Rabu, 07 Juni 2017

DEBI TENRI BALI


#cerpen 

HIJRAH
ARYA
“Apa yang kau rasa sekarang?” Tanyaku pada Nada yang sedang bersandar di pundakku menikmati senja di taman.
“Hmmm, entahlah. Semuanya campur aduk tidak karuan. Aku senang, lega, merasa bebas, tapi ada sedikit rasa bersalah, sedih, dan takut.” Jawabnya dengan manja.
Aku merangkulnya, mengusap pundaknya, mencoba menenangkan dirinya yang dirundung berbagai perasaan. Setelah Ia betul-betul merasa kuat, kuantar dia pulang.
Quinnaa Qatrunnada, dia adalah gadis yang saat ini menjadi orang yang paling memungkinkan dan mendekati ideal untuk menemaniku sampai tua nanti. Setidaknya pikiran itu telah ada sejak kali pertama kami akhirnya bisa bercakap-cakap cukup lama.
Siang itu di hari Jumat kuberanikan diriku duduk di sampingnya dan menyapanya yang tengah asyik memandang laptop sambil bernyanyi. Merupakan momen yang langka melihat Nada berada di kampus saat kegiatan kuliahnya telah usai.
“Hai! Sedang apa?” Tanyaku padanya. Ia tersenyum.
“Halo kak, sedang lihat-lihat youtube, rencananya saya mau mengecat rambut. Jadi nonton tutorial dulu.” Jawabnya ramah.
“Oh, kenapa kamu mau mengecat rambut? Padahal kamu memakai jilbab. Percuma, tidak kelihatan.” Tanyaku lagi.
“Saya mengecat rambut bukan untuk dipamer ke orang lain. Saya mengecat rambut karena ingin saja, rambut punya saya jadi hak saya untuk melakukan apa saja.” Jawabnya menjelaskan.
“Wahhh kamu anak punk yah?” Ucapku padanya setelah mendengar jawabannya.
“Punk? Akau tahu bahwa punk itu bukan hanya sekedar aliran musik, tapi merupakan gaya hidup atau bahkan ideologi. Tapi saya belum paham, kenapa kakak mengklasifikasikan saya sebagai anak punk?”
Percakapan itu berlanjut, awalnya membahas punk, iapun sempat membahas komunis, sampai anarkisme. Sejak itulah aku jatuh hati padanya. Terpesona dengan pikiran-pikiran liarnya, pengetahuannya yang luas, dia cerdas, kritis, sayangnya saat itu dia belum berani bertindak apa-apa, bisa dikatakan Nada saat itu masih terlalu apatis dan bermain aman dalam hidupnya. Saat itu pula kutahu bahwa Nada adalah anak tunggal dari seorang ayah yang bekerja sebagai anggota DPRD di kabupaten dan ibunya merupakan ibu rumah tangga biasa. Dia berasal dari keluarga yang mampu, sangat mampu menurutku. Tapi dari cara berpakaian dia termasuk gadis yang sederhana.
Percakapan langsung itu berlanjut dalam percakapan via handphone. Banyak yang Ia tanyakan padaku, banyak yang Ia beritahukan padaku. Semakin dekat dengannya membuatku kagum dengan pengetahuannya. Selain cerdas, Nada adalah gadis yang menyenangkan. Dia humoris dan suka menceritakan hal-hal yang lucu. Di sisi lain dia ternyata sangat mandiri, dari ceritanya kuperoleh bahwa dia sangat hobi memasak. Nada juga berteman dengan siapa saja. Semakin sempurna dia bagiku.
Kedekatan itu akhirnya berujung pengakuan bahwa Aku mencintainya dan dia pun begitu. Kami berpacaran.
***

NADA
"Kau boleh meperdebatkan apapun padaku, tapi tolong Arya, jangan permasalahkan keyakinanku pada Tuhanku, karena itu bukan untuk dipertanyakan dan diperdebatkan!" Kataku tegas pada Arya yang saat itu berusaha mempertanyakan mengenai keyakinanku. Bagiku dia menyebalkan ketika sisi atheisnya diperlihatkan. Sayangnya, aku terlanjur cinta padanya dan Aku yakin suatu saat Tuhan akan mengembalikannya.
Pernah lain waktu Arya menyeletuk padaku "Mengapa Tuhan tak membuat instagram saja? Agar Dia bisa memiliki banyak pengikut."
Pernah juga Ia menegurku yang baru saja menyebut "Ya Allah" saat ada masalah. "Kasian Tuhan, baru masalah sepele begitu saja, kau sudah memanggilnya."
Arya juga pernah menanyakan sejarah gerakan shalat padaku, dengan jujur kujawab tidak tahu. Ia pun berkata "Kau ini aneh, kau tidak tahu sejarah dan asal usul gerakan shalat, lantas mengapa kau masih melakukannya?"
Perdebatan yang terakhir kali terjadi adalah saat kami melakukan chat dini hari.
Arya : Aku takut ketika mati nanti, dan ternyata neraka benar-benar ada.
Nada: Kamu baik-baik saja? Tumben kamu berpikir seperti itu.
Arya: Aku selalu berpikir seperti itu ketika melihat hal-hal aneh.
Nada: Hal-hal aneh apa yang kamu maksud?
Arya: Tengah malam tadi ketika mau pulang, aku melihat seorang kakek dengan cucunya di atas becak. Kalau memang hidup sebuah anugrah, mengapa masih ada peenderitaan?
Nada: entahlah, Aku juga tak tahu. Hal itu harus dipikirkan dengan akal pikiran dan iman. Karena jika hanya menggunakan logika itu akan susah.
Arya: Iman juga pakai logika, logika yang dibuat manusia untuk menipu diri sendiri.
Nada: Aku juga tidak tahu, bodohnya sampai sekarang aku belum memiliki alasan yang logis untuk tidak setuju dengan pendapatmu. Pikiran ku belum sampai kesana.
Arya: Bukan tidak sampai, kau hanya belum mau mengakuinya, sayang.
Nada: Mengakui gampang ketika kita sudah yakin, sayangnya saya belum yakin dengan kepercayaanmu.
Arya: Ya, karena sejak kecil kita sudah diajarkan agama.
Nada: Memang, sejak kecil saya belajar agama. Tapi sepertinya bukan itu yang membuatku yakin
Arya: Lalu apa?
Nada: entahlah akupun masih mencari.
Chat itu berakhir mengambang. Semenjak menjadi kekasihnya, kuakui Ia semakin saja suka mengajakku berdebat masalah keyakinan dan semakin sering pula kualihkan perdebatan itu karena jujur saja Aku sangat tidak suka keyakinanku akan Tuhan diperdebatkan.
Sekali lagi Arya memang menyebalkan soal itu, tapi di sisi lain dia adalah pria yang kubutuhkan. Dia cerdas, sangat cerdas mungkin tapi dia bukan tipikal orang yang pamer, berbicara sana sini memamerkan pandangannya yang keren-keren. Arya adalah orang yang sabar, sejak kenal hingga sekarang tak pernah sekalipun ia marah padaku, berkata kasar, apalagi berbicara dengan nada tinggi padaku. Dia humoris, menyenangkan, dan unik. Dia termasuk pacar yang cuek, tapi terkadang memiliki sisi romantis yang tidak akan pernah dilakukan oleh orang lain.
Sejak mengenal Arya banyak hal yang berubah dari diriku, bukan hanya Aku yang merasakannya tapi juga orang lain. Katanya aku sekarang lebih gila. Bagaimana tidak, Arya meminjamkan buku-bukunya untuk kubaca, bukan novel romantis seperti yang hobi kubaca dahulu. Arya meminjamkanku buku yang membahas tentang anarkisme, punk, kebebasan, dan atheis. Kubaca semuanya, walau terkadang otakku merasa sedikit bingung dengan pemikiran-pemikiran yang kubaca. Tetapi, semenjak banyak membaca buku-buku dari Arya pikiranku kini lebih terbuka. Entah darimana, datang keberanian dalam diriku.
Aku yang dulunya malas bergaul di kampus, takut dengan senior-senior yang gondrong kini bergaul dan akrab dengan mereka. Aku yang dulunya memandang sebelah mata mahasiswa-mahasiswa pendemo kini tidak lagi. Aku yang dulunya tidak peduli dengan masalah keuangan kampus kini malah peduli. Aku yang dulunya takut berpendapat kini berani berbicara banyak, bahkan menentang. Aku yang dulunya menjadi mahasiswa kupu-kupu (kuliah-pulang) kini beralih menjadi mahasiswa yang senang nongkrong di kampus.
Tentunya perubahanku mendapat berbagai respon. Teman-temanku mengatakan kalau Aku menjadi lebih gila, kata mereka ini karena cintaku pada Arya. Aku seperti itu karena ingin menyeimbangi Arya yang gila. Tapi Aku berani bersumpah bahwa ini bukan karena cinta, ini murni karena Aku tersadar bahwa butuh kegilaan untuk benar-benar bebas, Arya tidak mengajarkan itu dia mencontohkannya.
***
ARYA
Seminggu yang lalu ketika akan menghadiri diskusi mengenai pendidikan. Nada juga ingin ikut. Kuiyakan saja, ini malah pertanda bagus. Dia semakin ingin bertindak
Diskusi hari pertama menghasilkan keputusan bahwa komunitas kami akan ikut dalam aksi 2 Mei tahun ini.
"Aku juga ingin ikut." Kata Nada mantap.
"Tapi Kau belum pernah ikut aksi sebelumnya. Nanti Kau kelelahan dan sakit." Kataku meragukan keinginannya.
"Tidak Arya, lalu kapan Aku memulai? Aku pikir ini waktu yang tepat. Kalau masalah kelelahan Aku bisa minum obat." Katanya meyakinkanku
"Lalu bagaimana dengan tanggapan orang tuamu?" Tanyaku lagi.
"Asal mereka tidak tahu, tidak akan ada masalah." Jawabnya yakin.
"Kau ini niat sekali. Ya sudah kalau itu maumu. Tapi ingat jangan merepotkan!" Pintaku padanya.
"Yeayy, awkay." Ucapnya kegirangan.
Hari-hari berikutnya kami disibukkan dengan persiapan untuk aksi memperingati hari pendidikan nasional. Mulai dari mempersiapkan kertas, spanduk, konsumsi, dan berbagai keperluan lainnya. Selain itu kami juga kerap melakukan konsolidasi bersama pihak-pihak yang terlibat dalam aksi 2 Mei nanti.
Kesibukan membuat perputaran waktu tidak terasa, sampailah pada hari yang telah kami persiapkan. Mungkin bagiku dan beberapa orang lainnya merupakan sebuah hal biasa sama seperti hari lainnya. Tapi tidak dengan Nada, aksi hardiknas menjadi langkah awalnya, menjadi tindakan nyatanya yang pertama, mungkin saja sangat spesial baginya. Apalagi dulu demo dan aksi merupakan salah satu hal yang sangat ia benci.
"Kau pernah aksi? Astaga, berarti kau salah satu dari banyak orang yang kumaki ketika macet disebabkan oleh pendemo. Mereka membela kepentingan sekaligus merugikan banyak orang." Kata Nada saat itu ketika pernah ia tidak sengaja menanyakan pendapatku tentang demo.
"Kau bisa pulang atau menunggu kalau saja kau berubah pikiran." Kataku pada Nada.
"Tidak Arya. Aku sudah yakin!" Katanya.
Aksipun dimulai dengan longmarch dari kampus ke depan kantor gubernur. Jaraknya cukup jauh, kupikir Nada tidak akan mampu. Tapi semangatnya hari itu luar biasa, dengan ceria dia berjalan di sampingku. Dia nampak sangat menikmatinya.
"Kau tau sayang, entah mengapa kali ini Aku merasa sangat bahagia." Bisiknya di telingaku.
Aku hanya tersenyum, turut berbahagia dengan kebahagiaannya. Turut bangga padanya yang semangat, ceria, bahkan sambil bernyanyi-nyanyi saat melakukan longmarch.
Semuanya berjalan lancar, baik-baik saja dan sesuai rencana. Sampai saat aku sedang berorasi beberapa kawan mahasiswa menghentikan sebuah mobil berplat merah. Perhatian Nada yang fokus kepadaku terpecah, kulihat dia berlari ke arah mobil yang dihentikan. Khawatir dengannya langsung saja kuikuti dia tanpa menyelesaikan orasiku.
Kutarik tangannya, pertanda aku mencegahnya mendekat ke mobil. Dia berbalik dengan wajah yang sangat khawatir.
"Arya, itu mobil Ayahku!" Pekik Nada.
Saat itu Aku menjadi kebingungan, kugenggam erat tangan Nada. Kucegah ia untuk ke mobil ayahnya, Aku takut Ayahnya tahu Nada ikut dalam demo dan hal itu akan berdampak buruk pada Nada. Sayangnya, usahaku gagal. Nada yang panik sudah ada di depan mobil dinas ayahnya. Berbicara pada teman-teman mahasiswa sefakultas yang berniat menyandera mobilnya. Entah apa yang Nada bicarakan, saat sibuk bernegosiasi ayahnya turun dari mobil.
***
NADA
"Quinna Qatrunnada, apa yang kau lakukan disini? Berdemo?" Tanya Ayah Nada yang heran melihat putri sematawayangnya.
"Iya Ayah, Nada menjadi demonstran." Jawabku dengan berani.
Percakapan itu menjadi pusat perhatian, termasuk para wartawan yang sedang meliput. Tak jelas apa yang kemudian Ayah katakan sampai Arya menarikku keluar dari kerumunan dan pergi meninggalkan Ayah yang dicegat oleh teman-temanku.
"Arya, Ayahku disana!" Protesku pada Arya.
"Jangan kau pikirkan itu. Teman-teman sudah berjanji tak akan berbuat kasar. Nanti juga mobilnya dikembalikan. Yang terpenting kau tidak disitu, banyak wartawan, kau mau ayahmu tambah malu diberitakan anaknya seorang pendemo." Kata Arya sesaat setelah kami berada di tepi jalan mengasingkan diri di salah satu kios.
Aku terdiam, Arya benar. Kepanikanku berujung fatal. Ayah akhirnya tau Aku menjadi pendemo. Apa yang harus kukatakan nanti padanya, bagaimana kalau ibu juga tahu? Ia pasti akan sangat sedih.
"Nada, sudahlah, tenangkan dirimu dulu. Jangan kau salahkan dirimu. Persiapkan saja dirimu untuk pulang. Untuk menghadapi ayah dan ibumu di rumah." Kata Arya.
"Aku tidak ingin pulang. Aku takut Arya." Kataku pada Arya.
"Tapi Kau tidak salah, berdemo itu bukan dosa, berdemo itu tidak melanggar hukum. Apa yang kau takutkan. Kebebasan itu benar-benar ada ketika kau tak lagi merasakan takut."  Ucap Arya.
Aku diam pertanda sedang mencerna baik-baik perkataan Arya dan langsung menyetujui pendapatnya. Setelah aksi, Arya mengajakku ke taman dan mengantarku pulang. Disinilah Aku sekarang, di depan pintu rumahku sendiri. Baru kali ini Aku merasa enggan masuk, padahal rumah adalah tempat yang paling sering kurindukan.
***
PENULIS
Pintu rumah Nada terbuka dari dalam, muncul wajah ibunya yang teduh.
"Alhamdulillah Nada sayang, akhirnya kamu pulang juga nak. Ibu khawatir." Ucap Ibu Nada sambil memeluk anaknya.
"Maafkan Nada, bu." Kata Nada bergetar menangis. Ketakutannya tadi tumpah menjadi air mata.
"Sudah sayang, masuk dulu. Kamu mandi, setelah itu kita bicara." Perintah Ibu Nada.
Nada menurut saja, dia memang saat ini sangat butuh mandi. Seharian berkeringat, panas, terpapar debu dan polusi membuat badannya gatal, lengket, dan merasa gerah. Setelah mandi, Ibu Nada telah menunggu anaknya di kamar. Mereka duduk di ranjang, dua wanita yang sangat mirip sedang beradu pandang di tempat tidur.
"Nada tadi demo dalam rangka apa?" Tanya Ibu.
"Tentang masalah pendidikan sekarang, Bu. Banyak tuntutannya." Jawab Nada apa adanya.
"Kenapa Nada tidak minta izin ke Ibu kalau mau demo? Atau karena demo merupakan kebebasan berpendapat, makanya Nada tak perlu memberitahu ibu? Begitu?"  Tanya Ibu lagi.
"Bukan begitu, Bu. Nada hanya takut Ibu dan Ayah marah." Jawab Nada.
"Ibu tidak akan marah sayang. Ibu hanya khawatir Nada kenapa-kenapa. Nanti kamu sakit atau terluka. Tapi apapun pilihan Nada ibu mendukungnya sayang. Kebebasan itu sebuah keberanian, berani bertindak dan bertanggung jawab dengan tindakannya." Nasehat Ibu.
"Tapi bagaimana dengan Ayah, bu? Dia pasti sangat..." Ucapan Nada terpotong dengan kedatangan Ayahnya yang terlihat sangat marah.
"Kau sudah mau jadi pembangkang sekarang?" Kata Ayah penuh emosi.
"Sudah, jangan dimarahi anaknya." Ucap Ibu menenangkan Ayah.
"Apakah demo itu dosa ayah? Apa demo itu melanggar hukum? Tidak kan? Lalu Nada membangkang bagaimana?" Tanya Nada dengan berderai air mata. Emosinya berkecamuk. Untuk kali pertama dalam hidupnya dia menentang ayahnya.
"Demo berarti protes, protes karena tidak suka dengan aturan. Orang yang tidak suka dengan aturan itu pembangkang." Ucap Ayah yang kini terlihat benar-benar marah.
"Siapa yang membangkang? Kami hanya protes karena undang-undangnya tidak sesuai, kami mahasiswa banyak dirugikan ayah." Bantah Nada.
"Rugi? Kau rugi apa nak? Sejak kecil kau selalu ayah cukupkan. Lalu kau merasa rugi kenapa?" Tanya Ayah.
"Ayah ini bukan saja tentang Nada, ini juga tentang teman-teman Nada, orang lain di negeri ini yang dirugikan. Nada peduli dan sadar sekarang. Kita tidak boleh menutup mata. Nada pikir ayah ini wakil rakyat, seharusnya ini tugas ayah, mewakili suara masyarakat agar didengar dan dijadikan pertimbangan dalam kebijakan. Bukan malah menuduh anak sendiri menjadi pembangkang. Siapa sebenarnya yang pembangkang??? Ayah yang bekerja tidak sesuai aturan dan harapan masyarakat atau Nada yang berdemo membela kepentingan orang banyak?" Jelas Nada panjang lebar.
Lalu "plakkkk" sebuah tamparan mendarat di pipi Nada. Ayahnya hilang kendali. Ibu Nada menangis, Nada terpaku. Suasana di dalam kamar tiba-tiba hening. Tak ada yang bicara, semua berderai air mata. Ibu Nada yang tak menyangka suaminya tega menampar anaknya, padahal sejak Nada lahir tak pernah sekalipun ayahnya bertindak kasar. Ayah Nada pun demikian, dia tak menyangka dengan sikapnya tadi. Dia merasa sangat bersalah. Sementara Nada terpaku, dia diam walau hatinya berkecamuk amarah dan sedih yang luar biasa.
"Ayah menampar Nada karena menjadi demonstran. Tapi itu tidak akan merubah semuanya. Nada tidak ingin seperti dulu, yang hanya bisa mengangguk apapun yang ayah dan ibu minta dan suruh. Nada sudah dewasa, tahu mana yang benar dan salah. Selama ini hidup Nada sudah salah, jangan halang-halangi Nada untuk menjadi benar." Kata Nada dengan tenang.
-Selesai-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUH. RIDHO S

#TugasIndividu ANALISIS NOVEL RADEN MANDASIA SI PENCURI DAGING SAPI BERDASARKAN PENDEKATAN RESEPSI SASTRA Landasan Teori Secara d...