Rabu, 07 Juni 2017

ANNA WIDI ASTUTI DJAFAR


#cerpen 

Tidurlah yang Nyenyak, Kami menyayangimu

Kepergian memang selalu menyisakan kesunyian, namun mengikhlaskan adalah cara terbaik untuk menyembuhkannya. Tapi sungguh, kepergian adalah hal yang paling mematahkan hati. Benar-benar saat itu hatiku patah. Begitu sulit untuk menerimanya. Kau tahu? Ketika kenyataan ini harus kuhadapi, rasanya jiwaku tiba-tiba hilang dari raganya. Kecewa, penyesalan, amarah, gelisah dan entah apalagi semuanya bercampur menjadi satu. Padahal malam itu sama sekali tak ada firasat yang menyapaku tentang apa yang akan terjadi.
Minggu, 14 september 2014, pukul 01.00 dini hari telepon di rumahku berdering, aku terbangun. Mataku belum sepenuhnya terbuka namun telingaku dengan jelas mendengarkan bahwa kakakku yang sakit parah sedang berjuang melawan sakaratulmautnya. Tapi aku yakin bahwa dia adalah orang yang kuat. Tidak mungkin ia telah menyerah melawan penyakitnya. Masih ada orang tua, saudara-saudara, dan semua orang yang mencintainya menanti kesembuhannya.
Ah, rasanya tidak mungkin.. Aku terus berdoa, bahkan tetap yakin bahwa keajaiban itu akan menjemput deritanya. Sambil menatap foto ketika ia wisuda akhirnya senyum simpulnya membuatku menangis, air mataku tak tertahankan. Tiba-tiba ingatan-ingatan tentang kami begitu saja membayangiku. Aaaah, cukup! Kubilang cukup! Dia tidak akan meninggalkanku begitu cepat. Ya, aku masih benar-benar yakin, namun yakinku itu bercampur gelisah karena aku tak ada didekatnya saat itu. Akhirnya, pukul 01.25 paman dan seorang sepupuku, Takdir berangkat menuju ke rumah sakit, mereka diminta oleh ibuku untuk secepatnya ke sana. Dering telepon yang selalu terdengar makin menambah kegelisahanku. Dering telepon selanjutnya, ayahku meminta agar Arif, kakak ketigaku untuk ke rumah sakit.
"Aku ikut yah. Kumohon.." pintaku.
"Jangan. Sebaiknya jangan ikut dengan kakakmu, biar Ita saja yang ikut menemaninya. Tante khawatir apabila kamu dan kakakmu yang berangkat. Tidak baik berangkat tengah malam seperti ini berboncengan dengan saudaramu menempuh perjalanan yang cukup jauh. Kamu di rumah saja." jawab tanteku.
Aku paham yang dimaksud tanteku, namun tetap saja hatiku berontak untuk ke sana. Aku makin tak tenang, gelisahku kian bertambah tapi doa-doaku pun tak henti-hentinya kupanjatkan.
Subuh pun tiba, para tetanggaku yang baru saja pulang dari masjid melaksanakan shalat subuh berdatangan ke rumahku, dengan berbalut mukenah dan sajadahnya pun tasbih di tangannya, mereka adalah teman-teman dari ibuku dan salah satunya ia adalah nenek Fatimah, nenek dari Takdir. Mereka datang untuk menanyakan bagaimana keadaan Syattar, kakakku. Mereka datang menguatkan kami yang saat itu berada di rumahku dengan keadaan gelisah.
“Syattar adalah anak yang kuat, ia begitu sabar melawan penyakit yang dua bulan belakangan ini menyiksanya. Sungguh, Tuhan bersama orang-orang yang sabar. Setiap selesai shalat saya tak pernah lupa meminta kepada Tuhan agar penyakitnya segera diangkat, juga dipanjangkan umurnya agar Syattar kembali sehat seperti sedia kala. Rindu rasanya melihat Syattar bersepeda lewat di depan rumah dengan mengenakan baju basket lengkap dengan sepatunya. Syattar adalah anak yang sangat ramah, ia selalu menyapa saya ketika kebetulan saya sedang mengurusi ayam-ayam saya untuk dimasukkan ke kandangnya. Ah, Syattar.. semoga dipanjangkan umurnya dan pulang ke rumah dengan keadaan sehat kembali. Aamiin..” Teringat nenek Fatimah dengan mata yang berkaca-kaca.
Sesaat mereka pulang, telepon berdering, akhirnya ibuku meminta agar aku juga menyusul ke rumah sakit.
“Maka sangat beruntunglah jika Syattar pulang ke rumah dalam keadaan masih bernyawa. Benar-benar keajaiban apabila itu terjadi. Sebab sangat kecil kemungkinan untuk ia bertahan sampai pagi nanti. Dokter juga sudah berusaha sebisanya. Sekarang Syattar sudah dalam keadaan yang sangat membuat hati saya menangis, matanya terbuka, air matanya sesekali jatuh, ia hanya bisa menggoyangkan bola matanya untuk menatap ke sekelilingnya. Sesekali tubuhnya tersentak. Tidak ada lagi kata-kata yang bisa terucap dari bibirnya. Tapi Alhamdulillah, sebelum keadaannya yang seperti sekarang, tadi ia masih sempat mengaji beberapa surah pendek, ia juga sempat melafaskan syahadat berkali-kali. Di sini sangat ramai, teman-temannya datang untuk mendoakan Syattar. Suruh Anna bergegas untuk ke rumah sakit, Azis dan istrinya akan datang menjemput Anna di rumah.” Jelas ibuku kepada tanteku dengan tangis bersedu-sedu.
Tak lama setelah ibuku menelepon, Azis pun datang. Kami berangkat, Aku, Azis dan istrinya, juga kedua tanteku ikut. Di mobil aku duduk di kursi kedua bersama kedua tanteku, aku duduk di tengah-tengah mereka. Beberapa menit perjalanan menuju ke rumah sakit, masih di daerah Pangkep, tepatnya di Baru-Baru, salah satu dari kami handphone nya berbunyi, ternyata yang berbunyi itu adalah handphone tanteku. Setiap ada bunyi panggilan telepon jantungku pasti berdebar-debar kencang. Aku makin gelisah.
“Halo, Assalamualaikum..” Tanteku memulai pembicaraan.
Kemudian hening. Air matanya tumpah.
“Ayo kita kembali ke rumah. Syattar sudah benar-benar pergi meninggalkan kita semua.” Lanjutnya sambil menangis bersedu-sedu.
            Dadaku sesak. Tangisku tanpa suara, air mataku tak henti-hentinya jatuh. Ini adalah tangis yang paling dan amat sangat perih yang pernah kurasakan dalam hidupku. Tak bisa kudefinisikan rasanya. Yang bisa kujelaskan hanyalah seperti apa rasanya, dan rasanya seperti ada pisau baja di tenggorokanku, aku tak bisa bernapas namun aku masih bisa berjuang.
            Sesampainya di rumah, hal yang pertama kali kulakukakan saat masuk ke dalam adalah langsung mengambil foto wisuda Syattar yang saat itu berada di ruang tamu, lalu kupeluk fotonya.
Syattar sudah benar-benar pergi meninggalkanku, adik yang sangat ia cintai. Itulah yang dikatakan almarhum kepada teman-temannya. Dan itu baru kusadari setelah ia pergi. Aku mengetahui bagaimana arti sosokku ini untuknya dari video in memoriam yang dibuat oleh teman-temannya dari Bengkel Sastra, lembaga kampus yang menjadi sebagian dari hidupnya, rumahnya. Saat itu ketika peringatan 40 hari kematian almarhum yang diperingati di Gedung Ika Sao Panrita, gedung yang berada tepat di depan kampus UNM Parangtambung itu sangat ramai. Bengkel Sastra menggelar acara peringatan 40 hari kematian almarhum dengan sangat haru.
Namun tidak hanya itu, teman-temannya dari Bengkel Sastra yang merupakan saudara-saudara yang tidak sedarah dengan almarhum adalah orang-orang yang sangat mencintainya. Ketika Syattar sakit, mereka tak henti-hentinya datang menjenguknya. Bahkan ada di antara mereka yang berusaha untuk mengobati Syattar dengan cara pengobatan tradisional. Kedatangan teman-temannya membawa bahagia tersendiri untuk Syattar. Ia sangat bahagia ketika teman-temannya datang menjenguknya. Bukan itu saja, bahkan teman-temannya juga sempat membawakan seorang ustadz yang didatangkan dari Makassar ke Pangkep untuk mengobatinya. Benar-benar kasih sayang yang sangat tulus dari mereka.
Ketika Syattar menghembuskan napas terakhir pun sebagian dari mereka ada di samping Syattar saat itu. Mereka menemani Syattar di detik-detik terakhirnya merasakan sakit dan pergi dengan penuh kedamaian. Ya, Syattar pergi dengan penuh kedamaian, mayatnya tersenyum seakan-akan ia telah menemukan kebahagian yang sebenarnya di sana. Tak ada lagi beban, tak ada lagi sakit yang harus dideritanya.
Dua bulan lebih ia merasakan sakit yang tak biasa sebelum ajal menjemputnya. Awalnya kami mengira hanya maagnya yang kambuh, ia tiba-tiba pulang ke rumah, ia mengeluh bahwa ia tak henti-hentinya mual. Tapi ibuku berfirasat lain. Katanya setiap teringat oleh almarhum, ia memang merasa aneh dan entah mengapa takut ketika pertama kali mendengarkan keluhan Syattar saat itu.
Malam itu Syattar pulang ke rumah dengan membawa seporsi sate dan lontong, juga bekal yang dibuatkan oleh mantan pacarnya tapi tak ia makan. Katanya tak nafsu makan.
“Anna, itu ada sate yang dibawakan kakakmu.” Kata ayahku.
“Saya sangat kenyang, ayah. Saya juga baru saja menyikat gigi dan sudah sangat mengantuk.” Jawabku.
Saat itu bulan ramadhan, Syattar juga ingin ikut sahur tapi ayah dan ibuku melarangnya untuk berpuasa.
“Besok tidak usah ikut berpuasa, nak. Kamu kan sedang sakit. Besok ibu temani ke puskesmas untuk check-up yah!” Seru ibuku.
Keesokan paginya Syattar dibawa ke puskesmas. Hasil pemeriksaan menyatakan bahwa asam lambung Syattar sedang meningkat. Itulah yang menyebabkan ia mual-mual. Namun, beberapa hari setelahnya ia belum juga sembuh. Saat itu hari jumat ketika orang-orang pulang dari shalat Jumat tapi Syattar tetap berada di rumah karena masih dalam keadaan sakit dan lemah. Tiba-tiba Syattar merasakan kaku di seluruh badan dan wajahnya, badannya agak membiru. Ia sangat sulit untuk bicara, bahkan benar-benar tak bisa bicara. Kami benar-benar takut dan khawatir. Secepatnya ia dilarikan ke rumah sakit terdekat dan langsung dirawat untuk beberapa hari. Diagnosa dokter mengatakan bahwa tak ada penyakit serius yang dideritanya jadi ia sudah bisa pulang ke rumah.
Akhirnya kakakku pulang ke rumah, ia dibaringkan di kamarku. Betapa bersyukurnya Syattar sudah pulang ke rumah. Ia memintaku untuk memijat kakinya dan ternyata ia menyukainya. Ketika sakit, Syattar selalu tak ingin ditinggalkan sendirian, ia selalu memintaku untuk menemaninya. Tidur pun ia meminta ibuku untuk menemaninya. Padahal di antara semua saudaraku, Syattar adalah orang yang paling mandiri dan pemberani di antara kami semua.
Dua minggu berlalu, Syattar tak kunjung sembuh. Pagi itu saat ia ingin masuk ke WC untuk buang air kecil, tiba-tiba ia terjatuh. Ia merasakan pusing dan kepalanya terbentur di pintu WC. Ia keluar dengan keadaan kepala yang bercucuran darah. Perih hatiku melihat Syattar saat itu. Bagaimana tidak? Dia sedang sakit dan dia harus terjatuh lagi, tapi ia tetap tabah dengan semua yang menimpanya. Namun, saudara sulungku menangis melihat keadaan Syattar yang bercucuran darah, ia berteriak. Saudara sulungku ini adalah seseorang yang memiliki sedikit gangguan mental, tapi kami bangga memilikinya, ia sosok yang sangat penyayang.
“Syattar, kamu baik-baik saja kan, dek?” Tanyanya sambil menangis, namun menjaga jarak dari Syattar.
“Sudah.. Sudah.. tidak apa-apa. Lukanya akan segera sembuh.” Jawab Syattar dengan penuh ketenangan.
Penderitaan Syattar tidak berujung sampai di situ saja. Sudah lebih dari dua pekan ia tak kunjung sembuh. Pengobatan medis yang pernah dilakukannya bisa dikatakan tidak ada yang mempan. Akhirnya orang tuaku memutuskan untuk mencari orang pintar yang biasanya mengobati dengan cara non medis. Orang tersebut datang ke rumah, ia adalah sosok pria yang belum terlalu tua usianya. Sebelum pengobatan akan dimulai ia meminta sebotol air yang akan didoakannya untuk dijadikan obat dan dua butir telur. Ia memang terkenal mengobati dengan menggunakan telur. Katanya, sakit yang diderita Syattar tidak terlalu serius, Insya Allah Syattar akan segera sembuh. Sedikit kelegahan kami mendengarnya.
Namun ternyata semuanya tidak sesuai dengan harapan. Tuhan berkehendak lain. Malam itu, Tiba-tiba saja Syattar merasa sulit untuk buang air kecil. Kami benar-benar gelisah. Tak tahu lagi harus berbuat apa. Padahal Syattar sudah minum sangat banyak. Akhirnya, kami memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit. Tak peduli selarut malam apapun. Sesampainya di sana, perawat rumah sakit terpaksa harus mengambil tindakan keteter. Ya, Syattar buang air kecil melalui selang.
Dua hari kemudian, Syattar sudah kembali pulang ke rumah. Subuh itu ketika selesai makan sahur aku menonton acara sahur yang ditayangkan di televisi. Aku menonton dengan duduk di dekat Syattar yang sedang tertidur pulas, sementara kakak sulungku memijat kaki Syattar. Tiba-tiba saja aku mendengar Syattar mengigau, seolah-oleh ia sedang menjadi juri di sebuah acara seni. Aku terkejut mendengar igauannya namun tak terlalu menghiraukannya. Pikirku, wajar saja ketika orang yang sedang sakit mengigau. Ya, biasa terjadi.
Sudah hampir sebulan berlalu, Syattar masih terbaring lemah. Bukannya membaik, malah bertambah parah. Berat badannya menurun drastis. Ia sulit untuk makan, apa saja yang ia makan pasti ia muntahkan, entah itu nasi, bubur dan lainnya. Tubuhnya juga sering tersentak-sentak secara tiba-tiba, awalnya hanya sesekali, namun saat itu menjadi terus-menerus.
Malam takbiran pun tiba, kami semua berkumpul di dekat Syattar. Saat itu Syattar sedang diobati oleh “orang pintar”, orang tersebut tak lain adalah teman ayahku. Ya, kami memutuskan agar Syattar kembali diobati dengan cara non medis karena kami putus asa dengan pengobatan medis sebab ketika dirawat di rumah sakit, penyakitnya tak kunjung ditemukan. Dan “orang pintar” tersebut berkata bahwa memang sebenarnya Syattar sedang ditimpa sakit yang tidak wajar namun ia juga harus diberikan pengobatan secara medis untuk membantu kesembuhannya.
Malam itu adalah malam takbiran yang tak akan pernah kami lupakan, dimana kami menangis karena menangisi Syattar yang begitu ingin ikut shalat Idul Fitri di masjid bersama-sama, namun apa daya, bangun untuk duduk saja sulit. Bahkan kami berencana, setelah shalat Idul Fitri agar Syattar segera di bawa ke rumah sakit. Tangis kami makin menetes ketika Syattar meminta maaf kepada seluruh keluarga; aku, ayah, ibu, saudara-saudara, om, tante, dan kepada sepupu-sepupuku. Namun, tanpa meminta maaf pun, kami sudah benar-benar memaafkannya.   
Keesokan harinya, setelah selesai shalat Idul Fitri, Syattar di bawa ke RSUD Pangkep, tapi dokter akhirnya memutuskan untuk merujuknya ke RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar untuk dirawat lebih intensif, kata dokter sistem saraf Syattar sedang terganggu, itulah mengapa tubuhnya menjadi sering tersentak-sentak.
Beberapa hari berada di rumah sakit, kondisi Syattar masih begitu-begitu saja. Tak kunjung ada perubahan. Pengobatan medis, pengobatan tradisional, “orang pintar”, serta ustadz, semuanya pasrah. Satu bulan selama Syattar sakit entah sudah berapa banyak “orang pintar” dan ustadz yang berusaha mengobatinya. Sebab ketika kami mendengar di mana ada orang yang bisa mengobati penyakit yang serupa dengan penyakit Syattar, kami pasti mencobanya karena kami sangat ingin agar Syattar segera sembuh.
Dua bulan berlalu, Syattar sudah beberapa kali keluar-masuk rumah sakit, juga sudah sangat banyak orang yang berusaha untuk menyembuhkannya. Pengobatan dengan menggunakan air yang didoakan, obat-obatan tradisional, juga rukiah sudah dijalaninya. Kondisinya naik-turun, dan sampai akhirnya ia lumpuh total, Syattar tak bisa berjalan sama sekali, tubuhnya juga sudah menjadi sangat kurus. Namun, Syattar tetap tabah.
Diagnosa terakhir, dokter menduga Syattar menderita penyakit meningitis. Meningitis merupakan penyakit yang disebabkan oleh peradangan pada selaput pelindung yang menutupi saraf otak dan tulang belakang yang dikenal dengan meninges. Dokter berencana mengambil tindakan operasi pada tulang belakang Syattar tapi operasi tersebut sangat beresiko. Namun, Tuhan berkehendak lain. Sebelum operasi dilakukan, Syattar telah pergi untuk selama-lamanya. Ia pergi meninggalkan cinta dan ketabahan kepada kami semua. Sungguh, kami menyayangi Syattar, tapi Tuhan lebih menyayanginya. Ya, akhirnya Syattar sembuh, tak ada lagi sakit yang harus dideritanya. Kini ia telah tidur nyenyak, di kehidupan yang abadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUH. RIDHO S

#TugasIndividu ANALISIS NOVEL RADEN MANDASIA SI PENCURI DAGING SAPI BERDASARKAN PENDEKATAN RESEPSI SASTRA Landasan Teori Secara d...