Sabtu, 10 Juni 2017

ASRIANI


#cerpen
SEUTAS TALI YANG RAPUH

Seorang anak gadis  yang termenung di ujung ruang. Berselimutkan sayatan dingin angin malam. Paras yang seolah mencerminkan kebahagiaan, namun jiwa itu telah hancur berkeping. Dengan usia yang berumur 15 tahun, tak seharusnya mengalami  peristiwa yang teramat pahit. Namun, itulah hidup yang harus dihadapinya.

Jam dinding tua di kamarnya berbunyi hingga 10 kali tanda malam itu tepat pukul 22.00 WIB. Matanya tak mau memejam entah karena memang enggan untuk terlelap atau karena telinga yang bising akan cekcok antara dua manusia paruhbaya berlainan jenis. Yang masih saja seperti anak kecil, tidak pernah bisa menyelesaikan masalah tanpa bertengkar.
Seolah terbiasa mendengar mereka beradu mulut anak itu diam dan mengintip di celah kamarnya. Batinnya memberontak dan tak kuasa menahan dipukulnya cermin yang ada di hadapannya hingga  membuat tangannnya berlumuran darah.  Kerapuhan telah mengalahkan luka yang terbukus dalam benak jiwa yang berserekan amarah dan tangisan .
Malam berganti pagi, sepulang sekolah pertengkaran itu semakin menjadi. Tiba-tiba, terdengar suara yang keras dan tangisan. Yang membuatnya terhenti sejenak di halaman rumahnya sambil mengempalkan tangan yang berusaha menahan air mata. “Kamu tidak pernah pulang! Memberiku dan anak-anak nafkah pun tak sebanding dengan kebutuhan! Apakah itu yang disebut suami? Itu yang disebut kepala keluarga?” Kalimat yang terlontar dari mulut ibu tersebut. Entah apa yang terjadi di dalam sana.
Tak lama kemudian Ayahnya pun keluar sambil membawa koper. Anak itu pun berlari memasuki rumahnya. Ia melihat pecahan piring yang berserakan. Darah yang bercucuran pada ujung bibir ibunya. Ia pun menghampiri wanita yang bertaruh nyawa melahirkannya. Lalu, memeluk dan menghapus air yang jatuh yang entah berasal dari mana.
Kehidupannya hanya menjadi  pencetak diri sebagai gadis muda yang penuh beban dan menutupi semuanya dengan senyuman palsu. Hari-hari yang ia lewati tak pernah terlepas dari perkelahian hanya untuk menutupi luka yang tak berdarah. Ia menjadi anak brandalan seakan dunianya hanya mengenal kekerasan. Dalam hidupnya Ia selalu menganggap keluarga adalah berlian yang paling berharga yang tak  bisa terukur dan  ditukar dengan apapun. Meski kasih sayang itu terlihat sederhana tapi maknanya sangat berarti yang tak bisa di jangkau oleh logika melainkan rasa.
Penguat hidupnya hanyalah sosok wanita tua yang begitu tegar. Menghiraukan teriknya panas matahari, tak pernah lelah meski keringat telah bercucuran. Bagi dirinya masa depan anaknya adalah yang nomor satu. Ia memiliki segudang  impian suatu saat nanti anaknya menjadi orang yang sukses. Memakai pakaian rapi, memilki jabatan, dihormati oleh banyak orang dan mendapat pasangan hidup yang tak semenah-menah terhadap dirinya.
Pagi yang begitu cerah hingga mataharipun tersenyum melupakan masalah yang terjadi dan tetap menjalani hidup seperti air yang mengalir. Seorang ibu yang harus mengeringkan luka meski itu masih basah. Di sampingnya Ia memperhatikan gadis kecil yang sedang tertidur  sambil mengulas-ulas kepalanya dan mengatakan “ maafkan ibu” dengan nada yang halus air mata pun terjatuh . Anak gadis itupun membalikan badannya sambil menetaskan air mata yang berpura-pura tertidur pulas. Ibunya pun bergegas bangun dan menyiapkan sarapan untuk anaknya.
Aroma yang begitu harum tercium di dalam dapur namun suasana hati masih tak senikmat harumnya makanan. Anak gadis itupun mempersiapkan diri seolah-olah semuanya terasa baik-baik saja. Pelangi yang dipancarkan oleh ibunya membuatnya mampu melewati badai apapun. Tapi tak bisa dipungkiri kenyataan pahit itu masih saja terlintas dibenaknya. Untuk melupakan hal itu tak semudah yang terucap.
Ruang dengan suasana tengah keramaian segerumbulan orang yang sedang berbicang-bincang sambil tertawa terbahak-bahak tak mempengaruhi dirinya sedikitpun. Yang ia lakukan hanyalah memejamkan mata di sudut ruang  menikmati mimpi yang dianggap itulah surganya. Permasalahan semalam tak mampu membuatnya memejamkan mata hingga Waktupun berlalu dengan cepat terdengar bunyi yang tak asing baginya  “kring…kringg..”. Seorang wanita yang berseragam batik  dengan wajah yang tegas memasuki ruang
            Tak merasakan kehadiran wanita yang berjubah batik menimbulkan permasalahan yang di pancarkan oleh amarah dengan teriakan yang keras hingga membuatnya tersentak membuka mata kebingungan. Tak merasa bersalah sedikit pun, wanita yang berjubah mengubah dirinya menjadi layaknya monster yang memagang kayu dan mengarahkan kepada anak gadis tersebut. Lagi dan lagi kekerasan masih saja ia dapatkan seolah terbiasa dengan hal tersebut ia hanya tersenyum. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain tersenyum.
            Situasi tersebutpun kembali seperti semula setelah kepergiannya. Karna telah merasa lelah dengan sikap kelakuan anak itu yang selalu berkelehi dan tertidur di dalam ruang. Guru tersebut mengambil keputusan untuk menyerah menghadapi sikap pemberontakan. Tanpa mengetahui penyebab dan mencari tahu  alasan mengenai permasalahan siswa tersebut. Seorang guru memiliki kewajiban untuk mendidik siswanya memberikan ilmu  tapi guru bukan hanya sekedar itu saja melainkan orang tua kedua bagi siswanya. Seorang siswa yang berharap seperti dalam sinetron-sinetron yang biasa dia amati. Menjadikan guru sebagai sahabat tempat untuk berbagi tidak ia dapatkan. Seakan hanya terjadi dalam dunia film saja itulah yang terbesit dalam benaknya. Tapi hal itu tak membuat air matanya terjatuh bagi dirinya hal ini merupakan sesuatu hal yang biasa untuknya. Yang diperlukannya hanya menenagkan diri saja.
Tak tau arah dan tujuan untuk melangkahkan kaki ke suatu tempat yang membuatnya dapat menjadi lebih nyaman dan jauh dari permasalahan. Ketakutan menghampirinya tentang kekecawan yang akan dirasakan wanita tua yang telah berjuang untuknya. Keresahan selalu saja ada membawa beban yang dipikulnya tak punya tempat untuk meluapkan dan merasa enggan untuk bercerita.
Berhenti sejenak disuatu tempat yang jauh dari keramaian. Setidaknya mampu menghirup udarah yang segar . Tiba-tiba terdengar tangisan dari sudut pohon menganggunya. Penasaran dan rasa takutpun menghampiri dengan mengumpulkan keberanian terlihatlah seorang anak gadis yang seumurannya menangis tersedu-sedu seolah tak ingin memusingkan diri mengingat masalah yang ia hadapi tak kunjung berakhir.
Melangkahkan kaki untuk pergi serta keingainan untuk pergi namun rasa kepeduliannya pun menghampiri. Karna tak terbiasa berkata halus dan hanya mengenal kata-kata kasar yang diketahuinya. Ia pun membentak anak tersebut dan berkata “hey…berhenti menangis kau telah menganggu tidur ku” dengan nada yang keras namun dalam hati penuh rasa simpati hanya saja tak ingin  menampakkan sisi kebaikannya. Anak yang ia temui pun jawab “ maafkan aku ...” yang berusaha menghentikan air mata. Ia pun memalingkan badan dan dihentikannya oleh perkataan permintaan untuk mendengarkan untaian-untaian permasalahan yang tak dapat ia simpan sendiri. Bahwa kepergian ibunya membuatnya di asingka oleh sosok laki-laki yang telah membuatnya ada di dunia ini. Setelah itu terbesik timbul rasa syukur karna ibunya masih slalu ada
Melaui percakapan dan pertemuan tersebut menemukan makna baru arti awal persahabatan yang mereka rasakan memilki peristiwa dan kenangan masa yang amat pahit. Sekali lagi Sama-sama hanya memahami kata kekerasan hanya itu dan itu.  
Kepulangannya pun ditunggu-tunggu oleh sang ibu senyuman yang tak asing baginya merupakan energi yang muncul dari dalam hati pengobat luka. Kekhawatiran mengenai tentangnya akan berdampak buruk mengenai mimpi yang telah ibunya bangun berharap hal itu terjadi jika hanya sebuah angan-angan kosong bagai layang-layang yang tertiup angin terbawa berlalu. Melihat senyuman itu masih tetap ada keberanian itu tetap saja sejenak meninggalkan rasanya.
Kebenaran tetaplah kebenaran yang akan terungkap meski sudah terkubur dengan rapi tapi masih saja akan meninggalkan jejak. Tak sengeja sepuncuk surat mengenai pengeluaran dirinya. Ditemukan ibunya saat membersihkan kamarnya yang berserekan . Ketakutan itupun akhirnya terjadi. Kekecewaan membuatnya tak bisa berkata-kata sesakkan nafas mulai menimbulkan efek yang buruk untuknya. Badannya pun mulai lemas sambil memegang dada yang berusaha menahan rasa sakit hingga membuat dirinya terjatuh.
Melihat ibunya yang telah terbaring lemah di lantai membuatnya menjadi panik mengingat bahwa ibunya memilki penyakit jantung membutnya takut akan sebuah kehilangan. Tak berhenti mengucapkan kata maaf meski itu terucap seribu kalipun tak akan mampu mengubah apapun. Dengan rasa bersalah dan penuh penyesalan mengingat semua kebodohan yang dia lakukan. Membuatnya terpukul dan tak tau meski berbuat apa selain meminta tolong… kepada orang yang ada diluar sana untuk membawa ibunya ke rumah sakit.
Ruang yang penuh dengan aroma obat-obatan. Wanita yang mengunakan pakaian putih putih sambil membawa jarum suntik. Tak dihiraukannya yang ia lakukan hanyalah berdoa dengan penuh harapan ibunya akan kembali pulih. Karna tak tau kemana harus berbagi cerita ia mengingat seorang anak gadis yang seumuran dengannya. Yang kini telah menjadi sahabatnya diberitahu mengenai permasalahannya. Hatinya pun cukup legah setelah berbicang-bicang meskipun ketakutan itu masih ada.
Detik demi detik waktupun berlalu namun masih saja tak ada kabar baik mengenai kondisi ibunya.  Ia hanya terdiam berdiri di sudut ruang menunggu kebahagian itu akan datang. Perut yang sudah keroncongan mengeluarkan suara menandakan kelaparan terhadapnya tak mampu mengalahkan rasa kekhawatiran kepada ibunya.
Tak lama kemudian, Untung saja sahabatnya yang bernama selvi sebutan untuknya. Memberikan semangat dan dukungan bukan hanya itu iapun membawakan sebuah rantang yang berisikan makanan untuknya.
Perasaan yang penuh kegelisahan tak membuat dirinya menyentuh spercik makanan yang dibawakan oleh sahabatnya. Seorang sahabat yang begitu sabar menemaninya berdiri disampingnya dalam situasi apapun. Tak ingin melihatnya dalam keadaan tak berdaya. Selvipun memaksanya untuk makan meskipun itu hanya sesuap nasi saja. Paling tidak hal itu dapat membuat perutnya menjadi lebih baik.
Waktu yang telah ditunggu pun terjadi akhirnya ibunya terbangun dari tidurnya yang sekian lama di nantikan oleh anaknya. Kesadaran itu membuatnya bahagia namun disisi lain timbul rasa penyesalan. Ia pun memasuki ruang yang hanya terlihat hanyalah bantuan oksigen serta selang yang tertancap di salah satu tangannya.
Mata yang perlahan-lahan dibuka oleh ibunya, melihat anaknya dengan pakaian yang kotor rambut teracak-acak. Membuat ibunya menetaskan air mata dalam benaknya terlintas “apa yang akan terjadi kepada anakku jika aku tak mampu bangun lagi” Tanya dalam hatinya. Ksesdihan pun selalu saja terjadi.
Anak tersebut memeluk ibunya dan mengatakan “maafkan aku” dengan nada yang tersedu-sedu. Sambil meneteskan air mata yang tak mampu ia bendungi. Ibunya tersenyum karna sekian lama semenjak berumuran 9 tahun  ini merupakan hal yang pertama ia melihat anaknya menangis. Bahkan jika mendapatkan perlakuan kasar dari ayahnya ia tak pernah sedikitpun meneteskan air mata. Kesedihan yang selalu saja ia tutupi dengan kediaman. Tak Pernah mengadu sedikitpun apalagi bercerita layaknya seperti anak pada umumnya.
Ibunya menceritakan tentang mimpi yang ia lihat selama dalam keadaan tak sadar ia meliahat anaknya menjadi seorang dokter yang sukses. Anak itupun berkata bahwa akan ku wujudkan mimpi itu. Apaun harapan dan impian ibunya ia akan lakukan karna alasan untuk bertahan dalam hidup ini hanyalah seorang ibu baginya.
Kepindahan dirinya ke sekolah barunya ternyata tak disangka, sahabatnya yang bernama selvi berada disitu pula. Tak perlu bersusah payah untuk berinteraksi. Mengubah hidupnya menjadi lebih baik bersama dengan sahabatnya. Tak perlu lagi menjadi orang asing ditengah-tengah keramaian.
Belajar belajar dan bekerja hal itu yang ia lakukan akhir-akhir ini demi mewujudkan mimpi ibunya. Pikiran yang kini hanya menganal ringkasan buku-buku yang tertuang dalam ingatan membuatnya menjadi lebih baik. Mengisi kekosongan waktu dengan mencari sesuap nasi di atas kerasnya hidup yang dijalani.
Di sela-sela waktu kesibukan menyempatkan waktu untuk Tuhan dan ibunya. Perubahan yang terjadi dalam dirinya membuat kondisi ibunya menjadi lebih baik. Senyuman yang dipancarkan  dan canda tawa yang ia lakukan bersama membuatnya mengenal arti kesempurnaan hidup. Meski hal itu tak sebenarnya karna masih ada sosok seorang ayah yang telah terbuang.
Waktu yang kian berjalan membuatnya menjadi orang yang dewasa di tengah kelulusannya di salah satu Universitas Negeri di Jakarta membuat usahanya yang selama ini tak sia-sia. Namun di tengah kebagian itu, kabar yang menyakitkan pun menghamprinya. Ibunya meninggal dunia di saat ia ingin menunjukkan keberhasilannya. Tangisan pun terjatuh begitu deras. Perawat yang menjaga ibunya menitipkan surat kepadanya untuk diberikan anaknya. Yang berisikan “Teruskan mimpi ibu, karna ibu masih bisa melihatnya meski tak ada disisi mu” air mata itupun terjatuh meningat senyuman terakhir yang ia lihat.
Tak ingin larut dalam kesedihan ia berusaha bangkit selalu membawa selembar kertas gambaran foto ibunya. Setiap ingin kali terjatuh hanyalah selembar  foto itu membuatnya menjadi lebih kuat lagi.
Musim berganti begitu cepat keberhasilannya pun terjadi mimpi dan harapan ibunya terwujud. Bukan hanya itu ia dikenal sebagai dokter yang pandai memainkan pisau dalam beroperasi. Seorang anak yang masa lalunya penuh dengan luka yang dikenal gelar dengan sebutan brandalan  kini mampu menjadi seorang dokter yang merupakan pahlawan di mata masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUH. RIDHO S

#TugasIndividu ANALISIS NOVEL RADEN MANDASIA SI PENCURI DAGING SAPI BERDASARKAN PENDEKATAN RESEPSI SASTRA Landasan Teori Secara d...