Tapi, usahaku untuk meyakinkan tidak sampai disitu, kujelaskan bahwa hari ini  hari jumat, kata orangtua zaman dulu, sebaiknya kita melanjutkan aktivitas setelah shalat selesai dilakukan, untuk mengisi waktu beberapa menit sebelumnya kita bisa pakai untuk sekadar mengisi perut ini. Setelah pasrah dengan keinginanku, dia masuk ke kamarnya dan menyuruhku ke dapur untuk membuat makanan dengan dua porsi, bukan untukku semua tapi yang satunya untuknya yang ternyata lapar juga. Sambil kami makan, kami juga menunggu sepupu-sepupu yang lain yang juga ingin ikut bersama kami, beberapa ada yang menunggu dipertengahan jalan dan selebihnya kami tunggu di rumah ini.
Setelah shalat jumat, mobil merah yang ingin kami tumpangi sudah ada di depan rumah. Paman kami yang mengendarainya sendiri. Kami berempat sudah berada dalam mobil yang baru saja keluar dari dealer resmi itu. Mobil merah itu sepertinya keberatan membawa kami yang jumlahnya sampai sepuluh kepala. Menuju ke kampung halaman yang menggunakan lima jam hingga tepat sampai di halaman rumah nenek. Tepat pukul 18.40, kami tiba di desa yang sangat sejuk itu. Airmata ada dimana-mana. Tapi sayang, setengah jam yang lalu kakek kami sudah dikebumikan. Kami pun semakin sedih karena tak sempat melihat prosesinya.
Disekolahkan di salah satu sekolah Unggulan yang ada di Kotaku membuat waktu dan jarak menjadi persoalan. menangis merupakan andalan terampuh yang selalu saya pakai jika ingin bertemu dengannya, dengan menangis rasa iba dari Ayahku yang juga waktunya terlalu berlebihan diambil oleh kerjaan akhirnya keluar juga. Maklum, menjadi salah satu anak perempuan dalam keluarga menjadi kebanggan tersendiri, kebanggan pertama yang harus semuanya tahu dalam keluarga, lingkungan, sekalipun bangsa dan Negara. Memakai seragam dengan warna yang terbalik dengan bendera negaraku tak lantas aku melupakan waktu bermain dan liburan. Liburan dan mudik. Keduanya merupakan kata yang paling saya suka. Bagaimana tidak? Dengan kata itu, saya bisa bertemu dengan orang yang aku juga kasihi di luar Kota. Dipikiranku jelas bahwa jika kesana yaa paling hanya tidur, makan, bermain  dan juga pastinya akan diladeni bak Princes dalam buku dongeng kesukaanku.
Makhluk hidup yang paling sering aku datangi jika sedang berada di luar kota ialah Pohon. Pohon mangga, coklat dan pisang yang ada di pekarangan rumah nenek pun menjadi sasaran empuk dalam petualanganku. Pohon mangga yang batangnya sudah melebihi diriku pun sangat menggoda untuk didatangi, tujuannya yaa seperti tujuan orang-orang. Apalagi kalau tidak mengambil buahnya. Tapi, kedatanganku kali ini tidak bertujuan untuk itu semuanya yang terlintas hanya untuk naik keatas dan melihat pemandangan yang sejuk dan damai ini. Rasa kekhawatiran pun melonjak tajam layaknya harga sembako yang melonjak tajam jika menjelang bulan puasa. Tapi, rasa keberanianku dirangkaikan dengan rasa keingintahuanku sangat tinggi meski kadang rasa takut muncul tiba-tiba, hanya takut ke semut merah yang berjalan rapih menaiki dan menuruni pohon, selebihnya tetap normal. Teriakan khas yang mungkin bersumber dari bagian kiri rumah pun terdengar jelas sontak membuat sandal jepit biruku sedikit bergeser dari perkiraanku. Panggilan makan siang, panggilan yang membuat mataku sedikit lebih membesar dari biasanya. Saya harus turun dari sini, walau sebenarnya saya sudah sangat nyaman dan betah. Hanya saja panggilan itu. Bagaimana cara turunnya? Tiba-tiba otakku bertanya. Otak yang kadang berjalan lambat kalau sedang itung-itungan apalagi kalau sudah ngantuk luar biasa tapi kadang juga berlari kalau pikiran tentang panggilan makan misalnya. Hehe. Maklum saja badanku sudah seperti ini.
Dengan rasa yang sedang campur aduk dibarengi dengan rasa lapar dan mata yang sudah menatap tajam ke bawah beberapa langkah di samping kotoran sapi dan lumpur akhirnya keberanianku harus kutuntaskan. Tuu waa gaa… Happ akhirnya, diriku terjun bebas beberapa detik, seperti para atlet yang sedang mengikuti olimpiade lompat jauh atau pun lompat galah atau entah apa namanya itu. Sandal jepit biru bertemu juga dengan bumi. Menyenangkan. Berlari kecil menuruni jalanan yang ditempuh kurang lebih delapan atau tujuh langkah saja kemudian dihadapkan dengan tangga coklat kuning yang tersenyum lebar nampak tidak sabar untuk diinjak oleh kaki kecilku ini. Rumah kayu berwarna coklat kuning ini sedikit bergoyang saat saya mulai memasuki ruangan demi ruangan. Kali ini tujuanku bukan ke kamar tidur untuk menyelesaikan rasa kantukku tapi ke tempat para piring-piring dan kawan-kawannya berada. Panggilan itu yang membuat langkahku berhenti tepat di depan meja yang sudah lelah menungguku. Makan siang pun dilaksanakan. Biasanya tradisi makan siang dalam rumah ini sedikit kurang saya sukai dibandingkan dengan makan malam. Durasi makan siang biasanya lebih cepat selesai dan juga kadang anggota keluarga masih kurang lengkap karena mungkin mereka makan siang di tempat kerjanya beda dibandingkan durasi makan malam yang sangat panjang, anggota keluarga ngumpul semuanya, nonton tivi pun berkelahi jika ingin mengambil remot dan juga keluh kesah anggota keluarga yang seharian beraktivitas akan dikeluarkan saat itu.
Sisihkan waktumu sedikit untuk sekadar bertegur sapa dengan orang-orang terkasihmu yang sudah tua dan jauh disana. Jangan tunggu mereka berkabar buruk lantas kita mengunjunginya. Mereka sangat bahagia dapat dikunjungi, tidak mengharapkan buah tangan yang bagus dan mewah hanya waktu beberapa hari saja yang mereka butuhkan. Terkadang kesibukkan yang sangat padat sepadat kota Jakarta hanya menjadi alasan yang sangat mereka benci. Mereka tahu kesibukkan dan alasan kalian yang tidak bisa mengambil sedikit cuti karena tugas yang takut bertumpuk yang kadang tetap bertumpuk meski kalian tetap bekerja tapi, apakah kalian tahu rasanya mereka jauh dari kalian? Pernah berpikir seperti itu? Jika pernah maka rasa sayangmu pada orang yang kamu sayangi di luar kota sudah kuberi dua jempolku. Jika belum, berpikirlah sejenak. Kesibukan tetap berjalan tapi hentikanlah sedikit saja untuk mengunjungi mereka.
Semoga semuanya tetap baik-baik saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUH. RIDHO S

#TugasIndividu ANALISIS NOVEL RADEN MANDASIA SI PENCURI DAGING SAPI BERDASARKAN PENDEKATAN RESEPSI SASTRA Landasan Teori Secara d...