#cerpen
Tidurlah
yang Nyenyak, Kami menyayangimu
Kepergian memang selalu
menyisakan kesunyian, namun mengikhlaskan adalah cara terbaik untuk
menyembuhkannya. Tapi sungguh, kepergian adalah hal yang paling mematahkan
hati. Benar-benar saat itu hatiku patah. Begitu sulit untuk menerimanya. Kau
tahu? Ketika kenyataan ini harus kuhadapi, rasanya jiwaku tiba-tiba hilang dari
raganya. Kecewa, penyesalan, amarah, gelisah dan entah apalagi semuanya
bercampur menjadi satu. Padahal malam itu sama sekali tak ada firasat yang
menyapaku tentang apa yang akan terjadi.
Minggu, 14 september
2014, pukul 01.00 dini hari telepon di rumahku berdering, aku terbangun. Mataku
belum sepenuhnya terbuka namun telingaku dengan jelas mendengarkan bahwa
kakakku yang sakit parah sedang berjuang melawan sakaratulmautnya. Tapi aku
yakin bahwa dia adalah orang yang kuat. Tidak mungkin ia telah menyerah melawan
penyakitnya. Masih ada orang tua, saudara-saudara, dan semua orang yang mencintainya
menanti kesembuhannya.
Ah, rasanya tidak
mungkin.. Aku terus berdoa, bahkan tetap yakin bahwa keajaiban itu akan
menjemput deritanya. Sambil menatap foto ketika ia wisuda akhirnya senyum
simpulnya membuatku menangis, air mataku tak tertahankan. Tiba-tiba
ingatan-ingatan tentang kami begitu saja membayangiku. Aaaah, cukup! Kubilang
cukup! Dia tidak akan meninggalkanku begitu cepat. Ya, aku masih benar-benar yakin,
namun yakinku itu bercampur gelisah karena aku tak ada didekatnya saat itu. Akhirnya,
pukul 01.25 paman dan seorang sepupuku, Takdir berangkat menuju ke rumah sakit,
mereka diminta oleh ibuku untuk secepatnya ke sana. Dering telepon yang selalu
terdengar makin menambah kegelisahanku. Dering telepon selanjutnya, ayahku
meminta agar Arif, kakak ketigaku untuk ke rumah sakit.
"Aku ikut yah.
Kumohon.." pintaku.
"Jangan. Sebaiknya
jangan ikut dengan kakakmu, biar Ita saja yang ikut menemaninya. Tante khawatir
apabila kamu dan kakakmu yang berangkat. Tidak baik berangkat tengah malam
seperti ini berboncengan dengan saudaramu menempuh perjalanan yang cukup jauh.
Kamu di rumah saja." jawab tanteku.
Aku paham yang dimaksud
tanteku, namun tetap saja hatiku berontak untuk ke sana. Aku makin tak tenang,
gelisahku kian bertambah tapi doa-doaku pun tak henti-hentinya kupanjatkan.
Subuh pun tiba, para
tetanggaku yang baru saja pulang dari masjid melaksanakan shalat subuh
berdatangan ke rumahku, dengan berbalut mukenah dan sajadahnya pun tasbih di
tangannya, mereka adalah teman-teman dari ibuku dan salah satunya ia adalah
nenek Fatimah, nenek dari Takdir. Mereka datang untuk menanyakan bagaimana keadaan
Syattar, kakakku. Mereka datang menguatkan kami yang saat itu berada di rumahku
dengan keadaan gelisah.
“Syattar adalah anak
yang kuat, ia begitu sabar melawan penyakit yang dua bulan belakangan ini
menyiksanya. Sungguh, Tuhan bersama orang-orang yang sabar. Setiap selesai
shalat saya tak pernah lupa meminta kepada Tuhan agar penyakitnya segera
diangkat, juga dipanjangkan umurnya agar Syattar kembali sehat seperti sedia
kala. Rindu rasanya melihat Syattar bersepeda lewat di depan rumah dengan
mengenakan baju basket lengkap dengan sepatunya. Syattar adalah anak yang
sangat ramah, ia selalu menyapa saya ketika kebetulan saya sedang mengurusi
ayam-ayam saya untuk dimasukkan ke kandangnya. Ah, Syattar.. semoga
dipanjangkan umurnya dan pulang ke rumah dengan keadaan sehat kembali.
Aamiin..” Teringat nenek Fatimah dengan mata yang berkaca-kaca.
Sesaat mereka pulang,
telepon berdering, akhirnya ibuku meminta agar aku juga menyusul ke rumah
sakit.
“Maka sangat
beruntunglah jika Syattar pulang ke rumah dalam keadaan masih bernyawa.
Benar-benar keajaiban apabila itu terjadi. Sebab sangat kecil kemungkinan untuk
ia bertahan sampai pagi nanti. Dokter juga sudah berusaha sebisanya. Sekarang
Syattar sudah dalam keadaan yang sangat membuat hati saya menangis, matanya
terbuka, air matanya sesekali jatuh, ia hanya bisa menggoyangkan bola matanya
untuk menatap ke sekelilingnya. Sesekali tubuhnya tersentak. Tidak ada lagi
kata-kata yang bisa terucap dari bibirnya. Tapi Alhamdulillah, sebelum
keadaannya yang seperti sekarang, tadi ia masih sempat mengaji beberapa surah
pendek, ia juga sempat melafaskan syahadat berkali-kali. Di sini sangat ramai,
teman-temannya datang untuk mendoakan Syattar. Suruh Anna bergegas untuk ke
rumah sakit, Azis dan istrinya akan datang menjemput Anna di rumah.” Jelas
ibuku kepada tanteku dengan tangis bersedu-sedu.
Tak lama setelah ibuku
menelepon, Azis pun datang. Kami berangkat, Aku, Azis dan istrinya, juga kedua
tanteku ikut. Di mobil aku duduk di kursi kedua bersama kedua tanteku, aku
duduk di tengah-tengah mereka. Beberapa menit perjalanan menuju ke rumah sakit,
masih di daerah Pangkep, tepatnya di Baru-Baru, salah satu dari kami handphone nya berbunyi, ternyata yang
berbunyi itu adalah handphone
tanteku. Setiap ada bunyi panggilan telepon jantungku pasti berdebar-debar
kencang. Aku makin gelisah.
“Halo,
Assalamualaikum..” Tanteku memulai pembicaraan.
Kemudian hening. Air
matanya tumpah.
“Ayo kita kembali ke
rumah. Syattar sudah benar-benar pergi meninggalkan kita semua.” Lanjutnya
sambil menangis bersedu-sedu.
Dadaku
sesak. Tangisku tanpa suara, air mataku tak henti-hentinya jatuh. Ini adalah
tangis yang paling dan amat sangat perih yang pernah kurasakan dalam hidupku.
Tak bisa kudefinisikan rasanya. Yang bisa kujelaskan hanyalah seperti apa
rasanya, dan rasanya seperti ada pisau baja di tenggorokanku, aku tak bisa
bernapas namun aku masih bisa berjuang.
Sesampainya
di rumah, hal yang pertama kali kulakukakan saat masuk ke dalam adalah langsung
mengambil foto wisuda Syattar yang saat itu berada di ruang tamu, lalu kupeluk
fotonya.
Syattar sudah benar-benar
pergi meninggalkanku, adik yang sangat ia cintai. Itulah yang dikatakan
almarhum kepada teman-temannya. Dan itu baru kusadari setelah ia pergi. Aku
mengetahui bagaimana arti sosokku ini untuknya dari video in memoriam yang dibuat oleh teman-temannya dari Bengkel Sastra,
lembaga kampus yang menjadi sebagian dari hidupnya, rumahnya. Saat itu ketika
peringatan 40 hari kematian almarhum yang diperingati di Gedung Ika Sao
Panrita, gedung yang berada tepat di depan kampus UNM Parangtambung itu sangat
ramai. Bengkel Sastra menggelar acara peringatan 40 hari kematian almarhum
dengan sangat haru.
Namun tidak hanya itu,
teman-temannya dari Bengkel Sastra yang merupakan saudara-saudara yang tidak
sedarah dengan almarhum adalah orang-orang yang sangat mencintainya. Ketika
Syattar sakit, mereka tak henti-hentinya datang menjenguknya. Bahkan ada di
antara mereka yang berusaha untuk mengobati Syattar dengan cara pengobatan
tradisional. Kedatangan teman-temannya membawa bahagia tersendiri untuk
Syattar. Ia sangat bahagia ketika teman-temannya datang menjenguknya. Bukan itu
saja, bahkan teman-temannya juga sempat membawakan seorang ustadz yang
didatangkan dari Makassar ke Pangkep untuk mengobatinya. Benar-benar kasih
sayang yang sangat tulus dari mereka.
Ketika Syattar
menghembuskan napas terakhir pun sebagian dari mereka ada di samping Syattar
saat itu. Mereka menemani Syattar di detik-detik terakhirnya merasakan sakit
dan pergi dengan penuh kedamaian. Ya, Syattar pergi dengan penuh kedamaian,
mayatnya tersenyum seakan-akan ia telah menemukan kebahagian yang sebenarnya di
sana. Tak ada lagi beban, tak ada lagi sakit yang harus dideritanya.
Dua bulan lebih ia
merasakan sakit yang tak biasa sebelum ajal menjemputnya. Awalnya kami mengira
hanya maagnya yang kambuh, ia tiba-tiba pulang ke rumah, ia mengeluh bahwa ia
tak henti-hentinya mual. Tapi ibuku berfirasat lain. Katanya setiap teringat
oleh almarhum, ia memang merasa aneh dan entah mengapa takut ketika pertama
kali mendengarkan keluhan Syattar saat itu.
Malam itu Syattar
pulang ke rumah dengan membawa seporsi sate dan lontong, juga bekal yang
dibuatkan oleh mantan pacarnya tapi tak ia makan. Katanya tak nafsu makan.
“Anna, itu ada sate
yang dibawakan kakakmu.” Kata ayahku.
“Saya sangat kenyang,
ayah. Saya juga baru saja menyikat gigi dan sudah sangat mengantuk.” Jawabku.
Saat itu bulan
ramadhan, Syattar juga ingin ikut sahur tapi ayah dan ibuku melarangnya untuk
berpuasa.
“Besok tidak usah ikut
berpuasa, nak. Kamu kan sedang sakit. Besok ibu temani ke puskesmas untuk check-up yah!” Seru ibuku.
Keesokan paginya
Syattar dibawa ke puskesmas. Hasil pemeriksaan menyatakan bahwa asam lambung
Syattar sedang meningkat. Itulah yang menyebabkan ia mual-mual. Namun, beberapa
hari setelahnya ia belum juga sembuh. Saat itu hari jumat ketika orang-orang
pulang dari shalat Jumat tapi Syattar tetap berada di rumah karena masih dalam
keadaan sakit dan lemah. Tiba-tiba Syattar merasakan kaku di seluruh badan dan
wajahnya, badannya agak membiru. Ia sangat sulit untuk bicara, bahkan benar-benar
tak bisa bicara. Kami benar-benar takut dan khawatir. Secepatnya ia dilarikan
ke rumah sakit terdekat dan langsung dirawat untuk beberapa hari. Diagnosa
dokter mengatakan bahwa tak ada penyakit serius yang dideritanya jadi ia sudah
bisa pulang ke rumah.
Akhirnya kakakku pulang
ke rumah, ia dibaringkan di kamarku. Betapa bersyukurnya Syattar sudah pulang
ke rumah. Ia memintaku untuk memijat kakinya dan ternyata ia menyukainya.
Ketika sakit, Syattar selalu tak ingin ditinggalkan sendirian, ia selalu
memintaku untuk menemaninya. Tidur pun ia meminta ibuku untuk menemaninya.
Padahal di antara semua saudaraku, Syattar adalah orang yang paling mandiri dan
pemberani di antara kami semua.
Dua minggu berlalu, Syattar
tak kunjung sembuh. Pagi itu saat ia ingin masuk ke WC untuk buang air kecil,
tiba-tiba ia terjatuh. Ia merasakan pusing dan kepalanya terbentur di pintu WC.
Ia keluar dengan keadaan kepala yang bercucuran darah. Perih hatiku melihat
Syattar saat itu. Bagaimana tidak? Dia sedang sakit dan dia harus terjatuh
lagi, tapi ia tetap tabah dengan semua yang menimpanya. Namun, saudara sulungku
menangis melihat keadaan Syattar yang bercucuran darah, ia berteriak. Saudara
sulungku ini adalah seseorang yang memiliki sedikit gangguan mental, tapi kami
bangga memilikinya, ia sosok yang sangat penyayang.
“Syattar, kamu
baik-baik saja kan, dek?” Tanyanya sambil menangis, namun menjaga jarak dari
Syattar.
“Sudah.. Sudah.. tidak
apa-apa. Lukanya akan segera sembuh.” Jawab Syattar dengan penuh ketenangan.
Penderitaan Syattar
tidak berujung sampai di situ saja. Sudah lebih dari dua pekan ia tak kunjung
sembuh. Pengobatan medis yang pernah dilakukannya bisa dikatakan tidak ada yang
mempan. Akhirnya orang tuaku memutuskan untuk mencari orang pintar yang
biasanya mengobati dengan cara non medis. Orang tersebut datang ke rumah, ia
adalah sosok pria yang belum terlalu tua usianya. Sebelum pengobatan akan
dimulai ia meminta sebotol air yang akan didoakannya untuk dijadikan obat dan
dua butir telur. Ia memang terkenal mengobati dengan menggunakan telur.
Katanya, sakit yang diderita Syattar tidak terlalu serius, Insya Allah Syattar
akan segera sembuh. Sedikit kelegahan kami mendengarnya.
Namun ternyata semuanya
tidak sesuai dengan harapan. Tuhan berkehendak lain. Malam itu, Tiba-tiba saja
Syattar merasa sulit untuk buang air kecil. Kami benar-benar gelisah. Tak tahu
lagi harus berbuat apa. Padahal Syattar sudah minum sangat banyak. Akhirnya,
kami memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit. Tak peduli selarut malam
apapun. Sesampainya di sana, perawat rumah sakit terpaksa harus mengambil
tindakan keteter. Ya, Syattar buang air kecil melalui selang.
Dua hari kemudian, Syattar
sudah kembali pulang ke rumah. Subuh itu ketika selesai makan sahur aku
menonton acara sahur yang ditayangkan di televisi. Aku menonton dengan duduk di
dekat Syattar yang sedang tertidur pulas, sementara kakak sulungku memijat kaki
Syattar. Tiba-tiba saja aku mendengar Syattar mengigau, seolah-oleh ia sedang
menjadi juri di sebuah acara seni. Aku terkejut mendengar igauannya namun tak
terlalu menghiraukannya. Pikirku, wajar saja ketika orang yang sedang sakit
mengigau. Ya, biasa terjadi.
Sudah hampir sebulan
berlalu, Syattar masih terbaring lemah. Bukannya membaik, malah bertambah
parah. Berat badannya menurun drastis. Ia sulit untuk makan, apa saja yang ia
makan pasti ia muntahkan, entah itu nasi, bubur dan lainnya. Tubuhnya juga
sering tersentak-sentak secara tiba-tiba, awalnya hanya sesekali, namun saat
itu menjadi terus-menerus.
Malam takbiran pun
tiba, kami semua berkumpul di dekat Syattar. Saat itu Syattar sedang diobati
oleh “orang pintar”, orang tersebut tak lain adalah teman ayahku. Ya, kami
memutuskan agar Syattar kembali diobati dengan cara non medis karena kami putus
asa dengan pengobatan medis sebab ketika dirawat di rumah sakit, penyakitnya
tak kunjung ditemukan. Dan “orang pintar” tersebut berkata bahwa memang
sebenarnya Syattar sedang ditimpa sakit yang tidak wajar namun ia juga harus diberikan
pengobatan secara medis untuk membantu kesembuhannya.
Malam itu adalah malam
takbiran yang tak akan pernah kami lupakan, dimana kami menangis karena
menangisi Syattar yang begitu ingin ikut shalat Idul Fitri di masjid
bersama-sama, namun apa daya, bangun untuk duduk saja sulit. Bahkan kami
berencana, setelah shalat Idul Fitri agar Syattar segera di bawa ke rumah
sakit. Tangis kami makin menetes ketika Syattar meminta maaf kepada seluruh
keluarga; aku, ayah, ibu, saudara-saudara, om, tante, dan kepada
sepupu-sepupuku. Namun, tanpa meminta maaf pun, kami sudah benar-benar
memaafkannya.
Keesokan harinya,
setelah selesai shalat Idul Fitri, Syattar di bawa ke RSUD Pangkep, tapi dokter
akhirnya memutuskan untuk merujuknya ke RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
untuk dirawat lebih intensif, kata dokter sistem saraf Syattar sedang
terganggu, itulah mengapa tubuhnya menjadi sering tersentak-sentak.
Beberapa hari berada di
rumah sakit, kondisi Syattar masih begitu-begitu saja. Tak kunjung ada
perubahan. Pengobatan medis, pengobatan tradisional, “orang pintar”, serta
ustadz, semuanya pasrah. Satu bulan selama Syattar sakit entah sudah berapa
banyak “orang pintar” dan ustadz yang berusaha mengobatinya. Sebab ketika kami
mendengar di mana ada orang yang bisa mengobati penyakit yang serupa dengan
penyakit Syattar, kami pasti mencobanya karena kami sangat ingin agar Syattar
segera sembuh.
Dua bulan berlalu, Syattar
sudah beberapa kali keluar-masuk rumah sakit, juga sudah sangat banyak orang
yang berusaha untuk menyembuhkannya. Pengobatan dengan menggunakan air yang didoakan,
obat-obatan tradisional, juga rukiah sudah dijalaninya. Kondisinya naik-turun,
dan sampai akhirnya ia lumpuh total, Syattar tak bisa berjalan sama sekali,
tubuhnya juga sudah menjadi sangat kurus. Namun, Syattar tetap tabah.
Diagnosa terakhir, dokter
menduga Syattar menderita penyakit meningitis. Meningitis merupakan penyakit
yang disebabkan oleh peradangan pada selaput pelindung yang menutupi saraf otak
dan tulang belakang yang dikenal dengan meninges. Dokter berencana mengambil
tindakan operasi pada tulang belakang Syattar tapi operasi tersebut sangat
beresiko. Namun, Tuhan berkehendak lain. Sebelum operasi dilakukan, Syattar telah
pergi untuk selama-lamanya. Ia pergi meninggalkan cinta dan ketabahan kepada
kami semua. Sungguh, kami menyayangi Syattar, tapi Tuhan lebih menyayanginya.
Ya, akhirnya Syattar sembuh, tak ada lagi sakit yang harus dideritanya. Kini ia
telah tidur nyenyak, di kehidupan yang abadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar