#cerpen
SEUTAS TALI YANG RAPUH
Seorang
anak gadis yang termenung di ujung
ruang. Berselimutkan sayatan dingin angin malam. Paras yang seolah mencerminkan
kebahagiaan, namun jiwa itu telah hancur berkeping. Dengan usia yang berumur 15
tahun, tak seharusnya mengalami
peristiwa yang teramat pahit. Namun, itulah hidup yang harus
dihadapinya.
Jam
dinding tua di kamarnya berbunyi hingga 10 kali tanda malam itu tepat pukul
22.00 WIB. Matanya tak mau memejam entah karena memang enggan untuk terlelap atau
karena telinga yang bising akan cekcok antara dua manusia paruhbaya berlainan
jenis. Yang masih saja seperti anak kecil, tidak pernah bisa menyelesaikan
masalah tanpa bertengkar.
Seolah
terbiasa mendengar mereka beradu mulut anak itu diam dan mengintip di celah
kamarnya. Batinnya memberontak dan tak kuasa menahan dipukulnya cermin yang ada
di hadapannya hingga membuat tangannnya
berlumuran darah. Kerapuhan telah
mengalahkan luka yang terbukus dalam benak jiwa yang berserekan amarah dan
tangisan .
Malam
berganti pagi, sepulang sekolah pertengkaran itu semakin menjadi. Tiba-tiba,
terdengar suara yang keras dan tangisan. Yang membuatnya terhenti sejenak di
halaman rumahnya sambil mengempalkan tangan yang berusaha menahan air mata. “Kamu
tidak pernah pulang! Memberiku dan anak-anak nafkah pun tak sebanding dengan
kebutuhan! Apakah itu yang disebut suami? Itu yang disebut kepala keluarga?”
Kalimat yang terlontar dari mulut ibu tersebut. Entah apa yang terjadi di dalam
sana.
Tak
lama kemudian Ayahnya pun keluar sambil membawa koper. Anak itu pun berlari
memasuki rumahnya. Ia melihat pecahan piring yang berserakan. Darah yang
bercucuran pada ujung bibir ibunya. Ia pun menghampiri wanita yang bertaruh
nyawa melahirkannya. Lalu, memeluk dan menghapus air yang jatuh yang entah
berasal dari mana.
Kehidupannya
hanya menjadi pencetak diri sebagai
gadis muda yang penuh beban dan menutupi semuanya dengan senyuman palsu. Hari-hari
yang ia lewati tak pernah terlepas dari perkelahian hanya untuk menutupi luka
yang tak berdarah. Ia menjadi anak brandalan seakan dunianya hanya mengenal
kekerasan. Dalam hidupnya Ia selalu menganggap keluarga adalah berlian yang
paling berharga yang tak bisa terukur
dan ditukar dengan apapun. Meski kasih
sayang itu terlihat sederhana tapi maknanya sangat berarti yang tak bisa di
jangkau oleh logika melainkan rasa.
Penguat
hidupnya hanyalah sosok wanita tua yang begitu tegar. Menghiraukan teriknya
panas matahari, tak pernah lelah meski keringat telah bercucuran. Bagi dirinya
masa depan anaknya adalah yang nomor satu. Ia memiliki segudang impian suatu saat nanti anaknya menjadi orang
yang sukses. Memakai pakaian rapi, memilki jabatan, dihormati oleh banyak orang
dan mendapat pasangan hidup yang tak semenah-menah terhadap dirinya.
Pagi
yang begitu cerah hingga mataharipun tersenyum melupakan masalah yang terjadi
dan tetap menjalani hidup seperti air yang mengalir. Seorang ibu yang harus
mengeringkan luka meski itu masih basah. Di sampingnya Ia memperhatikan gadis
kecil yang sedang tertidur sambil mengulas-ulas
kepalanya dan mengatakan “ maafkan ibu” dengan nada yang halus air mata pun
terjatuh . Anak gadis itupun membalikan badannya sambil menetaskan air mata yang
berpura-pura tertidur pulas. Ibunya pun bergegas bangun dan menyiapkan sarapan untuk
anaknya.
Aroma
yang begitu harum tercium di dalam dapur namun suasana hati masih tak senikmat
harumnya makanan. Anak gadis itupun mempersiapkan diri seolah-olah semuanya
terasa baik-baik saja. Pelangi yang dipancarkan oleh ibunya membuatnya mampu
melewati badai apapun. Tapi tak bisa dipungkiri kenyataan pahit itu masih saja
terlintas dibenaknya. Untuk melupakan hal itu tak semudah yang terucap.
Ruang
dengan suasana tengah keramaian segerumbulan orang yang sedang berbicang-bincang
sambil tertawa terbahak-bahak tak mempengaruhi dirinya sedikitpun. Yang ia
lakukan hanyalah memejamkan mata di sudut ruang menikmati mimpi yang dianggap itulah surganya.
Permasalahan semalam tak mampu membuatnya memejamkan mata hingga Waktupun berlalu
dengan cepat terdengar bunyi yang tak asing baginya “kring…kringg..”. Seorang wanita yang
berseragam batik dengan wajah yang tegas
memasuki ruang
Tak merasakan kehadiran wanita yang
berjubah batik menimbulkan permasalahan yang di pancarkan oleh amarah dengan
teriakan yang keras hingga membuatnya tersentak membuka mata kebingungan. Tak merasa
bersalah sedikit pun, wanita yang berjubah mengubah dirinya menjadi layaknya monster
yang memagang kayu dan mengarahkan kepada anak gadis tersebut. Lagi dan lagi
kekerasan masih saja ia dapatkan seolah terbiasa dengan hal tersebut ia hanya
tersenyum. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain tersenyum.
Situasi tersebutpun kembali seperti
semula setelah kepergiannya. Karna telah merasa lelah dengan sikap kelakuan
anak itu yang selalu berkelehi dan tertidur di dalam ruang. Guru tersebut
mengambil keputusan untuk menyerah menghadapi sikap pemberontakan. Tanpa
mengetahui penyebab dan mencari tahu
alasan mengenai permasalahan siswa tersebut. Seorang guru memiliki kewajiban
untuk mendidik siswanya memberikan ilmu
tapi guru bukan hanya sekedar itu saja melainkan orang tua kedua bagi
siswanya. Seorang siswa yang berharap seperti dalam sinetron-sinetron yang
biasa dia amati. Menjadikan guru sebagai sahabat tempat untuk berbagi tidak ia
dapatkan. Seakan hanya terjadi dalam dunia film saja itulah yang terbesit dalam
benaknya. Tapi hal itu tak membuat air matanya terjatuh bagi dirinya hal ini
merupakan sesuatu hal yang biasa untuknya. Yang diperlukannya hanya menenagkan
diri saja.
Tak
tau arah dan tujuan untuk melangkahkan kaki ke suatu tempat yang membuatnya
dapat menjadi lebih nyaman dan jauh dari permasalahan. Ketakutan menghampirinya
tentang kekecawan yang akan dirasakan wanita tua yang telah berjuang untuknya.
Keresahan selalu saja ada membawa beban yang dipikulnya tak punya tempat untuk
meluapkan dan merasa enggan untuk bercerita.
Berhenti
sejenak disuatu tempat yang jauh dari keramaian. Setidaknya mampu menghirup
udarah yang segar . Tiba-tiba terdengar tangisan dari sudut pohon menganggunya.
Penasaran dan rasa takutpun menghampiri dengan mengumpulkan keberanian
terlihatlah seorang anak gadis yang seumurannya menangis tersedu-sedu seolah
tak ingin memusingkan diri mengingat masalah yang ia hadapi tak kunjung
berakhir.
Melangkahkan
kaki untuk pergi serta keingainan untuk pergi namun rasa kepeduliannya pun
menghampiri. Karna tak terbiasa berkata halus dan hanya mengenal kata-kata
kasar yang diketahuinya. Ia pun membentak anak tersebut dan berkata “hey…berhenti
menangis kau telah menganggu tidur ku” dengan nada yang keras namun dalam hati
penuh rasa simpati hanya saja tak ingin
menampakkan sisi kebaikannya. Anak yang ia temui pun jawab “ maafkan aku
...” yang berusaha menghentikan air mata. Ia pun memalingkan badan dan
dihentikannya oleh perkataan permintaan untuk mendengarkan untaian-untaian
permasalahan yang tak dapat ia simpan sendiri. Bahwa kepergian ibunya
membuatnya di asingka oleh sosok laki-laki yang telah membuatnya ada di dunia
ini. Setelah itu terbesik timbul rasa syukur karna ibunya masih slalu ada
Melaui
percakapan dan pertemuan tersebut menemukan makna baru arti awal persahabatan
yang mereka rasakan memilki peristiwa dan kenangan masa yang amat pahit. Sekali
lagi Sama-sama hanya memahami kata kekerasan hanya itu dan itu.
Kepulangannya
pun ditunggu-tunggu oleh sang ibu senyuman yang tak asing baginya merupakan
energi yang muncul dari dalam hati pengobat luka. Kekhawatiran mengenai
tentangnya akan berdampak buruk mengenai mimpi yang telah ibunya bangun
berharap hal itu terjadi jika hanya sebuah angan-angan kosong bagai layang-layang
yang tertiup angin terbawa berlalu. Melihat senyuman itu masih tetap ada
keberanian itu tetap saja sejenak meninggalkan rasanya.
Kebenaran
tetaplah kebenaran yang akan terungkap meski sudah terkubur dengan rapi tapi
masih saja akan meninggalkan jejak. Tak sengeja sepuncuk surat mengenai
pengeluaran dirinya. Ditemukan ibunya saat membersihkan kamarnya yang
berserekan . Ketakutan itupun akhirnya terjadi. Kekecewaan membuatnya tak bisa
berkata-kata sesakkan nafas mulai menimbulkan efek yang buruk untuknya.
Badannya pun mulai lemas sambil memegang dada yang berusaha menahan rasa sakit
hingga membuat dirinya terjatuh.
Melihat
ibunya yang telah terbaring lemah di lantai membuatnya menjadi panik mengingat
bahwa ibunya memilki penyakit jantung membutnya takut akan sebuah kehilangan.
Tak berhenti mengucapkan kata maaf meski itu terucap seribu kalipun tak akan
mampu mengubah apapun. Dengan rasa bersalah dan penuh penyesalan mengingat
semua kebodohan yang dia lakukan. Membuatnya terpukul dan tak tau meski berbuat
apa selain meminta tolong… kepada orang yang ada diluar sana untuk membawa
ibunya ke rumah sakit.
Ruang
yang penuh dengan aroma obat-obatan. Wanita yang mengunakan pakaian putih putih
sambil membawa jarum suntik. Tak dihiraukannya yang ia lakukan hanyalah berdoa
dengan penuh harapan ibunya akan kembali pulih. Karna tak tau kemana harus
berbagi cerita ia mengingat seorang anak gadis yang seumuran dengannya. Yang
kini telah menjadi sahabatnya diberitahu mengenai permasalahannya. Hatinya pun
cukup legah setelah berbicang-bicang meskipun ketakutan itu masih ada.
Detik
demi detik waktupun berlalu namun masih saja tak ada kabar baik mengenai
kondisi ibunya. Ia hanya terdiam berdiri
di sudut ruang menunggu kebahagian itu akan datang. Perut yang sudah
keroncongan mengeluarkan suara menandakan kelaparan terhadapnya tak mampu
mengalahkan rasa kekhawatiran kepada ibunya.
Tak
lama kemudian, Untung saja sahabatnya yang bernama selvi sebutan untuknya. Memberikan
semangat dan dukungan bukan hanya itu iapun membawakan sebuah rantang yang
berisikan makanan untuknya.
Perasaan
yang penuh kegelisahan tak membuat dirinya menyentuh spercik makanan yang
dibawakan oleh sahabatnya. Seorang sahabat yang begitu sabar menemaninya
berdiri disampingnya dalam situasi apapun. Tak ingin melihatnya dalam keadaan
tak berdaya. Selvipun memaksanya untuk makan meskipun itu hanya sesuap nasi
saja. Paling tidak hal itu dapat membuat perutnya menjadi lebih baik.
Waktu
yang telah ditunggu pun terjadi akhirnya ibunya terbangun dari tidurnya yang
sekian lama di nantikan oleh anaknya. Kesadaran itu membuatnya bahagia namun
disisi lain timbul rasa penyesalan. Ia pun memasuki ruang yang hanya terlihat
hanyalah bantuan oksigen serta selang yang tertancap di salah satu tangannya.
Mata
yang perlahan-lahan dibuka oleh ibunya, melihat anaknya dengan pakaian yang
kotor rambut teracak-acak. Membuat ibunya menetaskan air mata dalam benaknya
terlintas “apa yang akan terjadi kepada anakku jika aku tak mampu bangun lagi”
Tanya dalam hatinya. Ksesdihan pun selalu saja terjadi.
Anak
tersebut memeluk ibunya dan mengatakan “maafkan aku” dengan nada yang
tersedu-sedu. Sambil meneteskan air mata yang tak mampu ia bendungi. Ibunya
tersenyum karna sekian lama semenjak berumuran 9 tahun ini merupakan hal yang pertama ia melihat
anaknya menangis. Bahkan jika mendapatkan perlakuan kasar dari ayahnya ia tak
pernah sedikitpun meneteskan air mata. Kesedihan yang selalu saja ia tutupi dengan
kediaman. Tak Pernah mengadu sedikitpun apalagi bercerita layaknya seperti anak
pada umumnya.
Ibunya
menceritakan tentang mimpi yang ia lihat selama dalam keadaan tak sadar ia
meliahat anaknya menjadi seorang dokter yang sukses. Anak itupun berkata bahwa
akan ku wujudkan mimpi itu. Apaun harapan dan impian ibunya ia akan lakukan
karna alasan untuk bertahan dalam hidup ini hanyalah seorang ibu baginya.
Kepindahan
dirinya ke sekolah barunya ternyata tak disangka, sahabatnya yang bernama selvi
berada disitu pula. Tak perlu bersusah payah untuk berinteraksi. Mengubah
hidupnya menjadi lebih baik bersama dengan sahabatnya. Tak perlu lagi menjadi
orang asing ditengah-tengah keramaian.
Belajar
belajar dan bekerja hal itu yang ia lakukan akhir-akhir ini demi mewujudkan
mimpi ibunya. Pikiran yang kini hanya menganal ringkasan buku-buku yang
tertuang dalam ingatan membuatnya menjadi lebih baik. Mengisi kekosongan waktu
dengan mencari sesuap nasi di atas kerasnya hidup yang dijalani.
Di
sela-sela waktu kesibukan menyempatkan waktu untuk Tuhan dan ibunya. Perubahan
yang terjadi dalam dirinya membuat kondisi ibunya menjadi lebih baik. Senyuman
yang dipancarkan dan canda tawa yang ia
lakukan bersama membuatnya mengenal arti kesempurnaan hidup. Meski hal itu tak
sebenarnya karna masih ada sosok seorang ayah yang telah terbuang.
Waktu
yang kian berjalan membuatnya menjadi orang yang dewasa di tengah kelulusannya
di salah satu Universitas Negeri di Jakarta membuat usahanya yang selama ini
tak sia-sia. Namun di tengah kebagian itu, kabar yang menyakitkan pun
menghamprinya. Ibunya meninggal dunia di saat ia ingin menunjukkan
keberhasilannya. Tangisan pun terjatuh begitu deras. Perawat yang menjaga ibunya
menitipkan surat kepadanya untuk diberikan anaknya. Yang berisikan “Teruskan
mimpi ibu, karna ibu masih bisa melihatnya meski tak ada disisi mu” air mata
itupun terjatuh meningat senyuman terakhir yang ia lihat.
Tak
ingin larut dalam kesedihan ia berusaha bangkit selalu membawa selembar kertas
gambaran foto ibunya. Setiap ingin kali terjatuh hanyalah selembar foto itu membuatnya menjadi lebih kuat lagi.
Musim
berganti begitu cepat keberhasilannya pun terjadi mimpi dan harapan ibunya
terwujud. Bukan hanya itu ia dikenal sebagai dokter yang pandai memainkan pisau
dalam beroperasi. Seorang anak yang masa lalunya penuh dengan luka yang dikenal
gelar dengan sebutan brandalan kini
mampu menjadi seorang dokter yang merupakan pahlawan di mata masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar