#cerpen
PENDEKATAN
OBJEKTIF PADA NOVEL BIRU PADA JANUARI
KARYA
ADITIA YUDIS
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kegiatan
menganalisis karya sastra merupakan hal yang lumrah dilakukan sebagai suatu
proses pemaknaan atau pemberian makna terhadap karya sastra dengan intensitas
estetik, istilah lainnya adalah konkretisasi. Berbagai pendekatan
ditawarkan, salah satu diantaranya pendekatan objektif yaitu pendekatan yang
menitikberatkan pada karya sastra itu sendiri, pendekatan ini beranggapan karya
sastra sebagai sesuatu yang otonom. Sebagai struktur yang otonom, karya sastra
dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur
pembangunnya. Oleh karena itu, untuk memahami maknanya, karya sastra harus
dianalisis berdasarkan strukturnya sendiri, lepas dari berbagai unsur yang ada
di luar struktur signifikansinya.
Karya sastra itu tidak lahir dalam kekosongan budaya
(Teeuw, dikutip Rachmat Djoko Pradopo 2007:107). Berarti karya sastra lahir
dalam dari sejarah dan sosial-budaya suatu bangsa yang dibuat oleh sastrawan
yang menuliskannya berdasarkan apa yang ada didalam kehidupannya di suatu
masyarakat. Oleh karena itu seorang sastrawan selalu melibatkan dan tidak
terlepas dari latar sosial budayanya. Dan kesemuanya itu terpancar dari setiap
karya satra yang dibuatnya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang dalam makalah ini, dapat disimpulkan bahwa rumusan masalah dalam
makalah ini, yaitu:
2.1 Bagaimanakah konsep dasar pendekatan
objektif?
2.2 Bagaimanakah penerapan pendekatan objektif?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Dasar Pendekatan Objektif
Pendekatan
struktural dipelopori oleh kaum Formalis Rusia dan Strukturalisme Praha, yang
mendapat pengaruh langsung dari teori Saussure yang mengubah studi linguistik
dari pendekatan diakronik ke sinkronik. Studi linguistik tidak lagi ditekankan
pada sejarah perkembangannya, melainkan pada hubungan antar unsurnya. Masalah
unsur dan hubungan antarunsur merupakan hal yang penting dalam pendekatan
ini (Nurgiyantoro, 2000:36). Aliran ini muncul dengan teori
strukturalisme yang dikemukakan oleh anthropolog Perancis, Claudio Levi
Strauss. Teori ini dikembangkan dalam linguistik oleh Ferdinand de
Saussure dengan bukunya Cours de Linguistique Generale.(Djojosuroto,
2006: 33)
Pendekatan
Objektif adalah pendekatan yang memberi perhatian penuh pada karya sastra sebagai
struktur yang otonom, karena itu tulisan ini mengarah pada analisis
karya sastra secara strukturalisme. Sehingga pendekatan strukturalisme
dinamakan juga pendekatan objektif. Semi (1993:67) menyebutkan bahwa
pendekatan struktural dinamakan juga pendekatan objektif, pendekatan formal,
atau pendekatan analitik. Strukturalisme berpandangan bahwa untuk menanggapi
karya sastra secara objektif haruslah berdasarkan pemahaman terhadap teks karya
sastra itu sendiri. Proses menganalisis diarahkan pada pemahaman terhadap
bagian-bagian karya sastra dalam menyangga keseluruhan, dan sebaliknya bahwa
keseluruhan itu sendiri dari bagian-bagian (Sayuti, 2001; 63). , Oleh
karena itu, untuk memahami maknanya, karya sastra harus dianalisis berdasarkan
strukturnya sendiri, lepas dari latar belakang sejarah, lepas dari diri dan
niat penulis, dan lepas pula dari efeknya pada pembaca. Mengacu istilah Teeuw
(1984:134) , jadi yang penting hanya close reading, yaitu cara membaca
yang bertitik tolak dari pendapat bahwa setiap bagian teks harus menduduki
tempat di dalam seluruh struktur sehingga kait-mengait secara masuk akal (
Pradotokusumo, 2005 : 66) .
Jeans
Peaget dalam Suwondo (2001:55) menjelaskan bahwa di dalam pengertian struktur
terkandung tiga gagasan , Pertama, gagasan keseluruhan (whoneles), dalam
arti bahwa bagian-bagian menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik
yang menentukan baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya. Kedua,
gagasan transformasi (transformation), yaitu struktur itu menyanggupi prosedur
transformasi yang terus-menerus memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru.
Ketiga, gagasan mandiri (Self Regulation), yaitu tidak memerlukan
hal-hal dari luar dirinya untuk mempertahankan prosedur transformasinya.
Sekaitan dengan itu Aristoteles dalam Djojosuroto (2006 :
34) menyebutkan adanya empat sifat struktur, yaitu: order (urutan
teratur), amplitude (keluasan yang memadai), complexity (masalah
yang komplek), dan unit (kesatuan yang saling terjalin)
Sejalan
dengan konsep dasar di atas, Suwondo (2001:55) berpendapat memahami sastra
strukturalisme berarti memahami karya sastra dengan menolak campur tangan dari
luar. Jadi memahami karya sastra berarti memahami unsur-unsur yang membangun
struktur. Dengan demikian analisis struktur bermaksud memaparkan dengan cermat
kaitan unusr-unsur dalam sastra sehingga menghasilkan makna secara
menyeluruh. Rene Wellek (1958 : 24) menyatakan bahwa analisis
sastra harus mementingkan segi intrinsik. Senada dengan pendapat tersebut
Culler memandang bahwa karya sastra bersifat otonom yang maknanya tidak
ditentukan oleh hal di luar karya sastra itu ( Culler, 1977:127). Istilah
lainnya anti kausal dan anti tinjauan historis (Djojosuroto, 2006:35)
Analisis
karya sastra dengan pendekatan strukturalisme memiliki berbagai kelebihan,
diantaranya (1) pendekatan struktural memberi peluang untuk melakukan telaah
atau kajian sastra secara lebih rinci dan lebih mendalam, (2) pendekatan
ini mencoba melihat sastra sebagai sebuah karya sastra dengan hanya
mempersoalkan apa yang ada di dalam dirinya, (3) memberi umpan balik kepada
penulis sehingga dapat mendorong penulis untuk menulis secara lebih
berhati-hati dan teliti (Semi, 1993: 70). Selain memiliki beberapa kelebihan,
pendekatan inipun mengandung berbagai kelemahan. Secara terinci
Teeuw menjelaskan empat kelemahan strukturalisme murni , yakni: 1)
strukturalisme belum mengungkapkan teori sastra yang lengkap, 2) karya
sastra tidak dapat diteliti secara terasing dan harus dipahami dalam
suatu sistem satra dengan latar belakang sejarahnya, 3) adanya unsur objektif
dalam karya sastra disangsikan karena peranan pembaca cukup dalam
turut memberi makna, 4) penafsiran puisi yang menitikberatkan otonomi puisi
menghilangkan konteks dan fungsinya sehingga puisi dimenaragadingkan dan
kehilangan relevansi sosialnya (Teeuw, 1984 : 176). Sekaitan dengan itu
Scholes dalam Sayuti (2001:64) menyatakan bahwa strukturalisme menghadapi
bahaya karena dua hal pokok, yaitu (1) tidak memiliki kelengkapan sistematis
yang justru menjadi tujuan pokoknya, (2) menolak makna atau isi karya sastra
dalam konteks kultural di seputar sistem sastra. Hal ini disebabkan
karena analisis struktural itu merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, tidak
memerlukan pertolongan dari luar struktur, padahal karya sastra itu tidak
terlepas dari situasi kesejarahannya, kerangka sosial budayanya. Di samping itu
peran pembaca sebagai pemberi makna karya sastra tidak dapat diabaikan.
Kendati mengandung berbagai kelemahan Teeuw (1983:61) berpendapat
bahwa bagaimanapun juga analisis struktural merupakan tugas prioritas bagi
serorang peneliti sastra sebelum ia melangkah pada hal-hal lain. Jadi, untuk
memahami karya sastra secara optimal, pemahaman terhadap struktur merupakan
tahap yang sukar dihindari. Akibat adanya berbagai kelemahan itulah
kemudian para kritikus mengembangkan model-model pendekatan lain sebagai reaksi
strukturalisme dengan tetap mempertahankan prinsip struktur dan membuang
prinsip otonomi yang dijelaskan dalam strukturalisme murni, seperti semiotik
dan dekonstruksi.
Pada intinya,
teori strukturalisme beranggapan karya sastra itu merupakan sebuah struktur
yang unsur-unsurnya saling berkaitan. Sehingga unsur-unsurnya itu tidak
mempunyai makna dengan sendirinya, maknanya ditentukan oleh saling keterkaitan
dengan unsur-unsur lainnya sehingga membentuk totalitas makna. Adapun
tujuannya adalah mendeskripsikan secermat mungkin keterkaitan semua unsur karya
sastra yang secara bersama-sama sehingga menghasilkan makna karya sastra secara
menyeluruh. Sebagai konsekuensi terhadap pandangan yang menganggap karya
sebagai sesuatu yang otonom ,bagian selanjutnya adalah bagaimana menerapkannya
dalam menganalisis karya sastra khususnya puisi ?
2.2 Penerapan Pendekatan Objektif
Pendekatan
ini lebih banyak digunakan dalam bidang puisi (Jefferson, 1982:84)
Tulisan ini pun bermaksud menerapkan pendekatan objektif dalam
menganalisis puisi. Dalam lingkup puisi , Pradopo (2000: 14) menguraikan bahwa
karya sastra itu tak hanya merupakan satu sistem norma, melainkan terdiri dari
beberapa strata (lapis) norma. Masing-masing norma menimbulkan lapis norma
dibawahnya. Mengacu pendapat Roman Ingarden, seorang filsuf Polandia, Rene
Wellek dalam Pradopo (2000:14) menguraikan norma-norma itu , yaitu (1) lapis
bunyi (sound stratum), misalnya bunyi suara dalam kata,frase, dan
kalimat,(2) lapis arti (units of meaning), misalnya arti dalam fonem,
suku kata, kata, frase, dan kalimat, (3) lapis objek, misalnya objek-objek yang
dikemukakan seperti latar, pelaku, dan dunia pengarang. Selanjutnya Roman Ingarden
masih menambahkan dua lapis norma lagi (1) lapis dunia , dan (2) lapis
metafisis.
ANALISIS
LATAR NOVEL BIRU PADA JANUARI
a.
Latar/setting tempat
1.
Tempat yang
menjadi latar dalam novel ini pertama adalah kamar Mayra dan Samudra. Berikut kutipan sebagai bukti latar tempat di
kamar:
“pandangannya beralih ke cermin besar di
mejanya, luas permukannya nyaris menunjukkan seluruh isi kamar itu.
2.
Di
dalam pesawat. pembuktiannya pada kutipan berikut:
“tatapannya menembus jendela pesawat
kearah keabunya runway.”
3.
Rumah
Sakit. pembuktiannya pada kutipan berikut:
“Dia pingsan. dan, pastinya sekarang dia
ada di rumah sakit.”
b.
Latar/setting waktu
1)
Pagi
hari terdapat pada kutipan berikut ini:
“ini masih pagi, tetapi siapa yang peduli?
hanya ada mereka berdua di sana.”
2)
malam
hari tedapat pada kutipan berikut ini:
“mayra mengamati adam yang bertekad
berenang meskipun malam hari”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar