#cerpen
HIJRAH
ARYA
“Apa yang kau rasa sekarang?”
Tanyaku pada Nada yang sedang bersandar di pundakku menikmati senja di taman.
“Hmmm, entahlah. Semuanya campur
aduk tidak karuan. Aku senang, lega, merasa bebas, tapi ada sedikit rasa
bersalah, sedih, dan takut.” Jawabnya dengan manja.
Aku merangkulnya, mengusap
pundaknya, mencoba menenangkan dirinya yang dirundung berbagai perasaan.
Setelah Ia betul-betul merasa kuat, kuantar dia pulang.
Quinnaa Qatrunnada, dia adalah
gadis yang saat ini menjadi orang yang paling memungkinkan dan mendekati ideal
untuk menemaniku sampai tua nanti. Setidaknya pikiran itu telah ada sejak kali
pertama kami akhirnya bisa bercakap-cakap cukup lama.
Siang itu di hari Jumat kuberanikan
diriku duduk di sampingnya dan menyapanya yang tengah asyik memandang laptop
sambil bernyanyi. Merupakan momen yang langka melihat Nada berada di kampus
saat kegiatan kuliahnya telah usai.
“Hai! Sedang apa?” Tanyaku padanya.
Ia tersenyum.
“Halo kak, sedang lihat-lihat
youtube, rencananya saya mau mengecat rambut. Jadi nonton tutorial dulu.”
Jawabnya ramah.
“Oh, kenapa kamu mau mengecat
rambut? Padahal kamu memakai jilbab. Percuma, tidak kelihatan.” Tanyaku lagi.
“Saya mengecat rambut bukan untuk
dipamer ke orang lain. Saya mengecat rambut karena ingin saja, rambut punya
saya jadi hak saya untuk melakukan apa saja.” Jawabnya menjelaskan.
“Wahhh kamu anak punk yah?” Ucapku
padanya setelah mendengar jawabannya.
“Punk? Akau tahu bahwa punk itu
bukan hanya sekedar aliran musik, tapi merupakan gaya hidup atau bahkan ideologi.
Tapi saya belum paham, kenapa kakak mengklasifikasikan saya sebagai anak punk?”
Percakapan itu berlanjut, awalnya
membahas punk, iapun sempat membahas komunis, sampai anarkisme. Sejak itulah
aku jatuh hati padanya. Terpesona dengan pikiran-pikiran liarnya,
pengetahuannya yang luas, dia cerdas, kritis, sayangnya saat itu dia belum
berani bertindak apa-apa, bisa dikatakan Nada saat itu masih terlalu apatis dan
bermain aman dalam hidupnya. Saat itu pula kutahu bahwa Nada adalah anak
tunggal dari seorang ayah yang bekerja sebagai anggota DPRD di kabupaten dan
ibunya merupakan ibu rumah tangga biasa. Dia berasal dari keluarga yang mampu,
sangat mampu menurutku. Tapi dari cara berpakaian dia termasuk gadis yang
sederhana.
Percakapan langsung itu berlanjut
dalam percakapan via handphone. Banyak yang Ia tanyakan padaku, banyak yang Ia
beritahukan padaku. Semakin dekat dengannya membuatku kagum dengan
pengetahuannya. Selain cerdas, Nada adalah gadis yang menyenangkan. Dia humoris
dan suka menceritakan hal-hal yang lucu. Di sisi lain dia ternyata sangat
mandiri, dari ceritanya kuperoleh bahwa dia sangat hobi memasak. Nada juga
berteman dengan siapa saja. Semakin sempurna dia bagiku.
Kedekatan itu akhirnya berujung
pengakuan bahwa Aku mencintainya dan dia pun begitu. Kami berpacaran.
***
NADA
"Kau boleh meperdebatkan
apapun padaku, tapi tolong Arya, jangan permasalahkan keyakinanku pada Tuhanku,
karena itu bukan untuk dipertanyakan dan diperdebatkan!" Kataku tegas pada
Arya yang saat itu berusaha mempertanyakan mengenai keyakinanku. Bagiku dia
menyebalkan ketika sisi atheisnya diperlihatkan. Sayangnya, aku terlanjur cinta
padanya dan Aku yakin suatu saat Tuhan akan mengembalikannya.
Pernah lain waktu Arya menyeletuk
padaku "Mengapa Tuhan tak membuat instagram saja? Agar Dia bisa memiliki
banyak pengikut."
Pernah juga Ia menegurku yang baru
saja menyebut "Ya Allah" saat ada masalah. "Kasian Tuhan, baru
masalah sepele begitu saja, kau sudah memanggilnya."
Arya juga pernah menanyakan sejarah
gerakan shalat padaku, dengan jujur kujawab tidak tahu. Ia pun berkata
"Kau ini aneh, kau tidak tahu sejarah dan asal usul gerakan shalat, lantas
mengapa kau masih melakukannya?"
Perdebatan yang terakhir kali
terjadi adalah saat kami melakukan chat dini hari.
Arya : Aku takut ketika mati nanti,
dan ternyata neraka benar-benar ada.
Nada: Kamu baik-baik saja? Tumben
kamu berpikir seperti itu.
Arya: Aku selalu berpikir seperti
itu ketika melihat hal-hal aneh.
Nada: Hal-hal aneh apa yang kamu
maksud?
Arya: Tengah malam tadi ketika mau
pulang, aku melihat seorang kakek dengan cucunya di atas becak. Kalau memang
hidup sebuah anugrah, mengapa masih ada peenderitaan?
Nada: entahlah, Aku juga tak tahu.
Hal itu harus dipikirkan dengan akal pikiran dan iman. Karena jika hanya
menggunakan logika itu akan susah.
Arya: Iman juga pakai logika,
logika yang dibuat manusia untuk menipu diri sendiri.
Nada: Aku juga tidak tahu, bodohnya
sampai sekarang aku belum memiliki alasan yang logis untuk tidak setuju dengan
pendapatmu. Pikiran ku belum sampai kesana.
Arya: Bukan tidak sampai, kau hanya
belum mau mengakuinya, sayang.
Nada: Mengakui gampang ketika kita
sudah yakin, sayangnya saya belum yakin dengan kepercayaanmu.
Arya: Ya, karena sejak kecil kita
sudah diajarkan agama.
Nada: Memang, sejak kecil saya
belajar agama. Tapi sepertinya bukan itu yang membuatku yakin
Arya: Lalu apa?
Nada: entahlah akupun masih
mencari.
Chat itu berakhir mengambang.
Semenjak menjadi kekasihnya, kuakui Ia semakin saja suka mengajakku berdebat
masalah keyakinan dan semakin sering pula kualihkan perdebatan itu karena jujur
saja Aku sangat tidak suka keyakinanku akan Tuhan diperdebatkan.
Sekali lagi Arya memang menyebalkan
soal itu, tapi di sisi lain dia adalah pria yang kubutuhkan. Dia cerdas, sangat
cerdas mungkin tapi dia bukan tipikal orang yang pamer, berbicara sana sini
memamerkan pandangannya yang keren-keren. Arya adalah orang yang sabar, sejak
kenal hingga sekarang tak pernah sekalipun ia marah padaku, berkata kasar,
apalagi berbicara dengan nada tinggi padaku. Dia humoris, menyenangkan, dan
unik. Dia termasuk pacar yang cuek, tapi terkadang memiliki sisi romantis yang
tidak akan pernah dilakukan oleh orang lain.
Sejak mengenal Arya banyak hal yang
berubah dari diriku, bukan hanya Aku yang merasakannya tapi juga orang lain.
Katanya aku sekarang lebih gila. Bagaimana tidak, Arya meminjamkan buku-bukunya
untuk kubaca, bukan novel romantis seperti yang hobi kubaca dahulu. Arya
meminjamkanku buku yang membahas tentang anarkisme, punk, kebebasan, dan
atheis. Kubaca semuanya, walau terkadang otakku merasa sedikit bingung dengan
pemikiran-pemikiran yang kubaca. Tetapi, semenjak banyak membaca buku-buku dari
Arya pikiranku kini lebih terbuka. Entah darimana, datang keberanian dalam
diriku.
Aku yang dulunya malas bergaul di
kampus, takut dengan senior-senior yang gondrong kini bergaul dan akrab dengan
mereka. Aku yang dulunya memandang sebelah mata mahasiswa-mahasiswa pendemo
kini tidak lagi. Aku yang dulunya tidak peduli dengan masalah keuangan kampus
kini malah peduli. Aku yang dulunya takut berpendapat kini berani berbicara
banyak, bahkan menentang. Aku yang dulunya menjadi mahasiswa kupu-kupu
(kuliah-pulang) kini beralih menjadi mahasiswa yang senang nongkrong di kampus.
Tentunya perubahanku mendapat
berbagai respon. Teman-temanku mengatakan kalau Aku menjadi lebih gila, kata
mereka ini karena cintaku pada Arya. Aku seperti itu karena ingin menyeimbangi
Arya yang gila. Tapi Aku berani bersumpah bahwa ini bukan karena cinta, ini
murni karena Aku tersadar bahwa butuh kegilaan untuk benar-benar bebas, Arya
tidak mengajarkan itu dia mencontohkannya.
***
ARYA
Seminggu yang lalu ketika akan
menghadiri diskusi mengenai pendidikan. Nada juga ingin ikut. Kuiyakan saja,
ini malah pertanda bagus. Dia semakin ingin bertindak
Diskusi hari pertama menghasilkan
keputusan bahwa komunitas kami akan ikut dalam aksi 2 Mei tahun ini.
"Aku juga ingin ikut."
Kata Nada mantap.
"Tapi Kau belum pernah ikut
aksi sebelumnya. Nanti Kau kelelahan dan sakit." Kataku meragukan
keinginannya.
"Tidak Arya, lalu kapan Aku
memulai? Aku pikir ini waktu yang tepat. Kalau masalah kelelahan Aku bisa minum
obat." Katanya meyakinkanku
"Lalu bagaimana dengan
tanggapan orang tuamu?" Tanyaku lagi.
"Asal mereka tidak tahu, tidak
akan ada masalah." Jawabnya yakin.
"Kau ini niat sekali. Ya sudah
kalau itu maumu. Tapi ingat jangan merepotkan!" Pintaku padanya.
"Yeayy, awkay." Ucapnya
kegirangan.
Hari-hari berikutnya kami
disibukkan dengan persiapan untuk aksi memperingati hari pendidikan nasional.
Mulai dari mempersiapkan kertas, spanduk, konsumsi, dan berbagai keperluan
lainnya. Selain itu kami juga kerap melakukan konsolidasi bersama pihak-pihak
yang terlibat dalam aksi 2 Mei nanti.
Kesibukan membuat perputaran waktu
tidak terasa, sampailah pada hari yang telah kami persiapkan. Mungkin bagiku
dan beberapa orang lainnya merupakan sebuah hal biasa sama seperti hari
lainnya. Tapi tidak dengan Nada, aksi hardiknas menjadi langkah awalnya,
menjadi tindakan nyatanya yang pertama, mungkin saja sangat spesial baginya.
Apalagi dulu demo dan aksi merupakan salah satu hal yang sangat ia benci.
"Kau pernah aksi? Astaga,
berarti kau salah satu dari banyak orang yang kumaki ketika macet disebabkan
oleh pendemo. Mereka membela kepentingan sekaligus merugikan banyak
orang." Kata Nada saat itu ketika pernah ia tidak sengaja menanyakan
pendapatku tentang demo.
"Kau bisa pulang atau menunggu
kalau saja kau berubah pikiran." Kataku pada Nada.
"Tidak Arya. Aku sudah
yakin!" Katanya.
Aksipun dimulai dengan longmarch
dari kampus ke depan kantor gubernur. Jaraknya cukup jauh, kupikir Nada tidak
akan mampu. Tapi semangatnya hari itu luar biasa, dengan ceria dia berjalan di
sampingku. Dia nampak sangat menikmatinya.
"Kau tau sayang, entah mengapa
kali ini Aku merasa sangat bahagia." Bisiknya di telingaku.
Aku hanya tersenyum, turut
berbahagia dengan kebahagiaannya. Turut bangga padanya yang semangat, ceria,
bahkan sambil bernyanyi-nyanyi saat melakukan longmarch.
Semuanya berjalan lancar, baik-baik
saja dan sesuai rencana. Sampai saat aku sedang berorasi beberapa kawan
mahasiswa menghentikan sebuah mobil berplat merah. Perhatian Nada yang fokus
kepadaku terpecah, kulihat dia berlari ke arah mobil yang dihentikan. Khawatir
dengannya langsung saja kuikuti dia tanpa menyelesaikan orasiku.
Kutarik tangannya, pertanda aku
mencegahnya mendekat ke mobil. Dia berbalik dengan wajah yang sangat khawatir.
"Arya, itu mobil Ayahku!"
Pekik Nada.
Saat itu Aku menjadi kebingungan,
kugenggam erat tangan Nada. Kucegah ia untuk ke mobil ayahnya, Aku takut
Ayahnya tahu Nada ikut dalam demo dan hal itu akan berdampak buruk pada Nada.
Sayangnya, usahaku gagal. Nada yang panik sudah ada di depan mobil dinas
ayahnya. Berbicara pada teman-teman mahasiswa sefakultas yang berniat
menyandera mobilnya. Entah apa yang Nada bicarakan, saat sibuk bernegosiasi
ayahnya turun dari mobil.
***
NADA
"Quinna Qatrunnada, apa yang
kau lakukan disini? Berdemo?" Tanya Ayah Nada yang heran melihat putri
sematawayangnya.
"Iya Ayah, Nada menjadi
demonstran." Jawabku dengan berani.
Percakapan itu menjadi pusat
perhatian, termasuk para wartawan yang sedang meliput. Tak jelas apa yang
kemudian Ayah katakan sampai Arya menarikku keluar dari kerumunan dan pergi
meninggalkan Ayah yang dicegat oleh teman-temanku.
"Arya, Ayahku disana!"
Protesku pada Arya.
"Jangan kau pikirkan itu.
Teman-teman sudah berjanji tak akan berbuat kasar. Nanti juga mobilnya
dikembalikan. Yang terpenting kau tidak disitu, banyak wartawan, kau mau ayahmu
tambah malu diberitakan anaknya seorang pendemo." Kata Arya sesaat setelah
kami berada di tepi jalan mengasingkan diri di salah satu kios.
Aku terdiam, Arya benar.
Kepanikanku berujung fatal. Ayah akhirnya tau Aku menjadi pendemo. Apa yang
harus kukatakan nanti padanya, bagaimana kalau ibu juga tahu? Ia pasti akan
sangat sedih.
"Nada, sudahlah, tenangkan
dirimu dulu. Jangan kau salahkan dirimu. Persiapkan saja dirimu untuk pulang.
Untuk menghadapi ayah dan ibumu di rumah." Kata Arya.
"Aku tidak ingin pulang. Aku
takut Arya." Kataku pada Arya.
"Tapi Kau tidak salah, berdemo
itu bukan dosa, berdemo itu tidak melanggar hukum. Apa yang kau takutkan.
Kebebasan itu benar-benar ada ketika kau tak lagi merasakan takut." Ucap Arya.
Aku diam pertanda sedang mencerna
baik-baik perkataan Arya dan langsung menyetujui pendapatnya. Setelah aksi, Arya
mengajakku ke taman dan mengantarku pulang. Disinilah Aku sekarang, di depan
pintu rumahku sendiri. Baru kali ini Aku merasa enggan masuk, padahal rumah
adalah tempat yang paling sering kurindukan.
***
PENULIS
Pintu rumah Nada terbuka dari
dalam, muncul wajah ibunya yang teduh.
"Alhamdulillah Nada sayang,
akhirnya kamu pulang juga nak. Ibu khawatir." Ucap Ibu Nada sambil memeluk
anaknya.
"Maafkan Nada, bu." Kata
Nada bergetar menangis. Ketakutannya tadi tumpah menjadi air mata.
"Sudah sayang, masuk dulu. Kamu
mandi, setelah itu kita bicara." Perintah Ibu Nada.
Nada menurut saja, dia memang saat
ini sangat butuh mandi. Seharian berkeringat, panas, terpapar debu dan polusi
membuat badannya gatal, lengket, dan merasa gerah. Setelah mandi, Ibu Nada
telah menunggu anaknya di kamar. Mereka duduk di ranjang, dua wanita yang
sangat mirip sedang beradu pandang di tempat tidur.
"Nada tadi demo dalam rangka
apa?" Tanya Ibu.
"Tentang masalah pendidikan
sekarang, Bu. Banyak tuntutannya." Jawab Nada apa adanya.
"Kenapa Nada tidak minta izin
ke Ibu kalau mau demo? Atau karena demo merupakan kebebasan berpendapat,
makanya Nada tak perlu memberitahu ibu? Begitu?" Tanya Ibu lagi.
"Bukan begitu, Bu. Nada hanya
takut Ibu dan Ayah marah." Jawab Nada.
"Ibu tidak akan marah sayang.
Ibu hanya khawatir Nada kenapa-kenapa. Nanti kamu sakit atau terluka. Tapi
apapun pilihan Nada ibu mendukungnya sayang. Kebebasan itu sebuah keberanian,
berani bertindak dan bertanggung jawab dengan tindakannya." Nasehat Ibu.
"Tapi bagaimana dengan Ayah,
bu? Dia pasti sangat..." Ucapan Nada terpotong dengan kedatangan Ayahnya
yang terlihat sangat marah.
"Kau sudah mau jadi
pembangkang sekarang?" Kata Ayah penuh emosi.
"Sudah, jangan dimarahi
anaknya." Ucap Ibu menenangkan Ayah.
"Apakah demo itu dosa ayah?
Apa demo itu melanggar hukum? Tidak kan? Lalu Nada membangkang bagaimana?"
Tanya Nada dengan berderai air mata. Emosinya berkecamuk. Untuk kali pertama
dalam hidupnya dia menentang ayahnya.
"Demo berarti protes, protes
karena tidak suka dengan aturan. Orang yang tidak suka dengan aturan itu
pembangkang." Ucap Ayah yang kini terlihat benar-benar marah.
"Siapa yang membangkang? Kami
hanya protes karena undang-undangnya tidak sesuai, kami mahasiswa banyak
dirugikan ayah." Bantah Nada.
"Rugi? Kau rugi apa nak? Sejak
kecil kau selalu ayah cukupkan. Lalu kau merasa rugi kenapa?" Tanya Ayah.
"Ayah ini bukan saja tentang
Nada, ini juga tentang teman-teman Nada, orang lain di negeri ini yang
dirugikan. Nada peduli dan sadar sekarang. Kita tidak boleh menutup mata. Nada
pikir ayah ini wakil rakyat, seharusnya ini tugas ayah, mewakili suara
masyarakat agar didengar dan dijadikan pertimbangan dalam kebijakan. Bukan
malah menuduh anak sendiri menjadi pembangkang. Siapa sebenarnya yang
pembangkang??? Ayah yang bekerja tidak sesuai aturan dan harapan masyarakat
atau Nada yang berdemo membela kepentingan orang banyak?" Jelas Nada
panjang lebar.
Lalu "plakkkk" sebuah
tamparan mendarat di pipi Nada. Ayahnya hilang kendali. Ibu Nada menangis, Nada
terpaku. Suasana di dalam kamar tiba-tiba hening. Tak ada yang bicara, semua
berderai air mata. Ibu Nada yang tak menyangka suaminya tega menampar anaknya,
padahal sejak Nada lahir tak pernah sekalipun ayahnya bertindak kasar. Ayah
Nada pun demikian, dia tak menyangka dengan sikapnya tadi. Dia merasa sangat
bersalah. Sementara Nada terpaku, dia diam walau hatinya berkecamuk amarah dan
sedih yang luar biasa.
"Ayah menampar Nada karena
menjadi demonstran. Tapi itu tidak akan merubah semuanya. Nada tidak ingin
seperti dulu, yang hanya bisa mengangguk apapun yang ayah dan ibu minta dan
suruh. Nada sudah dewasa, tahu mana yang benar dan salah. Selama ini hidup Nada
sudah salah, jangan halang-halangi Nada untuk menjadi benar." Kata Nada
dengan tenang.
-Selesai-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar