Sabtu, 10 Juni 2017

SUKRIANI


#cerpen


PENDEKATAN OBJEKTIF PADA NOVEL BIRU PADA JANUARI
KARYA ADITIA YUDIS
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kegiatan menganalisis karya sastra merupakan hal yang lumrah dilakukan sebagai suatu proses pemaknaan atau pemberian makna terhadap karya sastra dengan intensitas estetik,  istilah lainnya adalah konkretisasi. Berbagai pendekatan ditawarkan, salah satu diantaranya pendekatan objektif yaitu pendekatan yang menitikberatkan pada karya sastra itu sendiri, pendekatan ini beranggapan karya sastra sebagai sesuatu yang otonom. Sebagai struktur yang otonom, karya sastra
dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunnya. Oleh karena itu, untuk memahami maknanya, karya sastra harus dianalisis berdasarkan strukturnya sendiri, lepas dari berbagai unsur yang ada di luar struktur signifikansinya.
Karya sastra itu tidak lahir dalam kekosongan budaya (Teeuw, dikutip Rachmat Djoko Pradopo 2007:107). Berarti karya sastra lahir dalam dari sejarah dan sosial-budaya suatu bangsa yang dibuat oleh sastrawan yang menuliskannya berdasarkan apa yang ada didalam kehidupannya di suatu masyarakat. Oleh karena itu seorang sastrawan selalu melibatkan dan tidak terlepas dari latar sosial budayanya. Dan kesemuanya itu terpancar dari setiap karya satra yang dibuatnya.
1.2 Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang dalam makalah ini, dapat disimpulkan bahwa rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu:
 2.1 Bagaimanakah konsep dasar pendekatan objektif?
2.2 Bagaimanakah penerapan pendekatan objektif? 

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Dasar  Pendekatan Objektif
Pendekatan struktural dipelopori oleh kaum Formalis Rusia dan Strukturalisme Praha, yang mendapat pengaruh langsung dari teori Saussure yang mengubah studi linguistik dari pendekatan diakronik ke sinkronik. Studi linguistik tidak lagi ditekankan pada sejarah perkembangannya, melainkan pada hubungan antar unsurnya. Masalah unsur dan hubungan antarunsur merupakan hal yang penting dalam pendekatan ini  (Nurgiyantoro, 2000:36). Aliran ini muncul dengan teori strukturalisme yang dikemukakan oleh anthropolog Perancis, Claudio Levi  Strauss. Teori ini dikembangkan dalam linguistik oleh  Ferdinand de Saussure dengan bukunya Cours de Linguistique Generale.(Djojosuroto, 2006: 33)
Pendekatan Objektif adalah pendekatan yang memberi perhatian penuh pada karya sastra sebagai struktur yang otonom,   karena itu tulisan ini mengarah pada analisis karya sastra secara strukturalisme. Sehingga pendekatan strukturalisme  dinamakan juga pendekatan objektif.  Semi (1993:67) menyebutkan bahwa pendekatan struktural dinamakan juga pendekatan objektif, pendekatan formal, atau pendekatan analitik. Strukturalisme berpandangan bahwa untuk menanggapi karya sastra secara objektif haruslah berdasarkan pemahaman terhadap teks karya sastra itu sendiri. Proses menganalisis diarahkan pada pemahaman terhadap bagian-bagian karya sastra dalam menyangga keseluruhan, dan sebaliknya bahwa keseluruhan itu sendiri dari bagian-bagian (Sayuti, 2001; 63). , Oleh  karena itu, untuk memahami maknanya, karya sastra harus dianalisis berdasarkan strukturnya sendiri, lepas dari latar belakang sejarah, lepas dari diri dan niat penulis, dan lepas pula dari efeknya pada pembaca. Mengacu istilah Teeuw (1984:134) , jadi yang penting hanya close reading, yaitu cara membaca yang bertitik tolak dari pendapat bahwa setiap bagian teks harus menduduki tempat di dalam seluruh struktur sehingga kait-mengait secara masuk akal ( Pradotokusumo, 2005 : 66) .
Jeans Peaget dalam Suwondo (2001:55) menjelaskan bahwa di dalam pengertian struktur terkandung tiga gagasan , Pertama, gagasan keseluruhan (whoneles), dalam arti bahwa bagian-bagian menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang menentukan baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya. Kedua, gagasan transformasi (transformation), yaitu struktur itu menyanggupi prosedur transformasi yang terus-menerus memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru. Ketiga, gagasan mandiri (Self Regulation), yaitu tidak memerlukan hal-hal dari luar dirinya untuk mempertahankan prosedur transformasinya. Sekaitan dengan itu Aristoteles dalam   Djojosuroto (2006 : 34)  menyebutkan adanya empat sifat struktur, yaitu: order (urutan teratur),  amplitude (keluasan yang memadai),  complexity (masalah yang komplek), dan unit (kesatuan yang saling terjalin)
Sejalan dengan konsep dasar di atas, Suwondo (2001:55) berpendapat memahami sastra strukturalisme berarti memahami karya sastra dengan menolak campur tangan dari luar. Jadi memahami karya sastra berarti memahami unsur-unsur yang membangun struktur. Dengan demikian analisis struktur bermaksud memaparkan dengan cermat kaitan unusr-unsur dalam sastra sehingga menghasilkan makna secara menyeluruh.  Rene Wellek  (1958 : 24) menyatakan bahwa analisis sastra harus mementingkan segi intrinsik. Senada dengan pendapat tersebut Culler memandang bahwa karya sastra bersifat otonom yang maknanya tidak ditentukan oleh hal di luar karya sastra itu ( Culler, 1977:127). Istilah lainnya anti kausal dan anti tinjauan historis (Djojosuroto, 2006:35)
Analisis karya sastra dengan pendekatan strukturalisme memiliki berbagai kelebihan, diantaranya (1) pendekatan struktural memberi peluang untuk melakukan telaah atau kajian sastra secara lebih rinci dan lebih mendalam, (2)  pendekatan ini mencoba melihat sastra sebagai sebuah karya sastra dengan hanya mempersoalkan apa yang ada di dalam dirinya, (3) memberi umpan balik kepada penulis sehingga dapat mendorong penulis untuk menulis secara lebih berhati-hati dan teliti (Semi, 1993: 70). Selain memiliki beberapa kelebihan, pendekatan inipun  mengandung berbagai  kelemahan. Secara terinci Teeuw menjelaskan empat kelemahan strukturalisme murni , yakni: 1) strukturalisme belum mengungkapkan teori sastra yang lengkap, 2) karya  sastra  tidak dapat diteliti secara terasing dan harus dipahami dalam suatu sistem satra dengan latar belakang sejarahnya, 3) adanya unsur objektif dalam karya sastra disangsikan karena peranan  pembaca cukup  dalam turut memberi makna, 4) penafsiran puisi yang menitikberatkan otonomi puisi menghilangkan konteks dan fungsinya sehingga puisi dimenaragadingkan dan kehilangan relevansi sosialnya (Teeuw, 1984 : 176). Sekaitan dengan itu  Scholes dalam Sayuti (2001:64) menyatakan bahwa strukturalisme menghadapi bahaya karena dua hal pokok, yaitu (1) tidak memiliki kelengkapan sistematis yang justru menjadi tujuan pokoknya, (2) menolak makna atau isi karya sastra dalam konteks kultural di seputar sistem sastra. Hal ini disebabkan  karena analisis struktural itu merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, tidak memerlukan pertolongan dari luar struktur, padahal karya sastra itu tidak terlepas dari situasi kesejarahannya, kerangka sosial budayanya. Di samping itu peran pembaca sebagai pemberi makna karya sastra tidak dapat diabaikan.   Kendati mengandung berbagai kelemahan Teeuw (1983:61) berpendapat bahwa bagaimanapun juga analisis struktural merupakan tugas prioritas bagi serorang peneliti sastra sebelum ia melangkah pada hal-hal lain. Jadi, untuk memahami karya sastra secara optimal, pemahaman terhadap struktur merupakan tahap yang sukar dihindari.  Akibat adanya berbagai kelemahan itulah kemudian para kritikus mengembangkan model-model pendekatan lain sebagai reaksi strukturalisme dengan tetap mempertahankan prinsip struktur dan membuang prinsip otonomi yang dijelaskan dalam strukturalisme murni, seperti semiotik dan dekonstruksi.
Pada intinya, teori strukturalisme beranggapan karya sastra itu merupakan sebuah struktur yang unsur-unsurnya saling berkaitan. Sehingga unsur-unsurnya itu tidak mempunyai makna dengan sendirinya, maknanya ditentukan oleh saling keterkaitan dengan unsur-unsur lainnya sehingga membentuk totalitas makna. Adapun  tujuannya adalah mendeskripsikan secermat mungkin keterkaitan semua unsur karya sastra yang secara bersama-sama sehingga menghasilkan makna karya sastra secara menyeluruh. Sebagai konsekuensi terhadap pandangan yang menganggap karya sebagai sesuatu yang otonom ,bagian selanjutnya adalah bagaimana menerapkannya dalam menganalisis karya sastra khususnya puisi ?
2.2 Penerapan Pendekatan Objektif
Pendekatan ini lebih banyak digunakan dalam bidang puisi (Jefferson, 1982:84)  Tulisan  ini pun bermaksud menerapkan pendekatan objektif dalam menganalisis puisi. Dalam lingkup puisi , Pradopo (2000: 14) menguraikan bahwa karya sastra itu tak hanya merupakan satu sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Masing-masing norma menimbulkan lapis norma dibawahnya. Mengacu pendapat Roman Ingarden, seorang filsuf Polandia, Rene Wellek dalam Pradopo (2000:14) menguraikan norma-norma itu , yaitu (1) lapis bunyi  (sound stratum), misalnya bunyi suara dalam kata,frase, dan kalimat,(2) lapis arti (units of meaning), misalnya arti dalam fonem, suku kata, kata, frase, dan kalimat, (3) lapis objek, misalnya objek-objek yang dikemukakan seperti latar, pelaku, dan dunia pengarang. Selanjutnya Roman Ingarden masih menambahkan dua lapis norma lagi (1) lapis dunia , dan (2) lapis metafisis.








ANALISIS LATAR NOVEL BIRU PADA JANUARI
a. Latar/setting tempat
1.      Tempat yang menjadi latar dalam novel ini pertama adalah kamar Mayra dan Samudra. Berikut kutipan sebagai bukti latar tempat di kamar:
“pandangannya beralih ke cermin besar di mejanya, luas permukannya nyaris menunjukkan seluruh isi kamar itu.
2.      Di dalam pesawat. pembuktiannya pada kutipan berikut:
“tatapannya menembus jendela pesawat kearah keabunya runway.”
3.      Rumah Sakit. pembuktiannya pada kutipan berikut:
“Dia pingsan. dan, pastinya sekarang dia ada di rumah sakit.”
b. Latar/setting waktu
1)      Pagi hari terdapat pada kutipan berikut ini:
“ini masih pagi, tetapi siapa yang peduli? hanya ada mereka berdua di sana.”
2)      malam hari tedapat pada kutipan berikut ini:
“mayra mengamati adam yang bertekad berenang meskipun malam hari”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUH. RIDHO S

#TugasIndividu ANALISIS NOVEL RADEN MANDASIA SI PENCURI DAGING SAPI BERDASARKAN PENDEKATAN RESEPSI SASTRA Landasan Teori Secara d...