NAMA ANGGOTA KELOMPOK:
1.
Hasrah
Selpiani Rahayu
2.
Dian Donna Putri Sumarlin
3.
Nur
Fitri Syamarkandi
4.
Sri
Fitriani
5.
Meydi
Amanda Mulya
6.
Muh.
Abdi Arismunandar
Analisi Novel Pada Sebuah Kapal-Pendekatan
Feminisme
A.
Kritik
Sastra Feminisme
Pendekatan
feminisme dalam kajian sastra sering dikenal dengan kritik sastra feminisme.
Feminis menurut Nyoman Kutha Ratna (2005: 226) berasal dari kata femme yang
berarti perempuan. Sugihastuti (2002:18) berpendapat bahwa feminisme adalah
gerakan persamaan antara laki-laki dan perempuan di segala bidang baik politik,
ekonomi, pendidikan, sosial dan kegiatan terorganisasi yang mempertahankan
hak-hak serta kepentingan perempuan. Feminisme juga menurut Sugihastuti
merupakan kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam
masyarakat, baik di tempat kerja dan rumah tangga.
Feminisme
berbeda dengan emansipasi, Sofia dan Sugihastuti (dalam Sugihastuti dan Itsna
Hadi Saptiawan, 2007: 95) menjelaskan bahwa emansipasi lebih menekankan pada
partisipasi perempuan dalam pembangunan tanpa mempersoalkan hak serta
kepentingan mereka yang dinilai tidak adil, sedangkan feminisme memandang
perempuan memiliki aktivitas dan inisiatif sendiri untuk mempergukan hak dan
kepentingan tersebut dalam berbagai gerakan.
Sholwalter
(dalam Sugihastuti dan Suharto, 2005: 18) menyatakan bahwa dalam ilmu sastra,
feminisme ini berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis, yaitu studi
sastra yang mengarahkan fokus analisisnya pada perempuan. Jika selama ini
dianggap dengan sendirinya bahwa yang mewakili pembaca dan pencipta dalam sastra
Barat ialah laki-laki, kritik sastra feminis menunjukkan bahwa perempuan
membawa persepsi dan harapan ke dalam pengalaman sastranya.
Feminisme
merupakan kajian sosial yang melibatkan kelompok-kelompok perempuan yang
tertindas, utamanya tertindas oleh budaya partiarkhi. Feminisme berupa gerakan
kaum perempuan untuk memperoleh otonomi atau kebebasan untuk menentukan dirinya
sendiri. Berupa gerakan emansipasi peTempuan, yaitu proses pelepasan diri dan
kedudukan sosial ekonomi yang rendah, yang mengekang untuk maju.
Feminisme
bukan merupakan upaya pemberontakan terhadap laki-laki, bukan upaya melawan
pranata sosial, budaya seperti perkawinan, rumah tangga, maupun bidang publik.
Kaum perempuan pada intinya tidak mau dinomorduakan, tidak mau dimarginalkan.
Sasaran
penting dalam analisis feminis menurut Suwardi Endaswara (2008: 146) adalah
sedapat mungkin berhubungan dengan: (1) mengungkap karyakarya penulis wanita
masa lalu dan masa kini; (2) mengungkap berbagai tekanan pada tokoh wanita
dalam karya sastra yang ditulis oleh pengarang pria; (3) mengungkap ideologi
pengarang wanita dan pria, bagaimana mereka memandang diri sendiri dalam
kehidupan nyata; (4) mengkaji aspek ginokritik, memahami proses kreatif kaum
feminis; dan (5) mengungkap aspek psikoanalisa feminis, mengapa wanita lebih
suka hal yang halus, emosional, penuh kasih dan lain sebagainya.
Selanjutnya
muncullah istilah reading as a woman, membaca sebagai perempuan, yang
dicetuskan oleh Culler, maksudnya adalah membaca dengan kesadaran membungkar
praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang patriarkhat (Sugihastuti dan
Suharto, 2605: 19).
Membaca
sebagai perempuan berhubungan dengan faktor sosial budaya pembacanya. Dalam hal
ini sikap baca menjadi faktor penting. Peran pembaca dengan sendirinya tidak
dapat dilepaskan dari sikap bacanya. Citra perempuan dalam karya itu mendapat
makna/terkonkretkan sesuai dengan keseluruhan sistem komunikfsi ‘sastra, yaitu
pengarang, teks, dan pembaca.
Reading
as women menurut Suwardi Endaswara (2008: 147) adalah membaca sebagai
perempuan. Peneliti dalam memahami karya sastra harus menggunakan kesadaran
khusus, yaitu kesadaran bahwa jenis kelamin banyak berhubungan dengan masalah
kenyakinan, ideologi, dan wawasan hidup. Kesadaran khusus membaca sebagai
perempuan merupakan hal yang penting dalam kritik sastra feminisme.
Analisis
novel dengan kritik sastra feminis berhubungan dengan konsep membaca sebagai
perempuan, karena selama ini seolah-olah karya sastra ditujukan kepada pembaca
laki-laki, dengan kritik ini muncullah pembaharuan adanya pengakuan akan adanya
pembaca perempuan. Hal ini dapat dikatakan untuk mengurangi prasangka gender
dalam sastra.
Kritik
sastra feminis menurut Yoder (dalarn Sugihastuti dan Suharto, 2002: 5)
diibaratkan quilt yang dijahit dan dibentuk dari potongan kain persegi pada
bagian bawah dilapisi dengan kain lembut. Metafora ini mengibaratkan bahwa
kritik sastra feminis diibaratkan sebagai alas yang kuat untuk menyatukan
pendirian bahwa seorang perempuan dapat sadar membaca karya sastra sebagai perempuan.
Djajanegara
berpendapat kritik ini melibatkan perempuan, khususnya feminis, sebagai
pembaca. Yang menjadi pusat perhatian pembaca adalah penggambaran perempuan
serta stereotipe perempuan dalam suatu karya sastra (dalam http:
jurnal-humaniora. ugm. ac. id).
Kritik
sastra feminis adalah studi sastra yang mengarahkan fokus analisisnya pada
perempuan. Djananegara berpendapat bahwa kajian feminisme adalah salah satu
kajian sastra yang mendasarkan pada pandangan feminisme yang menginginkan
adanya keadilan dalam memandang eksistensi perempuan (Wiyatmi, 2006: 113).
Faham
feminisme lahir dan mulai berkobar pada sekitar akhir 1960-an di Barat, dengan
beberapa faktor penting yang mempengaruhinya. Gerakan ini mempenganihi banyak
segi kehidupan dan mempengaruhi setiap aspek kehidupan perempuan (Sugihastuti
dan Suharto, 2005: 6).
Feminisme
lahir dengan tujuan mencari keseimbangan antara laki-laki dengan perempuan.
Feminisme merupakan gerakan perempuan untuk menolak sesuatu yang
dimarginalisasikan, direndahkan, dinomorduakan, dan disubordinasikan oleh
kebudayaan, sosial, balk dalam bidang publik maupun bidang domestik. Dengan
lahirnya gerakan feminisme ini, masyarakat mulai terbuka dan sadar akan
kedudukan perempuan yang inferior.
Gerakan
feminisme barat yang diwarnai oleh tuntutan kebebasan dan persamaan hak agar
pars perempuan dapat menyarnai laki-laki dalam bidang sosial, ekonomi,
pendidikan, dan kekuasaan politik. Mini telah banyak perempuan yang masuk
kedunia maskulin dan berkiprah bersama-sama laid-laid. Sehingga banyak orang
awam melabel feminisme dengan negatif. Kata feminis selalu dilekatkan dengan
berbagai stereotipe negatif, misalnya perempuan yang dominan; menuntut, galak,
mencari masalah, berpenampilan buruk, tidak menyukai laid-laki, lesbian,
perawan tua (lajang), sesat, sekuler, dan sebagainya. Label negatif ini tidak
hanya diberikan oleh laki-laki, namun juga kaum perempuan sendiri.
Hal
itu sependapat dengan Mansour Fakih (2007: 78) pada umumnya orang berperasan
bahwa feminisme adalah gerakan pemberontakan terhadap kaum laki-laki, upaya
melawan pranata yang ada, misalnya institusi rumah tangga, perkawinan, maupun
usaha pemberontakan perempuan untuk mengingkari apa yang disebut kodrat. Dengan
kesalahpahatnan seperti itu maka feminisme kurang mendapat tempat di kalangan
kaum wanita sendiri, bahkan secara umum ditolak oleh masyarakat.
Tujuan
inti pendekatan feminisme menurut Djajanegara adalah meningkatkan kedudukan dan
derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat
laki-laki. Perjuangan untuk meneapai tujuan ini menecakup beberapa cara,
termasuk melalui bidang sastra.
Karya
sastra yang bernuasa feminis menurut Suwardi Endaswara (2008: 146) dengan
sendirinya akan bergerak pada emansipasi, kegiatan akhir. dari perjuangan
feminis adalah persamaan derajat, yang hendak mendudukkan perempuan tidak
sebagai objek. Maka kajian feminis sastra tetap memperhatikan masalah gender.
Feminisme
adalah sebuah pahan yang berusaha memahami ketertindasan terhadap perempuan,
dan mencari upaya bagaimana mengatasi ketertindasan itu. Oleh karena itu,
seorang feminis adalah seseorang yang berusaha memahami posisi terhadap
perempuan dan berupaya mengatasinya.
Menurut
Nani Tuloli (2000: 89) pada umumnya semua karya sastra yang menampilkan tokoh
perempuan, baik dalam ragam fiksi maupun puisi dapat dikaji dengan pendekatan
feminisme. Yang dikaji dalam hubungan dengan tokoh perempuan adalah: (a)
peranan tokoh perempuan dalam karya sastra itu baik sebagai tokoh protagonis
maupun tokoh antagonis, atau tokoh bawahan; (b) hubungan tokoh perempuan dengan
tokoh-tokoh lainnya yaitu’tokoh clan tokoh perempuan lain; (c) perwatakan tokoh
perempuan, cita-citanya, tingkah lakunya, perkataannya, dan pandangannya
tentang dunia dan kehidupan; (d) sikap penulis pengarang perempuan dan pengarang
laki-laki terhadap tokoh perempuan.
Kritik
sastra feminis bukan berarti kritik tentang perempuan atau mengkritik
perempuan, kritik sastra feminis adalah kritikus memandang dengan penuh
kesadaran bahwa ada dua jenis kelamin yang berhubungan dengan budaya, sastra,
dan kehidupan (Muhammad Nurrahmat Wirjosutedjo dan Rachmat Djoko Pradopo,
2004).
Menulis
sebuah teks yang berperspektif feminis bukanlah berbicara mengenai moral (yang
sengaja dibangun dengan wacana sosial yang berperspektif patriarki) namun lebih
pada berpijak pada penyuaraan terhadap perempuan, pemberian ruang terhadap
perempuan untuk menyuarakan keinginannya, kebutuhan, haknya, serta statusnya
sehingga is mampu menjadi subyek dalam kehidupannya (http://www.Suara
karya.online.com)
Banyak
kaum perempuan yang menerima ketidakadilan gender tersebut dengan wajar karena
merupakan suatu takdir. Sebagai akibat dan sikap yang menerima keadaan ini,
struktur sosial yang timpang ini akhirnya tidak hanya terus menerus dimitoskan
oleh laki-laki, tetapi juga oleh perempuan. Hal tersebut juga berlaku pada kaum
perempuan yang memiliki akses kekuasaan yang lebih tinggi.
Kelompok
perempuan ini sering menempatkan perempuan sebagai subordinat. Berdasarkan
pengalamannya memiliki pekerja perempuan itu lebih menguntungkan. Karena mereka
rajin, telaten, tidak banyak tuntutan dan mempunyai loyalitas tinggi.
Persamaan
hak yang sekarang digaungkan itu lama-kelamaan akan menimbulkan keadaan-keadan
yang tidak cocok dengan kodratnya perempuan, lama kelamaan mereka bukan hanya
meminta haknya saja tetapi persamaan dalam setiap hak. Misalnya dalam
berpakaian dan bergaya. Inilah gambaran realita yang sekarang. jangan lupa
tubuh perempuan itu berbeda sekali dengan tubuh laki-laki karena perbedaan itu
berhubungan dengan kodrat perempuan. Kodrat perempuan adalah sebagai ibu. Dalam
kedudukan itu perempuan adalah berdiri sejajar dan bersarnaan derajat dengan
laki-laki misalnya dalam bidang pendidikan dan lain sebagainya.
Dalam
kritik sastra feminis menurut Sugihastuti dan Suharto (2005: 23) bahwa
konsep-konsep gender digunakan sebagai dasar analisis. Ada lima konsep analisis
gender. Pertama, perbedaan gender ialah perbedaan dari atribut-atribut sosial,
karakteristik, perilaku, penampilan, cara berpakaian, peranan. Kedua, kesenjangan
gender ialah perbedaan dalam hak berpolitik, memberikan suara, bersikap antara
laki-laki dan perempuan. Ketiga, genderzation ialah pengacauan konsep pada
upaya menempatkan jenis kelarnin pada pusat perhatian identitas diri dan
pandangan dari dan terhadap orang lain. Keempat, identitas gender ialah
gambaran tentang jenis kelaxn.in yang seharusnya dimiliki dan ditampilkan oleh
tokoh yang bersangkutan. Kelima, gender role ialah peranan perempuan atau laki
yang diaplikasikan secara nyata.
Selain
itu menurut Rutven (dalam Muhammad Nurachmat Wirjosutedjo dan Rachmat Djoko
Pradopo ,2004) bahwa kritik sastra feminis antara lain menelusuri bagaimana
perempuan direpresentasikan, bagaimana teks terwujud dengan relasi gender dan
perbedaan sosial. Selain itu, kritik sastra feminis membicarakan bagaimana
perempuan dilukiskan dan bagaimana potensi yang dimiliki perempuan di tengah
kekuasaan partriarkhi dalam karya sastra.
Dan
paparan di depan dapatlah disimpulkan bahwa feminisme adalah gerakan persamaan
antara laki-laki dan perempuan di segala bidang baik politik, ekonomi,
pendidikan, sosial dan kegiatan terorganisasi yang mempertahankan hak-hak
serta kepentingan perempuan.
B.
Identitas
Buku
1. Judul buku : Pada Sebuah Kapal
2. Pengarang
: N.H. Dini
3. Penerbit
: PT.Gramedia Pustaka Utama
4. Jumlah
halaman : 352 halama
C.
Sinopsis
Dalam novel ini diceritakan
tentang keadaan sebuah rumah tangga yang berada di ambang perceraian.
Perselingkuhan yang dilakukan istri, komunikasi yang macet, adalah penyebab
persoalan itu.
Dengan keteguhan hati dan
keangkuhannya, sang suami berupaya mempertahankan rumah tangga mereka meski ia
selalu diberondong oleh tuntutan cerai istrinya. Sementara istrinya terus
meneruskan perselingkuhannya dengan lelaki yang juga sedang menghadapi
persoalan yang sama: tidak bahagia dalam rumah tangganya.
Novel ini terbagi menjadi dua
bagian. Bagan pertama bertajuk: PENARI, bersudut pandang orang pertama (akuan)
sertaan tokoh SRI, sedang bagian kedua berjudul PELAUT, tetap menggunakan sudut
pandang akuan sertaan tetapi tokoh yang bercerita adalah MICHEL.
Sri adalah seorang gadis yang lincah, aktif, dan ramah. Ia seorang penari yang bekerja sebagai penyiar di Radio Republik Indonesia (RRI) di daerah Semarang. Kemudian ia melamar menjadi seorang pramugari. Sejauh ini perjalanannya mengikuti seleksi berjalan lancer hingga ia harus menjalani seleksi lanjut di Jakarta. Namun sayang, proses seleksi yang diikutinya harus terhenti karena ia tidak lolos ketika menjalani tes kesehatan. Betapa kecewa hatinya.
Secara kebetulan, Sri mendapat tawaran menjadi seorang wartawan di sebuah majalah, tetapi ditolaknya tawaran itu karena ia lebih tertarik menjadi penyiar RRI di Jakarta. Di sela-sela menjadi penyiar itulah Sri masih meneruskan kegemarannya menari. Berbagai undangan menari ia hadiri, bahkan pernah pula ia diundang menari ke istana Negara. Tujuh bulan ia menjadi penyiar di Jakarta tepat saat itu ibunya yang tinggal di Semarang meninggal dunia.
Berbekal keramahan dan kelincahannya, Sri banyak menarik perhatian pemuda-pemuda di Jakarta. Di antara sekian banyak pemuda yang menyatakan cinta, Sri hanya menjatuhkan pilihan pada seorang pemuda bernama Saputro. Saputro adalah seorang pilot. Hubungan kasih mereka tampaknya sangat serius dan mereka merencanakan untuk segera menikah. Namun apa mau dikata, Saputro dikabarkan mengalami kecelakaan pesawat ketika terbang.
Begitulah kegagalan membangun rumah tangga bersama Saputra membawa Sri pergi ke Yogyakarta. Lelaki berikutnya yang mencoba mendekatinya antara lain: Yus – seorang pelukis, Carl – orang asing yang bertugas mendampingi mahasiswa. Namun kedua orang itu tidak dapat membuat Sri melupakan bayangan Saputro.
Sri adalah seorang gadis yang lincah, aktif, dan ramah. Ia seorang penari yang bekerja sebagai penyiar di Radio Republik Indonesia (RRI) di daerah Semarang. Kemudian ia melamar menjadi seorang pramugari. Sejauh ini perjalanannya mengikuti seleksi berjalan lancer hingga ia harus menjalani seleksi lanjut di Jakarta. Namun sayang, proses seleksi yang diikutinya harus terhenti karena ia tidak lolos ketika menjalani tes kesehatan. Betapa kecewa hatinya.
Secara kebetulan, Sri mendapat tawaran menjadi seorang wartawan di sebuah majalah, tetapi ditolaknya tawaran itu karena ia lebih tertarik menjadi penyiar RRI di Jakarta. Di sela-sela menjadi penyiar itulah Sri masih meneruskan kegemarannya menari. Berbagai undangan menari ia hadiri, bahkan pernah pula ia diundang menari ke istana Negara. Tujuh bulan ia menjadi penyiar di Jakarta tepat saat itu ibunya yang tinggal di Semarang meninggal dunia.
Berbekal keramahan dan kelincahannya, Sri banyak menarik perhatian pemuda-pemuda di Jakarta. Di antara sekian banyak pemuda yang menyatakan cinta, Sri hanya menjatuhkan pilihan pada seorang pemuda bernama Saputro. Saputro adalah seorang pilot. Hubungan kasih mereka tampaknya sangat serius dan mereka merencanakan untuk segera menikah. Namun apa mau dikata, Saputro dikabarkan mengalami kecelakaan pesawat ketika terbang.
Begitulah kegagalan membangun rumah tangga bersama Saputra membawa Sri pergi ke Yogyakarta. Lelaki berikutnya yang mencoba mendekatinya antara lain: Yus – seorang pelukis, Carl – orang asing yang bertugas mendampingi mahasiswa. Namun kedua orang itu tidak dapat membuat Sri melupakan bayangan Saputro.
Adalah seorang diplomat
Perancis bernama Charles Vincent. Lelaki inilah yang kemudian dapat mencairkan
kebekuan hati Sri. Sikapnya yang lembut, perhatian membuat Sri secara serius
menjalin hubungan dengan lelaki itu. Meski keluarga Sri tidak sepakat, Sri tetap menikah dengan Vincent.
Apa yang dinasihatkan keluarganya ternyata benar-benar terjadi. Setelah menikah sikap Vincent berubah. Ia bukan lagi seorang lelaki yang lembut dan berperhatian, tetapi berubah menjadi lelaki yang egois, kasar, dan tidak mau mengalah. Pernikahan Sri dengan Vincent sangat tidak bahagia. Pertengkaran hampir setiap hari terjadi. Pertengkaran itu berlanjut terus hingga kelahiran anak pertama mereka.
Anggapan Sri akan perbakan rumah tangganya setelah anak pertama mereka lahir ternyata salah. Pertengkaran tetap terus terjadi. Ketidakcocokan ini sangat tampak ketika mereka mengadakan perjalanan ke Perancis. Vincent mendapat cuti, maka mereka berkeinginan pulang ke Perancis. Apa yang terjadi? Perjalan ke Perancis suami istri ini dilakukan dengan sangat aneh. Sang suami dan anaknya pergi ke Perancis dengan naik pesawat, sementara Sri, sang istri melakukan perjalanan dengan kapal laut.
Perjalanan dengan kapal inilah awal terjadinya perselingkuhan yang dilakukan Sri. Di atas kapal itu Sri berkenalan dengan seorang pelaut bernama Michel Dubanton. Michel adalah lelaki Perancis. Karena perjalanan dengan kapal menuju Perancis cukup memakan waktu, maka sharinglah dua orang – lelaki dan wanita ini untuk mengusir kejenuhan.
Apa yang dinasihatkan keluarganya ternyata benar-benar terjadi. Setelah menikah sikap Vincent berubah. Ia bukan lagi seorang lelaki yang lembut dan berperhatian, tetapi berubah menjadi lelaki yang egois, kasar, dan tidak mau mengalah. Pernikahan Sri dengan Vincent sangat tidak bahagia. Pertengkaran hampir setiap hari terjadi. Pertengkaran itu berlanjut terus hingga kelahiran anak pertama mereka.
Anggapan Sri akan perbakan rumah tangganya setelah anak pertama mereka lahir ternyata salah. Pertengkaran tetap terus terjadi. Ketidakcocokan ini sangat tampak ketika mereka mengadakan perjalanan ke Perancis. Vincent mendapat cuti, maka mereka berkeinginan pulang ke Perancis. Apa yang terjadi? Perjalan ke Perancis suami istri ini dilakukan dengan sangat aneh. Sang suami dan anaknya pergi ke Perancis dengan naik pesawat, sementara Sri, sang istri melakukan perjalanan dengan kapal laut.
Perjalanan dengan kapal inilah awal terjadinya perselingkuhan yang dilakukan Sri. Di atas kapal itu Sri berkenalan dengan seorang pelaut bernama Michel Dubanton. Michel adalah lelaki Perancis. Karena perjalanan dengan kapal menuju Perancis cukup memakan waktu, maka sharinglah dua orang – lelaki dan wanita ini untuk mengusir kejenuhan.
Sri menceritakan perkawinannya
dengan Vincent yang tidak bahagia, sementara Michel juga menceritakan kehidupan
rumah tangganya bersama Nicole yang selalu diliputi rasa cemburu berlebihan.
Dua orang yang mengalami persoalan rumah tangga, bertemu pada sebuah kapal
dalam perjalanan menuju Perancis yang membutuhkan waktu cukup lama, itulah awal
munculnya perselingkuhan.
Michel, seorang pelaut yang telah berumah tangga dengan Nicole tetapi tidak merasa bahagia karena istrinya sangat pencemburu, sehingga ia tidak boleh bergaul dan dekat-dekat dengan wanita lain. Sebelum menjadi pelaut, Michel adalah seorang tentara yang pernah pergi berperang di Jerman. Perjumpaan dengan Sri yang masih cukup menarik, ramah, dan terbuka membuat Michel merasa menemukan wanita yang selama ini ia rindukan.
Michel, seorang pelaut yang telah berumah tangga dengan Nicole tetapi tidak merasa bahagia karena istrinya sangat pencemburu, sehingga ia tidak boleh bergaul dan dekat-dekat dengan wanita lain. Sebelum menjadi pelaut, Michel adalah seorang tentara yang pernah pergi berperang di Jerman. Perjumpaan dengan Sri yang masih cukup menarik, ramah, dan terbuka membuat Michel merasa menemukan wanita yang selama ini ia rindukan.
Sementara dari pihak Sri,
Michel adalah sosok lelaki yang romantis, lembut, dan sangat perhatian
sebagaimana ia idamkan selama ini. Sri jatuh cinta pada Michel, pun Michel
jatuh hati pada Sri. Di atas kapal itu, perbuatan layaknya suami istri mereka
lakukan berkali-kali tanpa ada rasa bersalah diantara keduanya.
Sesampai di Perancis, Sri yang telah menemukan sosok Michel lelaki yang sangat diidam-idamkan, selalu membandingkan suaminya, Vincent dengan Michel. Segeralah ia dengan gampang membuat perbedaan yang sangat menyolok diantara keduanya. Secara diam-diam, Sri dan Michel tetap menjalin hubungan secara sembunyisembunyi. Hubungan mereka pun berlanjut saat Vincent ditugaskan ke Jepang.
Kehidupan rumah tangga Sri di Jepang tidak kunjung membaik hinga akhirnya Sri mengajukan cerai pada Vincent. Namun gugatan Sri ini tidak ditanggapi oleh suaminya. Akibatnya, perselingkuanan Sri dengan Michel semakin menjadi-jadi. Bahkan Michel memohon kepada atasannya untuk dipindahtugaskan ke Jepang agar ia bisa selalu dekat dengan Sri.
Selesai bertugas di Jepang, Vincent kembali bertugas ke Perancis. Mchel pun meminta pada atasanyya agar membatalkan tugasnya di Yokohama dan diganti dengan tugas sebagai pelaut di daerah pelayaran Perancis. Begitulah perjumpaan dan perselingkuhan antara Sri dengan Michel semakin menjadi-jadi.
Sesampai di Perancis, Sri yang telah menemukan sosok Michel lelaki yang sangat diidam-idamkan, selalu membandingkan suaminya, Vincent dengan Michel. Segeralah ia dengan gampang membuat perbedaan yang sangat menyolok diantara keduanya. Secara diam-diam, Sri dan Michel tetap menjalin hubungan secara sembunyisembunyi. Hubungan mereka pun berlanjut saat Vincent ditugaskan ke Jepang.
Kehidupan rumah tangga Sri di Jepang tidak kunjung membaik hinga akhirnya Sri mengajukan cerai pada Vincent. Namun gugatan Sri ini tidak ditanggapi oleh suaminya. Akibatnya, perselingkuanan Sri dengan Michel semakin menjadi-jadi. Bahkan Michel memohon kepada atasannya untuk dipindahtugaskan ke Jepang agar ia bisa selalu dekat dengan Sri.
Selesai bertugas di Jepang, Vincent kembali bertugas ke Perancis. Mchel pun meminta pada atasanyya agar membatalkan tugasnya di Yokohama dan diganti dengan tugas sebagai pelaut di daerah pelayaran Perancis. Begitulah perjumpaan dan perselingkuhan antara Sri dengan Michel semakin menjadi-jadi.
D.
Analisis
Novel Berdasarkan Pendekatan Feminism
Pertama, terlihat pada sosok Sri (tokoh
utama) yang mencerminkan keinginan seorang perempuan untuk bisa menjadi dirinya
sendiri dan hidup mandiri. Keinginan untuk mandiri tentu saja harus didukung
dengan pengetahuan, begitulah yang dilakukan oleh tokoh Sri.
– Inilah yang terutama mendorongku buat tekun
mempelajari segala sesuatu yang sealiran dengan zaman untuk tetap
menjadi pemegang utama ruangan-ruangan yang bersifat kewanitaan.
Kedua, Tokoh Sri yang berwatak lembut namun
dalam hal-hal tertentu terlihat keras merupakan perpaduan dua sifat yang sangat
menakjubkan. Bagaimana kelembutan seorang wanita yang digambarkan dengan
kegemaran dan kebiasaannya menari ternyata bisa melakukan pemberontakan kecil
yang hasilnya maha dasyat.
– Tetapi ia tak perlu memberitahuku segala sesuatu sampai
kepada hal-hal kecil, yang paling remeh seolah-olah aku ini orang bodoh yang
tidak tahu sama sekali cara-cara hidup moderen.
– “…karena kau tidak pernah memberiku kesempatan untuk
mengucapkan pikiranku sendiri!” jawabku dengan cepat. “Dan setelah kau lihat
pekerjaanku, tidak perlu kau bertanya apakah ada orang lain yang membantuku.”
Ketiga, hal positif lainnya dalam
novel PSK adalah gambaran kemampuan seorang wanita berbuat/memutuskan jalan
hidupnya sendiri dengan kebulatan tekad.
– Setiap orang mempunyai watak sendiri-sendiri untuk
menanggapi suasana sekitarnya.
– Aku banyak memikirkan kehidupan yang telah
kupilih.
Sisi negatif dari emansipasi wanita tidak
dapat dihindari dan NH. Dini secara halus melukiskannya dalam novel PSK. Adapun
sisi negatif ini terlihat dengan adanya keinginan untuk memperoleh kebebasan
yang sama dengan seorang pria sampai pada cara pemenuhan kebutuhan biologis
menurut caranya sendiri. Kalau selama ini sex bebas yang dilakukan pria baik
yang tertutup maupun yang terang-terangan mendapat pertentangan dari berbagai
pihak, apalagi dengan wanita yang selama ini dikenal memiliki perasaan malu
yang cukup besar.
Walaupun ada usaha pembenaran NH.Dini atas penyimpangan yang dilakukan
tokoh karena mungkin ia sendiri adalah seorang wanita dan ingin membela apa
yang diperbuat kaumnya. Namun pembelaan itu sendiri sebenarnya merupakan
cerminan dari rasa malu mengakui bahwa perbuatan sang tokoh memang tidak benar,
di sinilah letak keunikan NH. Dini atas sisi negatif dari emansipasi wanita.
– Aku mencintainya. Biar dia tidur dengan wanita
manapun.
– Tapi aku tak bisa menipu diriku lagi. Dada yang
penuh dan birahi terpendam merangsangku untuk bekata yang sebenarnya. Dalam
kamarnya yang temaram aku menerimanya menyelinap dalam kehangatan tubuhku.
Hal lain yang menunjukkan sisi negatif dari
novel PSK adalah adanya kenyataan yang memang sulit dipungkiri, kadang-kadang
wanita (sebenarnya tidak hanya wanita), yang ingin mengembangkan diri terlihat
terlalu mementingkan materi dan dunianya sendiri. Sehingga untuk tingkatan yang
lebih serius ia terkesan egois dan mementingkan dirinya sendiri, tragisnya lagi
sosok seperti ini bisa menghilangkan sisi keibuan dari wanita yang lembut
sekalipun.
– Sehari-hari aku hanya berpikir bagaimana caranya
bisa mendapat uang yang lebih dari gaji yang kuterima tiap bulan.
– ”Kau hanya memikirkan hasil keduniaannya saja,”
kata Yus kemudian.
– ”Aku tidak peduli apakah kau percaya atau
tidak. Bagiku anakku akan menjadi penghambat yang besar kalau aku harus
bekerja mencari nafkah di Eropah … kau selalu berkata bahwa aku tidak akan bisa
mengerjakan sesuatu apapun di negerimu. Tetapi aku akan mencoba dan aku akan
membuktikan bahwa aku juga sanggup mencari kehidupan di negeri itu sebagaimana
orang-oarang sana.”
Selain kalimat-kalimat yang secara jelas
menunjukkan sisi positif dan sisi negatif emansipasi wanita dalam novel PSK,
ada juga kalimat-kalimat yang bias diantara keduanya. Misalnya dalam hal yang
berkaitan dengan keberanian seorang wanita mengemukakan pendapat.
– ”Aku
juga tidak peduli apakah itu menarik hatimu atau tidak.”…
– Aku
mengangkat muka dan menatapnya. Sejenak hendak kukeluarkan semua isi
hatiku, segala kemualan perasaanku terhadapnya.
– ”Aku
akan mengatakan apa sebabnya akau berteriak sedemikian rupa di depan
orang-orang lain. Ialah karena aku sudah bosan. …”
Dari sisi positif cuplikan di atas mampu
menunjukkan keberanian sekaligus kebebasan wanita mengungkapkan pendapat/isi
hatinya. Dengan cara seperti ini kebanyakan orang percaya bahwa wanita bisa
lebih maju. Namun, di sisi negatif cuplikan di atas menunjukkan ketidaksopanan
bahkan mungkin bisa dikatakan pembangkangan seorang istri kepada suaminya.
Tokoh Sri yang digambarkan sebagai sosok yang lembut ternyata demi kebebasannya
mampu berkata keras dan kasar, bahkan sambil menatap suaminya.
Kami tinggal di kampung, tetapi ibuku tidak mau kalau
anak-anaknya dipengaruhi oleh sikap dan ajaran orang-orang biasa. Baginya
seorang anak perempuan adalah wakil dari kehalusan, kesucian dan keindahan. (Hal 14)
Kutipan teks ini menceritakan mengenai ibu dari tokoh
utama wanita yang tidak ingin anak perempuannya bermain dengan teman-teman yang
tidak sesuai dengan ajarannya, yaitu cara pandang yang tradisional. Kutipan
teks ini menggambarkan bahwa ibu dari tokoh utama wanita ingin mendidik
anak-anaknya dengan caranya sendiri, yaitu memberikan pendidikan yang berbeda
terhadap anak perempuannya. Hal ini terlihat dari didikannya terhadap putrinya
yaitu: seorang anak perempuan adalah wakil dari kehalusan, kesucian dan
keindahan.
. Aku berangkat dan meninggalkan pekerjaan selama tiga
hari atas persetujuan dari kepala bagianku. Di dalam jip aku tidak mengeluarkan
suara. Apakah hal itu kuceritakan kepada Budi sebagai pengaduan? Tidak. Dia
hanya akan berpikir: perempuan tidak dapat bekerja tanpa
pertengkaran-pertengkaran remeh yang menyialkan nasib. Jadi aku diam saja. (Hal 49)
Kutipan teks ini menceritakan bahwa Sri memiliki teman
bernama Budi yang tidak menyukai pekerjaannya. Hal ini terlihat dari pikiran
Sri akan jawaban yang diberikan Budi jika dia menceritakan masalah pekerjaan: Dia
hanya akan berpikir: perempuan tidak dapat bekerja
tanpa pertengkaran-pertengkaran remeh
yang menyialkan nasib., pada kutipan
ini terlihat bahwa tokoh Budi merupakan tokoh yang tidak menyukai wanita yang
bekerja.
Kutipan teks novel Pada Sebuah Kapal
Waktu senggangku kupergunakan untuk
membaca buku-buku cerita berbahasa Inggris yang terdapat di dua perpustakaan di
kotaku. Bagiku ini merupakan satu-satunya jalan untuk mengenal bahasa yang
semakin menjadi penting bagi orang-orang yang menginginkan kemajuan di segala
lapangan. (Hal 19)
Pada novel Pada Sebuah Kapal keinginan
tokoh utama wanita belajar agar ia dapat maju di segala lapangan pekerjaan,
Kutipan teks novel Pada Sebuah Kapal
“Aku sehat, aku bekerja dan ingin terus menari. Tapi
tidak hendak sampai di sini saja. Aku telah diajar Sutopo untuk memiliki
sesuatu, untuk maju di suatu lapangan. Sebagai penyiar aku tidak bisa maju
lagi. Tapi sebagai penari.”
“Di negeri ini orang tidak akan menghargainya,”
katanya perlahan. Aku tersinggung. (Hal
51)
teks ini yakni kurangnya kesempatan bagi
waniita untuk bekerja. Kurangnya kesempatan itu disebabkan oleh pelarangan yang
dilakukan oleh pihak-pihak tertentu seperti keluarga dan masyarakat sekitar.
Perlarangan yang terjadi pada tokoh utama dalam kedua novel tersebut tersebut
karena rasa ketidakpercayaan terhadap kemampuan dan kapasitas seorang wanita.
Kutipan teks novel Pada Sebuah Kapal
Yang utama bergembira. Kalimat ini kemudian tinggal
tergaris dalam ingatanku. Memang di sanalah aku belajar bergembira, untuk
mengiring setiap kerja dari pandangan dengan ketenangan yang agung. Aku mulai
bisa berbicara. Aku mulai bisa mengemukakan pendapat di depan segerombolan
kawanku. Dan bahkan setahun kemudian aku berani menerima tanggung jawab guru
tari, yang kadang-kadang tidak datang, untuk mengajar kelas di bawahku. Ini
merupakan satu kebaruan bagiku. Aku mulai melihat hidup ketelitian yang lain. (Hal 17)
Kutipan teks tersebut terdapat perbedaan yakni: pada
kutipan teks novel Pada Sebuah Kapal dalam bidang pendidikan tokoh aku
(Sri) tidak mendapat halangan dari lingkungannya. tokoh aku pada novel Pada
Sebuah Kapal memiliki kesempatan belajar dan melatih dirinya untuk dapat
bersaing..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar